Dahayu mendongak mendapati dua orang yang sangat dia kenal.
Yesti dan Aksa. Dua pasang mata itu melebar terkejut mendapati pemandangan mengenaskan di dekat Dahayu yang bersimpuh layu lengkap dengan wajah berantakan yang sangat memprihatinkan. Alis pekat Aksa berkerut tajam, tatapannya teramat dingin. Hatinya pilu melihat istri kecilnya yang menyedihkan. Wajah bengkak yang penuh luka, gaun indah yang dia belikan sudah berubah menjadi rombeng lantaran sobek di mana-mana, dan juga beberapa luka lebam di tangan ramping yang biasanya terlihat putih mulus. Kaki panjang Aksa segera tertekuk, jongkok. Tanpa ragu dia membawa Dahayu dalam pelukan, guna memberi ketenangan. "Ayu, apa yang terjadi denganmu?" Setitik kecemburuan hadir menghinggapi hati Yesti yang memandang. 'Sial, seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya Aksa membencinya saat perempuan itu melayani dua laki-laki sekaligus,' batin Yesti kesal, lantaran semua terjadi tak sesuai dengan yang dia harapkan. Rona wajah Dahayu masih sangat terlihat pucat dan sama sekali tak berekspresi meski sekarang sudah dalam dekapan hangat sang suami. "Mereka mati," ucap Dahayu lirih yang membuat Aksa menoleh pada dua pria yang terkapar mengenaskan. Aksa hanya menarik napas dalam, dia tak berucap apa-apa juga tak ingin membenarkan tindakan Dahayu. Namun, Aksa yakin Dahayu mempunyai alasan kuat, hingga melakukan tindakan sejauh itu. Yesti yang geram memunculkan sorot tajam di mata, hatinya yang memburuk mulai ingin menyudutkan Dahayu. "Dahayu, apa yang kamu lakukan? Kamu ingin membuat keluarga Jayanta malu dengan kelakuan kejimu itu! Lihat tangan kotormu telah melenyapkan dua orang sekaligus!" Mendengar seruan Yesti, Dahayu semakin gemetaran. Gadis itu kian merasa bersalah pada Aksa, meski dia sangat ingin berpisah dengannya. Dahayu yang sebelumnya sempat membeku akibat kedatangan begitu banyak orang secara mendadak, tiba-tiba kembali bergetar ketakutan dan terisak. Seketika tatapan Aksa tertuju pada Yesti dengan binar mata gelap yang teramat suram menyatu dengan gelapnya malam. Dengan kondisi Dahayu yang sama sekali tidak baik, seharusnya Yesti bisa lebih bijak dalam mengambil kesimpulan. Tapi istri pertamanya ini seperti sengaja menuang minyak pada api yang baru saja menyala, hingga semua orang yang menyaksikan itu terbakar untuk untuk menggali lebih dalam. Bukannya Yesti tidak tahu dengan tatapan permusuhan yang ditunjukan Aksa, tapi dia menempatkan diri pada pihak yang benar dan terus menyudutkan Dahayu. "Dahayu, apa kamu ini orang tak tahu diri? Aksa memungutmu dari bak sampah dan menjadikanmu putri raja, inikah balasanmu untuknya?!" "Yesti!" hardik Aksa dengan tatapan menusuk. "Aksa, kamu tidak perlu membelanya. Kenyataan sudah menunjukan, gadis yang tidak dilahirkan dari keluarga bermartabat, memang tidak mempunyai etika yang baik. Percuma kamu mempertahankan dia di sisimu." Semua orang yang kembali berbisik-bisik menanyakan siapa sebenarnya Dahayu? Mendengar apa yang dilontarkan Yesti, mereka langsung menangkap jika Dahayu bukan murni keluarga Jayanta. "Siapa dia? Apakah dia anak pungut?" "Tuan dan nyonya Jayanta masih muda. Apakah mereka mengadopsi anak gadis?" "Seharusnya mereka mengadopsi bayi, agar bisa dididik dari nol. Jika mereka mengadopsi gadis remaja seperti ini, mana mereka tahu seburuk apa didikan gadis ini sebelumnya." "Nyonya Jayanta, sebenarnya siapa gadis ini?" celetuk seseorang tak tahan