Share

BAB 5 : "Rasa Simpati."

Nadhira menyukai keindahan juga aroma wangi alami dari berbagai bunga yang memiliki berbagai macam warna, terpengaruhi langsung oleh mendiang neneknya yang dulu sebelum menjadi pembantu, di usia mudanya pernah bekerja di toko bunga.

Setelah bekerja dan memiliki tabungan yang cukup sebab satu-satunya orang yang ia tanggung hanya lah Nadhira membuatnya berani mencoba usaha sampingan dari satu-satunya keahlian lain selain memasak, yakni merangkai bunga dalam sebuah buket.

Dan usahanya itu, diwariskan kepada Nadhira satu-satunya keluarga yang ia miliki. Jangan tanya tentang ibunya Nadhira, beliau memilih kabur dan lari dari tanggung jawab sebagai seorang ibu dua hari setelah Nadhira lahir ke dunia.

Nadhira adalah anak yang tidak diingankan oleh Laila, wanita yang memanfaatkan kecantikannya untuk menjadi seorang pekerja malam. Penggoda ulung pria berdompet tebal sebab Laila benci dengan kemiskinan yang selama ini mengekang hidupnya. Dia benci hidup sengsara maka menggoda pria matang dengan harta berlimpah ruah adalah apa yang ia lakukan dan jelas, kebanyakan dari mereka sudah memiliki istri sah sebagai pendamping.

Asih sampai menyerah menghadapi kelakuan sang anak sebab segala cara sudah ia lakukan agar Laila bisa berhenti dari pekerjaan haramnya namun wanita itu tetap keras kepala karena sudah terlampau nyaman dengan segala gemerlap hidup orang kaya. Perhiasan mahal juga tas branded selalu melekat di tangan, jangan lupakan juga berbagai macam gaun yang melekat seksi di badan. Semua itu hasil dari kemampuannya merayu dan menghasut pria yang kekurangan belaian.

Jangan tanya, Nadhira membenci ibunya setengah mati. Sebab, selain tidak diurusi sama sekali, status pekerjaan sang ibu juga membuat kehidupan Nadhira susah untuk dijalani.

Berbagai macam cemoohan ia terima karena ketika di sekolah menengah pertama, pekerjaan ibunya sebagai wanita malam yang sering menjadi simpanan bocor disebabkan ayah dari salah satu kakak kelasnya adalah korban. Gawatnya, kakak kelasnya itu adalah seorang Ketua OSIS sehingga begitu mudah mempengaruhi banyak orang.

Lalu sejak saat itu, Nadhira dipandang sebelah mata. Selalu dicap sebagai anak haram. Dicemooh baik di belakang ataupun secara terang-terangan.

Bagi Nadhira, masa sekolah adalah simulasi lain hidup di neraka. Separah itu segala cacian yang ia terima. Tidak gila saja sudah sangat bersyukur dirinya.

Karena keegoisan ibunya, Nadhira merasa begitu tersiksa. Terus begitu berkecil hati sebab lahir dari hubungan tanpa status yang sah dari sang ibu, buruknya terlalu banyak pria yang bersamanya sehingga Nadhira masih belum menemui titik terang siapa ayahnya yang sebenarnya. Masih hidup ataukah tidak. Laila enggan memberitahu sampai ujung ajalnya entah karena apa sehingga Nadhira terpaksa mencari tau sendiri dengan sedikit bukti yang ia miliki.

Kebiasaan bergonta-ganti pria dengan mudah membuat Nadhira tau kalau sebenarnya ia tidak benar-benar sendirian. Ia memiliki dua kakak yang lahir dari dua ayah yang juga berbeda namun Nadhira juga tidak tau bagaimana bentukan mereka karena dulu ibunya benar-benar tidak mau berurusan lagi dengannya, sama seperti kedua kakaknya itu yang juga ia telantarkan entah dimana. Laila benar-benar luar biasa, bukan? Nyatanya, manusia yang seperti itu memang ada.

