Dahayu merentangkan tangan di pagi hari yang damai. Seperti biasa, setelah bangun tidur dia menuju dapur untuk mengambil air putih.
"Pagi, Nyonya." Seorang asisten menyapa membuat Dahayu tersenyum. "Pagi," jawab Dahayu kemudian menuang air putih pada gelas kaca bening di atas meja, dia tidak tahu ada sepasang mata hangat yang sedang memperhatikannya saat ini. Aksa memang telah tiba di vila tempat Dahayu tinggal sejak dua jam yang lalu, dia terpana melihat gadis remaja umur 18 tahun yang dia bawa dari desa, kini sudah tumbuh menjadi perempuan yang jauh lebih cantik dari sebelumnya. Rambut hitamnya tergerai panjang, dan jatuh secara alami menyapu punggungnya yang putih memesona, siluet hidung mungil di atas bibir tipis terlihat begitu kentara kala pancaran matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kaca dari arah samping. Postur tubuh yang tinggi dan ramping terlihat mengenakan gaun tidur berwarna coklat susu dengan bahan tipis, sinar matahari pun kian memperjelas lekuk indah di dalam gaun tersebut. Perlahan Dahayu memalingkan pandangan setelah puas dengan air putih yang dia minum. Namun, bola matanya melebar dan hampir menggelinding jatuh ke lantai saat mendapati sosok laki-laki yang tengah memperhatikannya saat ini. "Tu-tuan ... bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Dahayu terkejut. Aksa tak segera menjawab, arah pandangnya masih tertuju pada bagian bawah leher Dahayu. Refleks Dahayu menyilangkan tangan di depan dada setelah menyadari kemana arah pandang suaminya. Wajahnya memerah karena gugup dan malu, membuat Aksa terenyum samar. "Apa kamu selalu berpakaian seperti ini saat berada di luar negeri?" pertanyaan Aksa membuat Dahayu semakin menunduk malu. Memang dia sering seperti itu saat berada di rumah. Udara di negara itu sangat panas, mengenakan pakaian tipis tanpa lengan adalah sesuatu yang sangat nyaman dilakukan. Aksa terlihat berdiri dan mendekat ke arah Dahayu. Berdiri cukup lama menatap istri kecilnya yang menunduk, kemudian berucap, "Aku memaafkanmu, tapi jika kamu mengenakan pakaian seperti ini di depan orang lain. Aku akan menghukummu, kamu mengerti?" Dahayu mengangguk samar sembari menunduk, pipinya pun sudah semerah buah ceri. Aksa tersenyum, dan segera melangkah pergi setelah mengetuk pelan dahi Dahayu dengan punggung jari telunjuk. Diam-diam Dahayu merapatkan bibir dengan mata terpejam, lantas berlari masuk ke kamar yang membuat Aksa kembali tersenyum setelah mengintip dari balik pitu ruangan lain. Pukul sembilan pagi pasangan suami istri itu sudah berpakaian rapi, mereka duduk tenang sembari bersantap. "Kapan Tuan datang? Bukankah tadi malam masih di rumah Ibu?" Setelah membiarkan suasana meja makan sedikit kaku, akhirnya Dahayu memberanikan diri untuk bertanya, meski sebenarnya bukan itu yang ingin dia tanyakan. Setelah sekian tahun tidak pernah menanyakan kabarnya, tentu saja sangat aneh tiba-tiba Aksa datang untuk menemuinya. Tapi jika dia bertanya, untuk apa dia datang? Bukankah itu juga sangat lucu? Vila itu juga milik Aksa, tentu saja dia berhak datang ke tempat itu kapanpun dia mau. Aksa menatap Dahayu sekilas dan menjawab, "Istriku akan wisuda bagaimana aku tidak datang untuknya?" Dahayu kemudian menunduk saat berhenti menyuapkan roti ke dalam mulut. "Oh, begitu ya? Terima kasih atas perhatiannya." 