memendam rasa penasaran. Yesti tak menjawab, dia ingin menggiring opini miring di benak semua orang tentang Dahayu. Dia masih menunggu Aksa membeberkan sendiri status Dahayu pada khalayak umum. Aksa kembali pada Dahayu yang bersandar takut di dadanya. Kemudian bertanya, "Apa yang terjadi?" Dahayu menatap dua orang yang tergelak di lantai dan menjawab dengan gemetar. "Mereka ... mereka ... mereka ingin melecehkan saya. Saya tidak ingin membunuh mereka." Mata gelap Aksa semakin pekat, rahangnya mengerat tajam, memandang dua orang yang tergeletak dengan penuh kebencian. "Kalau begitu biarkan mereka mati." Semua orang terkejut dan membekap mulut mereka setelah mendengar kata datar dan jahat yang baru saja keluar dari mulut Aksa. Dalam benak semua orang, 'apa dia bukan manusia? Begitu mudahnya dia memutuskan kematian seseorang.' Yesti sendiri tidak menyangka jika Aksa akan berkata demikian. Sepuluh jarinya meremas kuat. "Aksa, apa kamu sudah dibutakan oleh gadis udik ini? Hingga mengabaikan tangan jahatnya yang membunuh orang." "Jika kamu hanya datang untuk mencela, lebih baik kamu pulang," usir Aksa datar dan terlihat tidak peduli. Aksa hendak mengangkat tubuh Dahayu, tapi perempuan itu segera mendongak dan berkata lirih. "Tuan, mungkin mereka masih bisa diselamatkan, panggil ambulans." Aksa menatap Dahayu sejenak, mata dinginnya pun meredup, dan sungguh mengejutkan ketika dia tiba-tiba berkata, "Baiklah." Semua orang saling berpandangan, cukup bingung dengan situasi yang terjadi, tadinya Aksa begitu tidak peduli, dan berharap dua laki-laki tercela itu mati. Tapi begitu Dahayu yang meminta, bagaimana Aksa sangat mudah mengiyakan kata-kata Dahayu? Yesti semakin pahit mendapati kenyataan ini. Dia tidak menyangka jika Aksa sepeduli itu dengan Dahayu, sepertinya dia harus melakukan hal lebih untuk mencegah mereka semakin dekat dan menghancurkan hubungannya dengan Aksa. "Aksa, apa kamu sudah gila? Begitu mudahnya kamu memutuskan hidup dan mati seseorang hanya dengan kata yang keluar dari mulut gadis udik ini. Tidakkah kamu pikirkan bagaimana istri mudamu itu bisa bersama dua orang pria dan masuk ke dalam kamar hotel?" "...." "...." "...." Semua mata terbelalak lebar mendengar seruan Yesti. "Apa? Istri muda?" "Jadi dia adalah istri mudanya tuan Aksa? Pantas saja dia terlihat begitu murahan.""Tentu saja murahan, dia 'kan orang ketiga." "Astaga, apakah dia belum puas merusak rumah tangga tuan Aksa dan nyonya Yesti? Masih saja bertemu dengan dua orang laki-laki di kamar hotel." "Perebut lelaki orang, menjijikan!" "Aku sangat menyesal sebelumnya kasihan melihat dia teraniaya seperti itu. Cuih ... ternyata dia memang pantas mendapatkannya." Diam-diam Yesti tersenyum mendengar ujaran kebencian dari semua orang. Sudut matanya melirik Dahayu yang terlihat semakin terpuruk, dan itu sedikit membuat hatinya puas. Sementara mata pekat Aksa semakin menggelap, tidak akan baik jika dia terus tetap berdiam di tempat itu. Lagi, dia ingin mengangkat tubuh Dahayu. Namun, kembali gerakannya terhenti tatkala polisi datang dan berkata, "Saudari Dahayu Kanta? Segera ikut kami ke kantor polisi, untuk memberi keterangan bahwa Anda terlibat tindak percobaan pembunuhan." Dahayu hanya pasrah ketika seorang polisi memborgol tangannya. Dia benar-benar sangat lemas dan gemetaran, hingga saat pol