Namun, segala kebencian Nadhira kepada sang ibu sudah terkubur bersamaan dengan tubuhnya yang dimasukkan ke dalam tanah tiga tahun lalu. Tidak ada gunanya lagi mengungkit masa lalu, yang bisa Nadhira lakukan sekarang adalah terus berdoa agar segala dosa ibunya yang bertumpuk bisa diampuni.

“Nad? Sudah datang?”

Nadhira yang sedang menyusun berbagai macam bunga segar seketika menoleh. Ia tersenyum simpul lalu mengangguk pada satu-satunya karyawan yang ia miliki.

“Keadaan Bu Raditha bagaimana Nad? Kata Ibu aku, beliau cukup mengkhawatirkan ya?”

Rini bertanya dengan ekspresi khawatir yang tercetak di wajah. Ibunya juga bekerja sebagai pembantu di kediaman keluarga Brijaya sehingga apapun yang terjadi di dalam rumah bak istana itu, ia juga kecipratan informasi. Benar, cuman Rini dan Tiana teman sekolahnya dulu yang tau rahasia besar pernikahan Nadhira dengan Mahesa.

“Iya Rin, Oma koma. Tapi, aku belum tau gimana keadaan lebih spesifiknya. Aku dilarang tau sama Mas Mahesa juga keluarganya,” jawab Nadhira dengan pahit.

Mendengar itu, Rini menghela napas. Ia melepaskan sling bag yang ia pakai lalu menaruhnya di meja kasir kemudian membantu Nadhira untuk mempersiapkan membuka toko.

“Yang sabar ya Nad. Semoga keadaan Bu Raditha bisa cepat pulih.”

“Amin,” jawab Nadhira bersungguh-sungguh. “Nanti jam siang aku izin pergi ke rumah sakit sebentar ya? Siapa tau aku bisa melihat Oma secara langsung.”

“Iya Nad, tenang aja. Entar aku yang menjaga toko,” jawab Rini, wanita seumuran Nadhira yang tengah hamil empat bulan itu. Ia sebenarnya dilarang sang suami untuk bekerja namun karena mudah merasa bosan, ia memelas meminta bekerja di toko bunga milik Nadhira yang perlahan mulai berkembang. Buktinya, ia perlu karyawan sebab sudah merasa kewalahan mengurusnya sendiri. Suami Rini menyetujui sebab bekerja di toko bunga tidak terlalu melelahkan untuk sang istri yang tengah hamil muda.

“Makasih banyak Rin. Aku kayaknya harus menambah satu karyawan lagi nggak sih? Kamu kan nanti mau cuti melahirkan cukup lama.”

“Bisa sih Nad, coba aja dulu membuka lowongan.”

Nadhira mengangguk, ia akan memikirkan itu nanti setelah persiapan membuka toko sudah selesai.

Begini lah keseharian Nadhira, bekerja mengurus toko bunga yang Asih tinggalkan untuknya sebagai harta yang paling berharga. Satu-satunya tempat yang membuatnya bisa menyambung hidup dengan baik. The Sunny Florist, begitu nama yang Asih dan Nadhira diskusikan dulu. Sebab, mereka berdua begitu sama-sama menyukai keindahan bunga matahari. Ah, kan, Nadhira jadi rindu lagi.

“Nad, salah. Bunga mawar putihnya ditaruh disini.”

“Hah? Oh…” Nadhira meringis, ia segera mengeluarkan bunga mawar putih yang ia masukkan ke dalam keranjang mawar merah.

“Kenapa Nadhira? Sini, sambil cerita-cerita. Aku bakalan mendengarkan. Jangan dipendam sendiri, biasanya aku juga selalu cerita tentang semua masalahku ke kamu kan? Sekarang gantian.”

Tawaran tulus itu membuat hati Nadhira tergugah. Apalagi Rini sudah berpengalaman. Ia sudah menikah dari dua tahun yang lalu. Lika-liku rumah tangga pasti sudah pernah ia rasakan.

