Detik selanjutnya dia merasakan hujaman benda tajam yang menusuk lehernya dengan bringas.
Suaranya tercekat, mulutnya terbuka mencoba untuk mengeluarkan teriakannya. Namun tidak ada sedikitpun suara yang keluar.
Dengan segala upaya wanita itu mencoba melepaskan diri. Memukul, mendorong hingga mencakar tubuh lelaki gila itu. Tanpa terasa kuku-kuku cantiknya telah rusak dan patah, darah mengalir dari luka pada bekas kukunya itu.
Perlahan tenaga wanita itu terasa seperti terkuras habis. Begitupun dengan darah yang ada di dalam tubuhnya.
Brugh.
Dengan mudahnya lelaki itu meninggalkan wanita yang sudah tidak bernyawa di tengah gang sepi tempat dia menyantap hidangan lezat.
"Aku sudah mengantarmu pulang, Nona. Pulang ke alam baka," gumamnya lalu secepat kilat menghilang di kegelapan malam.
Masa Kini.
Di sebuah Sekolah Elite yang memiliki bangunan yang megah dengan pilar-pilar yang tinggi menjulang, terlihat suasana ramai Para Remaja London yang baru tiba.
Berbagai kendaraan dengan harga selangit sudah biasa menjadi pemandangan di area halaman depan sekolah itu. Seragam yang mereka pakai pun tidak seperti seragam sekolah-sekolah lain.
Kemeja, dasi, celana panjang, rok dan jas masing-masing dari Brand Channel yang didesain khusus dengan warna hitam merah yang elegan.
Bukan hanya kekayaan yang melimpah, semua siswa yang bersekolah memiliki paras yang rupawan bak malaikat yang turun ke bumi.
Berbanding dengan parasnya yang bak malaikat, kepribadian mereka sangat berbeda 180 derajat. Egois, licik, suka menindas orang lain, bahkan berani melakukan kekerasan adalah sebagian perilaku buruk mereka.
Mereka sering membentuk perkumpulan-perkumpulan kecil. Perkumpulan yang kerap disebut geng. Setiap geng berisi 3-6 orang dan tidak terbatas oleh gender.
Dari sekian siswa-siswi yang ikut dalam geng, terdapat satu orang siswa baru yang tidak ikut dalam geng manapun. Dia selalu menyendiri dan bersikap acuh tak acuh kepada lingkungannya.
Walau bersikap seperti itu, dia selalu menjadi pusat perhatian saat didalam kelas maupun diluar kelas. Wajar saja karena lelaki itu berparas sangat rupawan di antara siswa lainnya. Hampir seluruh wanita di sekolah mengidolakannya. Selain itu kepribadiannya yang misterius semakin menambah daya tarik lelaki itu.
Karena dirinya yang tidak pernah ikut dalam geng apapun dan kepopulerannya di kalangan wanita membuatnya kerap menjadi bahan perebutan atau bahkan perundungan. Seperti kali ini.
"Hei! Kau tidak pernah bergabung dengan geng manapun," bentaknya.
Seorang lelaki dengan tubuh yang tinggi dan rambut yang tersisir rapi. Tertera nama 'Tony Preig' di name tagnya.
Lelaki berparas rupawan yang sedang diajak berbicara terlihat duduk diam di kursinya dengan mata yang terpejam. Dia tidak menanggapi ucapan Tony. Sepasang earphone terselip di kedua telinga lelaki berparas rupawan itu.
"Hei! Apa kau mendengarku? Sombong sekali, lihat saja apa yang akan aku lakukan," kesal Tony yang merasa diacuhkan, tersenyum ke arah 3 temannya yang berada di sampingnya.
Salah satu teman Tony mengambil sebotol minuman berwarna merah dari dalam kantong plastik yang dia bawa.
Tanpa ragu Tony merebut botol itu dan membuka penutupnya. Lalu detik selanjutnya dia berniat menuangkan cairan minuman ke lelaki rupawan itu.
Plak.
Hal mengejutkan terjadi. Seragam Tony basah oleh cairan minuman berwarna merah itu. Ya, minuman itu tumpah karena seseorang melempar apel tepat mengenai botol sehingga isi cairan itu membasahi seragam mahal miliknya.
Semua siswa yang berada di kelas melihat dengan antusias kejadian yang baru saja terjadi.