'Perhatian?' Aksa membeku kala mengulangi kalimat Dahayu dalam hati. Selama ini dia terlalu mengabaikan istri kecilnya, selain mengirim uang dan memberikan fasilitas yang dibutuhkan, Aksa sama sekali tak memikirkan hal lain. Rasanya dia sangat tak adil pada Dahayu, ketika Yesti selalu mendapatkan kasih sayangnya dan juga apapun yang dia inginkan. Aksa justru tidak tahu apa yang disukai Dahayu. Kata terima kasih dari mulut istri kecilnya itu layaknya sindiran bagi Aksa, meski Dahayu sama sekali tak bermaksud begitu. "Mulai sekarang aku akan lebih memperhatikanmu," ucap Aksa datar kemudian meneruskan santap paginya, sebelum mengantar Dahayu menuju ke kampus. Pukul 13.00 waktu setempat acara wisuda usai. Dan sangat membanggakan ketika Aksa tahu ternyata Dahayu termasuk lulusan berprestasi di universitas tersebut. "Selamat," ucap Aksa setelah Dahayu kembali dari panggung. Senyuman indah bersemi dan Dahayu berucap, "Terima kasih." Cukup canggung ketika acara usai dan Aksa menyentuh pinggang Dahayu guna menggiringnya masuk ke dalam mobil. Ini untuk pertama kalinya Aksa melakukan sentuhan semacam itu, hingga hati Dahayu mulai tidak nyaman. Aksa cukup bisa membaca ketidaknyamanan di raut wajah Dahayu, kemudian berucap, "Kamu harus membiasakan diri, kamu adalah istriku." Jantung Dahayu berdesir mendengar kata 'istri' yang diucapkan Aksa. Dia malah takut mendengar kata itu. Jika Aksa tidak mempunyai istri lain, mungkin kata itu akan terdengar sangat indah. Namun, melihat situasi yang terjadi empat tahun yang lalu, kata 'istri' yang diucapkan Aksa hanya seperti cambukan bagi Dahayu. Bayangan orang ketiga yang merusak kebahagiaan rumah tangga orang melekat kuat di benaknya, yang membuat Dahayu merasa sangat buruk. Sebenarnya jika Aksa menceraikannya itu jauh lebih baik. Lagipula gelar itu hanya di atas kertas saja, Dahayu tidak merasa menjadi istri sesungguhnya setelah Aksa terlihat begitu menjaga perasaan Yesti saat di rumah. Dahayu sangat tahu diri dan tak pernah berharap lebih, dia hanya melihat Aksa sebagai orang baik yang terjebak dalam pernikahan gara-gara kesalahpahaman di desa. Untuk seseorang yang tidak menginginkannya, Aksa memang sangat bertanggung jawab. Jika bukan karena Aksa, mungkin dia masih berkecimpung dengan sayur dan tanah di ladang sekarang. Tapi Dahayu mulai menatap suaminya kala sadar mobil yang dikemudikan oleh sopir tak bergerak menuju ke vila. "Tuan, kita mau ke mana?" "Pulang," jawab Aksa datar. "Tapi ini bukan jalan ke rumah." "Kamu sudah terlalu lama meninggalkanku, saatnya kamu menjadi istri sesungguhnya." Jawaban Aksa membuat Dahayu terkesiap dan menelan saliva terus-menerus. Hatinya kembali bergemuruh dan takut. *** Perasaan Dahayu sudah tidak karuan sejak keluar dari dalam pesawat. Bayangan Yesti yang memaki dan menatapnya dengan penuh kecemburuan sudah memenuhi benaknya. Begitu suram bagai langit gelap malam ini. Setelah Yesti memberinya cek dengan nominal yang tidak sedikit, seharusnya dia tidak kembali bersama Aksa. "Ayo," ucap Aksa datar sembari mengulurkan tangannya. Dahayu baru sadar jika sudah sampai di vila Seroja, tempat tinggal Aksa. Dengan ragu Dahayu menyambut uluran tangan Aksa. Hatinya benar-benar sudah tidak karuan sekarang. 'Mungkinkah akan terulang lagi?' Itu yang ada dalam pikiran Dahayu mengingat dulu Yesti pernah ingin mencabik-cabik wajahnya saat Aksa membawanya pulang untuk pertama kali. "Lepaskan aku! Aku akan membunuhnya!" Pekikan Yesti membuat Dahayu tertegun ketakutan setibanya di kediaman suaminya empat tahun yang lalu. Saat itu Yesti mengamuk setelah Aksa memberi tahu bahwa dia telah menikah lagi. "Lepaskan aku! Aku tidak sudi hidup serumah dengan istri keduamu. Aku kurang apa, Aksa? Hingga kamu mengkhianatiku, dan menikahi gadis udik seperti itu!" raungan Yesti menggema di ruang tamu, saat tatapan membunuh