Semua pelajaran hari ini berlangsung seperti biasa. Saat guru keluar dari ruangan kelas, datanglah seorang wali kelas.
"Halo, saya hanya ingin menyampaikan untuk siswa baru setelah ini kalian jangan pulang dulu. Ikut ke ruangan saya," ucap Ibu Wali Kelas.
"Aldrich, Vincent! Jangan coba-coba kabur lagi." Ibu Wali Kelas menunggu di depan pintu.
Aldrich dengan tenang berjalan menuju pintu keluar. Vincent segera menyusul lelaki itu lalu berbisik. "Kamu ikut ke ruangan?"
Aldrich tidak menjawab, dia mempercepat langkahnya melewati wali kelas dengan mudah. Wali kelas itu terlihat seperti tersihir hanya diam hingga Aldrich menjauh dari pandangannya.
Vincent melihat kejadian baru saja dengan takjub. Lalu dia berniat untuk kabur juga, belum sempat dia berjalan melewati wali kelas, tangannya ditarik oleh sang wali kelas.
"Mau kemana?"
"Saya mau ke kamar mandi,"
"Jangan mencoba membohongiku! Dimana Aldrich? Kamu membantunya kabur? Iya?"
"Tidak. Tadi anda sendiri yang membiarkan Aldrich pergi begitu saja,"
"Jangan mengarang. Sini kamu ikut saya." Ibu Wali Kelas itu pun membawa Vincent ke ruangannya.
Di penjara khusus untuk para remaja, terlihat di salah satu jeruji besi Hugo yang mulai tidak waras. Dia duduk meringkuk di sudut ruangan dengan tubuh menggigil.
"Tidak. Bukan aku … bukan aku yang membunuh mereka …."
"Darah itu bukan darah manusia, hanya darah hewan. Ya … darah hewan,"
Kleengg kleengg
Kleenggg
Kleeggg
Suara besi yang bergesekan dengan besi lainnya memenuhi indra pendengaran Hugo. Dia pun sedikit mengintip ke arah jeruji besi itu berada. Penerangan yang minim membuatnya susah untuk melihat.
"Hugo," ucap seseorang dengan suara yang tidak asing bagi Hugo.
Seketika dia teringat dengan pemilik suara itu. Dia kembali mengintip dari balik tangannya untuk melihat seseorang yang berada di luar jeruji. Mencoba memastikan siapa seseorang yang menghampirinya itu. Namun tidak terlihat apapun selain cahaya lampu yang redup.
"Hugo,"
Suara itu kembali lagi, Hugo semakin menggigil. Nafasnya tidak beraturan. Mendadak dia merasa tidak ingin bertemu dengan seseorang yang memanggilnya tadi. Nyalinya menciut tak bersisa.
Duarr.
Sebuah kilatan petir terdengar menggelegar dengan cahaya flash yang masuk. Alangkah terkejutnya Hugo melihat Aldrich di depan ruangan jeruji miliknya.
"Hugo. Bagaimana kabarmu?" tanya Aldrich.
"P-pergi … jangan temui aku."
"Hmm. Kamu sangat tidak sopan. Aku kesini untuk menjengukmu."
"Pergi. Pergi dari sini!"
"Ck, benar-benar …. " Aldrich membuka gembok jeruji lalu masuk ke dalamnya.
"A—apa yang kamu lakukan?"
Hugo panik melihat Aldrich mendekat kepadanya dengan langkah lebar. Hugo menatap Aldrich dengan raut ketakutan.
Tepat di depan Hugo, Aldrich berjongkok lalu berucap. "Bagaimana? Apa kamu betah disini?"
Tangan Aldrich menepuk-nepuk pipi Hugo. Hugo hanya diam dan menatap ke lantai penjara yang berwarna abu-abu.
Karena merasa tidak dihiraukan, Aldrich pun kembali bersuara. "Sayang sekali, teman-temanmu tidak datang menjengukmu."
"Apa kamu bilang? Dimana? D—dimana mereka? Katakan … Katakan padaku!" Hugo menatap kedua netra Aldrich.
