Share

BAB 4 : "Nadhira Tidak Akan Menyerah."

Nadhira hanya punya satu prinsip. Ia hidup untuk hari ini dan apa yang terjadi di masa lalu, biarlah menjadi memori.

Caranya untuk terus menyambung hidup adalah dengan mengikhlaskan segala rasa sakit yang malangnya, muncul terlalu sering.

Nadhira boleh jadi hancur berkeping-keping kemarin. Boleh jadi, bantalnya basah akan air mata lagi namun, Tuhan masih memberikannya napas keesokan harinya.

Itu berarti, ia disuruh untuk berjuang lagi, bukan? Tuhan tau, ia masih punya kekuatan untuk menjalankan segalanya, bukan?

Pengusiran keluarga Mahesa masih memberikan bekas dalam rasa trauma. Ancaman suaminya yang mengancamnya untuk terus bersembunyi makin menekan dalam rasa keberanian dan percaya diri.

Tapi entah bagaimana Nadhira bangun lebih pagi dari jam yang biasanya hari ini. Satu jam lebih awal tepatnya, setelah beribadah ia segera mandi lalu berpakaian dengan…Sedikit lebih niat. Nadhira bahkan memberikan riasan di wajah juga memakai lotion badan juga parfum yang cukup.

Nadhira tidak tau apa yang terjadi dengannya hari ini. Yang jelas, apa yang begitu mengguncangnya kemarin mengebaskan hati hingga membuatnya nampak tidak berpikiran rasional.

Penolakan keras Mahesa hanya membuatnya semakin merasa takut untuk ditinggalkan. Dan disinilah ia sekarang, memulai kembali rencana untuk menarik perhatian sang suami.

Aku enggak mau cerai dengan Mas Mahesa. Aku benar-benar enggak mau cerai! Batinnya terus mengulang kalimat itu tatkala menghadap cermin. Seperti kaset rusak yang sudah terlalu sering diputar. Padahal, keadaannya begitu menyedihkan. Apa-apaan mata sembab nan bengkak itu? Dan, duh, betapa menyedihkannya wajah pucat nan sayu itu?

Setelah melempar senyum miris di hadapan cermin, Nadhira segera keluar dari kamar menuju dapur.

Matahari belum timbul namun Nadhira sudah bersiap untuk membuat sarapan sebab ia tau kalau Mahesa akan selalu berangkat bekerja di pukul tujuh pagi.

Mengejutkan, Nadhira pikir Mahesa tidak akan pulang namun ia nyatanya datang di jam dua belas malam lewat sedikit.

Dan Nadhira menganggap itu sebagai sebuah kesempatan untuknya yang kedua kali.

Omong-omong, sudah berapa lama ia tidak membuat sarapan? Dulu sekali, ketika awal-awal pernikahan, Nadhira berusaha untuk menjalankan peran seorang istri dengan sebaik yang ia bisa. Walaupun hatinya cukup tersentil ketika Mahesa bilang kalau mereka akan tinggal di kamar yang terpisah dan pria itu melarang Nadhira untuk naik ke lantai dua sebab itu merupakan wilayah privasinya yang tidak pernah ia inginkan untuk diganggu siapa-siapa, Nadhira tetap mencoba melayani sang suami. Salah satunya adalah menyiapkan sarapan sebelum Mahesa berangkat bekerja.

Namun, apa yang ia persiapkan ditolak mentah-mentah. Di hari pertama, Mahesa bilang Nadhira tidak perlu repot-repot sebab dia tidak akan mau menyantap sarapan apapun yang Nadhira persiapkan. Namun, bukan Nadhira namanya kalau menyerah. Mencari siapa ayahnya hingga detik ini saja ia masih gigih, apalagi sekedar menyiapkan sarapan?

Di beberapa hari selanjutnya, ketika Nadhira sama sekali tidak menggubris larangannya, Mahesa sudah nampak naik pitam. Lalu entah ke hari yang berapa belas, Mahesa sudah melempar piring berisi omelet keju hingga berserakan berantakan di lantai. Memberikan ancaman juga cibiran tentang Nadhira yang tidak akan pernah ia akui sebagai istri.

Lalu, setelah hari itu, Nadhira terpaksa menuruti kemauan Mahesa. Dia tidak lagi menyiapkan sarapan, juga tidak lagi berani memasak untuk makan siang apalagi makan malam. Selain takut dengan reaksi Mahesa, ia juga sayang melihat makanan yang berakhir di tong sampah sebab Nadhira tidak bisa menghabiskan makanan yang sudah ia siapkan seorang diri. Entah kenapa Mahesa tidak mempekerjakan pembantu, mungkin ia sudah menganggap Nadhira demikian. Betapa mirisnya.

