Share

BAB 6 : "Bak Langit dan Bumi."

“Permisi Kak, ada yang bisa saya bantu?”

Rini menyapa ramah pada seorang wanita berbadan tinggi menjulang, sangat jarang untuk warga lokal kebanyakan. Ia bahkan sampai harus mendongak agar bisa menatap dari mata ke mata. Kesopanan yang selalu ia tunjukkan ketika menyambut pelanggan.

Rini jelas tau siapa yang ada di hadapannya sekarang, seorang yang sejujurnya tidak ia sukai sebab karena dia, Nadhira acap kali bersedih hati. Namun, karena harus profesional, ia harus mengesampingkan semua hal itu. Memilah antara hal pribadi juga pekerjaan. Rini biarkan dirinya yang menyambut pelanggan sebab ia tau sekali Nadhira tidak akan menyambut pembeli pertama mereka hari ini.

“Saya mau mencari bunga untuk diberikan kepada seseorang yang baru saja melahirkan. Bunga apa ya yang cocok kira-kira Mbak?”

Rini sempat tergugu, ia baru bekerja kurang dari setahun belakangan. Pengetahuannya tentang segala filosofi bunga jelas masih tidak terlalu banyak. Ia perlu memeras otaknya lebih dulu untuk mengingat segala penjelasan Nadhira tentang bunga-bunga yang ada di tokonya.

“Mau bunga hidup yang ditaruh di dalam pot atau bunga yang ditaruh di dalam buket saja Kak?”

Rini seketika menahan napas melihat Nadhira yang mendekat juga menyahut demikian. Nampak juga begitu profesional dengan senyum ramah yang tersemat di bibir tipisnya.

“Hmm saya enggak terlalu mengerti sebenarnya. Tapi lebih baik dengan buket saja deh. Diisi dengan berbagai macam bunga juga enggak apa-apa Mbak.”

Suara seorang Jennitha begitu merdu dan lembut terdengar. Gesturenya begitu anggun dan mewah bahkan hanya dengan dress putih gading polos yang melekat di badan. Bibir tebalnya yang terpoles lipmatte berwarna nude membuatnya terlihat semakin seksi. Rambut coklat gelapnya bergelombang halus menunjukkan kalau gemilang yang ditunjukkan merupakan hasil dari perawatan salon mahal ternama.

Satu pernyataan, seorang Jennitha memang begitu cantik luar biasa.

Dan Nadhira mendapati tenggorokannya tercekat melihat betapa tanpa celanya wanita berumur dua puluh delapan tahun itu.

Begitu jauh berbeda dengan dirinya yang lebih memilih untuk menabung daripada menghaburkan uang hanya untuk merawat rambut.

Nadhira sudah pernah beberapa kali melihat Jennitha dari jarak jauh karena ia sering mampir ke rumah keluarga Brijaya namun melihatnya secara langsung dengan berhadapan begini membuat Nadhira segera mengerti mengapa hubungan sang model yang sudah berpindah haluan menjadi pemilik bisnis skincare ternama bisa bertahan hingga empat tahun dengan Mahesa. Kecantikannya memikat dan aura bersinarnya begitu menyilaukan.

Betapa ironi, perbedaan Jennitha dan Nadhira benar-benar bak langit dan bumi.

Nadhira sebenarnya ingin kabur tadi ketika melihat siapa yang masuk ke dalam toko bunganya, ia tidak sanggup menghadapi Jennitha dengan wajah yang saling bertatapan langsung. Namun, sadar kalau wanita itu adalah pelanggan pun kekasih suaminya itu juga jelas tidak mengetahui siapa dirinya, Nadhira memberanikan diri mendekat. Membantu Rini untuk memberikan penjelasan kepada calon pembeli mereka.

“Baik, untuk seseorang yang baru melahirkan ya? Saya merekomendasikan bunga yang memiliki aroma menyegarkan seperti bunga—“ Nadhira menjelaskan dengan begitu luwes, merekomendasikan berbagai bunga juga filosofinya yang sudah ia hafal di luar kepala. Sejenak, sempat melupakan kalau orang yang ia ajak bicara adalah kekasih dari suaminya sendiri saking menghayatinya ia dalam bekerja.

