London, 2015
Seorang wanita tengah berjalan di kegelapan malam Kota London dengan kewaspadaan yang meningkat beberapa level. Setiap detik dia menoleh ke belakang lalu kembali melanjutkan langkahnya dengan detak jantung yang berdebar hebat.
Lampu-lampu jalan menerangi trotoar tempat dia berjalan. Sejauh mata memandang, dia tidak menemukan manusia satupun yang sedang berada di luar rumah seperti dirinya.
Mungkin karena malam ini hujan lebat telah membasahi seluruh kota. Ditambah dengan suhu udara yang terasa turun hingga ke minus derajat.
Mungkin mereka memilih untuk tidur di rumah dengan menyalakan perapian yang hangat ditemani dengan segelas teh atau coklat panas. Bisa juga mereka sedang bergelut di atas ranjang empuk saling mencumbu satu sama lain.
"Hah, sialan. Kemana semua orang? Lebih baik aku mempercepat langkahku sebelum semakin larut," kesal wanita itu sambil merapatkan mantelnya.
Krek.
Wanita itu seketika menoleh ke belakang. Suara patahan ranting terdengar dari arah belakangnya tadi. Jantungnya berdetak tidak karuan dan tenggorokannya terasa kering.
"S—siapa?" teriaknya dengan lantang.
Hening. Tidak ada sautan dari pertanyaannya.
"Siapapun kamu, jangan bercanda! Ini tidak lucu," kesalnya. Dia kesal kepada siapapun yang sudah menakutinya.
Setelah melihat selama beberapa detik dan memastikan kalau tidak ada siapapun di belakangnya. Dia pun melanjutkan perjalanannya. Jantungnya masih berdetak cepat dan perasaan tidak enak menyelimuti tubuhnya.
Hingga tubuhnya terasa meremang. Nafasnya memburu dan tenggorokannya kering. Sekedar menelan ludah pun sangat sulit.
Kleng.
Suara ranting yang menabrak tiang besi memaksanya untuk kembali menoleh kebelakang dan mengecek siapapun yang mungkin sedang berjalan sendirian juga seperti dirinya.
Nyatanya, tidak ada siapapun di belakangnya. Kosong. Hampa.
"Mungkin hanya perasaanku saja," batinnya.
Namun saat dia berbalik, dia dikagetkan dengan seorang lelaki menggunakan hoodie hitam yang menutupi wajahnya. Lelaki berperawakan tinggi itu hanya berdiri sambil bersandar di tiang lampu jalanan yang berjarak 5 meter dari tempat wanita itu berdiri kaku.
Dilihat dari pakaian yang dia kenakan, semua terlihat bermerk. Yah, wanita itu tau karena pakaian itu terpampang jelas di sebuah katalog dari brand Louis Vuitton minggu lalu.
"Apa-apaan ini! Darimana asalnya? Tiba-tiba muncul dengan cara mengejutkan seperti itu," kesalnya dalam hati.
Dengan mengumpulkan segala keberaniannya, wanita itu perlahan melangkah dan kembali melanjutkan perjalannya. Berusaha untuk tidak menghiraukan lelaki misterius yang tiba-tiba saja muncul.
Baru sampai tepat di sebelah lelaki itu, tiba-tiba dia mendengar suara baritonnya.
"Saat yang tepat," gumam lelaki itu. Kedua tangannya masih setia menelusup di balik saku hoodie yang dia pakai.
Wanita itu berhenti seketika dan memasang wajah bingung. Dia tidak menoleh ataupun melirik ke arah lelaki itu. Tapi dia merasakan sesuatu yang aneh.
Dia menelan pelumas mulutnya dengan susah payah.
"Kuku yang cantik," puji lelaki itu.
Entah apa maksudnya, yang pasti itu merupakan pujian yang membuatnya takut. Apalagi lelaki itu adalah orang yang tidak dia kenal.
"Kenapa dia tiba-tiba membicarakan kukuku?" batin wanita itu tidak tenang.
