Share

4. Apakah Ini Takdirnya?

Dahayu terdiam lemah di salah satu bangku stasiun kereta api, terpaku menatap gerbong kereta yang beberapa saat lagi akan membawanya pergi.

Cek bernilai ratusan juta dia genggam dengan erat. Ini cukup untuknya bertahan dan memulai hidup baru.

Dahayu segera berdiri setelah menghela napas kasar, dia hendak masuk ke dalam kereta seperti penumpang lain.

Dahayu menyamankan diri pada tempat duduk dengan tenang, dan mengosongkan pikiran berharap ini adalah awal yang baik.

Tapi segera terkejut manakala seseorang meraih tangannya dan berucap, "Kamu mau ke mana?"

Secara alami Dahayu menoleh dengan gerakan terkejut. "Tu-tuan ... bagaimana kamu bisa di sini?"

"Ayo pulang." Aksa menarik tangan Dahayu yang langsung mendapat penolakan.

"Saya tidak akan kembali. Saya tidak ingin menjadi orang ketiga di antara kalian. Lagipula saya adalah kriminal, saya tidak ingin mempermalukan, Tuan." Dahayu berusaha melepaskan genggaman Aksa.

"Kamu masih istriku, aku yang akan memutuskan kamu pergi atau tidak."

Detik berikutnya Dahayu merasakan tubuhnya sudah melayang di udara saat Aksa menggendong dan membawa pergi dari dalam kereta, tak peduli jika banyak orang memperhatikannya.

"Tuan, saya tidak mau pulang ke rumah, saya tidak ingin terus menyakiti perasaan nyonya." Dahayu masih bersikeras meloloskan diri.

"Kamu tidak akan pulang, kamu harus melanjutkan pendidikanmu ke luar negeri."

Dahayu langsung berhenti meronta, wajahnya mendongak menatap Aksa yang terus berjalan sambil menggendongnya menuju mobil.

***

Empat tahun kemudian ....

Yesti berdiri di depan pintu ruang dokter kandungan. Wajahnya sendu menatap secarik kertas di mana ada tulisan tebal dengan kata, 'Negatif'.

Mengundang helaan napas kekecewaan keluar dari celah hidung Aksa, ini sudah sekian kalinya dia mendapat kabar yang tak memuaskan hati.

Kemudian melangkah ringan di koridor rumah sakit sembari menyembunyikan kedua tangan di balik saku, meninggalkan Yesti yang masih terpaku.

Yesti sudah berhenti mengkonsumsi pil kontrasepsi selama bertahun-tahun, tapi sampai sekarang belum juga mendapatkan hasil yang dia harapkan.

Dokter mengatakan itu adalah efek dari suplemen pelangsing yang rutin dia konsumsi hingga kesuburannya mulai menurun.

Terlebih tekanan darahnya sering naik sejak dia ketergantungan mengkonsumsi suplemen pelangsing tersebut, hingga dokter meresepkan obat untuk menurunkan tekanan darah yang ternyata juga mempengaruhi kesuburan wanita.

Yesti belum putus asa dia segera berlari menyusul Aksa yang sudah berjalan agak jauh darinya.

"Aksa, kita bisa mencoba bayi tabung," ucap Yesti setelah berhasil meraih lengan Aksa.

Tak ada tanggapan dari laki-laki itu, dia terus melangkah santai dengan raut wajah dingin.

"Aksa, katakan sesuatu. Aku masih belum menyerah," Yesti membujuk suaminya.

"Kita bicarakan lain kali saja, aku akan pergi ke luar kota. Aku sudah menyuruh sopir untuk menjemputmu." Aksa melepaskan rengkuhan tangan Yesti dan berlenggang pergi dengan langkah santai kembali meninggalkan Yesti.

Untuk sesaat Yesti kembali terpaku, menatap punggung tegap suaminya yang terus menjauh.

Aksa sudah tak sehangat sebelumnya, setelah berkali-kali mendapat kekecewaan dari hasil tes kehamilan yang Yesti jalani.

Yesti sangat takut cinta Aksa luntur lantaran ketidakberhasilannya.

Tapi tak ingin terus hanyut dalam kesedihan, Yesti segera mengeluarkan ponsel dan memanggil seseorang. " Lukas, aku sangat pusing, bisa temani aku minum?"

Sementara saat ini Aksa sudah mengemudi menuju desa dengan pemandangan danau yang sangat indah, di mana itu adalah tempat tinggal istri kecilnya yang masih berada di luar negeri saat ini.

Resort yang dulunya mangkrak, kini sudah menjadi bangunan megah yang siap menyambut para wisatawan yang hendak menikmati pemandangan danau dengan air jernih dan tenang, setelah diresmikan.