Jennitha menyetujui rekomendasinya tanpa banyak sanggahan. Setelah bunga dipilih, Rini dengan sigap menatanya ke dalam buket sedang Nadhira menunggu di meja kasir. Diam memperhatikan Jennitha yang nampak sumringah melihat bunga yang mulai disusun oleh Rini, nampak puas dengan segala rekomendasi yang Nadhira berikan.

Tatapan Nadhira kemudian beralih keluar ruangan. Ruangan depan sepenuhnya kaca sehingga ia bisa melihat sebuah mobil yang mengisi parkiran. Bagian depannya menghadap jalanan sehingga penghuni di dalamnya pasti juga menatap hal yang sama.

Itu kendaraan pribadi yang sering Mahesa gunakan untuk berangkat bekerja sehari-hari. Nadhira hafal plat nomornya bahkan juga sedikit baret kecil yang ada di bagian belakang ujung kanan yang menjadi ciri. Tadi pagi, Mahesa bilang ia akan menjemput sang kekasih, tidak menyangka saja Nadhira mereka bakalan mampir untuk membeli bunga.

Nadhira yakin seratus persen kalau Mahesa tidak tau kalau toko bunga yang ia datangi sekarang adalah milik istrinya sendiri. Mahesa tidak sepenasaran itu tentang hidupnya. Baginya, pasti bukan hal penting pekerjaan apa yang Nadhira lakoni. Eksistensi Nadhira tidak sepenting itu untuk membuatnya bertanya-tanya.

Dan Nadhira akan mengubah pola pikir pria itu sebentar lagi.

“Mbak? Bunganya cantik banget. Terimakasih ya. Berapa Mbak harganya?”

Lalu, seorang Jennitha tau-tau muncul di hadapannya. Dengan senyum sumringah penuh keramahan bahkan juga ucapan terimakasih dari bibirnya.

Nadhira jadi bertanya-tanya, bisa kah wanita itu memberikan senyum yang sama jika saja tau apa status wanita di hadapannya sekarang?

Tentu saja tidak mungkin.

Hal paling kecil yang sudah bisa Nadhira perkira kan sih, pertama-tama ia akan babak belur karena dihajar oleh heels setinggi lima senti milik wanita itu.

Nadhira menyebutkan sejumlah harga lalu Jennitha membayarnya menggunakan sebuah kartu hitam yang siapa saja tau kalau tidak sembarang orang bisa memilikinya. Wanita itu kemudian melenggang pergi sedang Nadhira diam-diam menghela napas panjang. Padahal, ia berharap Mahesa turun dari mobil untuk menyadari betapa kebetulan yang terjadi sekarang begitu lucu sekaligus menyakitkan bagi Nadhira.

“Nad?”

Nadhira menggeser tatapan yang tadinya terpaku pada mobil yang padahal sudah tidak lagi terlihat belasan detik yang lalu. Ia kemudian memberikan sedikit senyum, memberitahu Rini kalau ia tidak apa-apa.

Raganya yang tidak apa-apa namun hatinya, jangan ditanya.

***

“Rin, aku tinggal sebentar ya?”

“Iya iya, santai.” Rini yang tengah memakan bekal makan siangnya itu menjawab santai. Pukul dua belas hingga jam satu, toko memang sengaja tutup untuk menikmati waktu istirahat sekaligus melakukan pembersihan setelah tadi melayani pembeli yang syukurnya hari ini, masih saja ramai seperti biasanya. “Semoga kali ini bisa ketemu Bu Raditha ya Nad. Untung-untung ada Pak Mahesa juga. Manfaatkan kesempatan sesempit apapun sebaik mungkin. Oke?”