Sontak wanita itu menatap kuku-kukunya yang dipoles warna pink dengan manik-manik kerlip yang menghiasi. Kuku-kukunya memang terlihat cantik.
Seharusnya dia senang bukan mendengar pujian itu?
Tapi kembali lagi ... apakah itu sebuah pujian?
Walau rasa takut mulai menyelimuti hatinya. Wanita itu mencoba menjawab dengan sopan. Hanya ingin menyudahi percakapan yang terasa sangat mengerikan baginya.
"Bagaimana kalau dia adalah perampok? Atau dia adalah pelaku pemerkosaan? Ya Tuhan selamatkan aku," pikirnya. Wanita itu tidak henti-hentinya berdo'a.
"Terimakasih. Ah, malam sudah sangat larut. Saya permisi dulu," ucapnya dengan suara serak.
Digenggamnya kedua sisi mantel yang tengah dipakai agar lebih menyembunyikan tubuhnya dari pandangan lelaki itu. Dengan tubuh yang mulai bergetar karena kedinginan bercampur takut, wanita itu melanjutkan langkahnya.
"Aku ingin memiliki kuku itu," ungkap lelaki itu tiba-tiba.
Mendengar itu membuat jantung lawan bicaranya semakin berdebar ketakutan dan ingin segera pergi dari tempat itu secepatnya.
"Saya sedang tidak ingin membicarakan hal seperti ini. Maaf, saya harus segera pulang." Wanita itu tanpa menoleh berniat kembali melangkahkan kakinya.
Baru satu langkah, suara lelaki itu terdengar lagi.
"Biar aku antar, Nona," tawar lelaki itu.
Hal itu sukses membuat jantung si wanita berdetak semakin liar dan bulu kuduknya meremang. Dengan langkah lebar, lelaki itu berjalan dari tempatnya berdiri menuju wanita itu.
Clap.
Clap.
Clap.
Semakin mendekat dan mendekat. Seketika wanita itu berlari dengan ketakutan. Tanpa memperdulikan apapun, dia berlari sejauh mungkin dari lelaki yang dia anggap gila itu.
Di sela-sela nafasnya yang memburu, wanita itu setengah berteriak dengan kaki yang sibuk berlari. "Berhenti mengikutiku! Dasar gila!"
Tanpa dia sadari, dia menuju ke gang yang salah. Gang yang sama sekali tidak menuju ke rumahnya. Sinar lampu jalan mulai menghilang dan wanita itu semakin masuk ke dalam kegelapan.
Saat berbelok dan melewati gang, wanita itu seketika menghentikan olahraga larinya karena melihat seorang lelaki dihadapannya.
Lelaki yang sama.
Lelaki berhoodie hitam.
"APA MAUMU? PERGI! PERGI!" Wanita itu berteriak kencang sambil berjalan mundur.
Sret.
Lelaki itu pun membuka penutup kepala hoodienya. Walau di tengah kegelapan, sinar rembulan masih menyinari meski hanya sedikit. Wanita itu menatap wajah si lelaki. Tidak disangka, lelaki itu berparas rupawan. Garis-garis wajahnya terlukis dengan sempurna dan iris mata yang terlihat sedikit berkilau.
"Aku akan mengantarmu. Nona," ucap lelaki itu dengan senyum tipisnya.
Wanita itu dibuat terpesona dan hanya fokus kepada wajah itu. Rasa ketakutan yang tadinya dia rasakan seakan menguap entah ke mana. Kini hanya ada debaran-debaran karena rasa suka dengan paras dari lelaki itu.
Ditambah dengan senyuman manis yang dia suguhkan.
Perlahan lelaki itu berjalan memutar sambil menatap tubuh wanita itu lekat-lekat.
"Kau muncul di waktu yang tepat, dan … aku tidak tahan ingin menyentuh kulitmu," bisik lelaki itu.
