Dahayu menuruni tangga dengan langkah pelan setelah pelayan mengatakan sarapan sudah siap.
Sudah ada Aksa dan Yesti yang duduk di meja makan. Decit kursi yang digeser segera terdengar, saat Aksa menariknya. Tidak mengucapkan apa-apa, tapi itu seperti perintah untuk Dahayu agar dia duduk di samping Aksa. Dahayu menangkap aura ketidaksenangan di wajah Yesti. Selalu seperti ini sejak empat tahun yang lalu. Dahayu lelah, dan tak ingin terus mengulangi kejadian yang tidak mengenakkan itu, dia memilih pergi menuju kursi lain. Tapi belum sempat Dahayu duduk, Aksa sudah bertitah, "Mina, buang semua kursi, selain yang aku pegang." Dahayu tertegun sejenak menatap suaminya. Pria tersebut tidak membentak atau menunjukkan nada kemarahan, tapi suaranya yang rendah dan berwibawa sudah bisa membuat orang tunduk kepadanya. Dahayu menelan saliva dan duduk dengan patuh di samping Aksa, meski bayangan pertengkaran hebat disertai jerit tangis Yesti sudah menghantui. "Apakah kamu tidur dengan nyenyak?" tanya Aksa lembut sembari membukakan piring untuk Dahayu. Dahayu pikir akan ada kegaduhan yang menyakiti telinga, tapi nyatanya ketenangan itu masih terjaga sampai detik itu juga, jadi dia menjawab, "Ya." "Makanlah." Suara Aksa masih terdengar lembut dengan temperamen khasnya, tenang dan dingin. Di sisi kanan Aksa, Yesti terus mencurahkan kekesalan dengan mengaduk-aduk makanan yang ada di piring. Dia sungguh sangat ingin mengamuk, tapi pagi ini Aksa sudah mengultimatum hingga dia tak punya celah untuk meluapkan kemarahan. "Jika kamu mengamuk dan membuat santap pagi ini berantakan, aku akan menceraikanmu saat ini juga." Yesti sungguh sangat tertekan dengan ancaman Aksa pagi tadi, hingga wajah keruhnya dapat Dahayu lihat dengan jelas saat ini. Tenang. Namun begitu tegang hingga menghirup udara sangat sulit dilakukan selama makan pagi berlangsung. Sampai tiba-tiba Aksa kembali membuka suara. "Mina, kemasi semua barang Dahayu dan bawa ke mobil." Seketika alis Yesti melonjak tajam mendengar titah suami pada pelayan. "Kalian mau ke mana?" Raut wajah Yesti penuh cahaya penasaran dan juga kekhawatiran. "Memberi tempat tinggal yang nyaman untuk Dahayu," jawab Aksa enteng. "Tidak boleh!" pekik Yesti tampak tidak terima. "Aku tidak minta pendapatmu." Lagi, Aksa berkata acuh tak acuh membuat Yesti semakin sakit hati, dulu Aksa tak pernah seperti ini. Seketika air mata Yesti mengalir tanpa bisa dicegah. Ini terlalu sakit. Sepertinya dia sudah tak dianggap lagi oleh Aksa. Helaan napas pelan terdengar dari hidung Aksa. "Aku melakukan ini demi kebaikanmu, aku tidak menjamin kamu masih bisa waras jika tinggal serumah dengan Dahayu. Mentalmu sudah rusak dimakan amarahmu." Yesti berpikir, selama ini memang dia yang sering mengamuk dan menggila setelah kedatangan Dahayu. Hingga rumah rasanya sudah sangat panas dan tak memiliki kesejukan lagi untuk berteduh. Tentu saja, sikap macam apa yang pantas Yesti tunjukkan setelah suaminya membawa istri muda datang ke rumah? Tapi jika membiarkan Aksa membeli rumah pribadi untuk Dahayu, bagaimana jika Aksa lebih memilih sering tinggal dengan Dahayu? Bagaimana jika Dahayu hamil duluan sebelum dirinya? 'Tidak! Tidak boleh! Mereka tidak boleh semakin dekat. Mengizinkan Aksa membelikan Dahayu rumah, sama saja dengan memberi mereka ruang untuk mendapatkan privasi. Tidak, tidak akan kubiarkan gadis ingusan ini merebut Aksa dariku.' "Biarkan dia tetap tinggal di sini. Rumah ini tidak kekurangan ruang untuk menampung gadis ingusan seperti dia," ucap Yesti setelah menyeka air matanya, dia memaksakan diri untuk tegar. Perlahan kelopak mata Aksa terangkat, kilat mata kelamnya menatap Yesti dalam-dalam. "Kamu yakin, sakit jiwa tidak sedang menyerangmu sekarang?" tanya Aksa pelan. Melihat Yesti sangat ingin menyingkirkan Dahayu selama ini, bukankah keputusan Yesti saat ini sangat tidak masuk akal? Yesti masih merasa sakit hati dengan tuduhan Aksa. 