Berita pagi ini sangat membuat warga London merasa ketakutan. Di seluruh media elektronik maupun media cetak tersebar berita mengenai penemuan jasad wanita dengan leher yang terkoyak akibat gigitan sesuatu. Para petugas kepolisian pun melakukan penyelidikan mengenai kasus ini.
Seluruh area hutan itu pun ditutup semetara selama proses penyelidikan. Memang hutan yang menjadi tempat penemuan jasad itu adalah hutan yang masih alami dan tentunya terdapat banyak hewan-hewan buas. Namun terdapat kejanggalan yang masih menjadi pertanyaan bagi petugas kepolisian.
Apa motif wanita itu hingga pergi ke hutan?
Jika memang dia diserang binatang buas, mengapa tidak ada tanda perlawanan dari wanita itu?
Selain luka gigitan di leher, tidak ada luka lain seperti cakaran di tubuhnya. Bagaimana bisa?
Saat polisi sedang menyelidiki tempat kejadian, terlihat 3 orang datang mendekat ke arah polisi itu. Seorang lelaki dengan dua orang wanita yang terlihat sedikit aneh, belati berwarna perak terselip diantara pakaian mereka.
"Maaf Tuan dan Nona. Kalian tidak boleh berada disini," cegah polisi itu.
Seorang lelaki yang datang bersama dua wanita itu semakin mendekat ke polisi itu. Dia melirik name tag dari seragam polisi itu. "Tuan … Merlin. Sepertinya anda sedang menangani kasus yang cukup mengganggu pikiran. Kami akan membantu."
"Kalian ditugaskan dari kepolisian wilayah mana?" tanya polisi bernama Merlin itu.
"Kami bukan dari kepolisian," balas lelaki itu.
"Kalau begitu kami tidak bisa menerima bantuan anda beserta teman-teman anda. Kalian tidak bisa berada di sini. Silahkan kalian kembali ke rumah masing-masing," tolak Merlin.
"I'm sorry. Tapi kami tidak sedang meminta izin untuk ikut menyelidiki kasus ini," ucap lelaki itu.
Lalu dengan santainya dia masuk melewati garis polisi dan melihat-lihat lokasi jasad itu tergeletak.
Merlin seketika murka, dia meminta bawahannya untuk menyeret lelaki itu pergi dari lokasi penyelidikan. Namun belum sempat mereka mendekati lelaki itu, dua wanita tadi mencegah mereka untuk mendekat dan melumpuhkan mereka dengan mudah.
"Fuck! Siapa kalian sebenarnya?" umpat Merlin. Semua bawahannya sudah terbaring kesakitan karena pukulan dari dua wanita itu.
Tidak ada jawaban dari mereka karena mereka sudah pergi setelah puas melihat-lihat.
Jam istirahat di sekolah sudah tiba, Vincent mendekati Aldrich mencoba untuk mengajaknya pergi ke kantin. Siswa-siswa lain berangsur pergi meninggalkan kelas sampai menyisakan Aldrich dan Vincent saja.
Aldrich sedang merapikan bukunya yang berada di atas meja. Dia tidak memperdulikan Vincent yang berada di hadapannya.
"Carrin–"
"Apa yang kamu inginkan?" sela Aldrich cepat.
"Ayo kita pergi ke kantin," ajak Vincent.
"Pergi saja sendiri."
"Aku tidak pernah melihatmu pergi ke kantin. Apa kamu membawa makanan sendiri?" tanya Vincent.
"Dengar, jika kamu tidak segera menutup mulutmu dan pergi dari sini. Kamu yang akan aku makan," desis Aldrich.
Vincent seketika merasakan bulu kuduknya merinding. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Aldrich menatap Vincent dengan tatapan mengancam namun kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman.
"Hahaha …. " tawa Vincent dengan kikuk.
Aldrich semakin menatap tajam Vincent. Dia berdiri dari kursinya lalu berjalan mendekat ke Vincent. "Jika kamu tahu siapa aku, kamu tidak akan pernah bisa tertawa seperti itu."