itu terarah pada Dahayu. Tentu saja, tidak ada seorang istri yang menginginkan orang ketiga di pernikahannya, Dahayu sangat memahami itu. "Yesti, dengarkan aku. Aku juga terpaksa menikahinya karena keadaan." Aksa mencoba menenangkan Yesti yang sudah tak terkendali. "Apapun alasanmu aku tidak bisa menerimanya! Dia perusak rumah tangga orang! Aku pasti akan membunuhnya! Lepaskan aku!" Yesti terus meronta dan semakin tak karuan. Aksa tak punya pilihan, selain menjauhkan Dahayu dari istri pertamanya yang sedang kalut. "Mina, bawa Dahayu ke kamar!" titah Aksa pada seseorang di rumahnya. Seorang kepala pelayan segera menggiring Dahayu menuju kamar di lantai dua. Tapi, tak mampu memberi ketenangan padanya yang mendengar pertengkaran Aksa dan Yesti di bawah sana. Saat itu Dahayu masih sangat polos dan lugu. Dia hanya bisa menelungkup di bawah selimut tebal sembari menangis, hatinya tersayat mendengar raungan wanita yang terkhianati di bawah sana. Seandainya satu bulan sebelumnya Dahayu tahu jika Aksa sudah beristri ....Sebulan sebelum Aksa membawa Dahayu pergi ke kota keadaan benar-benar sangat tak menguntungkan, saat itu Dahayu pulang dari ladang dan mendengar teriakan seseorang meminta bantuan. Dia adalah Aksa yang kakinya tertimpa reruntuhan kayu di resort terbengkalai. Dahayu hendak membantu Aksa keluar dari resort tersebut, tapi mendadak hujan badai disertai petir. Sejak kecil Dahayu memang sangat takut dengan petir dan kegelapan, dia langsung menjerit dan melepaskan Aksa hingga terjatuh lantaran kakinya terluka. Aksa yang tidak berdaya hanya dapat menghela napas pasrah melihat seseorang yang dia harapkan untuk menolong malah ketakutan sendiri. Terpaksa Aksa melalui malam gelap dengan gadis desa yang tidak dia kenal, sampai mereka ditemukan warga desa yang mencari keberadaan Dahayu. Kesalahpahaman terjadi, Aksa menjadi bulan-bulanan warga desa saat dia dalam kondisi yang tidak bisa melawan. "Jangan! Jangan pukuli tuan Aksa. Dia sedang sakit! Kakinya terluka!" "Hentikan, aku mohon! Tuan A
Dahayu menuruni tangga dengan langkah pelan setelah pelayan mengatakan sarapan sudah siap.Sudah ada Aksa dan Yesti yang duduk di meja makan.Decit kursi yang digeser segera terdengar, saat Aksa menariknya.Tidak mengucapkan apa-apa, tapi itu seperti perintah untuk Dahayu agar dia duduk di samping Aksa.Dahayu menangkap aura ketidaksenangan di wajah Yesti. Selalu seperti ini sejak empat tahun yang lalu.Dahayu lelah, dan tak ingin terus mengulangi kejadian yang tidak mengenakkan itu, dia memilih pergi menuju kursi lain.Tapi belum sempat Dahayu duduk, Aksa sudah bertitah, "Mina, buang semua kursi, selain yang aku pegang."Dahayu tertegun sejenak menatap suaminya. Pria tersebut tidak membentak atau menunjukkan nada kemarahan, tapi suaranya yang rendah dan berwibawa sudah bisa membuat orang tunduk kepadanya.Dahayu menelan saliva dan duduk dengan patuh di samping Aksa, meski bayangan pertengkaran hebat disertai jerit tangis Yesti sudah menghantui."Apakah kamu tidur dengan nyenyak?" tan
Dahayu menatap senja di depan jendela kamarnya dengan melipat tangan di depan dada.Rona kuning keemasan bersembunyi di balik mendung hitam yang bergelayut bagai kapas kotor dari kejauhan.Warna kelam itu semakin terkumpul dan tebal menghalangi keindahan senja dengan cepat.Sudah pasti akan turun hujan malam ini."Nyonya." Suara Mina membuat Dahayu menoleh perlahan."Tuan membelikan gaun untuk, Nyonya. Beliau meminta Anda bersiap. Tuan besar Jayanta akan mengadakan perjamuan di kediaman utama malam ini."Kata perjamuan itu terdengar mengerikan di telinga Dahayu. Empat tahun yang lalu Dahayu mengotori tangannya untuk membunuh dua orang sekaligus gara-gara Aksa mengajaknya ke perjamuan.Tapi kali ini perjamuan diadakan di kediaman mertuanya, mungkin tidak berbahaya seperti dilakukan di hotel.Dahayu mulai mengangguk dan berkata, "Iya."Setelah Mina pergi, kilat mata Dahayu terlihat kosong usai melihat gaun warna pastel yang tampak indah.Ada yang sedang dia pikirkan dengan sangat dalam
