"Fuck! Aku harus kembali ke rumah," umpat Aldrich.
Tidak peduli lagi dengan ponselnya yang remuk, dia kembali masuk ke dalam mobil lalu menginjak pedal gas hingga suara deruman khas Mobil Ferrari terdengar.
Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan ke rumahnya yang berada cukup jauh dari pusat kota. Kini Aldrich sudah memasuki pekarangan rumahnya, terdapat taman luas yang menghiasi bangunan rumah bergaya Victorian itu.
Aldrich segera menghentikan mobilnya cukup jauh dari pintu masuk. Tampak di depan pintu masuk seorang lelaki terlihat tidak tenang. Ditambah dengan melihat Aldrich yang datang dengan raut wajah dinginnya, membuat lelaki yang berdiri di depan pintu semakin ketakutan.
"T—uan," sapa lelaki itu.
"Kenapa kamu malah di luar, huh? Ck, sialan!" kesal Aldrich. Dia pun membuka pintu dengan kasar hingga terbuka lebar.
Di ruang tamunya yang luas, dia tidak melihat Derrick di sana. Aldrich semakin marah, karena dia tahu sepupunya sedang berada di mana.
Dengan sekejap mata, Aldrich sudah berada di tempat sepupunya berada. Sebuah ruangan dengan meja besar di tengah, sedangkan sekelilingnya penuh dengan rak-rak tinggi menjulang hingga ke langit-langit. Bermacam-macam buku tertata rapi pada rak-rak itu.
"Aku ingin sekali mematahkan tangan dan kakimu hingga tidak berbentuk." Aldrich melemparkan sebuah buku yang sangat tebal ke arah Derrick.
Derrick menghindari buku itu. "Hai, Sepupu!"
"Katakan apa maumu lalu menghilanglah dari kehidupanku."
"Tenang, kita bisa bicarakan sambil minum beberapa wine koleksimu."
Aldrich tersenyum seolah setuju namun berbanding terbalik dengan apa yang selanjutnya dilakukan. Dengan gerakan yang sangat cepat, Aldrich membenturkan kepala Derrick ke atas meja besar di tengah ruangan hingga berdarah.
Derrick tidak tinggal diam, dia juga melawan. Sebuah pukulan keras mendarat di perut Aldrich. Namun Derrick kalah telak ketika Aldrich mengunci pergerakan lelaki itu dengan menyatukan tangannya kebelakang lalu mendorong tubuhnya ke meja.
"Aku tidak segan-segan membunuhmu, Derrick. Jangan lupakan siapa aku." Aldrich mencengkram rambut Derrick.
"Ya! Sama seperti kamu yang membunuhnya," desis Derrick.
"Bagus kalau otak kecilmu itu masih mengingatnya," ejek Aldrich.
"Aku juga tahu kalau—"
"Katakan apa maumu atau aku akan memberitahu ayahmu bahwa kamu sedang di sini sekarang."
"Oke, aku akan mengatakannya. Tapi lepaskan aku dulu." Aldrich melepaskan Derrick.
"Aku ingin tinggal di sini," ucap Derrick.
"Hahaha. Aku tidak akan mengizinkanmu," balas Aldrich.
"Oh, ayolah—"
"Keluar dari rumahku sekarang!"
"Aku akan memberimu apapun—"
"Keluar!"
"Dengar, aku sedang dikejar oleh Vampire Hunter. Jadi setidaknya beri aku tempat untuk sembunyi," jelas Derrick.
"Aku tidak peduli. Minta bantuan kepada ayahmu," balas Aldrich.
"Aldrich!" seru Derrick.
"Itu masalahmu, jadi urus masalahmu sendiri. Sekarang, keluar dari sini!"
Dengan berat hati, Derrick pun keluar dari rumah. Dia merasa sakit hati, tangannya memukul rak buku di sampingnya dengan keras hingga patah pada salah satu bilah kayu dan membuat beberapa buku terjatuh.
Aldrich mengikuti Derrick hingga lelaki itu benar-benar keluar dari rumahnya. Setelah memastikan Derrick sudah melewati pagar rumahnya. Aldrich beralih menatap lelaki yang tadi awalnya di depan pintu saat dia datang.
