Share

7. Aku Harus Pergi

Dahayu menuruni tangga dengan langkah pelan setelah pelayan mengatakan sarapan sudah siap.

Sudah ada Aksa dan Yesti yang duduk di meja makan.

Decit kursi yang digeser segera terdengar, saat Aksa menariknya.

Tidak mengucapkan apa-apa, tapi itu seperti perintah untuk Dahayu agar dia duduk di samping Aksa.

Dahayu menangkap aura ketidaksenangan di wajah Yesti. Selalu seperti ini sejak empat tahun yang lalu.

Dahayu lelah, dan tak ingin terus mengulangi kejadian yang tidak mengenakkan itu, dia memilih pergi menuju kursi lain.

Tapi belum sempat Dahayu duduk, Aksa sudah bertitah, "Mina, buang semua kursi, selain yang aku pegang."

Dahayu tertegun sejenak menatap suaminya. Pria tersebut tidak membentak atau menunjukkan nada kemarahan, tapi suaranya yang rendah dan berwibawa sudah bisa membuat orang tunduk kepadanya.

Dahayu menelan saliva dan duduk dengan patuh di samping Aksa, meski bayangan pertengkaran hebat disertai jerit tangis Yesti sudah menghantui.

"Apakah kamu tidur dengan nyenyak?" tanya Aksa lembut sembari membukakan piring untuk Dahayu.

Dahayu pikir akan ada kegaduhan yang menyakiti telinga, tapi nyatanya ketenangan itu masih terjaga sampai detik itu juga, jadi dia menjawab, "Ya."

"Makanlah." Suara Aksa masih terdengar lembut dengan temperamen khasnya, tenang dan dingin.

Di sisi kanan Aksa, Yesti terus mencurahkan kekesalan dengan mengaduk-aduk makanan yang ada di piring.

Dia sungguh sangat ingin mengamuk, tapi pagi ini Aksa sudah mengultimatum hingga dia tak punya celah untuk meluapkan kemarahan.

"Jika kamu mengamuk dan membuat santap pagi ini berantakan, aku akan menceraikanmu saat ini juga."

Yesti sungguh sangat tertekan dengan ancaman Aksa pagi tadi, hingga wajah keruhnya dapat Dahayu lihat dengan jelas saat ini.

Tenang. Namun begitu tegang hingga menghirup udara sangat sulit dilakukan selama makan pagi berlangsung.

Sampai tiba-tiba Aksa kembali membuka suara. "Mina, kemasi semua barang Dahayu dan bawa ke mobil."

Seketika alis Yesti melonjak tajam mendengar titah suami pada pelayan.

"Kalian mau ke mana?" Raut wajah Yesti penuh cahaya penasaran dan juga kekhawatiran.

"Memberi tempat tinggal yang nyaman untuk Dahayu," jawab Aksa enteng.

"Tidak boleh!" pekik Yesti tampak tidak terima.

"Aku tidak minta pendapatmu." Lagi, Aksa berkata acuh tak acuh membuat Yesti semakin sakit hati, dulu Aksa tak pernah seperti ini.

Seketika air mata Yesti mengalir tanpa bisa dicegah. Ini terlalu sakit. Sepertinya dia sudah tak dianggap lagi oleh Aksa.

Helaan napas pelan terdengar dari hidung Aksa. "Aku melakukan ini demi kebaikanmu, aku tidak menjamin kamu masih bisa waras jika tinggal serumah dengan Dahayu. Mentalmu sudah rusak dimakan amarahmu."

Yesti berpikir, selama ini memang dia yang sering mengamuk dan menggila setelah kedatangan Dahayu. Hingga rumah rasanya sudah sangat panas dan tak memiliki kesejukan lagi untuk berteduh.

Tentu saja, sikap macam apa yang pantas Yesti tunjukkan setelah suaminya membawa istri muda datang ke rumah?

Tapi jika membiarkan Aksa membeli rumah pribadi untuk Dahayu, bagaimana jika Aksa lebih memilih sering tinggal dengan Dahayu? Bagaimana jika Dahayu hamil duluan sebelum dirinya?