'Sakit jiwa? Bahkan dia tidak menganggapku orang yang waras sekarang.' "Aku tidak peduli kamu menganggapku gila atau apa? Anggap saja aku sudah kehilangan akal untuk memisahkan kalian, sekarang aku akan menerima istri kecilmu dengan sepenuh hati. Tidak perlu bersembunyi, kita adalah keluarga," ucap Yesti pelan dengan raut wajah sedih. Aksa mendengkus. "Aku tidak pernah memaksamu untuk menerima Dahayu, namun kamu juga tak bisa memaksaku untuk melepaskannya. Tapi, jika kamu sudah memutuskan untuk menerimanya, sebaiknya kamu bertanggungjawab atas kata-katamu. Aku sudah lelah melihat kecemburuan dan kemarahanmu yang sangat berlebihan. Aku hanya ingin ketenangan saat pulang ke rumah." "Aku akan berusaha, aku harap kamu tidak mengabaikan aku, Aksa. Kemarahan dan kecemburuanku hanya karena aku sangat takut kehilanganmu," tukas Yesti jujur. Aksa tak menanggapi, dia mengalihkan pandangan pada Dahayu yang sejak tadi hanya diam mengunyah makanan dengan pelan. "Makanlah dengan baik, jangan terganggu dengan perdebatan ini. Kamu sangat kurus." Dahayu tidak menanggapi. Sejak awal sampai akhir gadis itu sama sekali tidak bereaksi, dia merasa pendapatnya juga tidak dibutuhkan. Sejak dulu Aksa memang begitu, tidak memberinya kesempatan untuk mengungkapkan isi hati. Dahayu hanya disimpan dan dipelihara seperti kelinci kecil di dalam kandang, diberi makan, tapi juga tak disayangi. Hanya baru-baru ini saja Aksa lebih sering mengajaknya bicara, dulu meski tinggal serumah mereka nyaris tak pernah bercakap. Di luar negeri, Dahayu memang mendapatkan segala fasilitas dan kemewahan. Tapi dia juga tidak bebas, kemanapun dia pergi selalu dijaga dengan ketat. Dia juga tak diizinkan mengelola uang sendiri. Semua sudah dihandle asistennya setelah cek yang diberikan Yesti dirobek oleh Aksa. Dahayu sama sekali tak diberi kesempatan untuk berlari. Dahayu sering bertanya-tanya, kenapa Aksa terus mempertahankannya saat mempunyai istri yang sangat cantik dan dicintai? Tapi ketika sampai detik ini Dahayu belum mendengar suara tangis seorang bayi di rumah itu, Dahayu pun mulai curiga. 'Apakah dia sengaja menjadikan aku cadangan demi meneruskan keturunan keluarga ini?' Kelopak mata Dahayu terangkat perlahan, menatap Yesti yang sepertinya sudah kehilangan selera makan. Setitik rasa kasihan muncul di hatinya menatap Yesti seperti itu. Wanita itu memang sering menyakiti Dahayu, tapi nasibnya juga tidak terlalu bagus, jika Aksa sampai menyentuhnya dan hamil, Dahayu tak bisa membayangkan derita batin seperti apa yang akan dialami Yesti. 'Aku harus pergi, aku tidak mau dijadikan alat seperti ini, aku tidak ingin terus menyakiti nyonya.'Dahayu menatap senja di depan jendela kamarnya dengan melipat tangan di depan dada.Rona kuning keemasan bersembunyi di balik mendung hitam yang bergelayut bagai kapas kotor dari kejauhan.Warna kelam itu semakin terkumpul dan tebal menghalangi keindahan senja dengan cepat.Sudah pasti akan turun hujan malam ini."Nyonya." Suara Mina membuat Dahayu menoleh perlahan."Tuan membelikan gaun untuk, Nyonya. Beliau meminta Anda bersiap. Tuan besar Jayanta akan mengadakan perjamuan di kediaman utama malam ini."Kata perjamuan itu terdengar mengerikan di telinga Dahayu. Empat tahun yang lalu Dahayu mengotori tangannya untuk membunuh dua orang sekaligus gara-gara Aksa mengajaknya ke perjamuan.Tapi kali ini perjamuan diadakan di kediaman mertuanya, mungkin tidak berbahaya seperti dilakukan di hotel.Dahayu mulai mengangguk dan berkata, "Iya."Setelah Mina pergi, kilat mata Dahayu terlihat kosong usai melihat gaun warna pastel yang tampak indah.Ada yang sedang dia pikirkan dengan sangat dalam