Perlahan senyuman terbentuk di bibir Aldrich. Dia kembali menepuk-nepuk pipi Hugo agak keras. Mereka saling memandang selama beberapa detik, Hugo dengan pandangan ingin meminta jawaban. Sedangkan Aldrich memandang Hugo seperti sesuatu yang konyol.
"Kamu ingin tahu dimana mereka? Kenapa kamu bertanya kepadaku? Hugo, mereka adalah temanmu. Bukan temanku."
"Tapi, tadi … kamu bilang kalau teman-temanku tidak datang menjengukku. Itu berarti kamu tahu dimana mereka. Katakan …. "
"Kamu sungguh ingin tahu? Hmm, baiklah."
Tepat setelah mengatakan itu, tiba-tiba seperti melakukan teleportasi mereka berpindah tempat ke suatu pemakaman. Kini di depan Hugo terlihat 3 makam yang berjejer dengan rangkaian bunga besar di sisi kanan dan kirinya.
Hugo semakin menggigil dan wajahnya memucat melihat nama-nama yang tertera serta foto yang terpajang di masing-masing nisan.
"Tidak mungkin!" sangkal Hugo.
"Kamu pembunuh. Hugo," bisik Aldrich.
"Tidak. Aku tidak membunuh mereka!"
"Kamu ingat? Saat di luar bar kemarin? Tubuhmu bermandikan darah, itu semua adalah darah mereka."
"Aku tidak membunuh mereka. Aku bukan pembunuh!"
Lalu secara tiba-tiba, Hugo berbalik dan memukul wajah Aldrich sangat keras. Darah mengalir dari sudut bibirnya akibat pukulan Hugo.
"Kamu yang membunuh mereka! Bukan aku!" seru Hugo.
Aldrich menjilat darah di sudut bibirnya lalu dengan kecepatan kilat mereka berpindah tempat ke hutan belantara. Suara hewan-hewan terdengar sangat menakutkan.
Aldrich seketika berada di hadapan Hugo. Tangannya mencengkram kerah kaos lusuh yang dipakai Hugo. Di kegelapan hutan, Hugo semakin menciut melihat sosok Aldrich yang terlihat menakutkan. Kedua netra Aldrich perlahan berubah menjadi lebih merah seperti darah pekat.
"Aku sudah memperingatkanmu dari awal. Tapi kamu tetap melakukannya. Kamu sudah berani bermain denganku, Hugo. Dan lihat, sekarang teman-temanmu mati karenamu. Kamu yang membunuh mereka," desis Aldrich.
Hugo terlalu kalut dengan pikirannya, dia terbayang-bayang temannya yang mati. Tubuhnya menggigil, pandangannya lurus ke tanah.
Aldrich mendekat dan berbisik di telinganya. "Kamu adalah pembunuh sebenarnya Hugo."
Aldrich membawa kembali dirinya dan Hugo ke tempat semula, penjara. Lalu dengan senyuman lebar, Aldrich keluar dari jeruji dan menguncinya lagi. Dia berjalan sambil memakai seragam petugas lapas yang diambil secara diam-diam dari kamar mandi. Sebagai pelengkap, sebuah kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya.
Tanpa takut sedikit pun, lelaki itu berjalan melewati beberapa petugas lapas lain yang sedang berlalu-lalang. Hingga sampai di pintu depan, seorang petugas lapas memanggilnya.
"Hei! Kamu mau kemana?" tanya petugas lapas itu. Dia terlihat curiga dengan Aldrich.
Berbeda dengan Aldrich, dia sangat tenang menanggapi petugas lapas itu. "Pergi ke neraka."
Aldrich lalu mengangkat sedikit kacamatanya memperlihatkan netra kemerahan miliknya.
Spontan petugas lapas itu terkejut bukan main dengan mulut yang menganga. Aldrich melanjutkan langkahnya hingga ke pagar tinggi yang membatasi rumah tahanan ini dengan dunia luar.
