“Ada perlu apa dengan teman saya, Pak?” tutur Vincent.
Salah satu polisi itu menggiring Vincent untuk pergi dari ruang kelas, sementara polisi lainnya sedang menanyakan beberapa pertanyaan kepada Aldrich. “Kamu mengenal Hugo Stein?”
“Kami berada di kelas yang berbeda, tapi saya pernah bertemu dengannya,” balas Aldrich.
“Berdasar pada informasi yang diberikan oleh gurumu, kamu pernah berkelahi dengannya. Apa itu benar?”
“Hugo memukul saya, tapi saya tidak membalas. Apa itu dapat disimpulkan sebagai perkelahian?” Aldrich tersenyum dengan menatap lekat polisi di depannya.
“Oke, aku mengerti. Lalu apakah kamu pernah bertemu Hugo lagi setelah itu?”
“Di tempat parkir sekolah, itu kali kedua saya melihatnya. Jadi apa anda akan menginterogasi saya? Jika tidak, saya ingin pulang sekarang,” ungkap Aldrich. Senyuman masih menghiasi bibirnya.
“Kami mendapat laporan dari seseorang jika kamu sebelumnya berada di depan bar yang sama dengan bar tempat Hugo ditangkap. Memang disana tidak ada CCTV, maka dari itu kami melakukan penyelidikan ini.”
“Apa orang itu memiliki bukti lain jika saya berada disana?”
“Sayangnya, tidak ada.”
Aldrich tertawa keras mendengar ucapan polisi itu. “Apa anda yakin tidak sedang mendengar bualan dari orang mabuk? Anda seorang petugas, bukan seorang penulis cerita fiksi. Boleh saya pergi sekarang?”
Polisi itu merasa kesal bercampur malu akibat kesalahannya sendiri yang membuat wibawanya hancur seketika. Aldrich masih menatap polisi itu dengan kepercayaan diri yang tidak berkurang sedikitpun sejak tadi. Akhirnya dia membiarkan Aldrich pergi meninggalkan kelas.
Setelah sampai di apartemen, Aldrich melempar tas ranselnya ke sofa. Kemudian dia mengobrak-abrik seluruh ruang tamunya hingga tidak beraturan. Beberapa barang terjatuh ke lantai, tidak sedikit pula yang pecah. Aldrich tersenyum menyeramkan sambil memikirkan sesuatu di otaknya.
“Aku akan menemukanmu. Malam ini kamu akan tertidur sangat lelap,” gumam Aldrich.
Aldrich bergegas membuka macbook yang berada di meja kamarnya. Dengan lincah jari-jemarinya mengetikkan kode-kode unik di dalam suatu software ciptaannya. Tidak berapa lama muncullah situs resmi kepolisian London.
Kalian tahu apa yang sedang dilakukan Aldrich?
Setelah berhasil masuk, dia mencari-cari data mengenai kasus Hugo. Dengan mudah dia mendapatkan nama petugas yang menerima panggilan dari saksi itu. Selanjutnya history rekaman telepon berhasil dia dapatkan. Tidak hanya itu, dia juga mendapatkan file identitas saksi.
“Ah. Pantas kamu sangat peduli dengan Hugo,” ejek Aldrich.
Tiba-tiba ponselnya berdering dari arah ruang tamu. Aldrich mengambil ponselnya yang berada di dalam tas ransel lalu mengangkatnya tanpa memeriksa nama pemanggil.
"Hallo, Sepupu—" sapa Derrick.
"Derrick. Jangan sampai aku mencarimu lalu membunuhmu sekarang juga," desis Aldrich.
Derrick tertawa kecil. "Orang yang kamu cari sedang ada padaku."
"Apa maksudmu?"
"Kamu baru saja mencari gadis itu, kan? Gadis yang menjadi saksi di kasus Hugo."
"Jangan sentuh gadis itu sedikitpun. Derrick. Aku tidak main-main," ucap Aldrich.
"Selalu saja berkata seperti itu. Aku tidak takut denganmu Aldrich,"
Diam-diam Aldrich melacak lokasi Derrick melalui ponselnya. Namun sedikit lagi dia menemukan titiknya, Derrick memutuskan panggilan secara sepihak.
