Share

BAB 2 : "Rencana Gila Nadhira."

Keluar dari rumah sakit, sebab tidak lagi sanggup melangkah dalam keadaan yang begitu kacau, Nadhira memilih melipir ke taman kota yang begitu temaram dan tentu saja banyak nyamuk. Namun Nadhira sama sekali tidak peduli, ia hanya perlu tempat untuk menangis sepuas yang ia bisa tanpa ada yang harus melihat.

Nadhira hanya ingin menumpahkan kesedihan. Tentang Raditha yang koma, itu benar-benar membuat dirinya terpukul. Sejak Asih, neneknya meninggal setahun yang lalu, hanya Raditha satu-satunya sandaran yang Nadhira punya. Yang menyambung kasih sayang dari Asih dengan sama besarnya. Yang membuat Nadhira merasa kalau ia tidak benar-benar merasa sendirian di dunia ini.

Namun, bagaimana sekarang? Raditha koma, Nadhira tidak bisa mendengar penjelasan lebih lanjut sebab hanya pihak keluarga Brijaya yang bisa mendengar penjelasan penuh dari dokter tentang mengapa wanita yang berumur delapan puluh satu tahun itu bisa koma. Nadhira tidak dipersilahkan untuk mengetahui sehingga sekarang, ia hanya bisa tenggelam dalam kecamuk kekhawatiran yang tidak bertepi. Apalagi dengan perjanjian yang baginya begitu menakutkan itu.

Kalau, sungguh kalau saja Raditha menyusul Asih meninggalkan dunia, dan kemudian Mahesa menceraikannya, maka Nadhira akan benar-benar sendirian. Sebatang kara di dunia luas yang menurutnya begitu kejam.

Nadhira menggeleng sambil mengusap air matanya yang seolah tidak berhenti untuk berproduksi. “Enggak mungkin.” Mulutnya kemudian bersuara untuk meyakinkan apa yang ada di dalam kepalanya. “Oma enggak mungkin meninggal secepat itu, Oma pasti bisa bertahan,” sambungnya memukul-mukul dada berharap sesak yang mengekang disana bisa pecah.

Asih, mendiang nenek kandung Nadhira sudah bekerja dengan keluarga Brijaya dari umurnya dua puluh lima tahun. Bayangkan saja, lebih dari lima puluh tahun sang nenek ikut menyaksikan keluarga Brijaya bertumbuh hingga bisa menjadi sebesar sekarang. Karenanya, Asih begitu dekat dengan Raditha. Bahkan, saking eratnya hubungan persahabatan mereka, Asih dengan rela mendonorkan satu ginjalnya untuk Raditha yang dulu sekali mempunyai penyakit ginjal kronis.

Lalu setelah Asih meninggal, Raditha merasa memiliki hutang budi yang begitu besar maka ganjaran yang bisa ia berikan adalah membuat Nadhira, satu-satunya keluarga sahabatnya yang tersisa untuk menikah dengan cucu kesayangannya yang sudah ia persiapkan untuk menjadi penerus generasi ketiga perusahaan keluarga.

Nadhira padahal juga tidak menyangka hidupnya bisa sebegini dramanya namun begitu lah yang terjadi. Nadhira terikat dengan Mahesa sudah setahun lebih, dan masih menjadi orang asing yang menolak untuk saling mengenal. Lebih tepatnya, Mahesa yang tetap menginginkan batasan itu. Mereka hanya akan berperan layaknya suami istri ketika dihadapan Raditha saja, itu juga jarang sebab Mahesa akan memberikan seribu satu alasan agar ketika sang nenek meminta untuk bertemu mereka berdua pasti selalu berakhir dengan Nadhira seorang diri saja yang akan menemui.

Namun meski begitu, walaupun tetap tidak pernah mendiskusikannya dengan Mahesa sebelumnya, Nadhira tetap mengarang cerita dengan apik tentang betapa bahagianya pernikahan mereka sebab dirinya tidak ingin membuat Raditha bersedih. Nadhira hanya tidak ingin mengecewakan orang yang begitu ia sayangi juga menyayangi sama besarnya.