"Jangan khawatir, Hugo. Aku akan sering menjengukmu." Aldrich membuka pagar tinggi itu dan tersenyum ke arah rumah tahanan.
Aldrich mengendarai Mobil Ferrari hitam miliknya dengan cepat membelah jalanan Kota London yang masih cukup ramai. Waktu menunjukkan lewat tengah malam. Ponselnya tiba-tiba berbunyi menampilkan sebuah nama 'Derrick'.
"Ada apa?" tanya Aldrich.
"Tidak bisakah kamu menyapaku dulu, hah?" balas Derrick.
"Aku sedang sibuk. Jika kamu hanya mau berbicara omong kosong—"
"Aku ada di rumahmu."
Seketika Aldrich menginjak rem sangat dalam hingga membuat mobil berhenti secara mendadak. Aldrich mengerutkan alis tidak suka, lalu mengumpat dengan keras.
"Fuck! Siapa yang mengizinkan kamu masuk ke rumahku? Derrick, jangan sentuh barang-barangku! Tetap di tempatmu sekarang dan jangan masuk ke ruangan manapun. Kamu mendengarku, Derrick? Derrick? Jawab aku!" geram Aldrich.
"Segeralah datang, sepupu. Aku menunggumu," ucap Derrick. Lalu dia mematikan panggilan secara sepihak.
"Fuck! Aku harus kembali ke rumah," umpat Aldrich.Tidak peduli lagi dengan ponselnya yang remuk, dia kembali masuk ke dalam mobil lalu menginjak pedal gas hingga suara deruman khas Mobil Ferrari terdengar.Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan ke rumahnya yang berada cukup jauh dari pusat kota. Kini Aldrich sudah memasuki pekarangan rumahnya, terdapat taman luas yang menghiasi bangunan rumah bergaya Victorian itu.Aldrich segera menghentikan mobilnya cukup jauh dari pintu masuk. Tampak di depan pintu masuk seorang lelaki terlihat tidak tenang. Ditambah dengan melihat Aldrich yang datang dengan raut wajah dinginnya, membuat lelaki yang berdiri di depan pintu semakin ketakutan."T—uan," sapa lelaki itu.
“Ada perlu apa dengan teman saya, Pak?” tutur Vincent.Salah satu polisi itu menggiring Vincent untuk pergi dari ruang kelas, sementara polisi lainnya sedang menanyakan beberapa pertanyaan kepada Aldrich. “Kamu mengenal Hugo Stein?”“Kami berada di kelas yang berbeda, tapi saya pernah bertemu dengannya,” balas Aldrich.“Berdasar pada informasi yang diberikan oleh gurumu, kamu pernah berkelahi dengannya. Apa itu benar?”“Hugo memukul saya, tapi saya tidak membalas. Apa itu dapat disimpulkan sebagai perkelahian?” Aldrich tersenyum dengan menatap lekat polisi di depannya.“Oke, aku mengerti. Lal
Berita pagi ini sangat membuat warga London merasa ketakutan. Di seluruh media elektronik maupun media cetak tersebar berita mengenai penemuan jasad wanita dengan leher yang terkoyak akibat gigitan sesuatu. Para petugas kepolisian pun melakukan penyelidikan mengenai kasus ini. Seluruh area hutan itu pun ditutup semetara selama proses penyelidikan. Memang hutan yang menjadi tempat penemuan jasad itu adalah hutan yang masih alami dan tentunya terdapat banyak hewan-hewan buas. Namun terdapat kejanggalan yang masih menjadi pertanyaan bagi petugas kepolisian. Apa motif wanita itu hingga pergi ke hutan? Jika memang dia diserang binatang buas, mengapa tidak ada tanda perlawanan dari wanita itu?