Hingga sekarang setahun lebih pernikahannya dengan sang suami, Nadhira biasanya hanya mengintip Mahesa yang berangkat bekerja dari pintu kamarnya yang tepat berada di sebelah tangga terbawah, langsung lurus menghadap pintu utama. Mendoakan suaminya agar sampai di tempat kerja dengan selamat lalu mengucapkan maaf dalam diam tentang Mahesa yang harus repot-repot makan sarapan di luar padahal itu juga kemauan pria itu sendiri. Lalu, berangkat kerja setelah itu kemudian sore hari akan pulang lalu menunggu Mahesa pulang. Terus begitu setiap hari. Sungguh, Nadhira memiliki kesabaran seluas samudera.

Itulah kenapa kejadian kemarin masih bisa membuatnya bangkit lagi dengan cepat.

Dan hari ini, Nadhira mencoba berani melakukan perbedaan. Dirinya akan mencoba tidak lagi bersembunyi sebab trauma akan kemarahan Mahesa. Mencoba tidak lagi peduli akan sang suami yang terus mendorongnya menjauh juga semakin membangun tembok batas walau baru selangkah Nadhira ingin memanjat kokohnya tembok itu.

Kali ini, Nadhira ingin menerjang sebab nyatanya ia lebih takut untuk ditinggalkan dari pada hanya sekedar untuk dimarahi.

Dan tolong, doakan Nadhira untuk tidak lagi akibat rasa takut yang menghantui.

Nadhira menghembuskan napas keras-keras sambil menepuk-nepuk dada untuk mengendalikan rasa cemas yang tiba-tiba saja datang. Sudah sangat lama baginya tidak menyiapkan makanan untuk Mahesa dan Nadhira sebenarnya tau, kemungkinan pria itu untuk duduk menyantap makanan ia yang buat nyaris tidak lebih dari satu persen alias hanya nol koma sekian saja. Namun Nadhira tau kalau dirinya tidak mencoba, ia tidak akan bisa mengubah keadaan sampai kapan pun.

Nadhira ingin ‘terlihat’ di mata Mahesa. Itu untuk yang permulaan lalu setelahnya, Nadhira ingin diakui sebagai istri juga terikat dengan suaminya.

Nadhira ingin tidur dengan Mahesa. Agar, benih pria itu hadir di dalam rahimnya. Sehingga, suaminya tidak akan mungkin dengan mudah menceraikannya begitu saja.

Ya, begitulah rencana gila yang muncul dadakan kemarin malam.

Apakah terlalu berlebihan? Kecam saja Nadhira nanti, sekarang ada hal yang lebih penting untuk ia hadapi.

Nadhira memang terlihat kalem di luar namun terlalu banyak kejadian beresiko yang selama ini ia hadapi. Untuk sekarang, Nadhira hanya punya diri sendiri sebab ayahnya belum ia temukan keberadaannya namun, justru karena itu dia tidak memiliki kerugian apa-apa.

Intinya, Nadhira akan berusaha untuk Mahesa. Itu saja.

Maka, setelah menguncir rambut panjangnya menggunakan jedai agar tidak mengganggu kegiatannya untuk memasak, Nadhira mulai mengeluarkan bahan-bahan makanan dari dalam lemari pendingin.

Ia mulai memasak smoke beef juga membuat telur ceplok yang bulat sempurna untuk isian sandwich. Ia juga menyiapkan selada sebagai sayuran. Tidak memakai tomat sebab Mahesa tidak menyukai rasa dan teksturnya. Ia bisa memakan saos tomat namun tidak bisa memakan tomat itu sendiri alias harus diolah lebih dahulu.

Terimakasih kepada Raditha yang selalu menceritakan tentang Mahesa sehingga Nadhira sudah tau segala kebiasaan kecil pria itu tanpa harus bertanya. Bertanya juga tidak mungkin sebab Mahesa tidak akan mau menjawab.

Nanti mau kok, Nad. Ada saatnya kamu bisa berbicara hal-hal yang tidak penting dengan suami kamu. Jadi, teruslah berusaha agar masa itu bisa tiba. Hatinya menyemangati walaupun ada rasa sesak yang mengiringi.

Nadhira menyiapkan dua potong sandwich, segelas kopi susu juga buah-buahan yang sudah ia cuci kemudian taruh di dalam keranjang bulat. Raditha bilang, Mahesa itu makannya lumayan banyak, dia lebih menyukai makanan tradisional dari pada makanan Asia lainnya atau bahkan Western.

Lidahnya adalah lidah lokal walaupun ada keturunan setengah Inggris dari sang ayah. Sedih sekali rasanya Mahesa tidak mau mencicipi makanan buatannya padahal Nadhira percaya diri dengan segala masakan yang ia buat. Pasti mirip dengan makanan yang sering mendiang neneknya sajikan untuk Mahesa dan keluarga santap di rumah utama tempat Ando dan Rusmala juga Raditha tinggali.

Pasti ada kesempatan lain, Nadhira. Tenanglah. Terimakasih kepada api di dalam hatinya yang tidak mudah padam ini. Karenanya, Nara selalu bisa bertahan bagaimana pun sakitnya keadaannya.