"Fuck!" umpatnya.
Aldrich melempar ponselnya ke atas sofa. Dia menarik rambutnya kasar lalu berteriak dengan kencang. "Aaaarrrgghh!!"
"Derrick! Aku pasti menemukanmu."
Keesokan harinya Aldrich datang ke sekolah dengan raut wajah yang datar. Seperti biasa Vincent datang menghampirinya dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang ada dipikirannya. Namun Aldrich tidak menanggapi seolah tidak mendengar pertanyaan Vincent.
Sesampainya di kelas, Aldrich segera duduk di mejanya dan memasang earphone di telinganya. Hingga tiba-tiba kelas menjadi sunyi ketika guru masuk, tapi guru itu tidak sendiri. Dia bersama seorang siswa baru.
"Sebelum memulai pelajaran. Saya membawa siswa baru yang akan bergabung di kelas kita," terang guru itu.
Saat Aldrich melepas earphone lalu melihat ke arah depan kelas. Dia terkejut melihat siswa baru itu, namun dengan cepat dia mengubah raut wajahnya menjadi datar. Kini dia menatap tajam siswa yang saat ini akan memperkenalkan dirinya di hadapan seluruh siswa.
"Hai. Aku Derrick Carrington. Salam kenal," sapanya.
"Oh. Carrington? Apa kamu satu keluarga dengan Aldrich?—" tanya Guru.
"Tidak. Saya tidak memiliki keluarga dari Amerika," sela Aldrich.
Aldrich menatap tajam Derrick. Dia memberikan isyarat dari sorot matanya jika ingin berbicara dengan Derrick. Saat Derrick sudah mendapat kursi kosong, Derrick meminta izin untuk ke toilet. Tidak lama, Aldrich pun izin ke toilet juga.
Tepat sebelum mencapai toilet, Aldrich menarik tangan Derrick lalu berteleportasi ke rooftop sekolah. Aldrich mencengkram leher Derrick di atas pembatas rooftop.
"Dimana gadis itu?" geram Aldrich.
"Bunuh aku. Maka gadis itu akan menyebarkan informasi berharga dariku," ancam Derrick.
"Apa maumu? Tempat persembunyian? Aku akan memberikan alamat rumahku di Italia. Asal kamu membawa gadis itu kepadaku. Nanti malam, kita bertemu di Stadion dekat Rumah Tahanan."
"Baiklah. Aku akan kesana. Tapi, jangan coba-coba membohongiku."
Aldrich menurunkan Derrick dari atas pembatas rooftop. Lalu mereka berjalan turun menuju lantai tempat kelas mereka berada. Derrick lebih dulu sampai di dalam kelas. Kemudian Aldrich menyusulnya.
Malam harinya, langit sedang mendung dan terlihat sangat gelap. Aldrich mengendarai Ferrari miliknya dengan kencang membelah keramaian kota London. Dia mengeratkan genggamannya pada kemudi hingga terlihat urat-urat nadinya.
Memasuki Stadion, senyuman mengembang di bibir Aldrich melihat Derrick sudah berada di dalam. Dia bersama seorang gadis berambut coklat.
Aldrich menghentikan mobilnya lalu berjalan mendekati Derrick. Dia memberikan sebuah map coklat kepada Derrick. "Ini adalah file mengenai rumah itu."
Derrick menerimanya, lalu segera menyerahkan gadis itu kepada Aldrich. Derrick membaca file di tangannya dan tidak menyadari satu hal.
Aldrich terlalu mudah menyerah kepada ancamannya. Padahal, dia tahu Aldrich bukan tipe orang seperti itu.
Saat Aldrich masuk ke dalam mobil bersama gadis itu. Segerombolan lelaki menangkap Derrick dan melumpuhkannya. Seorang lelaki yang terlihat sudah berumur mendekati mobil Aldrich. "Apa imbalan yang kamu minta?"
"Cukup urus anak itu dengan baik. Kamu beruntung aku tidak membunuhnya," balas Aldrich. Gadis di sampingnya beringsut menjauh dari Aldrich.
"Aku akan membunuhmu terlebih dahulu jika kamu berani melukainya," sentak lelaki berumur itu.