Itulah tujuan Aksa datang ke desa sekarang. Dia ingin meresmikan resort yang telah dia bangun.

Setelah pemotongan pita dan berbasa-basi dengan tamu undangan, akhirnya acara usai.

Namun, dia tak ingin segera kembali ke kota, ditatapnya rona hijau dari sawah dan ladang yang mengelilingi danau.

Sedikit ada rona kuning kala bias cakrawala senja jatuh di atasnya.

Entah mengapa, itu justru mengundang kerinduan pada istri kecilnya yang tak pernah dia hubungi.

"Bagaimana kabarnya gadis kecil itu sekarang?" gumamnya pelan dengan senyum samar di bibirnya.

Empat tahun ini, Aksa hanya tahu kabar Dahayu dari orang yang dia tugaskan untuk mengurusnya.

Dia tak ingin mengganggu Dahayu agar gadis itu fokus belajar, dia juga tak pernah menjenguknya ke luar negeri.

Bukan tanpa alasan, itu dia lakukan demi menjaga perasaan Yesti, bahkan menelpon pun tidak dia lakukan.

Aksa sendiri sadar, dia pasti tidak tahu apa yang akan dia bicarakan jika memaksa menelpon Dahayu.

Tapi sekarang dia ada di desa, bukankah dia mempunyai alasan untuk menelpon?

Kembali senyum samar terlihat kala Aksa menyahut kunci mobil dan bergegas menuju rumah orang tua Dahayu.

Sambutan hangat segera dia terima dari sepasang mertuanya yang sudah lama tak bertemu.

Berbasa-basi sesaat, kemudian mengeluarkan ponsel untuk menelpon Dahayu.

"Tuan." Tiba-tiba hati Aksa bergetar mendengar suara lembut dari seberang.

"Hmm, aku sedang berada di rumah orang tuamu, kamu ingin berbicara dengan mereka?" tanya Aksa datar dan kaku.

Terdengar suara tawa bahagia dari seberang, kemudian jawaban terdengar. "Iya, tentu saja."

Segera Aksa mengulurkan ponselnya pada ayah Dahayu.

"Ayu, bagaimana kabarmu? Kami sangat merindukanmu. Suamimu sudah sering pulang ke rumah, tapi kamu sendiri malah berada di luar negeri. Kapan kamu akan pulang?" Ayah Dahayu sangat bersemangat menelpon putrinya.

Gelak tawa Dahayu kembali terdengar. "Aku harus menjawab dari mana dulu nih?" candanya.

"Tch, kamu ini, apakah kamu tidak merindukan rumah? Ayo cepat pulang!" Suara ayah Dahayu sedikit meninggi, tapi Dahayu tahu itu hanya wujud candaan dari ayahnya, hingga dia tak bisa menahan diri untuk kembali tergelak.

Ibu Dahayu juga tak bisa menahan diri untuk berbicara. "Ayu, jangan bercanda terus, ini sudah empat tahun lebih pernikahanmu dengan nak Aksa. Jika kamu terus berada di luar negeri, kapan kamu akan memberi kami cucu?"

"Ah, Ibu ini bicara apa? Aku ini masih muda. Kenapa harus buru-buru mempunyai anak? Aku ingin bekerja dulu."

"Aish ... kamu ini berbicara seakan tidak punya suami saja."

Perbincangan orang tua dan anak itu masih berlanjut dibumbui dengan canda dan gelak tawa.

Sementara Aksa hanya tersenyum samar mendengar perbincangan mereka.

Setelah mereka membahas masalah cucu, ingatan Aksa kembali pada Yesti yang sangat sulit hamil.

'Apakah ini memang takdir gadis kecil itu?' batin Aksa bergetar.

Setelah puas berbincang dengan putrinya ayah Dahayu mengembalikan ponsel tersebut pada Aksa.

"Terima kasih, sudah menengok ayah dan ibu." Kini suara Dahayu yang lembut menempel pada daun telinga Aksa setelah laki-laki tersebut mematikan mode pengeras suara.

"Hmm, bagaimana belajarmu?" tanyanya datar.

"Lancar, bahkan besok aku akan wisuda."

Kelopak mata Aksa terangkat perlahan setelah mendengar keterangan istri kecilnya. 'Sudah secepat itu?' batinnya.

"Jam berapa?" Aksa kembali bertanya datar.

"Jam sepuluh."

"Baik, segera beristirahatlah." Aksa memutus panggilan dengan kaku.

Kemudian Aksa segera berpamitan ingin kembali ke kota. Di perjalan dia menghubungi sekretarisnya.

"Siapkan akomodasi penerbangan ke negara M. Aku ingin menemui istri kecilku. Dia harus melahirkan bayi untukku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status