"Harry! sepertinya kamu sudah tidak berguna lagi," ungkap Aldrich. Lelaki yang dipanggil Harry itu seketika terlihat pucat.
"Tidak, Tuan. Maafkan saya. Saya masih ingin hidup," mohon Harry.
Apakah Aldrich akan memaafkannya?
Aldrich berdecak kesal dan memukul wajah Harry hingga babak belur. Dia mencengkram kerah kemeja putih Harry dengan kasar. "Kenapa kamu membiarkannya masuk, huh? Harry, aku merasa sia-sia sudah mengajarimu."
"T—tuan, maafkan saya. Saya tadi sedang berburu hingga tidak tahu jika ada yang masuk ke rumah."
"Aku memperkerjakanmu untuk menjaga rumah ini. Tapi lihat, kamu sudah lalai dari tugasmu. Artinya aku harus membunuhmu."
"T—tuan"
Jleb
Aldrich menggenggam jantung Harry di tangannya, lalu dia meremas jantung itu hingga hancur. Darah terciprat ke pakaian hitamnya.
Teringat akan ponselnya yang hancur, dia pun mengambil ponsel Harry. Dari kejauhan terlihat seorang lelaki yang bekerja di rumah itu sebagai tukang kebun. Dia sedang merapikan pohon.
Aldrich segera menghampiri lelaki itu dan memintanya untuk membersihkan mayat Harry juga mencari seseorang yang bisa memperbaiki rak buku miliknya.
"Mulai sekarang, kamu menggantikan posisi Harry. Cari seseorang yang bisa memperbaiki rak buku, okay? Beri kabar padaku jika sudah selesai," terang Aldrich.
"Eh, baik. Tuan," balasnya. Dia sedikit terkejut karena Aldrich yang tiba-tiba berada di hadapannya.
"Siapa namamu?"
"Norman, Tuan."
Aldrich hanya mengangguk, dia sedang sibuk mengotak-atik ponsel Harry. Kini dia sudah memasukkan kontak miliknya. Lalu dia menelpon orang suruhannya untuk membelikan ponsel baru dan mengirimkannya ke apartemen.
"Norman. Kamu sudah mengerti tugasmu, kan?"
"Iya, Tuan. Saya mengerti."
"Ponsel ini untukmu. Kalau begitu aku akan pergi dari sini." Aldrich memberikan ponsel milik Harry ke Norman.
Aldrich masuk ke dalam mobilnya lalu pergi meninggalkan rumah besar itu kepada Norman, pengurus rumah yang baru.
Menjelang dini hari, Aldrich sampai di area apartemennya. Sejak berada di parkiran, dia merasa ada yang sedang memantaunya. Aldrich tidak memperdulikannya dan melanjutkan langkahnya menuju gedung apartemen. Masuk ke dalam lift, dia menekan tombol lantai miliknya.
Ting
Akhirnya dia pun sampai di lantai yang dia tuju, tanpa berlama-lama dia segera masuk ke dalam apartemennya. Dia ingin segera membersihkan darah Harry yang menempel di pakaian dan juga tangannya. Setelah membersihkan diri, Aldrich memejamkan sebentar kedua netranya dan menikmati empuknya ranjang di dalam kamarnya.
Belum lama dia berada dalam posisi itu, terdengar seseorang menekan bel apartemennya. "Sialan!"
Dengan memakai piyama tidurnya, Aldrich pun keluar kamar menuju pintu depan. Dia melihat di layar intercom ternyata orang suruhannya yang datang membawakan ponsel untuknya.
"Letakkan saja di depan pintu," ucap Aldrich.
"Eh … baik," balasnya.
"Aku akan mengirim bonus untukmu nanti."
"Terima kasih. Terima kasih, Tuan Aldrich. Jika butuh apa-apa, silahkan hubungi saya kapanpun. Saya akan memberikan apapun yang anda inginkan."
"Oh, benarkah? Bahkan jika yang aku butuhkan adalah nyawamu?"