Aksa hendak membantu Dahayu kala melihat istri kecilnya jatuh tersungkur. Namun, saat mengetahui Dahayu kembali bangkit dan membalas apa yang dilakukan Yesti, Aksa malah tersenyum samar. 'Ternyata istri kecilku memang sudah berubah,' gumam Aksa dalam hati.Dahayu terbalik dan berjalan tenang, mengabaikan tatapan aneh semua orang yang berbisik-bisik. Tepat ketika dia sampai di depan Aksa yang berdiri tegak dengan tangan bersembunyi di balik saku, Dahayu pun berhenti. "Mana yang sakit?" tanya Aksa pelan."Tidak perlu mempedulikan aku, nyonya lebih berharap perhatianmu." Dahayu hendak kembali berlenggang pergi, namun tangannya diraih Aksa."Ke mana?" Lagi, Aksa bertanya."Toilet." Jawaban singkat Dahayu membuat Aksa melepaskan genggamannya. Seperti yang dikatakan Dahayu, istri pertamanya tampak mendekat dengan wajah sedih setelah Dahayu pergi.Sebagai istri yang sering dimanja, sudah jelas saat ini Yesti sedang haus perhatian."Ganti bajumu dan bersihkan wajahmu." Hanya kata seperti
"Aku akan melakukannya sekarang, perintahkan pada mereka untuk mengurus perawatan ayah di desa." Mata Dahayu mulai menunjukkan cahaya semangat meski terlihat menyedihkan Entah mengapa, alis pekat Aksa yang sudah basah oleh air hujan langsung menunjukkan kerutan, kemudian dia bergumam sinis, "Bodoh."Aksa melepaskan tangan Dahayu dan beranjak berdiri, meninggalkan istri kecilnya tersebut.Dari arah kediaman utama, Yesti datang membawa payung dan menghampiri Aksa."Aksa, kenapa kamu tidak memakai payung? Ini sangat dingin, kamu bisa sakit," ucapnya sembari memayungi Aksa.Aksa sama sekali tak merespon, dia terus berjalan santai masuk ke paviliun.Sementara senyum simpul langsung tercetak di bibir Yesti setelah melihat Dahayu berlutut di tengah hujan lebat."Matikan semua lampu taman!" titah Aksa yang membuat tubuh Dahayu semakin bergetar hebat.Bukan hanya kedinginan, tapi dia fobia dengan kegelapan, sepertinya Aksa benar-benar akan menyiksanya malam ini.Segera jerit Dahayu menggema s
Embun baru saja menetes dari dedaunan kala mentari pagi mengintip dari ufuk timur.Aksa membuka matanya perlahan, sementara tangannya memijat kening untuk mengurangi rasa pening akibat alkohol yang dia konsumsi tadi malam.Tapi setelah ingat perihal istri muda yang dia hukum tadi malam, kakinya bergegas membawa diri ke dekat dinding kaca.Langit masih tampak redup, namun gadis yang tergeletak di bawah sana membuat Aksa melebarkan mata dengan aura kemarahan pekat."Apa-apaan ini?!"Gegas Aksa berlari dari dalam ruangan tersebut dan menuruni tangga dengan cepat.Udara pagi masih sangat dingin manakala Aksa keluar dari dalam rumah."Ayu, Ayu, buka matamu. Siapa yang melakukan semua ini?" pekik Aksa sembari memeluk Dahayu.Pelayan memang mendekat saat melihat Aksa keluar dari kediamannya dengan membawa kemarahan, namun, tak ada satupun yang berani menjawab."Ayu, Ayu, buka matamu." Kekhawatiran tercetak jelas di wajah Aksa, bahkan binar mata itu membawa penyesalan yang teramat dalam.Gaun