Sejenak dia menggoda wanita itu dengan mendekatkan wajahnya. Namun sekali lagi, lelaki itu hanya menggodanya tanpa berniat ingin menempelkan bibirnya yang lembut dan kenyal ke bibir wanita itu.
Berbeda dengan wanita itu, dia sangat antusias ketika tahu bahwa dirinya ingin dicium hingga memejamkan mata dan menahan nafasnya.
Raut wajah lelaki itu seketika berubah. Dari yang awalnya tersenyum manis menjadi wajah yang berkerut tidak suka dan merasa jijik dengan apa yang dia lihat.
Jari-jemarinya seketika mencengkram kuat leher wanita itu, sementara jari-jemari lainnya menarik rambut dia dengan kuat hingga membuat wajahnya mendongak dengan kasar.
"Jangan berpikir terlalu tinggi," hardik lelaki itu.
Rintihan pelan keluar dari mulut wanita itu, air mata mulai membanjiri pipinya yang tirus.
"Aku hanya membutuhkan … darahmu," tutur lelaki itu.
Wanita itu terdiam kaku dengan tatapan horror.
Apa dia adalah makhluk itu? Vampir? Suara di kepalanya sedang histeris ketakutan.
Detik selanjutnya dia merasakan hujaman benda tajam yang menusuk lehernya dengan bringas.Suaranya tercekat, mulutnya terbuka mencoba untuk mengeluarkan teriakannya. Namun tidak ada sedikitpun suara yang keluar.Dengan segala upaya wanita itu mencoba melepaskan diri. Memukul, mendorong hingga mencakar tubuh lelaki gila itu. Tanpa terasa kuku-kuku cantiknya telah rusak dan patah, darah mengalir dari luka pada bekas kukunya itu.Perlahan tenaga wanita itu terasa seperti terkuras habis. Begitupun dengan darah yang ada di dalam tubuhnya.Brugh.Dengan mudahnya lelaki itu meninggalkan wanita yang sudah tidak
Sinar mentari mulai memberikan kehangatan bagi seluruh penghuni bumi. Lelaki yang masih terlelap itu mulai membuka matanya karena gangguan dari sinar yang menelusup dari tirai jendela kamarnya."Aku bosan dengan semua ini," keluhnya.Siapakah lelaki itu?Benar dia adalah Aldrich. Lelaki itu tinggal sendiri di sebuah Apartemen Mewah yang hanya ditinggali oleh para konglomerat.Sekaya apa hingga bisa disebut konglomerat?Jika kamu memiliki harta bersih senilai 1 Million Dollars dan masih bisa bertambah setiap hari. Kamu bisa disebut sebagai konglomerat.
Kerlap-kerlip lampu mengiringi musik dari DJ yang sedang berdentum ria. Seorang lelaki dengan bertubuh kekar dan kulit sawo matang sedang asik menggoyangkan tubuhnya dengan enerjik. Dia adalah Hugo Stein. Tampaknya alkohol sudah mulai menguasai dirinya. Dengan langkah yang sedikit limbung dia beranjak dari lantai dansa dan kembali ke meja bar. Dia meminta bartender untuk mengisi kembali sampanye yang sudah kesekian kalinya. Bartender itu menatap sinis Hugo. "Apa?! Lakukan saja tugasmu," bentak Hugo tidak suka. Sebenarnya bartender itu tidak peduli jika Hugo mabuk. Akan tetapi dia hanya tidak ingin di barnya terjadi keributan yang tidak penting karena seseorang yang mabuk.
