Beranda / Fantasi / True Colour / Kedatangan polisi

Share

Kedatangan polisi

"Fuck! Aku harus kembali ke rumah," umpat Aldrich.

Tidak peduli lagi dengan ponselnya yang remuk, dia kembali masuk ke dalam mobil lalu menginjak pedal gas hingga suara deruman khas Mobil Ferrari terdengar.

Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan ke rumahnya yang berada cukup jauh dari pusat kota. Kini Aldrich sudah memasuki pekarangan rumahnya, terdapat taman luas yang menghiasi bangunan rumah bergaya Victorian itu.

Aldrich segera menghentikan mobilnya cukup jauh dari pintu masuk. Tampak di depan pintu masuk seorang lelaki terlihat tidak tenang. Ditambah dengan melihat Aldrich yang datang dengan raut wajah dinginnya, membuat lelaki yang berdiri di depan pintu semakin ketakutan.

"T—uan," sapa lelaki itu.

"Kenapa kamu malah di luar, huh? Ck, sialan!" kesal Aldrich. Dia pun membuka pintu dengan kasar hingga terbuka lebar.

Di ruang tamunya yang luas, dia tidak melihat Derrick di sana. Aldrich semakin marah, karena dia tahu sepupunya sedang berada di mana.

Dengan sekejap mata, Aldrich sudah berada di tempat sepupunya berada. Sebuah ruangan dengan meja besar di tengah, sedangkan sekelilingnya penuh dengan rak-rak tinggi menjulang hingga ke langit-langit. Bermacam-macam buku tertata rapi pada rak-rak itu.

"Aku ingin sekali mematahkan tangan dan kakimu hingga tidak berbentuk." Aldrich melemparkan sebuah buku yang sangat tebal ke arah Derrick.

Derrick menghindari buku itu. "Hai, Sepupu!" 

"Katakan apa maumu lalu menghilanglah dari kehidupanku."

"Tenang, kita bisa bicarakan sambil minum beberapa wine koleksimu."

Aldrich tersenyum seolah setuju namun berbanding terbalik dengan apa yang selanjutnya dilakukan. Dengan gerakan yang sangat cepat, Aldrich membenturkan kepala Derrick ke atas meja besar di tengah ruangan hingga berdarah.

Derrick tidak tinggal diam, dia juga melawan. Sebuah pukulan keras mendarat di perut Aldrich. Namun Derrick kalah telak ketika Aldrich mengunci pergerakan lelaki itu dengan menyatukan tangannya kebelakang lalu mendorong tubuhnya ke meja.

"Aku tidak segan-segan membunuhmu, Derrick. Jangan lupakan siapa aku." Aldrich mencengkram rambut Derrick.

"Ya! Sama seperti kamu yang membunuhnya," desis Derrick.

"Bagus kalau otak kecilmu itu masih mengingatnya," ejek Aldrich.

"Aku juga tahu kalau—"

"Katakan apa maumu atau aku akan memberitahu ayahmu bahwa kamu sedang di sini sekarang."

"Oke, aku akan mengatakannya. Tapi lepaskan aku dulu." Aldrich melepaskan Derrick. 

"Aku ingin tinggal di sini," ucap Derrick.

"Hahaha. Aku tidak akan mengizinkanmu," balas Aldrich.

"Oh, ayolah—"

"Keluar dari rumahku sekarang!"

"Aku akan memberimu apapun—"

"Keluar!"

"Dengar, aku sedang dikejar oleh Vampire Hunter. Jadi setidaknya beri aku tempat untuk sembunyi," jelas Derrick.

"Aku tidak peduli. Minta bantuan kepada ayahmu," balas Aldrich.

"Aldrich!" seru Derrick.

"Itu masalahmu, jadi urus masalahmu sendiri. Sekarang, keluar dari sini!"

Dengan berat hati, Derrick pun keluar dari rumah. Dia merasa sakit hati, tangannya memukul rak buku di sampingnya dengan keras hingga patah pada salah satu bilah kayu dan membuat beberapa buku terjatuh.

Aldrich mengikuti Derrick hingga lelaki itu benar-benar keluar dari rumahnya. Setelah memastikan Derrick sudah melewati pagar rumahnya. Aldrich beralih menatap lelaki yang tadi awalnya di depan pintu saat dia datang.

"Harry! sepertinya kamu sudah tidak berguna lagi," ungkap Aldrich. Lelaki yang dipanggil Harry itu seketika terlihat pucat.

"Tidak, Tuan. Maafkan saya. Saya masih ingin hidup," mohon Harry.

Apakah Aldrich akan memaafkannya?

Aldrich berdecak kesal dan memukul wajah Harry hingga babak belur. Dia mencengkram kerah kemeja putih Harry dengan kasar. "Kenapa kamu membiarkannya masuk, huh? Harry, aku merasa sia-sia sudah mengajarimu."