Nadhira tersenyum sempurna menatap makanan yang tersaji di atas meja. Sudah jam setengah tujuh, Mahesa pasti sebentar lagi akan keluar dari kamarnya.

Nadhira buru-buru ke kamar hanya untuk memastikan riasannya masih baik-baik saja juga kembali menyemprotkan parfum beraroma menenangkan juga tidak terlalu menyengat yang menurutnya sangat cocok dengan kepribadiannya.

Ia segera kembali ke dapur, duduk dengan tegang, kembali menunggu Mahesa. Sebuah kegiatan yang selalu ia lakukan untuk sang suami.

Menunggu Mahesa datang.

Menunggu Mahesa pulang.

Juga, menunggu Mahesa untuk mengakui dan membalas perasaannya.

“Apa yang kamu lakukan?”

Suara yang terdengar begitu tidak bersahabat itu menyentak Nadhira yang tenggelam dalam belenggu kesedihan memikirkan nasib rumah tangganya. Kepalanya segera mendongak dan senyum tulusnya muncul dengan mudah. Seakan kemarin Mahesa tidak mendorong tubuhnya ke tembok lalu memberikan ancaman untuk terus bersembunyi.

Sungguh kemarin itu, terbesit pikiran untuk keluar lalu menghadap Jennitha. Mengatakan kalau dirinya adalah istri sah seorang Mahesa. Namun, sayangnya keberanian Nadhira masih di bawah rata-rata. Ia yakin, ada cara yang lebih efektif dan itulah yang ia lakukan.

Tapi, ketika Mahesa sudah menghadapnya, mengapa yang terbayang hanya kilat ancaman pria itu kemarin?

“Mas Mahes, aku sudah menyiapkan sarapkan. Makan dulu ya?” Nadhira berucap dengan menahan getar rasa gugup di dalam suaranya. Melawan segala rasa takut yang kembali ingin menenggelamkannya.

Alis tebal Mahesa nampak terangkat sebelah. Tentu saja keheranan setengah mati akan apa yang Nadhira lakukan.

“Apa yang merasukimu?” Dan pria itu tidak bisa menahan perasaan ketidakmengertiannya. Ia kembali bertanya tidak habis pikir. Sudah lama ia hidup cukup tenang sebab Nadhira tidak memberi gangguan berarti di hubungan mereka, salah satunya adalah dengan tidak bersikap seperti layaknya seorang istri. Lalu, apa-apaan kemarin itu? Juga sekarang ini?

Nadhira hanya terus tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Coba deh di makan sandwichnya Mas, smoke beefnya banyak. Kesukaan Mas bukan?”

“Kamu memang sedang tidak waras rupanya.” Mahesa masih tidak merespon sama sekali apapun yang Nadhira ucapkan sejak tadi. Ia masih ingin menyuarakan keheranannya akan sikap Nadhira. Lihatlah wanita itu, mau kemana ia dengan celana kain panjang juga cardigan rajut berwarna soft pink yang melapisi kaos putihnya itu? Terlebih dengan riasan tipis yang sepanjang sedikit ingatan Mahesa tentang Nadhira jarang menempel di wajah kuning langsatnya?

“Sudah lupa dengan larangan saya? Perlu saya ingatkan lagi?”

Ada yang mengkerut gemetar di dalam jiwanya setelah mendengar suara berat penuh nada otoriter itu. Ekspresi ketidaksukaan itu kembali muncul ketika Mahesa menatap semua makanan yang masih ada di atas meja.

“Dicoba sedikit dulu aja Mas. Siapa tau Mas Mahes suka.” Suara Nadhira mengecil. Masih mencoba berusaha.

Mahesa berdecih. “Saya tidak mau,” tegasnya. “Saya tidak akan memakan makanan apapun yang dibuat oleh seseorang yang sudah membuat rumit hidup saya dengan sedemikian rupa.”

Kring Kring Kring!

Dering sialan itu, kembali lagi.

Mahesa nampak mengeluarkan handphone dari saku celana, ekspresinya yang tadinya mengeras sedikit melunak.

“Ya By?”

Nadhira pun mematung terpaku.

“Iya. Aku jemput sekarang. Sebentar ya?” Mahesa mengucapkan itu sambil sengaja terang-terangan menatap Nadhria. Seakan menantang juga menunjukkan dengan bangga kalau yang tengah dirinya telepon sekarang adalah orang yang paling spesial.

Ya Tuhan… Jennitha lagi?

Mahesa memberikan lirikan tanpa emosi lalu segera menjauh, sambil terus berbicara dengan nada suara lembut yang sekali pun tidak pernah ia tunjukkan kepada Nadhira, istrinya sendiri.

Bahu Nadhira lemas, menurun sendu setelah mendengar suara deruman mobil yang menjauh.

Penolakan Mahesa sudah ia duga namun rasa pilunya masih tidak mampu untuk ia kendalikan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status