'Tidak! Tidak boleh! Mereka tidak boleh semakin dekat. Mengizinkan Aksa membelikan Dahayu rumah, sama saja dengan memberi mereka ruang untuk mendapatkan privasi. Tidak, tidak akan kubiarkan gadis ingusan ini merebut Aksa dariku.'

"Biarkan dia tetap tinggal di sini. Rumah ini tidak kekurangan ruang untuk menampung gadis ingusan seperti dia," ucap Yesti setelah menyeka air matanya, dia memaksakan diri untuk tegar.

Perlahan kelopak mata Aksa terangkat, kilat mata kelamnya menatap Yesti dalam-dalam.

"Kamu yakin, sakit jiwa tidak sedang menyerangmu sekarang?" tanya Aksa pelan.

Melihat Yesti sangat ingin menyingkirkan Dahayu selama ini, bukankah keputusan Yesti saat ini sangat tidak masuk akal?

Yesti masih merasa sakit hati dengan tuduhan Aksa. 'Sakit jiwa? Bahkan dia tidak menganggapku orang yang waras sekarang.'

"Aku tidak peduli kamu menganggapku gila atau apa? Anggap saja aku sudah kehilangan akal untuk memisahkan kalian, sekarang aku akan menerima istri kecilmu dengan sepenuh hati. Tidak perlu bersembunyi, kita adalah keluarga," ucap Yesti pelan dengan raut wajah sedih.

Aksa mendengkus. "Aku tidak pernah memaksamu untuk menerima Dahayu, namun kamu juga tak bisa memaksaku untuk melepaskannya. Tapi, jika kamu sudah memutuskan untuk menerimanya, sebaiknya kamu bertanggungjawab atas kata-katamu. Aku sudah lelah melihat kecemburuan dan kemarahanmu yang sangat berlebihan. Aku hanya ingin ketenangan saat pulang ke rumah."

"Aku akan berusaha, aku harap kamu tidak mengabaikan aku, Aksa. Kemarahan dan kecemburuanku hanya karena aku sangat takut kehilanganmu," tukas Yesti jujur.

Aksa tak menanggapi, dia mengalihkan pandangan pada Dahayu yang sejak tadi hanya diam mengunyah makanan dengan pelan.

"Makanlah dengan baik, jangan terganggu dengan perdebatan ini. Kamu sangat kurus."

Dahayu tidak menanggapi. Sejak awal sampai akhir gadis itu sama sekali tidak bereaksi, dia merasa pendapatnya juga tidak dibutuhkan.

Sejak dulu Aksa memang begitu, tidak memberinya kesempatan untuk mengungkapkan isi hati.

Dahayu hanya disimpan dan dipelihara seperti kelinci kecil di dalam kandang, diberi makan, tapi juga tak disayangi.

Hanya baru-baru ini saja Aksa lebih sering mengajaknya bicara, dulu meski tinggal serumah mereka nyaris tak pernah bercakap.

Di luar negeri, Dahayu memang mendapatkan segala fasilitas dan kemewahan. Tapi dia juga tidak bebas, kemanapun dia pergi selalu dijaga dengan ketat.

Dia juga tak diizinkan mengelola uang sendiri. Semua sudah dihandle asistennya setelah cek yang diberikan Yesti dirobek oleh Aksa. Dahayu sama sekali tak diberi kesempatan untuk berlari.

Dahayu sering bertanya-tanya, kenapa Aksa terus mempertahankannya saat mempunyai istri yang sangat cantik dan dicintai?

Tapi ketika sampai detik ini Dahayu belum mendengar suara tangis seorang bayi di rumah itu, Dahayu pun mulai curiga.

'Apakah dia sengaja menjadikan aku cadangan demi meneruskan keturunan keluarga ini?'

Kelopak mata Dahayu terangkat perlahan, menatap Yesti yang sepertinya sudah kehilangan selera makan.

Setitik rasa kasihan muncul di hatinya menatap Yesti seperti itu.

Wanita itu memang sering menyakiti Dahayu, tapi nasibnya juga tidak terlalu bagus, jika Aksa sampai menyentuhnya dan hamil, Dahayu tak bisa membayangkan derita batin seperti apa yang akan dialami Yesti.

'Aku harus pergi, aku tidak mau dijadikan alat seperti ini, aku tidak ingin terus menyakiti nyonya.'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status