Sepanjang mengikuti proses lelang, Rahee berdecak penuh kagum. Lukisan yang terkesan biasa dapat terjual dengan harga puluhan juta sampai ratusan juta rupiah. Setiap lukisan diberi nomor dan di mata Rahee semua tidak lebih dari gambar abstrak, persis coretan anak-anak. Dia tergelitik sendiri akan penilaiannya. Rasanya dia betulan tak memiliki jiwa seni. Sesekali juga membandingkan, dengan harga sefantastis itu bukankah lebih baik dipakai untuk membeli rumah atau barang yang sekiranya masuk akal?
Satu per satu dari 30 gadis yang duduk besama Rahee pun pergi –total sudah delapan orang. Mereka ditempatkan di ruangan besar bersama 30 pria. Hal yang mencolok adalah semua pria yang berada di depan Rahee berpakaian jas hitam rapih, memakai earpiece di telinga, lalu memiliki laptop di masing-masing meja. Entah hanya perasaan Rahee saja, tetapi batinnya gusar karena ketimbang menilik lukisan, para pria justru lebih sering memerhatikan dirinya dan gadis-gadis yang tersisa. Terus bergantian antara layar laptop dan para gadis. Rahee jauh dari kata nyaman.
"Lukisan bernomor sembilan terjual dengan harga tertinggi! 200 juta!" MC acara memekik senang.
Sepersekian detik kemudian seorang staf menyapa Rahee sopan, "Mari, Nona Rahee. Silahkan ikut bersama saya."
Mata Rahee dan Lia bertemu dari jarak jauh. Mereka duduk terpisah. Pun Lia memberikan anggukan kecil sekaligus bergumam, "Maaf."
Tunggu, apa Rahee salah mengartikan gerak bibir Lia barusan? Untuk apa temannya meminta maaf?
Dengan ragu Rahee mengekor pada staf yang berjalan melalui pintu belakang. Sepatu hak tinggi milik Lia yang dirinya kenakan mendadak saja terhenti. Rahee disambut oleh mobil golf beserta pemandangan menakjubkan. Siapa yang akan mengira jika halaman belakang yayasan Black Diamond adalah jejeran paviliun mewah. Setiap paviliun berjarak 200 meter yang dibatasi oleh pohon dan lampu taman. Rahee lagi-lagi bingung bagaimana cara orang kaya berpikir.
"Boleh saya bertanya? Anda akan membawa saya kemana?" tanya Rahee sesaat mobil golf dihidupkan.
Si staf tertawa, "Oh, maaf. Selama dua tahun yayasan beroperasi, baru kali ini saya mendengar pertanyaan seperti tadi."
"Apa semacam wawancara?"
"Bisa dibilang demikian. Memang harus saling mengenal terlebih dahulu satu sama lain."
Sekarang si driver menyela, "Agar inti permainan semakin menyenangkan."
Mereka berdua pun cekikikan.
Mobil akhirnya berhenti di paviliun paling pojok, lebih elegan dan besar dibandingkan yang lainnya. Sekilas terdengar gemercik air kolam dari arah dalam.
"Enjoy your night, Miss Rahee."
Mereka berdua berlalu, tergantikan oleh sosok pria muda yang keluar dari dalam paviliun. Dengan rambut super basah, pria tersebut mematung di ambang pintu paviliun. Matanya menatap Rahee tajam, sampai-sampai butuh beberapa detik bagi Rahee untuk sadar kalau si pria hanya mengenakan kimono mandi. Rahee segera menunduk.
"Kau menunggu apa di sana? Pangeran berkuda?" suara berat menyindirnya. Siluet tampan dari sosok itu nampak walau di remang malam sekalipun.
"T-tidak, Tuan. Perkenalkan nama saya Angelia Rahee," menjawab tanpa mendongak menjadi pilihan. Bagaimanapun Rahee menilai situasi ini memalukan.
"Berapa usiamu? Apa kau tak pernah diajarkan sopan santun?"