"Aaaarrgghhh.. Siapa yang melemparkan apel sialan ini?!" murka Tony.
Sebelumnya ada seorang lelaki berkacamata bulat dengan name tag 'Vincent' yang baru saja masuk ke dalam kelas melihat lelaki berparas rupawan yang sedang diganggu oleh Tony dan gengnya.
Dia melihat Tony hendak menyiramkan minuman ke lelaki rupawan itu. Vincent yang membawa sebuah apel dari kantin sontak melemparkannya ke botol minuman itu hingga tumpah ke seragam Tony.
Saat akan kabur, ke-3 teman Tony melihat Vincent. Tanpa membuang waktu, Vincent pun berlari keluar kelas. Dan benar saja, saat ini dia sedang berlari di lorong dengan 3 teman Tony yang mengejarnya.
Sret.
Vincent berhasil tertangkap. Seragamnya ditarik dengan kasar hingga beberapa kancingnya terlepas. Lalu pukulan-pukulan menjatuhi wajah dan tubuhnya.
Bugh.
Bugh.
Bugh.
Semua siswa yang melihat, hanya berjalan melewati mereka tanpa ada yang peduli. Jangankan melerai, sebagian mereka hanya menonton bahkan bertaruh mengenai berapa lama Vincent yang dipukuli itu bisa bertahan.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan dari arah lain.
"Aakhh!" teriak seorang siswi. Dia memekik kaget ketika melihat lelaki berparas rupawan itu sedang menyeret Tony.
Sampai di depan 3 teman gengnya, lelaki berparas rupawan itu melepaskan Tony.
"Hentikan. Jangan pukul dia lagi!" seru Tony tiba-tiba.
"Kenapa? Dia sudah berani denganmu," sahut dari salah satu teman Tony.
Lelaki berparas rupawan itu menatap Tony. Dia menunggu jawaban darinya.
"Tidak usah banyak tanya. Carikan aku seragam baru," perintah Tony lalu berjalan melewati 3 temannya tadi.
Sebelum beranjak, ke-3 lelaki itu menendang tubuh Vincent yang sudah babak belur sekali lalu melenggang pergi. Keadaan Vincent sangat mengenaskan, wajah yang lebam dan darah di dahi dan sudut bibirnya.
Untuk bangun saja dia tidak mampu, tubuhnya seakan remuk dan tulang-tulangnya seperti ingin memisahkan diri.
“Urus dirimu sendiri.” ucap lelaki rupawan itu. Dia hanya melihat kondisi Vincent yang babak belur.
“Carrington!” panggilnya.
Vincent berusaha mencegah lelaki berparas rupawan itu beranjak pergi meninggalkannya.
Sesungguhnya dia sudah senang bisa bertatap muka dengan lelaki rupawan itu. Dia merasa tertarik dengan lelaki itu karena keunikannya.
Tidak bergabung dengan geng manapun adalah keunikan yang dimaksud.
Lelaki berparas rupawan bernama Carrington itu tiba-tiba menghentikan langkahnya dan diam mematung seperti sedang mengalami hal yang membuatnya terkejut.
Bel tanda masuk kelas sudah berbunyi, semua siswa masuk ke kelas mereka masing-masing menyisakan dua lelaki itu.
Tanpa menoleh, Carrington kembali melangkahkan kakinya menjauh dari Vincent.
Sekarang luka-luka pada Vincent sudah diobati, dia yang sedang terduduk di ranjang empuk itu mencoba bertanya mengenai siapa yang melaporkan dirinya kepada petugas kesehatan sekolah.
Dan jawaban yang tidak terduga seketika membuatnya tertegun.
“Aldrich yang melaporkanmu. Dia memang anak baik dan teladan bagi sekolah ini,” terang wanita petugas kesehatan.
"Aldrich ? Aldrich Carrington? Dia peduli denganku? Oh God!" teriak girang alam bawah sadarnya.
Vincent terlihat bersemangat untuk bertemu Carrington, dia meninggalkan ruang kesehatan tanpa menghiraukan himbauan dari petugas bahwa dia harus istirahat lebih lama.
Dengan berlari, Vincent pergi menuju kelasnya yang kebetulan sudah selesai pembelajaran.
