Tepat tengah malam, Aldrich mengendarai mobilnya ke arah rumah tahanan tempat Hugo menjalani hukumannya. Sesampainya disana, dia melakukan teleportasi untuk bisa masuk ke dalam area rumah tahanan. Dengan mudah Aldrich menyusup masuk melewati pintu depan yang ternyata sedang tidak ada penjaga.
Setiap langkah kaki yang dia ambil, setiap lampu juga akan mati seketika. Sehingga semua lorong yang dia lewati menjadi gelap. Saat akan sampai di sel tahanan Hugo, Aldrich bertemu dengan dua orang sipir. Mereka berdua terkejut melihat Aldrich yang tiba-tiba ada di dalam rumah tahanan.
"Siapa kamu?" tanya salah satu sipir.
Aldrich hanya diam dan menatap dua sipir itu. Dia kembali melanjutkan langkahnya. Tapi baru satu langkah, kedua sipir itu menahan bahunya untuk berhenti.
"Kamu tidak boleh masuk, Nak!" cegah sipir itu.
Aldrich menghela nafas kasar lalu menoleh kepada kedua sipir itu bergantian. "Singkirkan tangan kalian."
"Kamu berani menyuruhku, huh?" geram salah satu sipir.
"Kalian bukan tandinganku, jadi sebelum aku muak dengan kalian–"
Belum sempat Aldrich menyelesaikan perkataannya, sipir yang lain mengumpat kepadanya.
"Bocah tidak tahu diri!" umpat sipir lain.
Sipir itu memukul wajah Aldrich dengan keras hingga darah keluar dari sudut bibirnya. "Kalian yang tidak tahu diri."
Senyuman menghiasi bibir Aldrich. Dengan gerakan cepat, Aldrich mematahkan leher salah satu sipir hingga tewas. Kedua netra Aldrich berubah warna menjadi merah gelap. Kini tinggal satu sipir yang menatap takut Aldrich. Sipir itu memohon-mohon untuk tidak dibunuh.
"Tolong jangan bunuh saya," pinta sipir itu.
Aldrich mendekati sipir itu dan mencengkram dagunya. "Seharusnya kamu menuruti perkataanku tadi."
Klek
Aldrich membunuh sipir itu dengan cara yang sama. Mematahkan lehernya hingga tewas. Aldrich kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda. Saat akan sampai di sel Hugo, Aldrich tiba-tiba berhenti karena melihat seorang lelaki masuk ke dalam sel itu.
Lelaki itu adalah Eric, dia sedang mengunjungi Hugo untuk menggali informasi darinya. Aldrich masih memantau dari kegelapan.
"Apa yang akan kamu beritahu kepada lelaki itu Hugo?" gumam Aldrich.
Aldrich mendengar semua pertanyaan dari Eric. Semua pertanyaan yang dilontarkan Eric kepada Hugo membuat amarah Aldrich mendidih.
"Siapa orang terakhir yang kamu temui saat itu Hugo?" tanya Eric.
Hugo tampak tidak fokus. Sejak Aldrich datang ke selnya beberapa hari lalu, dia tidak bisa tidur dengan tenang. Tiba-tiba dia didatangi mimpi buruk dimana teman-teman yang mati mendatanginya dan ingin membunuhnya.
Eric mencoba menanyakan kembali kepada Hugo. "Hugo, lihat aku! Siapa orang terakhir yang kamu temui saat itu?"
Saat Hugo sedikit menaikkan pandangannya untuk menatap Eric, tanpa sengaja Hugo bertatapan dengan kedua netra Aldrich yang sedang menatap ke arahnya tajam.
Seketika Hugo menjadi panik dan nafasnya pun mulai tidak beraturan. "Aku bukan pembunuh! Aku bukan pembunuh!"
Eric spontan mengikuti arah pandangan Hugo. Tapi Eric tidak melihat siapapun di sana. Dia juga melihat ke sekeliling area luar sel, tetap saja tidak ada siapapun.
"Aku bukan pembunuh! Aku bukan pembunuh!" teriak Hugo yang sekarang menjadi histeris.
"Hugo, tenang!" seru Eric.