Sontak Rahee mengangkat dagunya yang bersamaan dengan pintu paviliun tertutup dari dalam. Rahee ditinggal sendiri. Hei, dia tak bermaksud demikian. Rahee sebatas menjaga pandangannya. Pria tersebut dalam keadaan selesai mandi dan setengah telanjang. Apa dia ingin Rahee menatapnya bulat-bulat seolah itu bukan masalah besar?
Sementara pria bernama Sean Ivano tengah menaruh fokusnya pada layar interkom pintu. Sean bisa saja menarik Rahee dan langsung menidurinya. Namun rasanya menghibur mendapati gadis manis itu ketar-ketir di luar sana. Rahee menggigit kuku jarinya seraya berjalan gelisah.
"Maaf, Tuan," Rahee mendekat ke arah interkom. Lucu apabila dia kehilangan kesempatan bekerja perihal masalah sepele. Pun dia menggigit bibirnya pelan sebelum bergumam maaf untuk kedua kalinya. "Maaf, bukan maksud saya bersikap lancang. Saya hanya merasa canggung. Maafkan saya."
"Apa kau berusaha menggodaku?"
"B-bagaimana?"
"Kalau diberi pertanyaan jangan balik bertanya."
"Saya tidak menggoda anda. Tidak sama sekali. Saya hanya ingin," Suara Rahee yang terdengar bulat nan pasti, terhenti sejenak. Meremas ujung dressnya, dia kehilangan semangat melawan calon atasannya. Bimo adalah alasannya. Kontan Rahee menunduk lantaran matanya sudah buram oleh air mata. Akan menyebalkan jika dirinya terlihat lemah. "Saya hanya ingin bekerja. Ya, saya akan bekerja dengan sungguh-sungguh."
Hening.
Tak ada sahutan.
Dan tidak lama pintu pun terbuka, diikuti Sean yang memagut bibir Rahee.
---
Tanpa basa-basi Sean mencium bibir tipis Rahee. Jujur dia sudah gemas semenjak gadis ini bersikap sok polos. Lagipula apa tujuan dari berakting sedemikian keras? Berniat membuat seorang Sean penasaran agar mau membayar lebih, begitu?
Namun belum lima detik ciuman mereka terjadi, Sean dihadiahi tamparan keras. Selama 26 tahun hidupnya, dia selalu menerima pujian, dan orang-orang segan padanya. Belum pernah ada yang berani memberontak, terlebih lagi tamparan barusan berasal dari seorang wanita penghibur, begitulah pemikirannya. Sean membuang 200 juta bukan untuk mendapatkan perlakuan semacam ini.
Emosi Sean kian mencuat ketika mendapati Rahee mencoba melarikan diri. Sayangnya keberpihakan ada bersama pria bertubuh tinggi itu. Hanya butuh waktu sekejap bagi Sean untuk menggendong tubuh kurus Rahee, sebelum dilemparkan ke ranjang.
"Apa yang anda lakukan?!" Rahee menjerit histeris.
Satu tangan Sean menekan kedua pipi Rahee yang kecil. Jarak mereka terlalu dekat, sampai helaan nafas keduanya saling menyapu wajah satu sama lain, "Tentu saja menyetubuhimu. Malam kita akan sangat panjang."
Apa? Rahee lebih dari sekedar terkejut. Dia datang kemari untuk bekerja pada yayasan, bukan menjadi teman tidur pria ini, "T-tidak. Kau pasti salah paham. Aku datang untuk bekerja pada Black Diamond."
"Kau sedang bekerja, sayang. Bekerja untuk melayaniku. Jadi, bukalah kedua kaki indahmu untukku."