Kriiinnggg
Bunyi bel pulang memenuhi seluruh area sekolah, tepat sebelum Carrington keluar kelas Vincent mencegatnya. Dengan wajah datar Carrington memandangi lelaki itu dengan bibir yang terkatup rapat enggan untuk berbicara.
“Ternyata kamu memiliki rasa kepedulian juga," goda Vincent.
“Aku tidak punya waktu untuk ini. Minggir,” suruh Carrington.
“Carrington, apa kamu mau—”
Vincent menghentikan perkataannya ketika melihat Carrington berdiri mematung. Kali ini Carrington berbalik dan menatapnya. Tatapan yang sangat tajam seolah ingin membunuhnya.
“Jangan pernah memanggilku dengan nama itu,” desis Carrington.
“Kalau begitu kita harus berkenalan. Aku Vincent Reed, kamu bisa memanggilku Vincent." Vincent mengulurkan tangan tanda perkenalan.
“Aku tidak ingin berkenalan denganmu. Jadi menjauhlah dariku,” geram Carrington.
Lalu dia melangkahkan kakinya dengan cepat dan menghilang dari hadapan Vincent.
“Aku tidak akan menyerah. Lihat saja nanti,” gumam Vincent. Senyuman mengembang di bibirnya.
Sinar mentari mulai memberikan kehangatan bagi seluruh penghuni bumi. Lelaki yang masih terlelap itu mulai membuka matanya karena gangguan dari sinar yang menelusup dari tirai jendela kamarnya."Aku bosan dengan semua ini," keluhnya.Siapakah lelaki itu?Benar dia adalah Aldrich. Lelaki itu tinggal sendiri di sebuah Apartemen Mewah yang hanya ditinggali oleh para konglomerat.Sekaya apa hingga bisa disebut konglomerat?Jika kamu memiliki harta bersih senilai 1 Million Dollars dan masih bisa bertambah setiap hari. Kamu bisa disebut sebagai konglomerat.
Kerlap-kerlip lampu mengiringi musik dari DJ yang sedang berdentum ria. Seorang lelaki dengan bertubuh kekar dan kulit sawo matang sedang asik menggoyangkan tubuhnya dengan enerjik. Dia adalah Hugo Stein. Tampaknya alkohol sudah mulai menguasai dirinya. Dengan langkah yang sedikit limbung dia beranjak dari lantai dansa dan kembali ke meja bar. Dia meminta bartender untuk mengisi kembali sampanye yang sudah kesekian kalinya. Bartender itu menatap sinis Hugo. "Apa?! Lakukan saja tugasmu," bentak Hugo tidak suka. Sebenarnya bartender itu tidak peduli jika Hugo mabuk. Akan tetapi dia hanya tidak ingin di barnya terjadi keributan yang tidak penting karena seseorang yang mabuk.
Semua pelajaran hari ini berlangsung seperti biasa. Saat guru keluar dari ruangan kelas, datanglah seorang wali kelas. "Halo, saya hanya ingin menyampaikan untuk siswa baru setelah ini kalian jangan pulang dulu. Ikut ke ruangan saya," ucap Ibu Wali Kelas. "Aldrich, Vincent! Jangan coba-coba kabur lagi." Ibu Wali Kelas menunggu di depan pintu. Aldrich dengan tenang berjalan menuju pintu keluar. Vincent segera menyusul lelaki itu lalu berbisik. "Kamu ikut ke ruangan?" Aldrich tidak menjawab, dia mempercepat langkahnya melewati wali kelas dengan mudah. Wali kelas itu terlihat seperti tersihir hanya diam hingga Aldrich menjauh dari pandangannya. Vincent melihat kejadian baru saja dengan takjub. Lalu dia berniat untuk kabur juga, belum sempat dia berjalan melewati wali kelas, tangannya ditarik oleh sang wali kelas. "Mau kemana?" &nb
"Fuck! Aku harus kembali ke rumah," umpat Aldrich.Tidak peduli lagi dengan ponselnya yang remuk, dia kembali masuk ke dalam mobil lalu menginjak pedal gas hingga suara deruman khas Mobil Ferrari terdengar.Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan ke rumahnya yang berada cukup jauh dari pusat kota. Kini Aldrich sudah memasuki pekarangan rumahnya, terdapat taman luas yang menghiasi bangunan rumah bergaya Victorian itu.Aldrich segera menghentikan mobilnya cukup jauh dari pintu masuk. Tampak di depan pintu masuk seorang lelaki terlihat tidak tenang. Ditambah dengan melihat Aldrich yang datang dengan raut wajah dinginnya, membuat lelaki yang berdiri di depan pintu semakin ketakutan."T—uan," sapa lelaki itu.