Orang suruhan itu tidak menjawab, tubuhnya meremang mendengar ucapan Aldrich. Namun tiba-tiba Aldrich kembali berkata. "Kamu boleh pergi. Lanjutkan pekerjaanmu."
"Baiklah, saya pamit."
Setelah memastikan orang itu sudah pergi, Aldrich pun mengambil paper bag yang berisi ponsel baru itu.
Keesokan harinya, Aldrich menjalani kegiatan sekolah seperti biasa. Saat akan jam pulang, Vincent menghampiri mejanya. “Hey, bagaimana bisa kamu waktu itu lewat begitu saja di depan Ibu Wali Kelas? Dia sama sekali tidak melihatmu, tapi saat aku mencobanya—”
Aldrich tidak memperhatikan curahan hati Vincent karena perhatiannya teralihkan kepada dua orang polisi yang berada di depan kelas. Salah satu polisi itu berbicara dengan seorang guru yang berada di luar kelas. Beberapa menit kemudian, guru itu menunjuk ke arah Aldrich yang secara otomatis membuat kedua polisi itu menatap Aldrich dengan tatapan tidak bersahabat.
Kedua polisi itu masuk ke kelas menghampiri Aldrich dan Vincent. “Hey, Kids! Siapa diantara kalian yang bernama Aldrich Carrington?”
“Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya Aldrich. Dia tersenyum dengan tatapan sinis.
Ada perlu apa polisi itu dengan Aldrich?
“Ada perlu apa dengan teman saya, Pak?” tutur Vincent.Salah satu polisi itu menggiring Vincent untuk pergi dari ruang kelas, sementara polisi lainnya sedang menanyakan beberapa pertanyaan kepada Aldrich. “Kamu mengenal Hugo Stein?”“Kami berada di kelas yang berbeda, tapi saya pernah bertemu dengannya,” balas Aldrich.“Berdasar pada informasi yang diberikan oleh gurumu, kamu pernah berkelahi dengannya. Apa itu benar?”“Hugo memukul saya, tapi saya tidak membalas. Apa itu dapat disimpulkan sebagai perkelahian?” Aldrich tersenyum dengan menatap lekat polisi di depannya.“Oke, aku mengerti. Lal
Berita pagi ini sangat membuat warga London merasa ketakutan. Di seluruh media elektronik maupun media cetak tersebar berita mengenai penemuan jasad wanita dengan leher yang terkoyak akibat gigitan sesuatu. Para petugas kepolisian pun melakukan penyelidikan mengenai kasus ini. Seluruh area hutan itu pun ditutup semetara selama proses penyelidikan. Memang hutan yang menjadi tempat penemuan jasad itu adalah hutan yang masih alami dan tentunya terdapat banyak hewan-hewan buas. Namun terdapat kejanggalan yang masih menjadi pertanyaan bagi petugas kepolisian. Apa motif wanita itu hingga pergi ke hutan? Jika memang dia diserang binatang buas, mengapa tidak ada tanda perlawanan dari wanita itu?
Tepat tengah malam, Aldrich mengendarai mobilnya ke arah rumah tahanan tempat Hugo menjalani hukumannya. Sesampainya disana, dia melakukan teleportasi untuk bisa masuk ke dalam area rumah tahanan. Dengan mudah Aldrich menyusup masuk melewati pintu depan yang ternyata sedang tidak ada penjaga.Setiap langkah kaki yang dia ambil, setiap lampu juga akan mati seketika. Sehingga semua lorong yang dia lewati menjadi gelap. Saat akan sampai di sel tahanan Hugo, Aldrich bertemu dengan dua orang sipir. Mereka berdua terkejut melihat Aldrich yang tiba-tiba ada di dalam rumah tahanan."Siapa kamu?" tanya salah satu sipir.Aldrich hanya diam dan menatap dua sipir itu. Dia kembali melanjutkan langkahnya. Tapi baru satu langkah, kedua sipir itu menahan bahunya untuk berhenti.
