Pandangan Sean terkunci pada Rahee. Kelopak mata Rahee terpejam dengan tali infus yang terpasangan pada bagian lengan kiri. Usai menemui Hera di rumah sakit jiwa, Sean pulang dan menemukan gadis tersebut pingsan. Kondisinya masih sama, kedua tangan kurus Rahee masih terikat pada sisi ranjang, dan juga mulut kecil itu masih tersumpal oleh celana dalam.
Sean merasa bersalah.
"Dia dehidarasi, dan kewanitaannya agak lecet," tutur seorang dokter wanita, lalu menuliskan resep obat. "Kau tidak perlu khawatir, Sean. Paling lambat dia akan sadar malam nanti."
Sayangnya hanya sepersekian detik perasaan bersalah itu hadir. Pandangannya yang semula lunak kembali mengeras. Khawatir? Tidak, seorang Sean Ivano tak pernah menunjukan sisi khawatir selain kepada Hera. Terlebih lagi Rahee hanya wanita murahan.
"Khawatir? Tidak sama sekali," ketus Sean, memutarkan bola matanya. Beranjak dari posisinya yang semula berdiri di pinggir ranjang, dia memilih mundur beberapa langkah, sengaja membuang pandangannya jauh-jauh dari Rahee.
"Kau terus memainkan jarimu setiap kali gugup. Dan jangan lupakan, aku sudah mengenalmu dari kau mulai belajar berjalan," memang, dokter Sharon merupakan dokter keluarga Sean. Usianya yang sudah memasuki kepala 5, membuatnya menganggap Sean sebagai anaknya sendiri. "Sebenarnya apa yang kau lakukan pada kekasihmu ini? Apa kalian bertengkar? Jangan lampiaskan kemarahanmu pada hubungan seks yang tidak sehat, Sean."
"Tidak, dia bahkan bukan kekasihku," Sharon menggelengkan kepala. Tak paham lagi dengan pergaulan anak muda sekarang. Berpacaran dan melakukan seks saja sudah menyimpang, ini bahkan tidak memiliki status sama sekali. "Kau masih mengingat sumpah dokter, bukan?"
"Tentu, aku tidak akan bicarakan ini dengan ayahmu," balas Dokter Sharon. "Berhubung kita bertemu, aku ingin bilang bahwa kesehatan ayahmu sedang buruk. Berkunjunglah sesekali. Beliau pasti akan senang melihat putra satu-satunya semakin tampan dan sukses."
Sean meremas kedua tangannya, benci setiap kali sesorang membahas mengenai ayahnya. Jadilah Sean berpura-pura tak dengar, kemudian segera mengalihkan pembicaraan, "Berikan resep obat itu kepada Aditya. Biar dia yang akan menebusnya ke apotek."
Usai Dokter Sharon memberikan secarik resep pada manajer Sean dan pergi, Sean mengusap wajahnya berulang kali. Fokusnya kembali pada gadis yang terkulai lemas di atas ranjang. Sean tadi memakaikan Rahee pakaian, dan tersadar ada luka lebam di tubuh indah itu. Tentu, semua adalah karena ulah Sean.
Ah, Sean segera menggelengkan kepalanya, berpikir bahwa ini bukan salahnya. Andai Rahee tidak arogan seperti tadi pagi, mungkin Sean pun tidak akan mengikat Rahee di ranjang maupun menyumpal mulut kecil itu. Mungkin juga Sean tak akan melakukan seks kasar. Bagi Sean, ini adalah salah Rahee atas semua sikap kurangajarnya.
Ya, Sean tidak salah apa pun.
"Agensi belum tahu mengenai ini. Sebaiknya kau pikirkan ulang lagi sebelum terlambat," ucap Aditya, memecah keheningan.
"Jika maksudmu adalah kontrak antara aku dan Rahee, maka itu tidak akan terjadi. Dia sudah menjadi milikku, dan aku tak melepaskannya. Tidak sekarang."
"Karir bermusikmu bisa hancur. Hancur."
"Justru kontrak itulah penyelamatku. Bukankah akan lebih mudah menutup mulut satu gadis dibandingkan aku meniduri gadis berbeda setiap malam?"
Benar.
Aditya memang awalnya setuju dengan ide gila Sean. Aditya mendapatkan kelonggaran karena tak perlu menutup mulut dari gadis-gadis yang ditiduri Sean. Pada tur Asia mendatang dia juga tak akan kesulitan mencari teman tidur Sean, karena ada Rahee yang akan siap melayani. Namun sisi baik Aditya tergoncang. Rahee baru tiga hari berada di rumah ini, tapi lihatlah gadis tersebut sudah pingsan akibat nafsu iblis Sean.
"Jika mustahil untuk membatalkan, setidaknya kau jangan terlalu kasar pada Rahee. Aku kasihan pada gadis itu, Sean."