Yesti gemetaran saat Ethan kembali membawa lima orang beserta lima ember air es di tangan mereka masing-masing. "Aksa, setelah sembilan tahun pernikahan kita, apakah kamu akan melakukan ini padaku?" Yesti ingin memegang tangan Aksa, namun pria tersebut segera mundur. Aksa malah memerintahkan pada dua pelayan yang tadinya terus berlutut untuk bertindak seperti apa yang mereka lakukan pada Dahayu tadi malam. "Lakukan seperti apa yang kalian lakukan pada Dahayu, jika tidak ingin stick bisbol ini menghancurkan kepala kalian." Dua pelayan itu saling menatap bingung, tapi juga ketakutan. Yesti sudah lama menjadi nyonya muda di kediaman Jayanta, tentu saja lebih banyak keraguan daripada melakukannya pada Dahayu yang baru saja datang dan membawa status predikat buruk. Sementara Aksa menatap Ethan sejenak kemudian membalikkan tubuh dengan perlahan. Ethan segera tahu apa yang diinginkan Aksa. Dia pun memberi isyarat pada lima orang yang membawa ember besar untuk mengguyur Yesti secara ber
Udara basah dan lembab menyelimuti kota Zimo sepanjang hari, sejak hujan berhenti sebentar di pagi hari, langit kembali menumpahkan rintik air yang tak kunjung reda meski juga tak terlalu deras. Langit kelabu tampak jelas dari jendela kaca di kamar Dahayu, saat gadis tersebut membuka kelopak mata dengan berat. "Nyonya, Anda sudah bangun?" Suara seorang pelayan membuat Dahayu menoleh. "Syukurlah Nyonya sudah sadar, Nyonya membutuhkan sesuatu?" Dahayu tak segera menjawab, dia masih menyesuaikan diri dengan ruangan asing tersebut. Dahayu baru ingat dengan kejadian tadi malam setelah sedikit menggerakkan tubuhnya yang terasa remuk redam. "Nyonya tidak perlu banyak bergerak jika masih sakit, katakan saja jika memerlukan sesuatu.'' Pelayan tersebut terus berkata dengan sopan dan lembut kepada Dahayu. Sepertinya dia memang sangat ingin melayani Dahayu dengan baik. "Bantu aku duduk." Suara Dahayu yang timbul tenggelam terdengar sangat serak, namun malah membuat pelayan tersenyum dan men
Aksa meletakkan ponsel dengan pelan di atas meja dan memejamkan mata. Dia tidak mempunyai dendam apapun pada Lukas meski dia sangat tahu saudara tak seibu itu tidak akan berhenti menyerangnya sampai di situ. Sejak Lukas mengetahui jika Elena adalah selingkuhan Defgan semasa ibu kandungnya masih hidup. Lukas menjadi sangat membenci keberadaan Aksa dan Elena di rumahnya. Lukas menganggap kematian ibunya akibat tertekan karena perselingkuhan Defgan dengan Elena, hingga dia berusaha melahirkan Lukas secara prematur agar anak pertama keluarga Jayanta keluar dari rahimnya. Namun, hanya kekecewaan yang dia dapat, ibu kandung Lukas baru berhasil melahirkan setelah Aksa lahir satu jam sebelumnya. Itu membuat ibu kandung Lukas sangat tertekan dan kehilangan nyawa akibat depresi berlebihan pasca melahirkan paksa. Kematian ibu kandung Lukas mempermudah Elena masuk dan menjadi nyonya besar Jayanta. Terlebih dia juga melahirkan putra pertama yang nantinya akan mewarisi semua harta kekayaan kel
Rona gelap berangsur-angsur mendominasi malam. Langit belum juga berhenti menumpahkan pasukan basah yang menyerbu bagai anak panah menuju ke daratan, bersamaan dengan itu, cahaya terang kadangkala berkilat dan mengerjap. Setelah Aksa memberikan perhatiannya pada istri muda di siang hari, mana mungkin Yesti membiarkan pergi di malam hari. Yesti terus menggoda Aksa, namun pria tersebut sungguh tak ingin melakukannya. Sampai Yesti lelah dan tertidur dengan sendirinya setelah merengek mengingatkan Aksa tentang kejadian 10 tahun yang lalu. Itu bagai pemaksaan agar Aksa terus berada di samping Yesti seumur hidup. Namun, ketika ingat dokter mengatakan bahwa kandungan Yesti kehilangan kesuburan akibat ketergantungan suplemen pelangsing, seketika membuat Aksa kesal. Berkali-kali Aksa mengatakan pada Yesti bahwa dia akan menerima apapun kondisinya, tapi Yesti begitu keras kepala dan mempertahankan pendiriannya. "Sebagai istrimu aku selalu ingin selalu sempurna, Aksa." Itu yang dikatakan Ye