"H-hentikan," Rahee gemetar ketakutan. Sekali lagi, dia mencoba kabur, akan tetapi tubuh kecilnya tidak membantu banyak. Sean dengan mudahnya menindih Rahee di bawah kungkungannya. Seiring menatap lekat wajah cantik itu, Sean tak habis pikir kenapa gadis ini menolak mati-matian sentuhannya. Biasanya gadis-gadis akan membuka pakaian mereka sendiri, mengangkang dengan senang hati, bahkan ada yang sampai minta disetubuhi olehnya. Lalu kenapa Angelia Rahee memiliki reaksi terbalik? Namun sialnya, semua perlawanan Rahee membangkitkan gairah Sean Ivano lebih dari biasanya.
"Kau selalu memakai taktik rendahan ini kepada para pelangganmu, bukan?" Sean membawa kedua tangan gadis ke atas, menahannya di sana. Sedikit perlawanan memang menggairahkan, tapi dia benci membuang-buang waktu. Dikecuplah leher jenjang Rahee hingga menciptakan sebuah tanda kemerahan. "Kau bertemu orang yang tepat. Aku seorang maniak kalau kau ingin tahu. Aku dominan."
Rahee menghentakan kaki, satu-satunya bagian tubuh yang masih dapat dipergunakan untuk melindungi diri. Akan tetapi semakin melawan, semakin kuat pula tenaga yang Sean keluarkan. Tangisan Rahee mulai terdengar, seiring Sean menurunkan kecupannya ke bagian dada. Jemari pria itu dengan lancang mulai berlarian, menjamah tubuhnya sesuka hati.
"J-jangan. Aku mohon... ah," Rahee tanpa sengaja mendesah.
Alhasil seseorang menyeringai senang. Memang mustahil menolak permainan Sean Ivano. Bibir Sean membungkam bibir Rahee. Sial, sungguh sial. Semua pemberontakan Rahee menjadikan gairahnya ingin segera terpuaskan. Sehingga dress milik Rahee dibuka paksa, termasuk dengan pakaian dalamnya, "Berhenti bermain-main atau aku bisa berbuat lebih kasar padamu."
Sean melepas kimono mandinya, bergabung telanjang bersama Rahee. Tubuh mungil Rahee ingin menolak, tapi dia tak mampu melakukan apa-apa selain membunuh berkali-kali pria ini di dalam pikirannya.
"Jangan ditahan. Mendesahlah, sayang."
"Brengsek," maki Rahee di tengah tangisannya.
"Aku memang brengsek, tapi kenyataannya tubuhmu begitu responsif terhadap sentuhanku," Menyeringai, Sean kembali menghantam bibir ranum Rahee. Lidahnya sekarang bahkan menuntut agar Rahee mau meladeninya. Akan tetapi Rahee tak mau, atau lebih tepatnya tak bisa. Pria ini merenggut ciuman pertamanya, dan mahkotanya sebagai seorang gadis. "Sial, kau berdarah."
Mengetahui bahwa dirinya telah mengambil kesucian gadis ini, itu tak membuat Sean merasa bersalah, pria itu justru semakin menjadi-jadi. Telapak tangan Rahee sekarang dibuat menyentuh ranjang, dan ke dua lututnya menekuk. Sean mengisi Rahee untuk kedua kalinya dengan posisi yang berbeda. Suara penyatuan kulit mereka terdengar erotis, lalu detican ranjang yang menghantam dinding juga membuat suasana disekitar mereka kian panas.
"Ah, fuck!" ucap Sean seraya menarik kuat rambut panjang Rahee.
"K-keluarkan di luar," sayup-sayup Rahee bergumam. Di tengah kekacauan batinnya, dia teringat Bimo. Rahee masih memiliki tanggungjawab atas Bimo, dan dirinya enggan dengan kemungkinan tanggungjawab lain yang berasal dari pria bejat ini. "Aku mohon. Jangan di dalam. Tolong..."
Suara lemah dan putus asa itu membuat Sean kesal setengah mati. Tentu, untuk apa dia menghamburkan ratusan juta jika ujung-ujungnya seperti ini? Dia bisa masturbasi sampai puas. Pun Sean menggeram, menarik-menghentakan pinggulnya beberapa kali lagi sebelum mengeluarkannya tepat di wajah Rahee.