Eric bisa merasakan jika para sipir mulai datang menuju sel tempat Hugo. Karena tidak ingin membuat masalah dengan para sipir, Eric pun pergi dari sana secepatnya.
"Hmm … seorang vampire hunter," gumam Aldrich. Dia tersenyum tipis ketika melihat kilau belati perak yang berada di dalam pakaian Eric. Aldrich pun mengikuti Eric secara diam-diam.
Sang mentari mulai menampakkan dirinya. Semua warga London sedang sibuk untuk bersiap-siap mengawali aktivitasnya. Begitu pun dengan Aldrich. Sejak dini hari dia kembali dari kegiatan mengikuti Eric, dia merasa moodnya sedang bagus.
Dengan adanya vampire hunter, permainannya akan lebih menyenangkan. Lebih banyak pula tantangan yang akan dia hadapi. "Thanks to you, Eric."
Sesampainya di sekolah, Aldrich merasa ada sesuatu yang berbeda. Dia menyadari jika Vincent tidak menempel kepadanya saat ini. Vincent bahkan tidak terlihat saat dia masuk ke dalam kelas.
Tidak berapa lama, kelas pun dimulai. Guru masuk ke dalam kelas dengan membawa seorang wanita yang terlihat seperti siswi pindahan.
"Hallo, anak-anak. Kita kedatangan siswi pindahan. Silahkan perkenalkan diri," tutur Guru itu.
Semua siswa menatap ke arah depan kelas, mereka merasa tertarik dengan siswi pindahan itu. Dia memiliki kulit seputih susu dan rambut kecoklatan yang terlihat sehalus sutera.
"Hai, perkenalkan aku Helena Stevin. Aku dari Los Angeles. Salam kenal semua," ucap wanita itu.
Dari sini, apa kalian tahu siapa siswi pindahan ini?
Hanya membaca namanya saja pasti sudah bisa menebak.
Aldrich yang sedang membaca buku, sekilas menaikkan pandangannya ke depan untuk melihat Helena. Dan benar dugaan Aldrich, Helena adalah wanita yang dia lihat saat itu. Senyuman tipis terbentuk di sudut bibir Aldrich.
"Okay. Helena kamu bisa duduk di kursi yang kosong ya," jelas Guru itu.
"Baik," balas Helena.
Lalu Helena duduk di kursi yang berada cukup dekat dengan Aldrich. Namun berbeda baris dan Helena harus menoleh kebelakang jika ingin melihat Aldrich.
Baik Aldrich maupun Helena sama-sama bergumam. "Let's play the game."
Jam istirahat pun datang. Seperti biasa, semua siswa keluar kelas untuk pergi ke kantin sekolah. Kini hanya tersisa Aldrich dan Helena yang masih berada di dalam kelas.
Helena menoleh ke arah Aldrich yang sedang membaca buku. Helena beranjak dari mejanya lalu berjalan mendekat ke meja Aldrich. "Hai, Aku Helena."
"Aku sudah tahu." Aldrich menatap sekilas Helena.
"Kamu tidak ke kantin?" tanya Helena.
"Aku tidak tertarik dengan makanannya," balas Aldrich.
"Ah, atau kamu membawa makanan sendiri?"
Aldrich berhenti membaca lalu menutup buku di tangannya. "Kenapa kamu terlihat sangat tertarik dengan pola makanku?"
"Bukan begitu. Tadinya aku ingin memintamu untuk mengantarku ke kantin. Kamu tahu kan, aku masih baru disini," terang Helena.
Aldrich tersenyum tipis. Dia bangkit dari kursinya lalu mendekat ke wajah Helena. "Aku akan mengantarmu. Anggaplah sebagai sambutan baik dariku untukmu."
Setelah mengatakan itu, Aldrich beranjak dari kursinya lalu berjalan menuju pintu keluar kelas. Helena masih terpaku di tempatnya, entah mengapa jantungnya berdegup kencang saat ini.
Karena merasa Helena tidak mengikutinya, Aldrich berhenti sejenak. "Kamu ingin ke kantin atau tidak?"
Helena tersadar lalu segera menyusul Aldrich yang sudah berjalan cukup jauh. Helena ingin kembali menggali informasi dari Aldrich. Dia berpikir mungkin Aldrich bisa membantunya.
