Sinar mentari mulai memberikan kehangatan bagi seluruh penghuni bumi. Lelaki yang masih terlelap itu mulai membuka matanya karena gangguan dari sinar yang menelusup dari tirai jendela kamarnya.
"Aku bosan dengan semua ini," keluhnya.
Siapakah lelaki itu?
Benar dia adalah Aldrich. Lelaki itu tinggal sendiri di sebuah Apartemen Mewah yang hanya ditinggali oleh para konglomerat.
Sekaya apa hingga bisa disebut konglomerat?
Jika kamu memiliki harta bersih senilai 1 Million Dollars dan masih bisa bertambah setiap hari. Kamu bisa disebut sebagai konglomerat.
Aldrich Carrington merupakan salah satunya. Dia memiliki perusahaan yang selalu berhasil menciptakan teknologi baru untuk memudahkan kehidupan manusia. Semua hasil karyanya selalu menjadi trending topic di kalangan masyarakat modern.
Sebenarnya bukan dia yang mengelola langsung perusahaannya melainkan para bawahannya yang sudah mendapat predikat jenius dan memiliki kesetiaan yang tinggi.
Namun tidak ada seorangpun yang tahu jika dia adalah pemilik perusahaan besar itu. Dia tidak pernah menampakkan diri di kantor maupun di depan para bawahannya.
Dia hanya memberikan perintah melalui panggilan telepon selulernya.
Apa nama perusahaan miliknya?
The Thunder Tech Corporation adalah nama perusahaanya.
Sesuai dengan namanya, perusahaan dia selalu melejit di antara perusahaan lain. Secepat kilat menjadi trending topic setiap kali meluncurkan hasil karyanya.
Aldrich menuntaskan ritual mandinya dan melangkahkan kakinya ke walk in closet. Lebih dari 10 set seragam sudah tertata rapi di rak-rak lemarinya.
Mengambil 1 set seragam dan memakainya dalam diam. Seragam itu melekat pas di tubuhnya. Sentuhan terakhir sebuah dasi dia lilitkan ke lehernya.
Sebuah jam tangan hitam yang elegan dipilihnya menjadi aksesoris sekaligus penunjuk waktu untuknya.
Sebagai alas kakinya, sepasang sepatu kets berwarna hitam menjadi pilihannya untuk hari ini. Ketika melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 6, dia segera meraih jaket kulit yang tergantung di lemari lalu bergegas menuju tempat parkir apartemennya.
Broom. Broom
Suara knalpot motor sport hitam terdengar nyaring di halaman masuk menuju sekolah. Setiap mata para wanita menatap ke arah pengemudi motor yang sedang melaju dengan mulus.
Bisikan mereka yang memujinya sudah biasa terdengar di telinganya. Namun dia tetap bersikap biasa dan acuh tak acuh.
Saat akan memarkirkan motornya, seorang lelaki berdiri tepat di tempat biasa dia memarkirkan motornya. Memaksakan dirinya untuk menghentikan motor.
"Carrington," sapa lelaki itu. Dia masih berdiri dengan wajah tenangnya.
Satu-satunya lelaki yang memanggilnya Carrington adalah lelaki yang kemarin menawarkan untuk menjalin hubungan pertemanan, Vincent Reed.
Dengan tatapan matanya yang tajam, Aldrich Carrington mencoba mengusir Vincent Reed dari tempat parkirnya.
Namun dia tetap berada disana dengan senyuman lebar yang menggelikan. Siswa-siswi mulai berkerumun dan mulai menatap mereka dengan raut wajah penasaran.
Carrington mendadak menurunkan standar motor miliknya dan turun dari motor. Tanpa berkata, dia melemparkan kunci motor ke arah Vincent dan melangkah masuk ke dalam gedung sekolah tanpa melepas helm.
Saat berjalan melewati lorong kelas menuju loker miliknya, Aldrich mendengar para siswi yang semakin menggilainya.
"It's him! Oh God."