Sebenarnya, cukup sulit berpikir di keadaan sekarang apalagi setelah mendengar Mahesa yang mengungkit kembali perjanjian mereka setelah sekian lama. Bagaimana kalau Raditha benar-benar menyerah untuk hidup?

Nadhira…Tidak rela untuk bercerai.

Sebab ia bersungguh-sungguh menganggap Mahesa sebagai suami. Bersungguh-sungguh ingin berbakti pada seseorang yang sudah mengikrarkan namanya di hadapan Tuhan.

Nadhira, mencintai suaminya walaupun ia tidak pernah menunjukkan itu secara terang-terangan.

Apa yang harus Nadhira lakukan untuk mencegah perceraian itu terjadi jika saja kemungkinan terburuk benar-benar terkabulkan?

Kepala Nadhira terasa berdenyut keras sebab ia pakai untuk berpikir di keadaan yang tengah begitu berantakan.

Pada akhirnya, Nadhira menghela napas sebab tidak menemukan jawaban apa-apa. Ia kemudian bangkit ketika melihat jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Pulang menggunakan ojek online menuju rumah mewah milik Mahesa yang selama ini ia tempati atas dasar keinginan Raditha tentu saja. Dalam keadaan normal, Mahesa jelas tidak akan mengizinkannya untuk tinggal di rumah yang ia persiapkan untuk merajut rumah tangga ‘betulan’ di masa depan.

“Makasih Pak.”

Nadhira memberikan helm juga membayar ojek online yang mengantarnya pulang. Ia masuk dengan langkah lesu juga tidak berdaya, badannya terasa lelah sekali sebab sudah menangis berjam-jam.

Mobil Mahesa belum kelihatan yang itu artinya sang suami belum pulang. Dia pasti masih di rumah sakit sebab Nadhira tau betapa Mahesa begitu menyayangi Raditha walaupun ia mau tidak mau memiliki sikap benci akibat keputusan sepihak sang nenek. Sudah hampir tengah malam, Mahesa mungkin akan pulang sebentar lagi.

Dan bisa saja menuju tempat tinggalnya yang lain, bukan ke rumahnya bersama Nadhira sekarang sebab sang istri sudah terbiasa menghadapi betapa jarangnya Mahesa datang. Bahkan rekor terpanjang adalah dua bulan.

Nadhira tersenyum miris memikirkan itu. Tapi sialnya, selepas membersihkan diri dan berpakaian, ia tetap menunggu Mahesa untuk datang. Duduk di ruang tamu dengan sabar padahal badannya sudah memberontak meminta istirahat.

Setelah segala kalimat jahat yang tak hanya datang dari suami namun juga ibu mertuanya, Nadhira tetap menjalankan kebiasaannya. Memastikan kalau Mahesa pulang dengan selamat padahal kebanyakan, tidak ada hasil yang ia terima sebab Mahesa jarang pulang. Tak jarang, Nadhira tertidur di sofa hingga pagi.

Kini saja, kepalanya sudah terkantuk-kantuk sebab matanya terasa berat. Nadhira menepuk-nepuk pipi untuk mempertahankan kesadaran, terus menatap keluar dengan penuh harapan Mahesa akan datang.

Entahlah, Nadhira hanya trauma sebab terakhir kali, ibu juga neneknya meninggal karena kecelakaan. Dan Nadhira terlambat mengetahui sebab semua kejadiannya selalu terjadi di malam hari ketika ia sudah terlelap. Makanya, Nadhira harus memastikan orang yang ia sayangi untuk tiba di hadapannya dulu baru lah ia bisa tidur dengan nyenyak.

“Eh.” Nadhira terkesiap, matanya yang entah sejak kapan menutup segera terbuka tatkala mendengar suara mobil. Namun sayang, mobil itu hanya melaju melewati rumah. Nadhira bersandar sambil memeluk bantal sofa, melotot agar tidak kalah dari rasa kantuk.