“Ada perlu apa dengan teman saya, Pak?” tutur Vincent.Salah satu polisi itu menggiring Vincent untuk pergi dari ruang kelas, sementara polisi lainnya sedang menanyakan beberapa pertanyaan kepada Aldrich. “Kamu mengenal Hugo Stein?”“Kami berada di kelas yang berbeda, tapi saya pernah bertemu dengannya,” balas Aldrich.“Berdasar pada informasi yang diberikan oleh gurumu, kamu pernah berkelahi dengannya. Apa itu benar?”“Hugo memukul saya, tapi saya tidak membalas. Apa itu dapat disimpulkan sebagai perkelahian?” Aldrich tersenyum dengan menatap lekat polisi di depannya.“Oke, aku mengerti. Lal
Berita pagi ini sangat membuat warga London merasa ketakutan. Di seluruh media elektronik maupun media cetak tersebar berita mengenai penemuan jasad wanita dengan leher yang terkoyak akibat gigitan sesuatu. Para petugas kepolisian pun melakukan penyelidikan mengenai kasus ini. Seluruh area hutan itu pun ditutup semetara selama proses penyelidikan. Memang hutan yang menjadi tempat penemuan jasad itu adalah hutan yang masih alami dan tentunya terdapat banyak hewan-hewan buas. Namun terdapat kejanggalan yang masih menjadi pertanyaan bagi petugas kepolisian. Apa motif wanita itu hingga pergi ke hutan? Jika memang dia diserang binatang buas, mengapa tidak ada tanda perlawanan dari wanita itu?
Tepat tengah malam, Aldrich mengendarai mobilnya ke arah rumah tahanan tempat Hugo menjalani hukumannya. Sesampainya disana, dia melakukan teleportasi untuk bisa masuk ke dalam area rumah tahanan. Dengan mudah Aldrich menyusup masuk melewati pintu depan yang ternyata sedang tidak ada penjaga.Setiap langkah kaki yang dia ambil, setiap lampu juga akan mati seketika. Sehingga semua lorong yang dia lewati menjadi gelap. Saat akan sampai di sel tahanan Hugo, Aldrich bertemu dengan dua orang sipir. Mereka berdua terkejut melihat Aldrich yang tiba-tiba ada di dalam rumah tahanan."Siapa kamu?" tanya salah satu sipir.Aldrich hanya diam dan menatap dua sipir itu. Dia kembali melanjutkan langkahnya. Tapi baru satu langkah, kedua sipir itu menahan bahunya untuk berhenti.
KriingggBel pulang sekolah telah berbunyi. Semua siswa pun bersiap untuk pulang. Termasuk Aldrich yang baru saja selesai berkemas. Namun saat akan keluar dari kelas, Helena memanggil Aldrich."Aldrich tunggu!" teriak Helena.Tapi Aldrich sama sekali tidak menghiraukan Helena dan terus melangkahkan kakinya. Helena segera menyusul Aldrich yang sudah berjalan cukup jauh di lorong sekolah."Apa telingamu sudah tidak berfungsi?" kesal Helena.Aldrich tetap diam dan melanjutkan langkahnya menuju halaman parkir. Helena yang merasa kesal pun menghadang Aldrich. "Kenapa kamu hanya diam? Apa aku ada salah?"