"Meski memakai helm, aku bisa tebak jika dia siswa kelas first A yang tampan itu."
"Dia seperti anggota geng motor, membuatku semakin menyukainya."
"Kita lihat saja, aku pasti bisa memiliki dia."
Begitulah sebagian kecil dari omongan mereka yang terdengar oleh Aldrich. Dia sangat bosan dengan semua ini.
Sesampainya di loker, Aldrich mengambil buku-buku yang dibutuhkan lalu memasukkannya ke dalam tas. Tiba-tiba 5 orang lelaki menghampirinya.
Salah satu lelaki itu berdiri tepat di sampingnya.
"Jadi … kamu yang menjadi idola seluruh wanita satu sekolah ini?" ucap lelaki itu. Dia adalah lelaki dengan tubuh kekar dan kulit sawo matang.
Dari tingkat keberaniannya, dia terlihat seperti ketua dari geng ini. Apapun geng itu, Aldrich tidak ingin mengetahuinya.
Tanpa melepas helm, Aldrich berjalan melewati mereka dengan santai. Tiba-tiba seseorang dari mereka melempar bola baseball ke kepala Aldrich yang masih tersembunyi dibalik helm.
"Hah!" dengus Aldrich.
Dengan gerakan perlahan, dia membuka helmnya. Aldrich berjalan dengan langkah mantap menuju ketua geng itu.
'Hugo Stein' Sebuah name tag tertangkap matanya.
"Hugo. Lebih baik kamu ajak teman-temanmu untuk pergi," titah Aldrich.
"Aku tidak akan pergi sebelum merusak wajahmu hingga para wanita berhenti menatapmu," sahut Hugo percaya diri.
"Aku beritahu. Rencanamu tidak akan berhasil,"
Seketika lelaki bernama Hugo itu mencengkram kemeja Aldrich dan melayangkan tinjunya.
Bugh.
"Hey! Apa-apaan ini?!" Pak Guru yang sedang lewat tanpa sengaja melihat kejadian Aldrich yang dipukul oleh siswa lain.
Hugo melepaskan cengkramannya dan dengan santainya berjalan menjauh dari tempat kejadian.
"Kamu tidak apa, Aldrich?" tanya Pak Guru.
Aldrich hanya mengangguk dan beranjak menuju kelas.
"Ini belum berakhir. Hugo," gumam Aldrich lalu tersenyum lebar.
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran hingga 6 jam. Akhirnya bel waktu pulang pun berbunyi.
Kriiinnng
Baru saja keluar dari kelas, Aldrich mendengar suara lelaki yang sudah dia hafal memanggilnya dengan nama yang dia benci.
"Carrington," panggilnya.
"Sekali lagi—" kesal Aldrich.
"Whoaaa tenang. Aku hanya ingin mengembalikan kunci motormu." Vincent mengangkat tangannya yang memegang kunci motor.
Aldrich segera merebut kunci motor dari tangan Vincent dan berjalan meninggalkannya.
"Aku sudah memarkirkannya dengan aman." Vincent mengikuti Aldrich di sampingnya. Namun Aldrich tidak menghiraukan dia sama sekali.
"Hey. Apa kamu tidak ingin berterima kasih kepadaku?" goda Vincent.
"Dimana alamat rumahmu?" desaknya. Menggali informasi dari Aldrich.
"Mungkin kita bisa berangkat—"
Vincent terhenti ketika melihat Aldrich menghentikan langkahnya.
Aldrich melihat ke arah depan dengan tangan yang terkepal. Vincent yang penasaran pun melihat ke arah pandang Aldrich.
"Oh My God." Vincent menatap nanar motor sport milik Aldrich.
Motor itu kini sudah terdapat coretan-coretan cat yang memenuhi body motor. Bukan hanya itu, body motor juga dipenuhi oleh baret-baret yang parah. Kedua ban motor pun sudah kehabisan angin karena pisau telah menancap dalam di sana.