Aksa hendak membantu Dahayu kala melihat istri kecilnya jatuh tersungkur. Namun, saat mengetahui Dahayu kembali bangkit dan membalas apa yang dilakukan Yesti, Aksa malah tersenyum samar. 'Ternyata istri kecilku memang sudah berubah,' gumam Aksa dalam hati.Dahayu terbalik dan berjalan tenang, mengabaikan tatapan aneh semua orang yang berbisik-bisik. Tepat ketika dia sampai di depan Aksa yang berdiri tegak dengan tangan bersembunyi di balik saku, Dahayu pun berhenti. "Mana yang sakit?" tanya Aksa pelan."Tidak perlu mempedulikan aku, nyonya lebih berharap perhatianmu." Dahayu hendak kembali berlenggang pergi, namun tangannya diraih Aksa."Ke mana?" Lagi, Aksa bertanya."Toilet." Jawaban singkat Dahayu membuat Aksa melepaskan genggamannya. Seperti yang dikatakan Dahayu, istri pertamanya tampak mendekat dengan wajah sedih setelah Dahayu pergi.Sebagai istri yang sering dimanja, sudah jelas saat ini Yesti sedang haus perhatian."Ganti bajumu dan bersihkan wajahmu." Hanya kata seperti
"Aku akan melakukannya sekarang, perintahkan pada mereka untuk mengurus perawatan ayah di desa." Mata Dahayu mulai menunjukkan cahaya semangat meski terlihat menyedihkan Entah mengapa, alis pekat Aksa yang sudah basah oleh air hujan langsung menunjukkan kerutan, kemudian dia bergumam sinis, "Bodoh."Aksa melepaskan tangan Dahayu dan beranjak berdiri, meninggalkan istri kecilnya tersebut.Dari arah kediaman utama, Yesti datang membawa payung dan menghampiri Aksa."Aksa, kenapa kamu tidak memakai payung? Ini sangat dingin, kamu bisa sakit," ucapnya sembari memayungi Aksa.Aksa sama sekali tak merespon, dia terus berjalan santai masuk ke paviliun.Sementara senyum simpul langsung tercetak di bibir Yesti setelah melihat Dahayu berlutut di tengah hujan lebat."Matikan semua lampu taman!" titah Aksa yang membuat tubuh Dahayu semakin bergetar hebat.Bukan hanya kedinginan, tapi dia fobia dengan kegelapan, sepertinya Aksa benar-benar akan menyiksanya malam ini.Segera jerit Dahayu menggema s
Embun baru saja menetes dari dedaunan kala mentari pagi mengintip dari ufuk timur.Aksa membuka matanya perlahan, sementara tangannya memijat kening untuk mengurangi rasa pening akibat alkohol yang dia konsumsi tadi malam.Tapi setelah ingat perihal istri muda yang dia hukum tadi malam, kakinya bergegas membawa diri ke dekat dinding kaca.Langit masih tampak redup, namun gadis yang tergeletak di bawah sana membuat Aksa melebarkan mata dengan aura kemarahan pekat."Apa-apaan ini?!"Gegas Aksa berlari dari dalam ruangan tersebut dan menuruni tangga dengan cepat.Udara pagi masih sangat dingin manakala Aksa keluar dari dalam rumah."Ayu, Ayu, buka matamu. Siapa yang melakukan semua ini?" pekik Aksa sembari memeluk Dahayu.Pelayan memang mendekat saat melihat Aksa keluar dari kediamannya dengan membawa kemarahan, namun, tak ada satupun yang berani menjawab."Ayu, Ayu, buka matamu." Kekhawatiran tercetak jelas di wajah Aksa, bahkan binar mata itu membawa penyesalan yang teramat dalam.Gaun