Sean benci terhadap fakta bahwa dia mengikuti permintaan tolol Rahee. Dan hal yang lebih dia benci adalah bagaimana dia sudi turun tangan membersihkan wajah cantik Rahee menggunakan tisu. Sementara Rahee terdiam, entah harus berterima kasih atau marah. Setelahnya dia membuka mata, membuat pria di hadapannya langsung membuang muka dan melemparkan tisu bekas ke tempat sampah.
"Apa kau pernah dengar bahwa ada pil pencegah kehamilan?! Kau seharusnya konsumsi pil itu terlebih dulu, bodoh!" bentak Sean. Dia tahu bisa mengeluarkan pelepasannya di dalam, lalu bersikap masa bodoh. Namun dia enggan mengambil risiko dengan mempertaruhkan karir bermusiknya. Sementara Rahee mengabaikan segala makian Sean sambil hendak mengenakan kembali pakaiannya. Tatapannya kosong dan dia tak memiliki tenaga tersisa. Sayangnya, takdir harus menghempaskannya lagi ke nereka usai Sean berucap, "Naik lagi ke ranjang, Angelia Rahee. Urusan kita belum selesai."
Sekarang pukul 5 pagi. Langit masih gelap dan pria yang memperdaya Rahee juga masih terlelap. Sesudah membersihkan diri, Rahee menghabiskan lima belas menit dengan termenung di depan wastafel. Kejadian semalam berputar kembali dan dia ingin muntah. Tubuhnya hancur. Ada banyak jejak keunguan disetiap jengkal tubuhnya, pun bekas kemerahan akibat ikatan dipergelangan tangannya juga nampak mengerikan. Jangan lupakan kewanitaanya bahkan masih terasa sakit.Rahee menunduk dan benar muntah.Setelahnya dia bergegas, kemudian mengambil dompet dan jaket milik pria itu. Memalukan jika dia keluar dengan pakaian mini ini. Tidak lupa dia juga memungut tisu bekas dari tempat sampah. Rahee melirik sekilas pada pria yang masih tertidur pulas di ranjang. Hatinya lagi-lagi merasakan sakit luar biasa. Satu permintaannya, yaitu jangan sampai ada pertemuan-p
Rahee dulu memiliki kehidupan yang baik. Keluarga utuh dan secara ekonomi pun berkecukupan. Hingga kecelakaan mobil dengan tragis menewaskan ibu, ayah, juga kakak satu-satunya. Seluruh anggota keluarganya direnggut paksa saat usainya baru beranjak 15 tahun. Tepat di hari pemakaman, ada pelayat yang tersisa, yaitu seorang wanita dan anak kecil. Anak lelaki itu berkisar tiga tahun, asyik menggambar menggunakan crayon warna."Apa kau Angelia Rahee? Kau anak bungsu dari Mas Hendra, kan?""Iya, anda benar. Kalau boleh tahu kenapa anda bertanya?""Aku dan ayahmu adalah rekan kerja. Kami... menjalin hubungan secara diam-diam. Bukti cinta kami adalah anak ini, Angelo Bimo," wanita itu menyodorkan anak lelaki tadi, lalu tersenyum masam. Lain halnya dengan Rahee yang tak dapat berkutik. Rahee me