Hugo yang sedang bersandar di mobilnya menatap ke arah Aldrich yang juga sedang menatapnya. Mereka sedang beradu tatapan hingga beberapa menit.
"Aku bisa mengantarmu pulang," tawar Vincent.
"Aku bisa pulang sendiri," tolak Aldrich singkat.
Aldrich tidak mengalihkan pandangannya dari Hugo. Hugo dan teman-temannya pergi dengan mobil sport yang dia kendarai. Seringai tipis terpampang di bibir mereka.
Aldrich menelpon taksi online dan pergi meninggalkan Vincent.
Selama di dalam taksi, Aldrich mencari tahu mengenai Hugo. Dengan lihai dia mengotak-atik aplikasi di ponselnya dan berhasil mendapatkan asal-usul Hugo beserta teman-temannya, keluarga, alamat dan tempat yang sering dikunjungi.
"Kita akan segera bertemu, Hugo. Aku akan mengambil alih permainan,"
Aldrich tersenyum lebar namun tatapan matanya terlihat sangat mengerikan.
Kerlap-kerlip lampu mengiringi musik dari DJ yang sedang berdentum ria. Seorang lelaki dengan bertubuh kekar dan kulit sawo matang sedang asik menggoyangkan tubuhnya dengan enerjik. Dia adalah Hugo Stein. Tampaknya alkohol sudah mulai menguasai dirinya. Dengan langkah yang sedikit limbung dia beranjak dari lantai dansa dan kembali ke meja bar. Dia meminta bartender untuk mengisi kembali sampanye yang sudah kesekian kalinya. Bartender itu menatap sinis Hugo. "Apa?! Lakukan saja tugasmu," bentak Hugo tidak suka. Sebenarnya bartender itu tidak peduli jika Hugo mabuk. Akan tetapi dia hanya tidak ingin di barnya terjadi keributan yang tidak penting karena seseorang yang mabuk.
Semua pelajaran hari ini berlangsung seperti biasa. Saat guru keluar dari ruangan kelas, datanglah seorang wali kelas. "Halo, saya hanya ingin menyampaikan untuk siswa baru setelah ini kalian jangan pulang dulu. Ikut ke ruangan saya," ucap Ibu Wali Kelas. "Aldrich, Vincent! Jangan coba-coba kabur lagi." Ibu Wali Kelas menunggu di depan pintu. Aldrich dengan tenang berjalan menuju pintu keluar. Vincent segera menyusul lelaki itu lalu berbisik. "Kamu ikut ke ruangan?" Aldrich tidak menjawab, dia mempercepat langkahnya melewati wali kelas dengan mudah. Wali kelas itu terlihat seperti tersihir hanya diam hingga Aldrich menjauh dari pandangannya. Vincent melihat kejadian baru saja dengan takjub. Lalu dia berniat untuk kabur juga, belum sempat dia berjalan melewati wali kelas, tangannya ditarik oleh sang wali kelas. "Mau kemana?" &nb
"Fuck! Aku harus kembali ke rumah," umpat Aldrich.Tidak peduli lagi dengan ponselnya yang remuk, dia kembali masuk ke dalam mobil lalu menginjak pedal gas hingga suara deruman khas Mobil Ferrari terdengar.Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan ke rumahnya yang berada cukup jauh dari pusat kota. Kini Aldrich sudah memasuki pekarangan rumahnya, terdapat taman luas yang menghiasi bangunan rumah bergaya Victorian itu.Aldrich segera menghentikan mobilnya cukup jauh dari pintu masuk. Tampak di depan pintu masuk seorang lelaki terlihat tidak tenang. Ditambah dengan melihat Aldrich yang datang dengan raut wajah dinginnya, membuat lelaki yang berdiri di depan pintu semakin ketakutan."T—uan," sapa lelaki itu.