Yesti gemetaran saat Ethan kembali membawa lima orang beserta lima ember air es di tangan mereka masing-masing. "Aksa, setelah sembilan tahun pernikahan kita, apakah kamu akan melakukan ini padaku?" Yesti ingin memegang tangan Aksa, namun pria tersebut segera mundur. Aksa malah memerintahkan pada dua pelayan yang tadinya terus berlutut untuk bertindak seperti apa yang mereka lakukan pada Dahayu tadi malam. "Lakukan seperti apa yang kalian lakukan pada Dahayu, jika tidak ingin stick bisbol ini menghancurkan kepala kalian." Dua pelayan itu saling menatap bingung, tapi juga ketakutan. Yesti sudah lama menjadi nyonya muda di kediaman Jayanta, tentu saja lebih banyak keraguan daripada melakukannya pada Dahayu yang baru saja datang dan membawa status predikat buruk. Sementara Aksa menatap Ethan sejenak kemudian membalikkan tubuh dengan perlahan. Ethan segera tahu apa yang diinginkan Aksa. Dia pun memberi isyarat pada lima orang yang membawa ember besar untuk mengguyur Yesti secara ber
Udara basah dan lembab menyelimuti kota Zimo sepanjang hari, sejak hujan berhenti sebentar di pagi hari, langit kembali menumpahkan rintik air yang tak kunjung reda meski juga tak terlalu deras. Langit kelabu tampak jelas dari jendela kaca di kamar Dahayu, saat gadis tersebut membuka kelopak mata dengan berat. "Nyonya, Anda sudah bangun?" Suara seorang pelayan membuat Dahayu menoleh. "Syukurlah Nyonya sudah sadar, Nyonya membutuhkan sesuatu?" Dahayu tak segera menjawab, dia masih menyesuaikan diri dengan ruangan asing tersebut. Dahayu baru ingat dengan kejadian tadi malam setelah sedikit menggerakkan tubuhnya yang terasa remuk redam. "Nyonya tidak perlu banyak bergerak jika masih sakit, katakan saja jika memerlukan sesuatu.'' Pelayan tersebut terus berkata dengan sopan dan lembut kepada Dahayu. Sepertinya dia memang sangat ingin melayani Dahayu dengan baik. "Bantu aku duduk." Suara Dahayu yang timbul tenggelam terdengar sangat serak, namun malah membuat pelayan tersenyum dan men
Suasana pesta menjadi tidak kondusif setelah Dahayu menerima uluran tangan dari Satya. Berbagai asumsi bermunculan di benak para tamu undangan dan juga media yang saat ini menyiarkan secara langsung acara tersebut.Aksa pun tertegun, meski dia sudah mengira ini akan terjadi, tapi tetap mempengaruhi hatinya, meski wajahnya saat ini menunjukkan rona datar dan terlihat tanpa emosi.Apalagi saat melihat Dahayu Yang sepertinya tampak acuh tak acuh mengabaikan Aksa yang berdiri menatapnya.Keriuhan semakin menjadi, namun itu sama sekali tak mempengaruhi rona wajah tuan dan nyonya Mantila. Mereka masih menyambut kedatangan Dahayu yang digandeng Satya mendekat ke arah mereka."Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Tuan Aksa diam saja saat istrinya digandeng pria lain?""Entahlah, apakah direktur Dahayu memang perempuan seperti itu?""Kita lihat saja, direktur Dahayu selalu memberikan kita kejutan, mungkin ada cerita dibalik pegangan tangan tuan muda Mantila.""Benar, perempuan muda dan berbakat
Hari berlalu dengan cepat. Terangnya matahari kini telah berganti dengan keanggunan malam.Pukul tujuh malam waktu setempat, Aksa sudah duduk tenang di dalam mobil.Memandang secarik kertas perjanjian perceraian sebagai hadiah ulang tahun istri kecilnya.Aksa mendengkus samar setelah tersenyum ironi dari bibir yang manis.Mungkin baru kali ini dia memberi hadiah ulang tahun dengan menyakiti hatinya sendiri."Jalan," titahnya pada Ethan yang sejak tadi memang menunggu dia memerintah.Mobil itu sekarang sudah melaju menelusuri jalanan kota Zimo yang basah akibat guyuran hujan sepanjang sore.Dingin, layaknya hati Aksa yang melangkah untuk melepaskan peri kecil yang sempat memberi senyum hangat setelah hampir lima tahun menjadi seorang istri.Ini adalah ulang tahun istrinya, tapi digelar dia kediaman Mantila. Cukup menegaskan jika istri kecilnya telah berpaling pada hati yang lain, tapi dengan bodohnya dia malah datang untuk memberi hadiah dengan tangannya sendiri.Ramai dan sangat megah