"Ck. Aku tidak ingin berdebat dengan lelaki kuno sepertimu." Aldrich menginjak pedal gas meninggalkan Stadion dengan sangat cepat.
Di dalam mobil, Aldrich bisa melihat raut ketakutan setengah mati dari wajah gadis itu. "Kamu tahu siapa aku?"
Gadis itu hanya bisa menggelengkan kepala. Aldrich mengendarai mobilnya menuju hutan yang lumayan jauh dari Kota. Dia semakin membuat gadis itu ketakutan hingga memohon untuk tidak dibunuh.
"Seharusnya kamu memikirkan itu sebelum melaporkanku ke polisi," celetuk Aldrich. Gadis itu terkejut bukan main.
Sampai di dalam hutan, Aldrich menarik kasar tangan gadis itu keluar dari mobil. Berjalan beberapa langkah, Aldrich tiba-tiba memojokkan gadis itu ke pohon besar dan menggigit lehernya.
Karena rasa sakit yang sangat tidak terduga, gadis itu tidak bisa berteriak. Dia hanya membuka mulutnya seperti berteriak, tapi tidak ada suara apapun yang keluar. Matanya terbuka lebar. Tangannya berusaha mendorong Aldrich menjauh, namun tenaganya tidak sebanding dengan Aldrich.
Brruk.
Gadis itu tergeletak ke tanah dengan tubuh yang sudah dingin. Gadis itu sudah tidak bernyawa. Aldrich meninggalkan tubuh gadis itu di dalam kegelapan hutan.
Berita pagi ini sangat membuat warga London merasa ketakutan. Di seluruh media elektronik maupun media cetak tersebar berita mengenai penemuan jasad wanita dengan leher yang terkoyak akibat gigitan sesuatu. Para petugas kepolisian pun melakukan penyelidikan mengenai kasus ini. Seluruh area hutan itu pun ditutup semetara selama proses penyelidikan. Memang hutan yang menjadi tempat penemuan jasad itu adalah hutan yang masih alami dan tentunya terdapat banyak hewan-hewan buas. Namun terdapat kejanggalan yang masih menjadi pertanyaan bagi petugas kepolisian. Apa motif wanita itu hingga pergi ke hutan? Jika memang dia diserang binatang buas, mengapa tidak ada tanda perlawanan dari wanita itu?
Tepat tengah malam, Aldrich mengendarai mobilnya ke arah rumah tahanan tempat Hugo menjalani hukumannya. Sesampainya disana, dia melakukan teleportasi untuk bisa masuk ke dalam area rumah tahanan. Dengan mudah Aldrich menyusup masuk melewati pintu depan yang ternyata sedang tidak ada penjaga.Setiap langkah kaki yang dia ambil, setiap lampu juga akan mati seketika. Sehingga semua lorong yang dia lewati menjadi gelap. Saat akan sampai di sel tahanan Hugo, Aldrich bertemu dengan dua orang sipir. Mereka berdua terkejut melihat Aldrich yang tiba-tiba ada di dalam rumah tahanan."Siapa kamu?" tanya salah satu sipir.Aldrich hanya diam dan menatap dua sipir itu. Dia kembali melanjutkan langkahnya. Tapi baru satu langkah, kedua sipir itu menahan bahunya untuk berhenti.
KriingggBel pulang sekolah telah berbunyi. Semua siswa pun bersiap untuk pulang. Termasuk Aldrich yang baru saja selesai berkemas. Namun saat akan keluar dari kelas, Helena memanggil Aldrich."Aldrich tunggu!" teriak Helena.Tapi Aldrich sama sekali tidak menghiraukan Helena dan terus melangkahkan kakinya. Helena segera menyusul Aldrich yang sudah berjalan cukup jauh di lorong sekolah."Apa telingamu sudah tidak berfungsi?" kesal Helena.Aldrich tetap diam dan melanjutkan langkahnya menuju halaman parkir. Helena yang merasa kesal pun menghadang Aldrich. "Kenapa kamu hanya diam? Apa aku ada salah?"