“Ada perlu apa dengan teman saya, Pak?” tutur Vincent.Salah satu polisi itu menggiring Vincent untuk pergi dari ruang kelas, sementara polisi lainnya sedang menanyakan beberapa pertanyaan kepada Aldrich. “Kamu mengenal Hugo Stein?”“Kami berada di kelas yang berbeda, tapi saya pernah bertemu dengannya,” balas Aldrich.“Berdasar pada informasi yang diberikan oleh gurumu, kamu pernah berkelahi dengannya. Apa itu benar?”“Hugo memukul saya, tapi saya tidak membalas. Apa itu dapat disimpulkan sebagai perkelahian?” Aldrich tersenyum dengan menatap lekat polisi di depannya.“Oke, aku mengerti. Lal
Berita pagi ini sangat membuat warga London merasa ketakutan. Di seluruh media elektronik maupun media cetak tersebar berita mengenai penemuan jasad wanita dengan leher yang terkoyak akibat gigitan sesuatu. Para petugas kepolisian pun melakukan penyelidikan mengenai kasus ini. Seluruh area hutan itu pun ditutup semetara selama proses penyelidikan. Memang hutan yang menjadi tempat penemuan jasad itu adalah hutan yang masih alami dan tentunya terdapat banyak hewan-hewan buas. Namun terdapat kejanggalan yang masih menjadi pertanyaan bagi petugas kepolisian. Apa motif wanita itu hingga pergi ke hutan? Jika memang dia diserang binatang buas, mengapa tidak ada tanda perlawanan dari wanita itu?
Tepat tengah malam, Aldrich mengendarai mobilnya ke arah rumah tahanan tempat Hugo menjalani hukumannya. Sesampainya disana, dia melakukan teleportasi untuk bisa masuk ke dalam area rumah tahanan. Dengan mudah Aldrich menyusup masuk melewati pintu depan yang ternyata sedang tidak ada penjaga.Setiap langkah kaki yang dia ambil, setiap lampu juga akan mati seketika. Sehingga semua lorong yang dia lewati menjadi gelap. Saat akan sampai di sel tahanan Hugo, Aldrich bertemu dengan dua orang sipir. Mereka berdua terkejut melihat Aldrich yang tiba-tiba ada di dalam rumah tahanan."Siapa kamu?" tanya salah satu sipir.Aldrich hanya diam dan menatap dua sipir itu. Dia kembali melanjutkan langkahnya. Tapi baru satu langkah, kedua sipir itu menahan bahunya untuk berhenti.
KriingggBel pulang sekolah telah berbunyi. Semua siswa pun bersiap untuk pulang. Termasuk Aldrich yang baru saja selesai berkemas. Namun saat akan keluar dari kelas, Helena memanggil Aldrich."Aldrich tunggu!" teriak Helena.Tapi Aldrich sama sekali tidak menghiraukan Helena dan terus melangkahkan kakinya. Helena segera menyusul Aldrich yang sudah berjalan cukup jauh di lorong sekolah."Apa telingamu sudah tidak berfungsi?" kesal Helena.Aldrich tetap diam dan melanjutkan langkahnya menuju halaman parkir. Helena yang merasa kesal pun menghadang Aldrich. "Kenapa kamu hanya diam? Apa aku ada salah?"
Setelah mencari-cari Eric di dalam bar cukup lama, Helena akhirnya memutuskan untuk keluar dari bar. Saat mengedarkan pandangannya ke halaman parkir, Helena melihat Eric yang duduk di aspal dengan bersandar di salah satu tiang lampu."What the hell! Eric, apa yang terjadi?" tanya Helena. Dia mendekati Eric dan melihat luka lebam hingga berdarah di beberapa bagian wajahnya."Tidak apa. Aku sudah menghubungi Johannes untuk menjemput kita," terang Eric.Helena merasa ada sesuatu yang sedang Eric sembunyikan. Tapi dia tidak ingin membuat Eric semakin kesakitan. Karena luka-luka yang ada pada tubuh Eric tepat di beberapa titik vital yang pasti sangat menyakitkan dan juga berbahaya bila tidak segera ditangani.Dari kejauh