"Minggu depan HEXID akan memulai tur Asia. Kau harus ikut bersama kami selama satu bulan penuh."Perkataan Aditya berhasil membuat Rahee yang sedang minum tersedak. Kerongkongannya kering sejak manajer dari Sean datang menjemput. Dan sekarang mereka sudah tiba disebuah rumah mewah. Rumah mewah milik Sean lebih tepatnya."Jika aku ikut, bagaimana dengan adikku?"Aditya memijat kepalanya, paham. Kemarin saat dia memindahkan Bimo ke kamar VIP, dia tahu bahwa adik dari Rahee memang sedang sakit parah. Namun Aditya harus membuat Rahee bersedia ikut tur Asia. Akan melelahkan jika dia mencari gadis berbeda di setiap negara sebagai teman tidur Sean. Oh, barusan memang terdengar sangat egois, tapi sejak kehadiran Rahee, Aditya bisa sedikit bernafas lantaran Sean hanya terpaku pada gadis ini saj
Dengan langkah panik Rahee berlari menuju lantai kamar inap Bimo. Pikirannya benar-benar berantakan. Bahkan dia hanya menangis selama perjalanan dari gedung agensi Sean hingga tiba di rumah sakit. Sementara Sean masih coba terus menghubunginya, namun Rahee lebih memilih mematikan ponselnya. Dia tak punya cukup tenaga untuk meladeni amarah pria itu.Pun di depan kamar Bimo, Rahee menemukan Bibi Miran dan Paman Dio. Keduanya terduduk di kursi sambil terlihat berdoa."Bibi Miran, bagaimana kondisi Bimo?""Perawat bilang Bimo sempat kejang. Kita harus menunggu di sini karena dokter masih berada di dalam," jawaban Bibi Miran membuat Rahee kembali terisak. Dadanya sesak memikirkan bahwa Bimo harus mengalami rasa sakit yang seakan tak pernah berakhir. Adiknya masih terlalu kecil. Kenapa bukan
"Apa ini?! Kau sinting?!" teriak Sean usai membaca sekilas kertas pemberian Rahee.Di sana Rahee menuliskan syarat-syaratnya sendiri, semacam hal kontra terhadap kontrak yang Sean buat secara sepihak. Dimulai dari dilarang mencampuri kehidupan pribadi masing-masing, batasan seks mereka, hingga tertera jumlah uang yang Rahee inginkan. Apabila mustahil lepas dari Sean, maka dia akan masuk dalam lingkar permainan itu. Rahee akan buktikan bahwa dia bisa sama gilanya dengan seorang Sean Ivano.Salah satu alasan Rahee berani menunjukan taringnya adalah karena kejadian kemarin. Selepas mereka berciuman di depan Bayu, Sean langsung membawanya pergi. Dan begitu tiba di rumah, Sean menyetubuhi Rahee secara menggila. Jadi, Rahee putuskan membangun tameng agar kewarasannya tetap terjaga."Kau bisa baca juga bahwa aku ingin kau melakukan test kesehatan. Siapa yang tahu mungkin kau memiliki penyakit kelamin," ejek Rahee diiring tertawa getir.Diremaslah kertas te
Pandangan Sean terkunci pada Rahee. Kelopak mata Rahee terpejam dengan tali infus yang terpasangan pada bagian lengan kiri. Usai menemui Hera di rumah sakit jiwa, Sean pulang dan menemukan gadis tersebut pingsan. Kondisinya masih sama, kedua tangan kurus Rahee masih terikat pada sisi ranjang, dan juga mulut kecil itu masih tersumpal oleh celana dalam.Sean merasa bersalah."Dia dehidarasi, dan kewanitaannya agak lecet," tutur seorang dokter wanita, lalu menuliskan resep obat. "Kau tidak perlu khawatir, Sean. Paling lambat dia akan sadar malam nanti."Sayangnya hanya sepersekian detik perasaan bersalah itu hadir. Pandangannya yang semula lunak kembali mengeras. Khawatir? Tidak, seorang Sean Ivano tak pernah menunjukan sisi khawatir selain kepada Hera. Terlebih lagi Rahee hanya wanita murahan."Khawatir? Tidak sama sekali," ketus Sean, memutarkan bola matanya. Beranjak dari posisinya yang semula berdiri di p