Ah, apa Mahesa tidak akan pulang lagi?

Nadhira melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan nyaris jam dua belas malam. Harapan itu makin terkikis. Apakah Nadhira menyerah saja kali ini?

Tidak. Tunggu sampai jam dua belas. Hatinya nampak membicara maka Nadhira menuruti itu. Duduk dengan kepala yang terus jatuh ke bawah.

Namun nampaknya, Nadhira harus kembali kecewa seperti hari-hari biasa yang ia lalui. Mahesa tidak akan datang bodoh sekali Nadhira, pikirnya.

Nadhira sudah berdiri namun nyatanya, suara gerbang yang bisanya akan terbuka otomatis ketika remote control ditekan membuat kantuknya seketika hilang.

Tak seberapa lama, mobil Mahesa memasuki garasi dan saat itulah Nadhira yakin ia tidak berhalusinasi.

Seharusnya, setelah memastikan kalau Mahesa sudah pulang, Nadhira harus kabur menuju kamarnya seperti biasanya. Ia sudah mengatakan kalau dirinya ini tidak berani untuk menunjukkan perasaannya bukan?

Namun kali ini, entah setan apa yang merasuki Nadhira, ia hanya diam menunggu di ruang tamu dengan debar jantung yang menggila.

Pernyataan cerai dari Mahesa membangkitkan sesuatu yang lain dari dalam dirinya. Seperti sebuah keberanian akibat rasa pemberontakan yang ingin memunculkan diri.

Nadhira. Tidak. Mau. Cerai. Titik.

Apa dan bagaimana caranya masih ia pikirkan namun, ketika pintu mengayun terbuka dan Mahesa menunjukkan badan tinggi nan tegapnya, entah setan mana tiba-tiba saja memberikan sebuah rencana gila ke dalam kepalanya.

Dua detik awal, Mahesa nampak kaget melihat kehadiran sang istri namun setelahnya, wajahnya berubah mengeruh. Menunjukkan ketidaksukaan akan apapun yang Nadhira lakukan dengan berdiri di dekat pintu masuk begitu.

Mahesa nampaknya bingung namun Mahesa tetaplah seorang Adenandro Mahesa Brijaya yang irit bicara. Ia hanya melenggang pergi setelah memberikan lirikan singkat.

Nadhira terpaku pada punggung suaminya yang menjauh, tidak langsung menuju kamar di lantai dua namun ia memasuki ruang kerja miliknya yang tepat berhadapan langsung dengan ujung teratas tangga sehingga Nadhira bisa melihat dari bawah. Ah, pantas saja Mahesa pulang, jelas bukan untuk istrinya, namun mungkin karena sesuatu yang penting yang berhubungan dengan bisnis yang tengah ia jalankan di dalam ruang kerja pribadinya yang penuh berkas penting itu.

Nadhira memegangi perutnya, menggigit bibir bawah setelah itu.

Selama ini, Nadhira hanya hidup dalam rasa pasrah juga keterdiaman ketika di olok-olok.

Haruskah ia benar-benar menunjukkan keberanian sekarang? Tapi demi Tuhan, Nadhira takut sekali. Terlalu banyak yang memberontak di dalam diri, tentang kasta antara dirinya dan Mahesa juga tentang hidupnya yang tidak banyak memiliki makhluk bumi yang mengelilingi. Orang tua saja tak punya, bagaimana mungkin bisa mudah akrab dengan orang lain yang tak sedarah? Satu-satunya cinta yang Nadhira terima adalah dari sang nenek, namun Asih juga sudah terlanjur pergi. Terlebih, Mahesa membencinya setengah mati.

Perceraian.

Satu kata itu sungguh mengerikan. Namun, jika Nadhira tidak mencoba untuk 'terlihat" di mata suami, bagaimana dia bisa mencegah itu?

Namun, Nadhira yang terancam tidak mempunyai sokongan kepedulian dari siapa-siapa ini, sebesar apa sih nyalinya menghadapi Mahesa dan keluarga?

Ya Tuhan...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status