"By the way, kamu belum memberitahu namamu," ucap Helena.
"Aldrich Carrington," balas Aldrich singkat.
Saat melewati lorong-lorong kelas, beberapa siswi menatap tajam ke arah Helena. Pasalnya, ini pertama kalinya Aldrich terlihat berjalan bersama seorang siswi.
Helena membalas tatapan mereka tidak kalah tajam. Helena juga tersenyum seolah meremehkan para siswi itu.
"Aku dengar, beberapa hari lalu ada kasus pembunuhan yang dilakukan oleh salah satu siswa dari sini. Kamu tahu kabar itu, kan?" tanya Helena.
"Kita sudah sampai. Tugasku mengantarmu sudah selesai," ucap Aldrich.
Saat Aldrich akan pergi dari kantin, Helena mencegatnya. "Kamu tidak ikut masuk?"
"Hei Newbie. Kamu hanya meminta untuk diantar. Tidak untuk ditemani makan juga," balas Aldrich. Dia lalu pergi meninggalkan Helena.
"Newbie, huh?" Helena menatap punggung Aldrich yang menjauh.
KriingggBel pulang sekolah telah berbunyi. Semua siswa pun bersiap untuk pulang. Termasuk Aldrich yang baru saja selesai berkemas. Namun saat akan keluar dari kelas, Helena memanggil Aldrich."Aldrich tunggu!" teriak Helena.Tapi Aldrich sama sekali tidak menghiraukan Helena dan terus melangkahkan kakinya. Helena segera menyusul Aldrich yang sudah berjalan cukup jauh di lorong sekolah."Apa telingamu sudah tidak berfungsi?" kesal Helena.Aldrich tetap diam dan melanjutkan langkahnya menuju halaman parkir. Helena yang merasa kesal pun menghadang Aldrich. "Kenapa kamu hanya diam? Apa aku ada salah?"
Setelah mencari-cari Eric di dalam bar cukup lama, Helena akhirnya memutuskan untuk keluar dari bar. Saat mengedarkan pandangannya ke halaman parkir, Helena melihat Eric yang duduk di aspal dengan bersandar di salah satu tiang lampu."What the hell! Eric, apa yang terjadi?" tanya Helena. Dia mendekati Eric dan melihat luka lebam hingga berdarah di beberapa bagian wajahnya."Tidak apa. Aku sudah menghubungi Johannes untuk menjemput kita," terang Eric.Helena merasa ada sesuatu yang sedang Eric sembunyikan. Tapi dia tidak ingin membuat Eric semakin kesakitan. Karena luka-luka yang ada pada tubuh Eric tepat di beberapa titik vital yang pasti sangat menyakitkan dan juga berbahaya bila tidak segera ditangani.Dari kejauh
Rintik-rintik hujan membasahi kota London pagi ini. Langit terlihat gelap, sinar mentari seakan enggan untuk menampakkan dirinya. Suasana saat ini sama persis dengan suasana hati Aldrich yang benar-benar buruk.Aldrich baru saja memarkirkan mobilnya di halaman sekolah. Dia lalu keluar dari mobil tanpa peduli dengan rintikan hujan yang membasahi tubuhnya. Tiba-tiba saja Helena mendekatinya dan berbagi payung dengannya. "Apa kamu sibuk sepulang sekolah?"Aldrich hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan Helena. Saat sudah memasuki gedung sekolah, Helena menutup payungnya. Aldrich tetap berjalan tanpa mengucapkan terima kasih atau menunggu Helena."Ada apa denganmu? Kemarin kamu terlihat baik-baik saja. Sekarang kamu terlihat sangat dingin padaku," kesal Helena.