Dahayu terdiam lemah di salah satu bangku stasiun kereta api, terpaku menatap gerbong kereta yang beberapa saat lagi akan membawanya pergi.Cek bernilai ratusan juta dia genggam dengan erat. Ini cukup untuknya bertahan dan memulai hidup baru.Dahayu segera berdiri setelah menghela napas kasar, dia hendak masuk ke dalam kereta seperti penumpang lain.Dahayu menyamankan diri pada tempat duduk dengan tenang, dan mengosongkan pikiran berharap ini adalah awal yang baik.Tapi segera terkejut manakala seseorang meraih tangannya dan berucap, "Kamu mau ke mana?"Secara alami Dahayu menoleh dengan gerakan terkejut. "Tu-tuan ... bagaimana kamu bisa di sini?""Ayo pulang." Aksa menarik tangan Dahayu yang langsung mendapat penolakan."Saya tidak akan kembali. Saya tidak ingin menjadi orang ketiga di antara kalian. Lagipula saya adalah kriminal, saya tidak ingin mempermalukan, Tuan." Dahayu berusaha melepaskan genggaman Aksa."Kamu masih istriku, aku yang akan memutuskan kamu pergi atau tidak."Det
Dahayu merentangkan tangan di pagi hari yang damai. Seperti biasa, setelah bangun tidur dia menuju dapur untuk mengambil air putih."Pagi, Nyonya." Seorang asisten menyapa membuat Dahayu tersenyum."Pagi," jawab Dahayu kemudian menuang air putih pada gelas kaca bening di atas meja, dia tidak tahu ada sepasang mata hangat yang sedang memperhatikannya saat ini.Aksa memang telah tiba di vila tempat Dahayu tinggal sejak dua jam yang lalu, dia terpana melihat gadis remaja umur 18 tahun yang dia bawa dari desa, kini sudah tumbuh menjadi perempuan yang jauh lebih cantik dari sebelumnya.Rambut hitamnya tergerai panjang, dan jatuh secara alami menyapu punggungnya yang putih memesona, siluet hidung mungil di atas bibir tipis terlihat begitu kentara kala pancaran matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca dari arah samping.Postur tubuh yang tinggi dan ramping terlihat mengenakan gaun tidur berwarna coklat susu dengan bahan tipis, sinar matahari pun kian memperjelas lekuk indah di dala
Sebulan sebelum Aksa membawa Dahayu pergi ke kota keadaan benar-benar sangat tak menguntungkan, saat itu Dahayu pulang dari ladang dan mendengar teriakan seseorang meminta bantuan. Dia adalah Aksa yang kakinya tertimpa reruntuhan kayu di resort terbengkalai. Dahayu hendak membantu Aksa keluar dari resort tersebut, tapi mendadak hujan badai disertai petir. Sejak kecil Dahayu memang sangat takut dengan petir dan kegelapan, dia langsung menjerit dan melepaskan Aksa hingga terjatuh lantaran kakinya terluka. Aksa yang tidak berdaya hanya dapat menghela napas pasrah melihat seseorang yang dia harapkan untuk menolong malah ketakutan sendiri. Terpaksa Aksa melalui malam gelap dengan gadis desa yang tidak dia kenal, sampai mereka ditemukan warga desa yang mencari keberadaan Dahayu. Kesalahpahaman terjadi, Aksa menjadi bulan-bulanan warga desa saat dia dalam kondisi yang tidak bisa melawan. "Jangan! Jangan pukuli tuan Aksa. Dia sedang sakit! Kakinya terluka!" "Hentikan, aku mohon! Tuan A
Dahayu menuruni tangga dengan langkah pelan setelah pelayan mengatakan sarapan sudah siap.Sudah ada Aksa dan Yesti yang duduk di meja makan.Decit kursi yang digeser segera terdengar, saat Aksa menariknya.Tidak mengucapkan apa-apa, tapi itu seperti perintah untuk Dahayu agar dia duduk di samping Aksa.Dahayu menangkap aura ketidaksenangan di wajah Yesti. Selalu seperti ini sejak empat tahun yang lalu.Dahayu lelah, dan tak ingin terus mengulangi kejadian yang tidak mengenakkan itu, dia memilih pergi menuju kursi lain.Tapi belum sempat Dahayu duduk, Aksa sudah bertitah, "Mina, buang semua kursi, selain yang aku pegang."Dahayu tertegun sejenak menatap suaminya. Pria tersebut tidak membentak atau menunjukkan nada kemarahan, tapi suaranya yang rendah dan berwibawa sudah bisa membuat orang tunduk kepadanya.Dahayu menelan saliva dan duduk dengan patuh di samping Aksa, meski bayangan pertengkaran hebat disertai jerit tangis Yesti sudah menghantui."Apakah kamu tidur dengan nyenyak?" tan