Setelah berkata seperti itu, Aldrich pergi meninggalkan Vincent di dalam kelas dengan pikiran yang penuh dengan tanda tanya.
Malam hari di suatu rumah sederhana di pinggiran Kota London, terlihat seorang lelaki sedang berdiskusi dengan dua wanita mengenai kasus penemuan jasad wanita di hutan hari ini.
"Tidak ada jejak kaki hewan yang aku temukan," ucap lelaki itu.
Salah satu wanita dengan rambut pendek dan gaya tomboynya bersuara. "Eric. Sudah pasti, itu perbuatan vampir yang sedang haus darah."
"Aku juga sudah melihat jasad wanita itu, luka gigitannya benar-benar mengerikan," jelas wanita berambut panjang.
"Kita akan menyelidiki kasus ini. Bisa jadi kasus ini ada hubungannya dengan kasus sebelumnya. Dengan begitu kita bisa mengungkap satu persatu kasus ini dan menemukan pelakunya. Vampir sialan itu … " terang lelaki bernama Eric itu.
"Dari data kepolisian, wanita yang mati itu bernama Jane. Aku melihat kesamaan antara Hugo dan Jane ini. Hugo dan Jane sama-sama siswa dari sekolah Elite. Dan lagi, Jane ternyata memiliki perasaan terhadap Hugo … "
"Dari sini, aku memiliki rencana. Helena … kamu menyamar menjadi siswa di sekolah Elite itu. Cari tahu informasi apapun yang berhubungan dengan Hugo dan Jane," ucap Eric kepada wanita berambut panjang. Dia adalah Helena.
Helena mengerutkan alis tidak suka. "Aku tidak suka harus berkumpul dengan anak-anak manja dengan harta yang berlimpah itu. Jadi, sorry Eric. Aku tidak mau."
"Helena. Tidak ada orang lain lagi yang memiliki rekor penyamaran terbaik seperti dirimu. Bukan begitu, Johanne?" Eric menatap wanita berambut pendek dengan gaya tomboynya.
"Aku setuju dengannya. Helena, kamu satu-satunya orang yang bisa mudah bersosialisasi dengan orang lain. Kamu pintar, ramah dan … cantik," balas Johannes.
Helena tetap tidak setuju dengan rencana Eric yang ingin membuatnya masuk ke dalam sekolah Elite dan bergaul dengan siswa-siswa disana. Karena terus saja dibujuk oleh mereka, Helena merasa kesal. Dia lalu pergi dari rumah itu mengendarai motor sport milik Johannes.
Dengan kecepatan penuh, Helena memacu motornya membelah kegelapan jalan di pinggir kota ini. Jalanan pinggir kota memang sangat gelap. Lampu-lampu hanya menyala di beberapa titik saja.
Tiba-tiba saat hampir memasuki kota, Helena dikejutkan dengan sekelebatan yang melintas di depannya sangat cepat. Helena refleks menginjak rem secara mendadak yang membuatnya terlempar dari motor dengan keras. Beberapa kali dia berguling di atas aspal jalanan.
"Vampir brengsek!" umpat Helena.
Wanita itu berlari mengikuti arah sekelebatan tadi masuk ke dalam hutan. Helena sempat melihat jika sekelebat itu menyerupai manusia. Jadi seketika dia berpikir bahwa itu adalah vampir.
Setelah cukup jauh berlari, Helena merasa kelelahan dan akhirnya berhenti mengejar vampir itu. "Sialan!"
Helena mencoba menarik nafas panjang karena paru-parunya terasa terbakar akibat berlari dengan kencang. Namun, Helena mendengar sesuatu. Helena memfokuskan pikirannya, dan bersiap mengambil belati dari dalam pakaiannya.
Saat Helena berbalik, dia tidak menemukan siapa-siapa. Helena kembali memeriksa sekitarnya, tapi tetap saja tidak ada siapapun. Dia juga tidak mendengar suara-suara lagi. Seakan semua kembali sunyi menyisakan dirinya yang masih berada di sana.