“Oma koma Rin. Dan sesuai perjanjianku dengan Mas Mahes, kalau—kalau Oma sampai meninggal—“ Kelu sekali lidah Nadhira untuk mengucapkan itu. “Aku sama Mas Mahes harus bercerai. Karena, enggak ada lagi yang bisa menahan hubungan kami yang menurutnya terpaksa. Aku…Harus bagaimana? Aku enggak mau cerai Rin. Aku enggak mau pisah dari Mas Mahesa.”

“Ya ampun Nad.” Rini menarik Nadhira untuk duduk di kursi. Mengusap pundaknya mengirimkan simpati.

Nadhira menengadahkan kepala, mencegah air mata untuk terjatuh. “Kamu tau kan selama ini aku cuman mengikuti arus yang Mas Mahes lakukan? Aku enggak pernah meminta ataupun menuntut apa-apa sebab aku sadar posisiku bukan istri yang sesungguhnya. Aku sama Mas Mahes cuma terikat secara terpaksa. Tapi, aku juga enggak mau berpisah. Kamu tau sendiri aku cuman mau menikah sekali dalam seumur hidup kan Rin?" Nadhira mencoba mengatur napasnya.

" Kemarin, aku membuat rencana nekat. Aku mau terlihat di mata Mas Mahesa. Aku mau menarik perhatiannya. Aku bahkan mau membuat rencana agar bisa mengandung anak suamiku. Biar bisa kayak kamu Rin, suami kamu memperhatikan kamu begitu besar. Aku tau rencanaku enggak mungkin mudah." Nadhira abaikan tatapan sendu karyawannya.

" Tapi pagi aja bahkan sewaktu aku menyiapkan sarapan setelah sekian lama, Mas Mahesa malahan mengatakan aku enggak waras. Terlebih, nyatanya suamiku juga sudah punya pacar. Enggak tanggung-tanggung, mereka sudah empat tahun bersama. Kemarin, aku nekat banget dengan rencanaku tapi setelah menerima perlakuan yang kembali membuatku kecewa tadi pagi, aku kembali ragu. Benar gak ya rencanaku ini? Apa aku pasrah saja menunggu perceraian itu benar-benar terjadi? Aku benci banget dengan diriku yang enggak percaya diri kayak begini Rin.” Nadhira menyelesaikan ceritanya dengan satu hela napas kasar.

“Benar Nad.” Suara tegas Rini membuat Nadhira yang memandang kosong hamparan bunga di toko miliknya jadi menoleh. “Rencana yang kamu pikirkan adalah seratus persen benar. Percaya sama aku.” Rini meremas tangan Nadhira.

“Karena satu-satunya cara biar suami kamu terikat adalah dengan menarik perhatiannya. Sudah saatnya kamu mengambil tindakan untuk menciptakan perubahan. Walaupun Pak Mahesa enggak menerima pernikahan kalian, itu enggak menutupi kenyataan kalau kamu tetap istri beliau." Rini kembali memberikan senyum simpati.

"Kamu berhak menuntut segala tugas suami kepada Pak Mahesa, Nad. Aku bakalan bantu kiat-kiatnya, sebenarnya aku enggak terlalu berpengalaman juga sih soalnya suamiku sekarang adalah pacar pertamaku juga. Tapi tenang aja, aku bakalan selalu menyemangati kamu. Bisa Nad, sumpah. Bisa kok.”

“Rini…Makasih banyak ya.” Nadhira benar-benar merasa terharu, keyakinannya kembali pulih tatkala mendengar ucapan teman sekaligus karyawannya itu.

“Sama-sama Nadhira. Kamu tuh sudah banyak membantuku, mendiang nenek kamu juga banyak membantu ibuku. Ini bukan apa-apa.”

“Permisi?”

Mendengar suara lonceng yang otomatis akan berbunyi ketika pintu dibuka membuat Nadhira dan Rini segera berdiri. Keduanya sama-sama menunjukkan ekspresi terkejut namun Rini yang lebih diri mengendalikan diri sebab, Nadhira tidak mungkin bisa.

Di hadapannya sekarang, ada seorang Jennitha Dewita Harsena, kekasih seorang Mahesa.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status