Tiga hari berlalu. Keadaan tidak berubah lebih baik, justru semakin buruk. Sean melarangnya pergi dari rumah mewah miliknya. Rahee sudah coba buat penawaran, termasuk membatalkan semua hal kontra yang sempat membuat Sean marah besar. Asalkan dia tetap bisa bertemu Bimo, akan dirinya lakukan. "Bimo hanya memilik aku. Aku mohon, biarkan aku menemui adikku," pinta Rahee saat Sean baru selesai berlari di atas treadmil. Sambil menyeka keringatnya, Sean minum air mineral dengan mengacuhkan Rahee. Jujur saja, Sean tak suka saat Rahee bertelepon ria dengan seorang pria di malam itu. Sekalipun hanya teman dari almarhum kakaknya Rahee, Sean tetap saja benci. Apalagi dia juga cukup muak dengan dokter bernama Bayu Sasono. Kentara sekali bahwa dokter sialan itu menyukai Rahee. "Sean... aku mohon dengan sangat," kini suara Rahee kian melemah. "Aku sudah memberikan perawat
Diam-diam Bimo keluar dari kamar. Tanpa menggunakan jaket ataupun alas kaki, anak berusia 10 tahun tersebut dengan tertatih berusaha tak membuat suara sedikit pun. Pasalnya Rahee tengah terlelap, dan dia tak mau kakaknya sampai terbangun. Kasihan. Biarkan Rahee bermimpi indah walaupun hanya sebatas bunga tidur. Karena kenyataannya, dirinyalah penyebab Rahee menjadi kesusahan. Bimo adalah mimpi buruk Rahee.Para dokter dan perawat tidak sadar dengan keberadaannya. Bimo bersembunyi setiap kali mereka berada di koridor. Hingga Bimo akhirnya berhasil menaiki atap rumah sakit tanpa diketahui oleh siapa-siapa.Angin malam berhembus kencang disertai rintik hujan. Langkah kecil Bimo sampai pada ujung atap. Keramaian Kota Jakarta sangat pengap, sekalipun sudah larut kota ini selalu terjaga. Oh, kenapa kota ini tidak mati saja? Bukankah keadaan nantinya akan jauh lebih damai? Ya, sama dengan dirinya. Jika dirinya mati, pasti hidup Rahee menjadi tent
Sean pikir dirinya sinting. Sean pikir dirinya terkena guna-guna atau semacamnya. Apa pun sebutannya, dia masih tak percaya bahwa dirinya melemparkan stick drum ketika konser HEXID masih berlangsung. Mereka baru memainkan dua lagu, dan Sean beranjak hendak pergi."Aku akan absen untuk konser malam ini," jelas Sean pada Ezra yang sempat menahannya untuk kembali ke backstage."Apa kau gila?!" Ezra mendorong tubuh Sean. "Aku tidak peduli tentang masalahmu, tapi tolong tunjukan profesionalitasmu pada fans kita!"Venue konser di Malaysia memang dua kali lipat lebih besar daripada di Singapura, dan Sean bisa lihat itu. Beruntung, Mark dan Lucas sedang bercanda dengan para penggemar, sehingga keributan kecil antara Sean dan Ezra tak nampak.