"Kenapa hari ini sangat menyebalkan?!" geram Helena.
Helena pun berjalan menuju tempat dia terjatuh tadi. Tapi saat menelusuri jalan itu, dia tidak bisa menemukan motornya. "Tadi … ada disini. Kenapa bisa tidak ada?"
Helena terus mencari di sekitar tempat dia jatuh. Tetap saja tidak ada motor sport hijau milik Johannes itu. Hal itu semakin membuat Helena kesal. Kali ini ditambah dengan menyalahkan diri sendiri yang telah begitu bodoh meninggalkan motor itu.
"Sekarang apa yang harus aku lakukan? Johannes pasti akan membunuhku karena membuat motor kesayangannya dicuri," gumam Helena.
Tepat tengah malam, Aldrich mengendarai mobilnya ke arah rumah tahanan tempat Hugo menjalani hukumannya. Sesampainya disana, dia melakukan teleportasi untuk bisa masuk ke dalam area rumah tahanan. Dengan mudah Aldrich menyusup masuk melewati pintu depan yang ternyata sedang tidak ada penjaga.Setiap langkah kaki yang dia ambil, setiap lampu juga akan mati seketika. Sehingga semua lorong yang dia lewati menjadi gelap. Saat akan sampai di sel tahanan Hugo, Aldrich bertemu dengan dua orang sipir. Mereka berdua terkejut melihat Aldrich yang tiba-tiba ada di dalam rumah tahanan."Siapa kamu?" tanya salah satu sipir.Aldrich hanya diam dan menatap dua sipir itu. Dia kembali melanjutkan langkahnya. Tapi baru satu langkah, kedua sipir itu menahan bahunya untuk berhenti.
KriingggBel pulang sekolah telah berbunyi. Semua siswa pun bersiap untuk pulang. Termasuk Aldrich yang baru saja selesai berkemas. Namun saat akan keluar dari kelas, Helena memanggil Aldrich."Aldrich tunggu!" teriak Helena.Tapi Aldrich sama sekali tidak menghiraukan Helena dan terus melangkahkan kakinya. Helena segera menyusul Aldrich yang sudah berjalan cukup jauh di lorong sekolah."Apa telingamu sudah tidak berfungsi?" kesal Helena.Aldrich tetap diam dan melanjutkan langkahnya menuju halaman parkir. Helena yang merasa kesal pun menghadang Aldrich. "Kenapa kamu hanya diam? Apa aku ada salah?"
Setelah mencari-cari Eric di dalam bar cukup lama, Helena akhirnya memutuskan untuk keluar dari bar. Saat mengedarkan pandangannya ke halaman parkir, Helena melihat Eric yang duduk di aspal dengan bersandar di salah satu tiang lampu."What the hell! Eric, apa yang terjadi?" tanya Helena. Dia mendekati Eric dan melihat luka lebam hingga berdarah di beberapa bagian wajahnya."Tidak apa. Aku sudah menghubungi Johannes untuk menjemput kita," terang Eric.Helena merasa ada sesuatu yang sedang Eric sembunyikan. Tapi dia tidak ingin membuat Eric semakin kesakitan. Karena luka-luka yang ada pada tubuh Eric tepat di beberapa titik vital yang pasti sangat menyakitkan dan juga berbahaya bila tidak segera ditangani.Dari kejauh
Rintik-rintik hujan membasahi kota London pagi ini. Langit terlihat gelap, sinar mentari seakan enggan untuk menampakkan dirinya. Suasana saat ini sama persis dengan suasana hati Aldrich yang benar-benar buruk.Aldrich baru saja memarkirkan mobilnya di halaman sekolah. Dia lalu keluar dari mobil tanpa peduli dengan rintikan hujan yang membasahi tubuhnya. Tiba-tiba saja Helena mendekatinya dan berbagi payung dengannya. "Apa kamu sibuk sepulang sekolah?"Aldrich hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan Helena. Saat sudah memasuki gedung sekolah, Helena menutup payungnya. Aldrich tetap berjalan tanpa mengucapkan terima kasih atau menunggu Helena."Ada apa denganmu? Kemarin kamu terlihat baik-baik saja. Sekarang kamu terlihat sangat dingin padaku," kesal Helena.