"T—tuan, maafkan saya. Saya tadi sedang berburu hingga tidak tahu jika ada yang masuk ke rumah."

"Aku memperkerjakanmu untuk menjaga rumah ini. Tapi lihat, kamu sudah lalai dari tugasmu. Artinya aku harus membunuhmu."

"T—tuan"

Jleb

Aldrich menggenggam jantung Harry di tangannya, lalu dia meremas jantung itu hingga hancur. Darah terciprat ke pakaian hitamnya. 

Teringat akan ponselnya yang hancur, dia pun mengambil ponsel Harry. Dari kejauhan terlihat seorang lelaki yang bekerja di rumah itu sebagai tukang kebun. Dia sedang merapikan pohon.

Aldrich segera menghampiri lelaki itu dan memintanya untuk membersihkan mayat Harry juga mencari seseorang yang bisa memperbaiki rak buku miliknya.

"Mulai sekarang, kamu menggantikan posisi Harry. Cari seseorang yang bisa memperbaiki rak buku, okay? Beri kabar padaku jika sudah selesai," terang Aldrich.

"Eh, baik. Tuan," balasnya. Dia sedikit terkejut karena Aldrich yang tiba-tiba berada di hadapannya.

"Siapa namamu?"

"Norman, Tuan."

Aldrich hanya mengangguk, dia sedang sibuk mengotak-atik ponsel Harry. Kini dia sudah memasukkan kontak miliknya. Lalu dia menelpon orang suruhannya untuk membelikan ponsel baru dan mengirimkannya ke apartemen.

"Norman. Kamu sudah mengerti tugasmu, kan?"

"Iya, Tuan. Saya mengerti."

"Ponsel ini untukmu. Kalau begitu aku akan pergi dari sini." Aldrich memberikan ponsel milik Harry ke Norman.

Aldrich masuk ke dalam mobilnya lalu pergi meninggalkan rumah besar itu kepada Norman, pengurus rumah yang baru.

  • ••

Menjelang dini hari, Aldrich sampai di area apartemennya. Sejak berada di parkiran, dia merasa ada yang sedang memantaunya. Aldrich tidak memperdulikannya dan melanjutkan langkahnya menuju gedung apartemen. Masuk ke dalam lift, dia menekan tombol lantai miliknya.

Ting

Akhirnya dia pun sampai di lantai yang dia tuju, tanpa berlama-lama dia segera masuk ke dalam apartemennya. Dia ingin segera membersihkan darah Harry yang menempel di pakaian dan juga tangannya. Setelah membersihkan diri, Aldrich memejamkan sebentar kedua netranya dan menikmati empuknya ranjang di dalam kamarnya.

Belum lama dia berada dalam posisi itu, terdengar seseorang menekan bel apartemennya. "Sialan!"

Dengan memakai piyama tidurnya, Aldrich pun keluar kamar menuju pintu depan. Dia melihat di layar intercom ternyata orang suruhannya yang datang membawakan ponsel untuknya.

"Letakkan saja di depan pintu," ucap Aldrich.

"Eh … baik," balasnya.

"Aku akan mengirim bonus untukmu nanti."

"Terima kasih. Terima kasih, Tuan Aldrich. Jika butuh apa-apa, silahkan hubungi saya kapanpun. Saya akan memberikan apapun yang anda inginkan."

"Oh, benarkah? Bahkan jika yang aku butuhkan adalah nyawamu?" 

Orang suruhan itu tidak menjawab, tubuhnya meremang mendengar ucapan Aldrich. Namun tiba-tiba Aldrich kembali berkata. "Kamu boleh pergi. Lanjutkan pekerjaanmu."

"Baiklah, saya pamit." 

Setelah memastikan orang itu sudah pergi, Aldrich pun mengambil paper bag yang berisi ponsel baru itu. 

  • ••

Keesokan harinya, Aldrich menjalani kegiatan sekolah seperti biasa. Saat akan jam pulang, Vincent menghampiri mejanya. “Hey, bagaimana bisa kamu waktu itu lewat begitu saja di depan Ibu Wali Kelas? Dia sama sekali tidak melihatmu, tapi saat aku mencobanya—”

Aldrich tidak memperhatikan curahan hati Vincent karena perhatiannya teralihkan kepada dua orang polisi yang berada di depan kelas. Salah satu polisi itu berbicara dengan seorang guru yang berada di luar kelas. Beberapa menit kemudian, guru itu menunjuk ke arah Aldrich yang secara otomatis membuat kedua polisi itu menatap Aldrich dengan tatapan tidak bersahabat.

Kedua polisi itu masuk ke kelas menghampiri Aldrich dan Vincent. “Hey, Kids! Siapa diantara kalian yang bernama Aldrich Carrington?” 

“Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya Aldrich. Dia tersenyum dengan tatapan sinis.

Ada perlu apa polisi itu dengan Aldrich?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status