Saat Johannes akan mengambil tas Helena, Vincent mencegat Johannes. Hal itu membuat Johannes mengerutkan alisnya. "Apa terjadi sesuatu dengan Helena?" tanya Vincent dengan tatapan cemas. "Helena sedang tidak enak badan. Jadi saya akan membawanya pulang." Johannes menjawab Vincent dengan sopan. Tidak lupa Johannes meminta izin kepada guru di kelas untuk membawa Helena pulang. Lalu sebelum keluar dari kelas, Johannes melihat Aldrich dengan tatapan tajam. Sementara Aldrich hanya memasang wajah tenang dan datar. ••• Beberapa jam berlalu, Helena hanya bisa diam di atas ranjang. Sangat membosankan baginya, namun dia juga tidak bisa bergerak dengan leluasa karena punggungnya yang masih sakit. Saat ini Helena sedang berada di rumah Paman Peter. Ya, Helena dan teman-temannya belum kembali ke rumah mereka sendiri. Tok. Tok. Tok Helena sedikit mendudukkan tubuhnya. "Masuk." Helena menatap ke arah pintu yang ternyata sudah berdiri Eric di sana. "Bagaimana kabarmu?" tanya Eric. "Masih hi
Setelah beberapa menit, dokter Susan pun selesai melakukan pemeriksaannya terhadap Helena. Dokter Susan mengambil kertas dari tasnya dan menuliskan resep."Beruntung punggung anda tidak mengalami cedera yang serius. Tapi tetap saja anda harus istirahat, jangan melakukan banyak gerakan dan minum obat dari resep yang sudah saya tulis," jelas Susan.Helena menerima resep obat dari Susan. "Baik, Dok. Terima Kasih.""Kalau begitu, tugas saya sudah selesai. Semoga anda segera pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa.""Terima Kasih. Biar saya antar anda ke depan," ucap Helena.Susan tersenyum simpul. "Oh tidak perlu, lebih baik anda istirahat saja. Ah ya, Aldrich sudah membayar semuanya jadi anda tidak perlu khawatir. Selamat siang."Helena tidak menjawab dan hanya menatap kepergian Susan. Saat di luar UKS, Helena bisa melihat Aldrich dan Susan yang saling berbicara. Tidak lama kemudian Aldrich masuk ke dalam UKS."Berikan aku rekaman cctvnya," ketus Helena."Tidak ada terima kasih?" "Aku
Helena berhasil terlelap dalam sekejap. Namun beberapa menit kemudian dia merasakan belaian tangan seseorang di wajahnya. Helena sedikit terganggu namun dia masih enggan membuka mata. Selanjutnya, dia merasakan hembusan nafas di telinganya. Sekali, dua kali dia mencoba tidak menghiraukannya. Tapi hembusan nafas itu malah berpindah ke lehernya. Perlahan hembusan nafas di leher berubah menjadi kecupan kecil, jilatan hingga ciuman. Spontan Helena membuka mata seketika.Betapa terkejutnya Helena melihat beberapa mahluk berparas cantik dan tampan berada di kamarnya. Bukan hanya 1 atau 2 mahluk, tapi lebih dari 10 mahluk. Dan disampingnya sedang duduk seorang lelaki tampan dengan netra merah ketara jelas. Vampir, satu kata yang ada di pikiran Helena.Alam bawah sadarnya seketika menyuruhnya untuk mengambil senjata di balik ranjang. Tapi belum sempat dia bergeser 1 senti pun, lelaki di sampingnya menahan tubuhnya hingga tidak bisa bergerak."Siapa yang memperbolehkanmu pergi?" ucap lelaki
Mendekati ruang otopsi, Vincent memberitahu Helena dan Aldrich untuk memakai pakaian khusus agar tetap steril dan bersih. Mereka pun memakai pakaian khusus yang diberikan oleh petugas ruang otopsi. Sesekali Helena melirik ke arah Aldrich, untuk kembali mengamatinya."Tuan Vincent, Helena dan Aldrich…kalian sudah siap?" tanya petugas ruang otopsi."Aku perlu ke kamar mandi sebentar." jawab Aldrich tiba-tiba.Vincent mengangguk menanggapinya. Sementara Helena hanya diam, di dalam hatinya dia ingin sekali mengikuti Aldrich. Helena tidak ingin melewatkan hal sekecil apapun. Saat Aldrich sudah pergi, Helena pun ijin untuk pergi ke kamar mandi juga. Bedanya, Helena tidak menunggu jawaban dan seketika pergi begitu saja.Helena melihat Aldrich yang sudah berbelok ke arah kamar mandi pria. Perlahan Helena berjalan hingga sampai depan kamar mandi pria. Mendengar suara pintu bilik tertutup di dalam kamar mandi, Helena pun membuka pintu yang berada di depannya sedikit demi sedikit. Beruntungnya,