Semua pelajaran hari ini berlangsung seperti biasa. Saat guru keluar dari ruangan kelas, datanglah seorang wali kelas. "Halo, saya hanya ingin menyampaikan untuk siswa baru setelah ini kalian jangan pulang dulu. Ikut ke ruangan saya," ucap Ibu Wali Kelas. "Aldrich, Vincent! Jangan coba-coba kabur lagi." Ibu Wali Kelas menunggu di depan pintu. Aldrich dengan tenang berjalan menuju pintu keluar. Vincent segera menyusul lelaki itu lalu berbisik. "Kamu ikut ke ruangan?" Aldrich tidak menjawab, dia mempercepat langkahnya melewati wali kelas dengan mudah. Wali kelas itu terlihat seperti tersihir hanya diam hingga Aldrich menjauh dari pandangannya. Vincent melihat kejadian baru saja dengan takjub. Lalu dia berniat untuk kabur juga, belum sempat dia berjalan melewati wali kelas, tangannya ditarik oleh sang wali kelas. "Mau kemana?" &nb
"Fuck! Aku harus kembali ke rumah," umpat Aldrich.Tidak peduli lagi dengan ponselnya yang remuk, dia kembali masuk ke dalam mobil lalu menginjak pedal gas hingga suara deruman khas Mobil Ferrari terdengar.Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan ke rumahnya yang berada cukup jauh dari pusat kota. Kini Aldrich sudah memasuki pekarangan rumahnya, terdapat taman luas yang menghiasi bangunan rumah bergaya Victorian itu.Aldrich segera menghentikan mobilnya cukup jauh dari pintu masuk. Tampak di depan pintu masuk seorang lelaki terlihat tidak tenang. Ditambah dengan melihat Aldrich yang datang dengan raut wajah dinginnya, membuat lelaki yang berdiri di depan pintu semakin ketakutan."T—uan," sapa lelaki itu.
“Ada perlu apa dengan teman saya, Pak?” tutur Vincent.Salah satu polisi itu menggiring Vincent untuk pergi dari ruang kelas, sementara polisi lainnya sedang menanyakan beberapa pertanyaan kepada Aldrich. “Kamu mengenal Hugo Stein?”“Kami berada di kelas yang berbeda, tapi saya pernah bertemu dengannya,” balas Aldrich.“Berdasar pada informasi yang diberikan oleh gurumu, kamu pernah berkelahi dengannya. Apa itu benar?”“Hugo memukul saya, tapi saya tidak membalas. Apa itu dapat disimpulkan sebagai perkelahian?” Aldrich tersenyum dengan menatap lekat polisi di depannya.“Oke, aku mengerti. Lal
Berita pagi ini sangat membuat warga London merasa ketakutan. Di seluruh media elektronik maupun media cetak tersebar berita mengenai penemuan jasad wanita dengan leher yang terkoyak akibat gigitan sesuatu. Para petugas kepolisian pun melakukan penyelidikan mengenai kasus ini. Seluruh area hutan itu pun ditutup semetara selama proses penyelidikan. Memang hutan yang menjadi tempat penemuan jasad itu adalah hutan yang masih alami dan tentunya terdapat banyak hewan-hewan buas. Namun terdapat kejanggalan yang masih menjadi pertanyaan bagi petugas kepolisian. Apa motif wanita itu hingga pergi ke hutan? Jika memang dia diserang binatang buas, mengapa tidak ada tanda perlawanan dari wanita itu?
Tepat tengah malam, Aldrich mengendarai mobilnya ke arah rumah tahanan tempat Hugo menjalani hukumannya. Sesampainya disana, dia melakukan teleportasi untuk bisa masuk ke dalam area rumah tahanan. Dengan mudah Aldrich menyusup masuk melewati pintu depan yang ternyata sedang tidak ada penjaga.Setiap langkah kaki yang dia ambil, setiap lampu juga akan mati seketika. Sehingga semua lorong yang dia lewati menjadi gelap. Saat akan sampai di sel tahanan Hugo, Aldrich bertemu dengan dua orang sipir. Mereka berdua terkejut melihat Aldrich yang tiba-tiba ada di dalam rumah tahanan."Siapa kamu?" tanya salah satu sipir.Aldrich hanya diam dan menatap dua sipir itu. Dia kembali melanjutkan langkahnya. Tapi baru satu langkah, kedua sipir itu menahan bahunya untuk berhenti.