Dahayu menatap senja di depan jendela kamarnya dengan melipat tangan di depan dada.Rona kuning keemasan bersembunyi di balik mendung hitam yang bergelayut bagai kapas kotor dari kejauhan.Warna kelam itu semakin terkumpul dan tebal menghalangi keindahan senja dengan cepat.Sudah pasti akan turun hujan malam ini."Nyonya." Suara Mina membuat Dahayu menoleh perlahan."Tuan membelikan gaun untuk, Nyonya. Beliau meminta Anda bersiap. Tuan besar Jayanta akan mengadakan perjamuan di kediaman utama malam ini."Kata perjamuan itu terdengar mengerikan di telinga Dahayu. Empat tahun yang lalu Dahayu mengotori tangannya untuk membunuh dua orang sekaligus gara-gara Aksa mengajaknya ke perjamuan.Tapi kali ini perjamuan diadakan di kediaman mertuanya, mungkin tidak berbahaya seperti dilakukan di hotel.Dahayu mulai mengangguk dan berkata, "Iya."Setelah Mina pergi, kilat mata Dahayu terlihat kosong usai melihat gaun warna pastel yang tampak indah.Ada yang sedang dia pikirkan dengan sangat dalam
Aksa hendak membantu Dahayu kala melihat istri kecilnya jatuh tersungkur. Namun, saat mengetahui Dahayu kembali bangkit dan membalas apa yang dilakukan Yesti, Aksa malah tersenyum samar. 'Ternyata istri kecilku memang sudah berubah,' gumam Aksa dalam hati.Dahayu terbalik dan berjalan tenang, mengabaikan tatapan aneh semua orang yang berbisik-bisik. Tepat ketika dia sampai di depan Aksa yang berdiri tegak dengan tangan bersembunyi di balik saku, Dahayu pun berhenti. "Mana yang sakit?" tanya Aksa pelan."Tidak perlu mempedulikan aku, nyonya lebih berharap perhatianmu." Dahayu hendak kembali berlenggang pergi, namun tangannya diraih Aksa."Ke mana?" Lagi, Aksa bertanya."Toilet." Jawaban singkat Dahayu membuat Aksa melepaskan genggamannya. Seperti yang dikatakan Dahayu, istri pertamanya tampak mendekat dengan wajah sedih setelah Dahayu pergi.Sebagai istri yang sering dimanja, sudah jelas saat ini Yesti sedang haus perhatian."Ganti bajumu dan bersihkan wajahmu." Hanya kata seperti
"Aku akan melakukannya sekarang, perintahkan pada mereka untuk mengurus perawatan ayah di desa." Mata Dahayu mulai menunjukkan cahaya semangat meski terlihat menyedihkan Entah mengapa, alis pekat Aksa yang sudah basah oleh air hujan langsung menunjukkan kerutan, kemudian dia bergumam sinis, "Bodoh."Aksa melepaskan tangan Dahayu dan beranjak berdiri, meninggalkan istri kecilnya tersebut.Dari arah kediaman utama, Yesti datang membawa payung dan menghampiri Aksa."Aksa, kenapa kamu tidak memakai payung? Ini sangat dingin, kamu bisa sakit," ucapnya sembari memayungi Aksa.Aksa sama sekali tak merespon, dia terus berjalan santai masuk ke paviliun.Sementara senyum simpul langsung tercetak di bibir Yesti setelah melihat Dahayu berlutut di tengah hujan lebat."Matikan semua lampu taman!" titah Aksa yang membuat tubuh Dahayu semakin bergetar hebat.Bukan hanya kedinginan, tapi dia fobia dengan kegelapan, sepertinya Aksa benar-benar akan menyiksanya malam ini.Segera jerit Dahayu menggema s