Nadhira tersenyum geli sambil mengangguk. Setelah berpamitan sekali lagi, ia segera menjauh pergi. Menaiki ojek online yang ia pesan seperti biasa lalu melaju menuju rumah sakit paling besar yang ia tau.

Tatkala tiba di ruang perawatan Raditha, Nadhira tak lantas langsung masuk. Benar saja dugaannya, ada orang di dalamnya.

Itu Mahesa, oh juga seorang Jennitha tentu saja.

Untuk apalagi wanita itu datang? Tidak cukup kah kemarin itu? Nadhira tidak bisa menahan senyum getirnya tatkala memikirkan berbagai macam spekulasi yang muncul di dalam kepala.

Tiba-tiba saja, Mahesa dan Jennitha nampak berjalan menuju pintu sehingga Nadhira buru-buru menjauh, bersembunyi di balik belokan lorong. Mengintip dengan begitu hati-hati disana dengan jantung yang berpacu sebab cemas ketahuan.

“Benar enggak mau diantar?”

Suara lembut Mahesa yang begitu Nadhira damba terdengar. Sayangnya, tidak ditujukkan untuknya.

“Iya. Aku ada rapat setelah ini, kan mau launching produk baru jadi sedikit lebih sibuk dari hari biasanya. Mumpung kamu ambil cuti hari ini, sedikit lebih lama saja menjaga Oma, setelahnya mending istirahat.”

Ah, Mahesa mengambil cuti sehari rupanya. Sakit sekali mengetahui ia itu dari hasil menguping pembicaraan sang suami dengan kekasihnya.

“Oke. Hati-hati ya?”

“Iyaa. I love you, By.”

Nadhira langsung memundurkan kepala ketika Jennitha mencium singkat bibir Mahesa. Tangannya mengepal kuat karena tidak memperkirakan harus melihat adegan intim itu secara langsung.

“I love you too.”

Dan makin hancurlah hati Nadhira mendengar balasan dari Mahesa. Jangankan mendengar pernyataan itu untuknya, mengobrol lebih dari tiga kalimat saja sudah sangat sulit ia lakukan dengan suami sebab selain kalimatnya yang mungkin dipatahkan dengan emosi, Mahesa pasti akan memilih menjauh pergi.

Karena tidak lagi mendengarkan suara apapun, Nadhira memberanikan diri untuk kembali mengintip. Jennitha sudah masuk ke dalam lift.

Manfaatkan kesempatan sesempit apapun sebaik mungkin. Nasihat dari Rini menggema di dalam kepala dan entah dari mana datangnya rasa berani itu, mungkin bersumber dari rasa sakit hati yang tadi muncul melihat kemesraan Mahesa dengan kekasih tersayangnya, Nadhira keluar dari persembunyian dengan langkah pasti. Tertuju lurus pada Mahesa yang sudah ingin kembali membuka pintu ruangan Raditha.

Kali ini, ada ekspresi lain di wajah pria itu selain hanya datar juga kekakuan. Ada rasa terkejut disana dan Nadhira entah kenapa puas melihat itu. Untuk pertama kalinya ia melihat suaminya berekspresi lebih banyak untuknya. Maka, langkahnya semakin ia pacu lebih cepat untuk mendekat, merasa semakin yakin.

“Kamu...” suara Mahesa nampak menggantung, terdengar geraman menahan amarah disana.

“Mas, aku—“

Kalimat Nadhira seketika terpotong kala Mahesa menarik cukup kasar tangannya untuk masuk ke dalam ruangan lalu segera menutup pintu dengan cepat. Seakan cemas keberadaan mereka berdua diketahui orang lain, mungkin Jennitha atau juga keluarga pasien yang kebetulan satu lantai dengan Raditha. Nadhira mengerti kekhawatiran itu, status Jennitha sebagai seorang influencer kecantikan jelas juga merembet nama Mahesa untuk dikenal khalayak ramai sebab kekasihnya itu tidak pernah ragu untuk mempublikasikan hubungannya dengan Mahesa. Malahan karena hal tersebut namanya menjadi semakin bersinar sebab Mahesa dengan visual tampannya, begitu menggiurkan untuk menjadi konsumsi publik.