Jam pulang sekolah pun tiba. Namun cuaca terlihat tidak bersahabat, hujan deras diiringi petir mengguyur seluruh kota. Satu persatu siswa pergi dari sekolah. Mereka pulang tanpa khawatir kehujanan, karena mereka memiliki kendaraan pribadi. "Ah, aku akan pulang sekarang. Kurasa hujannya tidak berhenti dalam waktu dekat. Helena, apa kamu membawa mobil?" tanya Vincent. Helena tersenyum kecut. "Aku tadi diantar oleh temanku. Sekarang, temanku agak sibuk … dia tidak bisa datang menjemputku. Aku akan mencoba mencari taksi online." "Dimana alamat rumahmu? Mungkin aku bisa mengantarmu." tawar Vincent. "Aku tinggal di xxxxx dekat ke arah hutan perbatasan—"
Setelah naik ke lantai 2, Helena dan Aldrich berjalan ke ruangan di ujung dengan pintu berwarna coklat. Di depan pintu terdapat rangkaian bunga kering yang membentuk lingkaran.Helena membuka pintu itu, lalu mempersilahkan Aldrich masuk lebih dulu. Di dalam kamar ternyata memiliki ruang yang cukup luas. Tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil. Aldrich melihat beberapa buku yang tertata rapi di sebuah meja belajar yang cukup tua.Dari tempatnya berdiri, jika dia berbalik maka akan bertatapan dengan sebuah ranjang yang tidak besar. Di kepala ranjang terdapat ukiran yang unik."Semoga iblis tidak merasukimu," lirih Aldrich. Dia membaca tulisan di ukiran itu."Ehh ... kamu bisa membacanya? Itu dituli
Aldrich mengendarai mobilnya dengan cepat menuju hotel tempat dia menginap. Raut wajahnya kembali datar namun tidak lama kemudian senyuman tipis menghiasi bibirnya. Setelah berkendara cukup lama, Aldrich pun sampai di sebuah hotel bergaya klasik. Halaman hotel terlihat rimbun karena pepohonan tinggi menjulang. Beberapa mobil tua klasik terparkir di sana. Baru saja keluar dari mobil, Aldrich mendengar suara langkah kaki yang berjalan mendekatinya. "Derrick, sepertinya kamu sudah cukup sehat hingga bisa berkeliaran disini." "Kamu tampak kesal. Apa karena kamu tidak berhasil membunuhku?" ejek Derrick. "Aku hanya kesal harus menunda hari kematianmu kemarin."
"Helena, apa kamu sibuk sepulang sekolah?" tanya Vincent. Lelaki itu menghampiri Helena di mejanya.Helena mengangkat kedua bahunya. "Sepertinya aku tidak ada acara atau kegiatan lain nanti. Kenapa?"Vincent menatap Aldrich yang sedang menutup mata menikmati musik dari earphone miliknya. Segera Vincent mendekati Aldrich dan melepas earphone dari telinganya.Alhasil, Aldrich menatap Vincent dengan tajam. Tapi, seperti biasanya Vincent tidak menghiraukan tatapan itu. Jika siswa lain, mereka pasti sudah menjauh dengan wajah takut."Oke dengar, kalian ingat 'kan dengan tugas anatomi manusia? Aku berencana sepulang sekolah kita pergi ke rumah sakit milik ayahku untuk mengerjakan tugas itu," terang Vincent."Aku tidak ikut," tolak Aldrich.Vincent dan Helena menatap ke arah Aldrich."Kenapa kamu tidak mau ikut? Aldrich, ingat ini tu