Langit malam di Singapura indah. Bintang-bintang seperti berlomba muncul untuk menunjukan kecantikan mereka. Mungkin di Indonesia pun sama indahnya, hanya saja Rahee jarang memerhatikan. Sebelumnya, dia tak mempunyai kesempatan untuk menikmati keindahan sekitar. Untuk bernafas saja dia kesulitan, karena hidupnya hanya fokus pada kerja. Jadi, dia terkesan dengan pemandangan yang ada di hadapannya.Rambut Rahee yang masih basah tersapu sepoian angin. Hotel yang dia inapi tidak memiliki balkon, sehingga menempatkan bokong di pinggiran jendela adalah cara yang dia lakukan sekarang. Dia harus ekstra hati-hati, salah sedikit saja, dia bisa terjatuh dari lantai 5. Uh, memikirkan kemungkinan itu membuatnya spontan berdiri ngeri.Pun Rahee mulai melakukan peregangan kecil. Dari ujung kaki hingga ujung kepala dia gerakan. Sebelumnya Rahee sudah m
Ketagihan. Kata itu berputar di kepala Rahee selama dia menyantap semangkuk ramen. Aneh sekali. Kenapa Sean ketagihan dengan dirinya ketika ada ramen selezat ini? Rahee mengigit ujung sumpit, kemudian melirik diam-diam pada ramen Sean yang sama sekali tidak tersentuh. Dia menelan air liurnya karena ramen miliknya sudah lenyap tak bersisa. "Kau bisa makan punyaku jika mau," Sean menyodorkan mangkuk ramennya seakan-akan mempunyai kemampuan membaca pikiran. "Bolehkah?" tanya Rahee ragu. Sejak kemarin malam Rahee belum makan, dan kini perutnya seperti memerlukan porsi ekstra. "Hmm makanlah," kata Sean, membuat cengiran di wajah cantik Rahee terbentuk. Gadis itu menyeruput ramen milik Sean dengan semangat 45. Sementara Sean menompangkan dagu menggunakan tangannya, merasa senang mendapati Rahee mempunyai selera makan yang besar. Umumnya para gadis akan bersikap malu-malu, dan bahkan berpura-pura tid
Satu jam sebelumnya...Sean melangkahkan kaki pada turunan anak tangga. Dia memakai kembali kacamata hitamnya, kemudian berbalik memandangi bangunan mewah di belakangnya. Psikiater tolol, batin Sean murka. Sebelum menuju bandara, Sean sengaja membuat janji dengan seorang Dokter Psikiater. Psikiater ini memiliki nama besar, dan beberapa orang menyebutkan bahwa psikater yang baru dia datangi adalah yang terbaik di Singapura.Sean membuang ludah ke aspal jalan, tak setuju. Bisa-bisanya psikater tersebut bilang bahwa Hera, kekasihnya, tidak memiliki kesempatan untuk kembali normal. Di dalam tadi Sean melakukan video call bersama Dokter Willy –dokter yang bertanggungjawab mengawasi Hera. Dokter Willy menaruh ponsel secara diam-diam, lalu mulai berinteraksi dengan Hera. Sehingga Sean dan psikater dapat melihat segala sesuatu di lain tempat. Namun psikater justru membuat pernyataan yang menjadikan Sean marah."Dari
Rahee menarik kopernya keluar kamar dengan tergesa-gesa. Bus rombongan para staf sudah berangkat beberapa saat yang lalu, dan dia tidak punya pilihan selain menyusul sendirian. Setengah berlari, Rahee menuju ke lift sambil mencari taksi via online. Oh, sekilas ini memang nampak mudah, tapi ternyata cukup sulit. Masalahnya tak ada satupun taksi yang bersedia mengantarkannya ke bandara. Semua menolak pesanannya.Begitu tiba di lobi, Rahee mengembalikan kunci ke bagian respsionis. Tidak lupa dia turut bertanya, "Apa mudah menemukan taksi di sekitar hotel? Saya harus ke bandara sesegera mungkin.""Biasanya mudah, tapi ini sudah masuk jam sibuk. Jadi mungkin akan ada sedikit kendala," jawab si resepsionis kemudian mengambil handy talkie. "Security, bisa tolong carikan taksi menuju bandara untuk tamu hotel kita?""Baik, dimohon tunggu sebentar," jawab si security yang dapat terdengar oleh Rahe