“Kamu gila?”

Suara mesin yang mengeluarkan bunyi detak jantung konstan dari Raditha yang terbaring di atas ranjang juga dinginnya ruangan semakin membuat mencekam suasana. Nadhira yang tadinya terpekur pada tubuh ringkih Raditha seketika menoleh mendengar geraman menahan amarah dari suaminya.

“Aku enggak gila. Sudah aku bipang, aku cuman mau melihat keadaan Oma,” ujarnya menjawab dengan suara yang mencicit layaknya tikus pun satu tangannya yang ada di belakang tubuh sudah mengepal untuk memusatkan energi agar keberaniannya tidak goyah dengan mudah.

Bisa Nadhira lihat raut wajah Mahesa yang keras juga tatapannya yang seakan berkobar penuh lambaian api. Berkilat emosi, semudah itu ia mengubah suasana hati hanya karena kehadiran istri yang enggan ia akui. Rasanya de javu, Mahesa juga memberikan tatapan semacam itu tadi malam, bahkan jauh lebih parah.

“Kamu lupa ingatan secepat itu? Lupa dengan apa yang terjadi tadi malam?”

Nadhira menggeleng. Sakit yang menusuk-nusuk itu kembali menghantam dada. “Oma juga Omaku, Mas. Coba Mas tanya saja kalau Oma nanti sadar.” Oh sungguh Nadhira berharap hal itu betulan terjadi. “Oma pasti juga mengakui aku sebagai salah satu cucunya. Mas dan keluarga boleh jadi enggak memperlakukanku dengan baik, tapi Oma selalu menyayangiku dengan tulus. Sejak dulu aku menemani Oma setiap hari. Tapi—tapi karena Mas melarangku menemui Oma seminggu terakhir, tragedi semacam ini bisa terjadi. Oma koma," lirihnya.

Benar. Semenjak mendiang neneknya meninggal, Nadhira diperintahkan langsung oleh Raditha untuk merawat wanita itu. Lebih tepatnya sih, hanya menemaninya saja sebab walaupun umurnya sudah delapan puluh satu, Raditha masih sangat bisa berjalan dengan baik. Ia bisa melakukan segala urusannya sendiri, hanya saja ia meminta ditemani dan Nadhira lah yang ia perintahkan untuk itu.

Namun nampaknya, Mahesa juga keluarganya tidak menyukai kedekatan itu. Suaminya memerintahkan Nadhira untuk berhenti menemui Raditha sudah dari seminggu yang lalu. Menyuruhnya untuk mengabaikan segala permintaan bertemu Raditha. Nadhira sudah memprotes namun tekanan dari mertua juga saudara-saudara Mahesa membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa. Nadhira terpaksa patuh pada suatu hal yang sejujurnya sangat tidak mau untuk dilakukan.

Jangan tanyakan, mata sembab Nadhira yang masih terlihat sampai sekarang sudah menjadi bukti betapa menyesalnya ia.

“Kamu menyalahkan saya?” Mahesa maju satu langkah, memberikan tatapan yang semakin menusuk.

“Enggak.” Nadhira menjawab tak bertenaga. “Aku tau ini sudah takdir, hanya saja aku menyesal mematuhi permintaan Mas dan keluarga. Aku padahal bisa menjaga Oma dengan lebih baik. Aku merasa jahat sudah mengabaikan Oma seminggu belakangan, Mas. Jadi tolong, biarkan aku melihat Oma.” Nadhira bersuara penuh permohonan. “Kenapa sih Mas dari kemarin melarangku sebegitunya? Mas bisa bawa aku untuk periksa sekarang, mumpung kita lagi di rumah sakit. Untuk membuktikan kalau aku enggak punya penyakit menular sama sekali.”

Lagi, Mahesa nampak terkejut mendengar sahutan Nadhira namun ia menyamarkan itu dengan dengusan. “Bukan karena itu, tapi karena kelicikan kamu yang bisa saja memanipulasi Oma.”