Tepat tengah malam, Aldrich mengendarai mobilnya ke arah rumah tahanan tempat Hugo menjalani hukumannya. Sesampainya disana, dia melakukan teleportasi untuk bisa masuk ke dalam area rumah tahanan. Dengan mudah Aldrich menyusup masuk melewati pintu depan yang ternyata sedang tidak ada penjaga.Setiap langkah kaki yang dia ambil, setiap lampu juga akan mati seketika. Sehingga semua lorong yang dia lewati menjadi gelap. Saat akan sampai di sel tahanan Hugo, Aldrich bertemu dengan dua orang sipir. Mereka berdua terkejut melihat Aldrich yang tiba-tiba ada di dalam rumah tahanan."Siapa kamu?" tanya salah satu sipir.Aldrich hanya diam dan menatap dua sipir itu. Dia kembali melanjutkan langkahnya. Tapi baru satu langkah, kedua sipir itu menahan bahunya untuk berhenti.
KriingggBel pulang sekolah telah berbunyi. Semua siswa pun bersiap untuk pulang. Termasuk Aldrich yang baru saja selesai berkemas. Namun saat akan keluar dari kelas, Helena memanggil Aldrich."Aldrich tunggu!" teriak Helena.Tapi Aldrich sama sekali tidak menghiraukan Helena dan terus melangkahkan kakinya. Helena segera menyusul Aldrich yang sudah berjalan cukup jauh di lorong sekolah."Apa telingamu sudah tidak berfungsi?" kesal Helena.Aldrich tetap diam dan melanjutkan langkahnya menuju halaman parkir. Helena yang merasa kesal pun menghadang Aldrich. "Kenapa kamu hanya diam? Apa aku ada salah?"
Setelah mencari-cari Eric di dalam bar cukup lama, Helena akhirnya memutuskan untuk keluar dari bar. Saat mengedarkan pandangannya ke halaman parkir, Helena melihat Eric yang duduk di aspal dengan bersandar di salah satu tiang lampu."What the hell! Eric, apa yang terjadi?" tanya Helena. Dia mendekati Eric dan melihat luka lebam hingga berdarah di beberapa bagian wajahnya."Tidak apa. Aku sudah menghubungi Johannes untuk menjemput kita," terang Eric.Helena merasa ada sesuatu yang sedang Eric sembunyikan. Tapi dia tidak ingin membuat Eric semakin kesakitan. Karena luka-luka yang ada pada tubuh Eric tepat di beberapa titik vital yang pasti sangat menyakitkan dan juga berbahaya bila tidak segera ditangani.Dari kejauh
Rintik-rintik hujan membasahi kota London pagi ini. Langit terlihat gelap, sinar mentari seakan enggan untuk menampakkan dirinya. Suasana saat ini sama persis dengan suasana hati Aldrich yang benar-benar buruk.Aldrich baru saja memarkirkan mobilnya di halaman sekolah. Dia lalu keluar dari mobil tanpa peduli dengan rintikan hujan yang membasahi tubuhnya. Tiba-tiba saja Helena mendekatinya dan berbagi payung dengannya. "Apa kamu sibuk sepulang sekolah?"Aldrich hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan Helena. Saat sudah memasuki gedung sekolah, Helena menutup payungnya. Aldrich tetap berjalan tanpa mengucapkan terima kasih atau menunggu Helena."Ada apa denganmu? Kemarin kamu terlihat baik-baik saja. Sekarang kamu terlihat sangat dingin padaku," kesal Helena.
Jam pulang sekolah pun tiba. Namun cuaca terlihat tidak bersahabat, hujan deras diiringi petir mengguyur seluruh kota. Satu persatu siswa pergi dari sekolah. Mereka pulang tanpa khawatir kehujanan, karena mereka memiliki kendaraan pribadi. "Ah, aku akan pulang sekarang. Kurasa hujannya tidak berhenti dalam waktu dekat. Helena, apa kamu membawa mobil?" tanya Vincent. Helena tersenyum kecut. "Aku tadi diantar oleh temanku. Sekarang, temanku agak sibuk … dia tidak bisa datang menjemputku. Aku akan mencoba mencari taksi online." "Dimana alamat rumahmu? Mungkin aku bisa mengantarmu." tawar Vincent. "Aku tinggal di xxxxx dekat ke arah hutan perbatasan—"