Rahee sedang berkirim pesan dengan Perawat Wendy. Jarak Rahee dan Bimo boleh saja berjauhan, tapi itu tidak membuat perhatiannya pada sang adik berkurang, justru dia kian memberikan perhatian lebih. Perawat Wendy bilang jika Dokter Bayu selalu ada untuk Bimo. Jeno juga sesekali datang ke rumah sakit. Ah, Rahee bersyukur Bimo dikelilingi oleh orang-orang baik. Setidaknya selama tur HEXID berlangsung, dia bisa sedikit tenang. "T-tidak. Menjauh dariku." Rahee mematikan ponselnya, lalu melirik ke arah ranjang. Sean ternyata tengah mengigau dalam tidurnya. Dengan ragu Rahee mendekat, dan yang dia heran adalah wajah Sean nampak ketakutan. Keringat disekitaran dahinya juga cukup banyak, seolah-olah pria itu dihantui oleh sesuatu hal menakutkan. Apa yang Sean mimpikan? "Pergi! Pergi!" Tangan Rahee terulur untuk membangunkan Sean, namun dia urungkan. 'Tugas'nya malam ini sudah selesai, dan dia hendak kembali ke
Venue konser berada di sebuah stadion dengan kapasitas 20 ribu penonton. Hal yang menakjubkan adalah tiket konser HEXID di Singapura sold out. Riuh teriakan para penggemar terdengar hingga backstage, dan Rahee jelas bisa mendengar semua itu. Saat ini penyanyi lokal sedang bertugas sebagai pembuka, jadilah jelas waktu yang Rahee miliki tidak banyak. "Tenang, Rahee. Tenang," gumam Rahee pada dirinya sendiri. Dia gugup karena ini adalah pertama kalinya dia memiliki klien pria, dan yang lebih membuatnya gugup adalah pria itu Sean. Master-nya, bosnya, dan pria yang sangat Rahee benci. Itulah macam-macam julukan yang Rahee sematkan. Sementara Sean yang tengah hanya diam saja. Ya, Sean tidak bicara apa pun sejak keluar dari fitting room hingga kini. Rahee sungguh tidak mengerti dengan mood Sean. "Kau ingin model rambut seperti apa?" tanya Rahee. "Itu pekerjaanmu. Kenapa kau harus me
Sean menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya dalam satu helaan nafas. Risau perasaannya, membuat dia tekan ujung putung rokoknya yang masih panjang di atas asbak. Sean menatap tangan kanannya. Permukaan tangannya masih merah dan panas, tanda bahwa tamparan yang dia berikan pada Rahee tadi begitu keras. "Kenapa kau memandangi tanganmu seperti itu?" tanya Ezra, mendatangi Sean yang sejak tadi duduk di balkon kamar hotel seorang diri. "Oh, kau ingin bermasturbasi? Sebentar, ponselku sebentar lagi penuh." Iya, Ezra berada di kamar Sean untuk meminjam kabel charger. Bukannya membawa benda itu, Ezra justru langsung meng-charger ponselnya di kamar Sean. "Aku tidak level melakukan itu," balas Sean, lalu dia melihat ke arah dalam kaamrnya. Ada sosok Lucas dan Mark yang tengah melakukan live di I*******m. "Sejak kapan kalian berdua ada di sini?" "Kami menyelinap di belakan
Melakukan suatu hal baru untuk kali pertama tentu mendebarkan. Entah konteks yang dapat diartikan sebagai debaran menyenangkan ataupun buruk. Satu hal pasti, kali ini debaran menyenangkan tengah menyelimuti Rahee. Usai pemeriksaan imigrasi dan klaim bagasi yang menurutnya rumit, Rahee menatap kagum seisi Bandara Changi Singapura. Ini pertama kalinya dia berpergian ke luar negeri. Seumur hidup dia tidak pernah meninggalkan Indonesia, termasuk Bimo. Walau sangat berat bagi Rahee, Bimo memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Ah, anak itu memang selalu bertindak terlalu dewasa. "Kak! Ini baru 3 jam sejak kau pergi, dan kau sudah menghubungiku?" pekik Bimo disebrang sana. Rahee mengganti menjadi mode video call, lalu menunjukan sekelilingnya. Wajah Bimo seketika berbinar penuh takjub, "Wow, bagus sekali. Aku iri padamu." "Tidak boleh iri, karena aku akan membawamu kemari." "Bisakah?" gumam Bi