Seketika, Nadhira ternganga mendengar itu. “Licik? Aku? Dan apa tadi? Memanipulasi Oma? Memangnya apa yang aku lakukan Mas...? Secuil pun bahkan aku enggak pernah menerima segala hadiah juga uang yang Oma berikan. Tanyakan saja pada asisten Oma yang mengatur segala keuangan Oma kalau Mas enggak percaya. Astaga…Bisa-bisanya Mas berpikiran begitu.” Nadhira benar-benar terhenyak dengan tudingan yang Mahesa berikan.

“Bohong. Kamu pikir saya dan kamu yang menikah bisa terjadi karena apa kalau bukan kamu yang berusaha menghasut Oma? Terlebih, jangan terlalu jumawa, boleh jadi Oma termakan segala sikap sok baik kamu sehingga mengakui kamu sebagai bagian dari keluarga tapi tidak dengan saya dan keluarga yang lain. Karena kamu, masa depan saya menjadi sulit. Total berantakan, kamu tau?”

“Tapi aku enggak menghasut Oma.” Nadhira memberikan penegasan dalam upayanya untuk mematahkan segala pikiran buruk Mahesa. “Aku sama sekali enggak pernah menghasut Oma.” Ia bahkan mengulangnya dengan suara yang gemetar, merasa begitu terluka akibat dituduh sehina itu. “Aku juga hanya menjalankan perintah dari Oma, Mas. Kenapa selalu aku yang selalu disalahkan? Sama seperti Mas yang enggak berdaya, aku pun begitu karena aku juga enggak bisa menolak kemauan Oma sebab merasa berutang banyak budi dengan beliau. Enggak bisa ya Mas sedikit saja melihat aku dari sisi yang positif? Aku enggak akan memaksa Mas Mahesa menerima aku secepat mungkin, tapi tolong…Bisa nggak setidaknya sedikit aja perlakukan aku dengan manusiawi? Walaupun Mas belum mau menerima, secara agama juga hukum negara aku tetap istri Mas Mahesa.” Sorot mata Nadhira meredup tatkala mendongak menatap suaminya tanpa henti.

Mahesa sempat terdiam sebab sialnya ia terkejut lagi. Bukan apa-apa, semenjak insiden dirinya yang memarahi Nadhira dengan begitu besar sampai melempar piring di seminggu pertama pernikahan mereka, wanita itu tidak lagi berusaha mencoba melakukan peran sebagai seorang istri. Mereka memang tinggal bersama namun benar-benar layaknya orang asing, bahkan mengobrol saja tidak. Nadhira hanya membersihkan rumah, tau diri karena sudah menumpang tinggal. Tidak ada interaksi, kalau pun ada pasti hanya di hadapan Raditha. Jadi, wajar bukan Mahesa tercengang melihat wanita di hadapannya ini yang banyak sekali bicara? Bahkan membantahnya juga?

“Kamu ini kerasukan apa?” Bukan bermaksud melempar lelucon, Mahesa hanya terlalu tidak habis pikir.

Kerasukan rasa takut ditinggalkan, jawab Nadhira di dalam hati.

“Karena aku istri Mas yang sah, aku cuman ingin memberitahu saja, aku enggak lagi bakalan terus mengikuti arus yang Mahesa lakukan dari kemarin-kemarin. Aku enggak mau menanggung dosa lebih banyak karena enggak bisa melakukan peran seorang istri dengan sebaik-baiknya.” Tatapan sendu Nadhira mencoba melawan kobar api di manik mata Mahesa.

"Tolong Mas...Tolong lihat aku sebagai seorang istri..."

Ratapan Nadhira, hanya dibalas dengan keterdiaman Mahesa. Pun isak tangis wanita itu, ia biarkan mengalun pilu. Dan pada akhirnya, pria itu berdecak lalu memilih pergi tanpa rasa kasihan sama sekali.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status