Sesuai prediksi Dahayu, saat ini Yesti sudah tiba di kediaman Jayanta. Niatnya menghindari Lukas, nyatanya tak bisa terealisasi. Siapa lagi yang bisa dia mintai pertolongan selain Lukas? Adik ipar sekaligus selingkuhannya.Gegas Yesti berjalan menuju paviliun milik Lukas dan mendapati laki-laki itu tengah terbaring di kamarnya.Begitu melihat Yesti, Lukas sedikit melengos dengan senyum mencela. "Baru ingat aku, sekarang?" ucapannya sinis.Yesti pun segera tahu jika saat ini Lukas sedang marah lantaran dia tidak menanyakan kabarnya setelah Aksa menembaknya.Wanita itu langsung tahu apa yang harus dilakukan. "Lukas, aku mohon mengertilah posisiku. Kamu tahu betapa sulitnya aku agar Aksa tidak curiga. Aku sungguh sangat mengkhatirkanmu, lihat, aku langsung datang ke sini setelah Aksa pergi entah ke mana?"Lukas tahu Aksa pasti sedang mencari Dahayu. Dia sangat ingat saat saudaranya itu mengamuk lantas menembak dadanya dua hari yang lalu. Beruntung pengawal ayahnya segera membantu, jika t
Yesti terkesiap karena itu. Memang benar, Aksa sudah tidak mempunyai respek terhadap orang tuanya. Tidak mungkin meminta bantuan pada suaminya. Terlebih yang dianiaya adalah Dahayu, pasti suaminya tidak akan segan-segan untuk membunuh orang tuanya.Namun, mendengar Dahayu mengatakan jika Aksa tidak tahu kejadian ini, sudah pasti sekarang laki-laki itu tidak ada di kota Zimo. Melihat Dahayu berkeliaran di hotel sendirian, dia pun mulai berpikiran picik."Mungkin memang terjadi kesalahpahaman dengan orang tuaku, tapi pikirkan jika Aksa mengetahui bahwa kamu berkeliaran di hotel sendirian, Dahayu. Kamu telah membuat semua orang khawatir setelah menghilang selama satu pekan. Ternyata kamu malah ada di sini. Laki-laki mana lagi yang tengah kamu rayu setelah tahu cinta Aksa hanya untukku dan bayiku?"Lagi, Dahayu tergelak ringan mendengar desakan Yesti. Jelas perempuan itu kembali ingin mempermalukannya melihat pengunjung hotel lain sekarang tengah menonton di a
Di kota Zimo, Yesti sedang duduk manis menikmati kudapan yang baru saja disajikan para pelayan. Tapi tiba-tiba dia membanting apa yang dia pegang ke atas piring dengan kesal. Dia berdiri, lantas mematut diri di depan cermin. Tubuhnya sudah tak secantik dulu setelah perutnya mulai menggembung, lengan dan kakinya juga mulai membengkak. Benar-benar tidak sedap dipandang, menurutnya. Teringat tadi malam Aksa mengusirnya dari ruang baca dengan sangat kasar, hatinya pun menjadi sangat sedih. Dia mengira bahwa tubuhnya sudah tak menarik lagi hingga Aksa sudah tak terpikat dengan kecantikannya. Terlebih ketika ingat Ethan mengatakan bahwa Dahayu sudah ditemukan. Pikirannya pun semakin kesal membayangkan kemungkinan yang terjadi saat ini. Di kolam renang Dahayu memperlihatkan betapa indah tubuh ramping yang dia miliki beserta begitu banyak jejak cinta yang melukis tubuhnya di dekat area sensitif. Yesti mengira saat ini Dahayu pasti sedang menggoda Aksa dengan tubuh indah yang dia mili