Jam pulang sekolah pun tiba. Namun cuaca terlihat tidak bersahabat, hujan deras diiringi petir mengguyur seluruh kota. Satu persatu siswa pergi dari sekolah. Mereka pulang tanpa khawatir kehujanan, karena mereka memiliki kendaraan pribadi. "Ah, aku akan pulang sekarang. Kurasa hujannya tidak berhenti dalam waktu dekat. Helena, apa kamu membawa mobil?" tanya Vincent. Helena tersenyum kecut. "Aku tadi diantar oleh temanku. Sekarang, temanku agak sibuk … dia tidak bisa datang menjemputku. Aku akan mencoba mencari taksi online." "Dimana alamat rumahmu? Mungkin aku bisa mengantarmu." tawar Vincent. "Aku tinggal di xxxxx dekat ke arah hutan perbatasan—"
Setelah naik ke lantai 2, Helena dan Aldrich berjalan ke ruangan di ujung dengan pintu berwarna coklat. Di depan pintu terdapat rangkaian bunga kering yang membentuk lingkaran.Helena membuka pintu itu, lalu mempersilahkan Aldrich masuk lebih dulu. Di dalam kamar ternyata memiliki ruang yang cukup luas. Tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil. Aldrich melihat beberapa buku yang tertata rapi di sebuah meja belajar yang cukup tua.Dari tempatnya berdiri, jika dia berbalik maka akan bertatapan dengan sebuah ranjang yang tidak besar. Di kepala ranjang terdapat ukiran yang unik."Semoga iblis tidak merasukimu," lirih Aldrich. Dia membaca tulisan di ukiran itu."Ehh ... kamu bisa membacanya? Itu dituli
Aldrich mengendarai mobilnya dengan cepat menuju hotel tempat dia menginap. Raut wajahnya kembali datar namun tidak lama kemudian senyuman tipis menghiasi bibirnya. Setelah berkendara cukup lama, Aldrich pun sampai di sebuah hotel bergaya klasik. Halaman hotel terlihat rimbun karena pepohonan tinggi menjulang. Beberapa mobil tua klasik terparkir di sana. Baru saja keluar dari mobil, Aldrich mendengar suara langkah kaki yang berjalan mendekatinya. "Derrick, sepertinya kamu sudah cukup sehat hingga bisa berkeliaran disini." "Kamu tampak kesal. Apa karena kamu tidak berhasil membunuhku?" ejek Derrick. "Aku hanya kesal harus menunda hari kematianmu kemarin."
"Helena, apa kamu sibuk sepulang sekolah?" tanya Vincent. Lelaki itu menghampiri Helena di mejanya.Helena mengangkat kedua bahunya. "Sepertinya aku tidak ada acara atau kegiatan lain nanti. Kenapa?"Vincent menatap Aldrich yang sedang menutup mata menikmati musik dari earphone miliknya. Segera Vincent mendekati Aldrich dan melepas earphone dari telinganya.Alhasil, Aldrich menatap Vincent dengan tajam. Tapi, seperti biasanya Vincent tidak menghiraukan tatapan itu. Jika siswa lain, mereka pasti sudah menjauh dengan wajah takut."Oke dengar, kalian ingat 'kan dengan tugas anatomi manusia? Aku berencana sepulang sekolah kita pergi ke rumah sakit milik ayahku untuk mengerjakan tugas itu," terang Vincent."Aku tidak ikut," tolak Aldrich.Vincent dan Helena menatap ke arah Aldrich."Kenapa kamu tidak mau ikut? Aldrich, ingat ini tu
Mendekati ruang otopsi, Vincent memberitahu Helena dan Aldrich untuk memakai pakaian khusus agar tetap steril dan bersih. Mereka pun memakai pakaian khusus yang diberikan oleh petugas ruang otopsi. Sesekali Helena melirik ke arah Aldrich, untuk kembali mengamatinya."Tuan Vincent, Helena dan Aldrich…kalian sudah siap?" tanya petugas ruang otopsi."Aku perlu ke kamar mandi sebentar." jawab Aldrich tiba-tiba.Vincent mengangguk menanggapinya. Sementara Helena hanya diam, di dalam hatinya dia ingin sekali mengikuti Aldrich. Helena tidak ingin melewatkan hal sekecil apapun. Saat Aldrich sudah pergi, Helena pun ijin untuk pergi ke kamar mandi juga. Bedanya, Helena tidak menunggu jawaban dan seketika pergi begitu saja.Helena melihat Aldrich yang sudah berbelok ke arah kamar mandi pria. Perlahan Helena berjalan hingga sampai depan kamar mandi pria. Mendengar suara pintu bilik tertutup di dalam kamar mandi, Helena pun membuka pintu yang berada di depannya sedikit demi sedikit. Beruntungnya,