Setelah mencari-cari Eric di dalam bar cukup lama, Helena akhirnya memutuskan untuk keluar dari bar. Saat mengedarkan pandangannya ke halaman parkir, Helena melihat Eric yang duduk di aspal dengan bersandar di salah satu tiang lampu."What the hell! Eric, apa yang terjadi?" tanya Helena. Dia mendekati Eric dan melihat luka lebam hingga berdarah di beberapa bagian wajahnya."Tidak apa. Aku sudah menghubungi Johannes untuk menjemput kita," terang Eric.Helena merasa ada sesuatu yang sedang Eric sembunyikan. Tapi dia tidak ingin membuat Eric semakin kesakitan. Karena luka-luka yang ada pada tubuh Eric tepat di beberapa titik vital yang pasti sangat menyakitkan dan juga berbahaya bila tidak segera ditangani.Dari kejauh
Rintik-rintik hujan membasahi kota London pagi ini. Langit terlihat gelap, sinar mentari seakan enggan untuk menampakkan dirinya. Suasana saat ini sama persis dengan suasana hati Aldrich yang benar-benar buruk.Aldrich baru saja memarkirkan mobilnya di halaman sekolah. Dia lalu keluar dari mobil tanpa peduli dengan rintikan hujan yang membasahi tubuhnya. Tiba-tiba saja Helena mendekatinya dan berbagi payung dengannya. "Apa kamu sibuk sepulang sekolah?"Aldrich hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan Helena. Saat sudah memasuki gedung sekolah, Helena menutup payungnya. Aldrich tetap berjalan tanpa mengucapkan terima kasih atau menunggu Helena."Ada apa denganmu? Kemarin kamu terlihat baik-baik saja. Sekarang kamu terlihat sangat dingin padaku," kesal Helena.
Jam pulang sekolah pun tiba. Namun cuaca terlihat tidak bersahabat, hujan deras diiringi petir mengguyur seluruh kota. Satu persatu siswa pergi dari sekolah. Mereka pulang tanpa khawatir kehujanan, karena mereka memiliki kendaraan pribadi. "Ah, aku akan pulang sekarang. Kurasa hujannya tidak berhenti dalam waktu dekat. Helena, apa kamu membawa mobil?" tanya Vincent. Helena tersenyum kecut. "Aku tadi diantar oleh temanku. Sekarang, temanku agak sibuk … dia tidak bisa datang menjemputku. Aku akan mencoba mencari taksi online." "Dimana alamat rumahmu? Mungkin aku bisa mengantarmu." tawar Vincent. "Aku tinggal di xxxxx dekat ke arah hutan perbatasan—"
Setelah naik ke lantai 2, Helena dan Aldrich berjalan ke ruangan di ujung dengan pintu berwarna coklat. Di depan pintu terdapat rangkaian bunga kering yang membentuk lingkaran.Helena membuka pintu itu, lalu mempersilahkan Aldrich masuk lebih dulu. Di dalam kamar ternyata memiliki ruang yang cukup luas. Tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil. Aldrich melihat beberapa buku yang tertata rapi di sebuah meja belajar yang cukup tua.Dari tempatnya berdiri, jika dia berbalik maka akan bertatapan dengan sebuah ranjang yang tidak besar. Di kepala ranjang terdapat ukiran yang unik."Semoga iblis tidak merasukimu," lirih Aldrich. Dia membaca tulisan di ukiran itu."Ehh ... kamu bisa membacanya? Itu dituli
Aldrich mengendarai mobilnya dengan cepat menuju hotel tempat dia menginap. Raut wajahnya kembali datar namun tidak lama kemudian senyuman tipis menghiasi bibirnya. Setelah berkendara cukup lama, Aldrich pun sampai di sebuah hotel bergaya klasik. Halaman hotel terlihat rimbun karena pepohonan tinggi menjulang. Beberapa mobil tua klasik terparkir di sana. Baru saja keluar dari mobil, Aldrich mendengar suara langkah kaki yang berjalan mendekatinya. "Derrick, sepertinya kamu sudah cukup sehat hingga bisa berkeliaran disini." "Kamu tampak kesal. Apa karena kamu tidak berhasil membunuhku?" ejek Derrick. "Aku hanya kesal harus menunda hari kematianmu kemarin."