"Helena, apa kamu sibuk sepulang sekolah?" tanya Vincent. Lelaki itu menghampiri Helena di mejanya.Helena mengangkat kedua bahunya. "Sepertinya aku tidak ada acara atau kegiatan lain nanti. Kenapa?"Vincent menatap Aldrich yang sedang menutup mata menikmati musik dari earphone miliknya. Segera Vincent mendekati Aldrich dan melepas earphone dari telinganya.Alhasil, Aldrich menatap Vincent dengan tajam. Tapi, seperti biasanya Vincent tidak menghiraukan tatapan itu. Jika siswa lain, mereka pasti sudah menjauh dengan wajah takut."Oke dengar, kalian ingat 'kan dengan tugas anatomi manusia? Aku berencana sepulang sekolah kita pergi ke rumah sakit milik ayahku untuk mengerjakan tugas itu," terang Vincent."Aku tidak ikut," tolak Aldrich.Vincent dan Helena menatap ke arah Aldrich."Kenapa kamu tidak mau ikut? Aldrich, ingat ini tu
Aldrich mengendarai mobilnya dengan cepat menuju hotel tempat dia menginap. Raut wajahnya kembali datar namun tidak lama kemudian senyuman tipis menghiasi bibirnya. Setelah berkendara cukup lama, Aldrich pun sampai di sebuah hotel bergaya klasik. Halaman hotel terlihat rimbun karena pepohonan tinggi menjulang. Beberapa mobil tua klasik terparkir di sana. Baru saja keluar dari mobil, Aldrich mendengar suara langkah kaki yang berjalan mendekatinya. "Derrick, sepertinya kamu sudah cukup sehat hingga bisa berkeliaran disini." "Kamu tampak kesal. Apa karena kamu tidak berhasil membunuhku?" ejek Derrick. "Aku hanya kesal harus menunda hari kematianmu kemarin."
Setelah naik ke lantai 2, Helena dan Aldrich berjalan ke ruangan di ujung dengan pintu berwarna coklat. Di depan pintu terdapat rangkaian bunga kering yang membentuk lingkaran.Helena membuka pintu itu, lalu mempersilahkan Aldrich masuk lebih dulu. Di dalam kamar ternyata memiliki ruang yang cukup luas. Tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil. Aldrich melihat beberapa buku yang tertata rapi di sebuah meja belajar yang cukup tua.Dari tempatnya berdiri, jika dia berbalik maka akan bertatapan dengan sebuah ranjang yang tidak besar. Di kepala ranjang terdapat ukiran yang unik."Semoga iblis tidak merasukimu," lirih Aldrich. Dia membaca tulisan di ukiran itu."Ehh ... kamu bisa membacanya? Itu dituli
Jam pulang sekolah pun tiba. Namun cuaca terlihat tidak bersahabat, hujan deras diiringi petir mengguyur seluruh kota. Satu persatu siswa pergi dari sekolah. Mereka pulang tanpa khawatir kehujanan, karena mereka memiliki kendaraan pribadi. "Ah, aku akan pulang sekarang. Kurasa hujannya tidak berhenti dalam waktu dekat. Helena, apa kamu membawa mobil?" tanya Vincent. Helena tersenyum kecut. "Aku tadi diantar oleh temanku. Sekarang, temanku agak sibuk … dia tidak bisa datang menjemputku. Aku akan mencoba mencari taksi online." "Dimana alamat rumahmu? Mungkin aku bisa mengantarmu." tawar Vincent. "Aku tinggal di xxxxx dekat ke arah hutan perbatasan—"
Rintik-rintik hujan membasahi kota London pagi ini. Langit terlihat gelap, sinar mentari seakan enggan untuk menampakkan dirinya. Suasana saat ini sama persis dengan suasana hati Aldrich yang benar-benar buruk.Aldrich baru saja memarkirkan mobilnya di halaman sekolah. Dia lalu keluar dari mobil tanpa peduli dengan rintikan hujan yang membasahi tubuhnya. Tiba-tiba saja Helena mendekatinya dan berbagi payung dengannya. "Apa kamu sibuk sepulang sekolah?"Aldrich hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan Helena. Saat sudah memasuki gedung sekolah, Helena menutup payungnya. Aldrich tetap berjalan tanpa mengucapkan terima kasih atau menunggu Helena."Ada apa denganmu? Kemarin kamu terlihat baik-baik saja. Sekarang kamu terlihat sangat dingin padaku," kesal Helena.