"Tuan ...." Suara Ethan yang menyapa mengundang Aksa yang baru saja membuka mata perlahan menoleh. Asistennya juga tampak buruk, ada luka lembam yang menodai wajahnya. Ketika Aksa menunduk, perban sudah membalut dadanya yang tertembak. Tapi saat menilik ruangan asing ini. Dia menghela napas kasar dan mendongak pasrah di bantalnya yang empuk. "Nyonya baru saja pergi, Tuan." Seakan tahu apa yang dipikirkan Aksa, Ethan kembali bersuara. Namun, itu justru membuat Aksa tersenyum samar. Dia tahu Dahayu tak bisa membencinya meski hatinya tersakiti. Terbukti wanita itu tak mampu menembaknya meski dia ingin. Jika bukan karena Satya, dadanya tak mungkin terluka seperti ini. Aksa tahu istri kecilnya ini mempunyai hati yang baik, dia hanya ingin hidup tenang dengan meninggalkan gelar pelakor yang selama ini terus merunjam dari segala arah. Dia lelah terus menyandang gelar menjijikkannya itu sepanjang waktu, meski bukan keinginan Dahayu untuk menjadi orang ketiga. Aksa semakin menyes
Sama seperti halnya Aksa di masa lampau, saat ini Dahayu sangat ingin menyakiti laki-laki itu, tapi ternyata justru malah menyakiti hatinya sendiri. Tangannya mengepal kuat acap kali tendangan terus menghantam tubuh tak berdaya di bawah sana, hatinya terasa penuh oleh sesuatu yang menusuk.Namun, membiarkan Aksa menikmati kemenangannya dengan mudah juga membuat Dahayu marah. Laki-laki itu harus merasakan apa yang dia rasakan saat itu.Membohongi dan membuatnya kedinginan sepanjang malam, setelah mendapatkan pukulan berkali-kali dari dua pelayan yang menyiksanya. Itu mana mungkin Dahayu lupakan."Apa yang terjadi?" tanya Satya pelan membuat Dahayu mengembuskan napas samar, meski dia enggan menjawab pertanyaan Satya.Melihat kebisuan Dahayu, hidung Satya mengembang menghirup udara dengan emosi yang kuat. "Dia juga memperlakukanmu seperti itu?"Dahayu masih membisu, matanya terus menatap laki-laki tak berdaya di bawah sana.
Lampu mercusuar berkelip kala helikopter terbang mengitari pulau dengan kastil kecil di tengahnya. Langit yang tadinya tampak kelabu kini pun menjatuhkan jutaan rintik hujan yang menghantam permukaan lautan.Sepatu boots hitam nan gagah jatuh menapak di pasir putih pada malam gelap bersama tiupan angin laut yang mencekam.Aksa bejalan cepat menembus hujan deras, langkahnya sama sekali tak terhenti ketika suara tembakan bergema di udara.Di kejauhan, dia melihat kastil kecil dengan benteng batu kokoh yang menonjol di atas bukit. Sekelompok orang dengan senjata api berjaga di sana, siap mempertahankan diri dari serangan.Suara tembakan terus berlanjut, mengiringi perjalanan Aksa yang semakin mendekat ke arah kastil.Aksa memaksa diri untuk bergerak meski basah kuyup, pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Dahayu, istrinya yang hilang.Sejak awal dia sudah menebak bahwa Satya yang membawa Dahayu pergi, tapi tidak menyangka jika laki-laki itu akan menyembunyikan istrinya di pulau terpenc
Di tempat tidur yang sangat nyaman, perlahan Dahayu membuka mata dengan berat. Dia melihat cahaya terang yang jatuh menimpa retinanya yang belum siap, hingga mata itu kembali menyipit untuk menilik keadaan sekitar.Ruangan asing ini sudah pasti tidak dia kenal, selain itu aroma amis khas lautan tercium pekat pada indera penciumannya yang tajam. Seorang parfumer andal pasti tidak sulit untuk mengenali aroma ini.Kepalanya yang diperban masih sangat berat untuk bisa bergerak, tapi matanya mulai bisa menangkap dengan jelas beberapa wanita muda berseragam pelayan mendekat padanya."Nona sudah sadar?"Dahayu tak lantas menjawab, dia masih terlihat linglung menyesuaikan diri dengan keadaan asing ini.Tapi ingatannya tentang penyerangan mendadak itu, sedikit demi sedikit kembali pada otak Dahayu, hingga dia mulai bersikap waspada meski tubuhnya masih lemah."Cepat panggil dokter, beri tahu juga tuan muda, dia akan sangat senang melihat nona muda sudah bangun."Alis Dahayu mengernyit. 'Nona m