KriingggBel pulang sekolah telah berbunyi. Semua siswa pun bersiap untuk pulang. Termasuk Aldrich yang baru saja selesai berkemas. Namun saat akan keluar dari kelas, Helena memanggil Aldrich."Aldrich tunggu!" teriak Helena.Tapi Aldrich sama sekali tidak menghiraukan Helena dan terus melangkahkan kakinya. Helena segera menyusul Aldrich yang sudah berjalan cukup jauh di lorong sekolah."Apa telingamu sudah tidak berfungsi?" kesal Helena.Aldrich tetap diam dan melanjutkan langkahnya menuju halaman parkir. Helena yang merasa kesal pun menghadang Aldrich. "Kenapa kamu hanya diam? Apa aku ada salah?"
Setelah mencari-cari Eric di dalam bar cukup lama, Helena akhirnya memutuskan untuk keluar dari bar. Saat mengedarkan pandangannya ke halaman parkir, Helena melihat Eric yang duduk di aspal dengan bersandar di salah satu tiang lampu."What the hell! Eric, apa yang terjadi?" tanya Helena. Dia mendekati Eric dan melihat luka lebam hingga berdarah di beberapa bagian wajahnya."Tidak apa. Aku sudah menghubungi Johannes untuk menjemput kita," terang Eric.Helena merasa ada sesuatu yang sedang Eric sembunyikan. Tapi dia tidak ingin membuat Eric semakin kesakitan. Karena luka-luka yang ada pada tubuh Eric tepat di beberapa titik vital yang pasti sangat menyakitkan dan juga berbahaya bila tidak segera ditangani.Dari kejauh
Rintik-rintik hujan membasahi kota London pagi ini. Langit terlihat gelap, sinar mentari seakan enggan untuk menampakkan dirinya. Suasana saat ini sama persis dengan suasana hati Aldrich yang benar-benar buruk.Aldrich baru saja memarkirkan mobilnya di halaman sekolah. Dia lalu keluar dari mobil tanpa peduli dengan rintikan hujan yang membasahi tubuhnya. Tiba-tiba saja Helena mendekatinya dan berbagi payung dengannya. "Apa kamu sibuk sepulang sekolah?"Aldrich hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan Helena. Saat sudah memasuki gedung sekolah, Helena menutup payungnya. Aldrich tetap berjalan tanpa mengucapkan terima kasih atau menunggu Helena."Ada apa denganmu? Kemarin kamu terlihat baik-baik saja. Sekarang kamu terlihat sangat dingin padaku," kesal Helena.
Jam pulang sekolah pun tiba. Namun cuaca terlihat tidak bersahabat, hujan deras diiringi petir mengguyur seluruh kota. Satu persatu siswa pergi dari sekolah. Mereka pulang tanpa khawatir kehujanan, karena mereka memiliki kendaraan pribadi. "Ah, aku akan pulang sekarang. Kurasa hujannya tidak berhenti dalam waktu dekat. Helena, apa kamu membawa mobil?" tanya Vincent. Helena tersenyum kecut. "Aku tadi diantar oleh temanku. Sekarang, temanku agak sibuk … dia tidak bisa datang menjemputku. Aku akan mencoba mencari taksi online." "Dimana alamat rumahmu? Mungkin aku bisa mengantarmu." tawar Vincent. "Aku tinggal di xxxxx dekat ke arah hutan perbatasan—"
Setelah naik ke lantai 2, Helena dan Aldrich berjalan ke ruangan di ujung dengan pintu berwarna coklat. Di depan pintu terdapat rangkaian bunga kering yang membentuk lingkaran.Helena membuka pintu itu, lalu mempersilahkan Aldrich masuk lebih dulu. Di dalam kamar ternyata memiliki ruang yang cukup luas. Tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil. Aldrich melihat beberapa buku yang tertata rapi di sebuah meja belajar yang cukup tua.Dari tempatnya berdiri, jika dia berbalik maka akan bertatapan dengan sebuah ranjang yang tidak besar. Di kepala ranjang terdapat ukiran yang unik."Semoga iblis tidak merasukimu," lirih Aldrich. Dia membaca tulisan di ukiran itu."Ehh ... kamu bisa membacanya? Itu dituli