"Aku tidak butuh pendapat, karena aku memiliki aturan mainku sendiri."
Pun Sean mengakhiri kalimatnya, lalu memasang earphone dengan acuh. Sekali lagi, Sean melirik Rahee sebelum berjalan keluar kamar.
---
Pukul 11 malam, saat rumah mewah Sean sunyi senyap, Rahee terbangun. Dia mengeluh nyeri. Entah kepala maupun kewanitaannya terasa sakit. Perlahan Rahee menyandarkan punggungnya pada sandaran kasur. Netranya melihat sekeliling, dan tersadar bahwa dirinya belum mati. Tidak, ini bahkan lebih buruk dari kematian. Rahee masih berada di neraka milik Sean.
Ponsel Rahee yang berada di atas nakas bergetar. Nama Jeno muncul di layar.
"Kau ada di mana? Kenapa akhir-akhir ini sangat sulit dihubungi?" tanya Jeno, khawatir.
"Aku... menginap di rumah teman."
"Siapa namanya?"
"Teman kerjaku di cafe. Kau tidak akan tahu sekalipun aku sebutkan namanya."
Jeno menghela nafas lega, "Syukurlah. Ku pikir aku akan gila jika kau terus-menerus tidak mengangkat ponselmu."
"Almarhum kakakku bahkan tidak pernah sekhawatir kau."
"Maka dari itu dia menitipkan kau padaku. Aku akan selalu menjagamu, Rahee," jawaban Jeno berada di luar kepala Rahee. Jeno memang senantiasa ada untuk dirinya dan Bimo. "Besok kau akan ke rumah sakit, kan?"
"Iya, mungkin sekitar siang. Kenapa memangnya?"
"Baik, kita akan bertemu di sana."
"Untuk apa kau menemuiku?"
"Aku ingin bertemu adik iparku, bukan kau. Bimo terus menanyakan kapan aku menjenguknya lagi."
"Sepertinya aku harus memblokir nomormu lagi," cibir Rahee yang membuat Jeno tertawa terbahak-bahak.
Usai perbincangan singkat dengan Jeno, Rahee beranjak turun dari kasur. Astaga, kewanitaannya ngilu sekali. Jika dia tidak haus, mungkin Rahee akan memilih untuk kembali tidur. Dengan langkah pelan, Rahee melangkah dan akhirnya berhasil membuka pintu kamar. Akan tetapi dia terkejut begitu mendapati Sean ternyata sudah berdiri tepat di depannya.
Apa sejak tadi Sean mengawasinya?
"Kau begitu lemah, hingga jatuh pingsan hanya karena berhubungan seks. Mulai dari sekarang kau harus banyak berolahraga," Kata Sean sambil mengikis jarak. Kontan gadis tersebut bergerak mundur secara teratur. "Siapa yang menghubungimu barusan? Apakah dokter sialan yang kita temui kemarin?"
"Dokter sialan?" heran Rahee. Lalu teringat kemarin dia dan Sean berciuman di depan bayu. Sungguh memalukan. "Nama dokter itu adalah Bayu, bukan dokter sialan."
Sean tertawa mengejek, "Aku tidak peduli dengan namanya. Ayo, jawab pertanyaanku terlebih dahulu, Angelia Rahee."
Sejujurnya Rahee tak suka dengan fakta bahwa Sean menguping pembicaraannya, tapi pria di hadapannya mengerikan. Rahee tak mau pingsan untuk kedua kalinya. "Yang menghubungiku tadi adalah teman almarhum kakakku."
"Pria atau wanita?"
Dalam hati, Rahee bertanya-tanya. Apa Sean harus tahu juga? Dengan enggan Rahee menjawab, "Pria."
"Memang kau wanita rendahan. Banyak sekali pria di sekitarmu," umpatan kasar Sean merupakan makanan sehari-hari bagi Rahee, jadi dia hanya bisa diam. Saat Sean memajukan langkahnya, Rahee pikir dirinya akan dipukul. Tapi tiba-tiba Sean menarik tangan kurus itu untuk digenggam. "Ikuti aku."
Pikiran Rahee kembali berasumsi ngeri. Selama ini Sean memang tidak pernah menampar atau memukul dirinya, padahal Rahee sudah berkali-kali menampar pipi pria itu. Namun jangan lupakan seks kasar yang sering Sean lampiaskan. Itu sama buruknya dengan kekerasan secara fisik.
Rumah Sean berlantai 2 dengan desain futuristik minimalis. Kamar Rahee ada di lantai 2, tepat berhadapan dengan kamar Sean. Dan kini Sean tengah menariknya untuk menuruni anak tangga.
"Kita akan kemana?" tanya Rahee memberanikan diri.
"Tutup mulutmu dan jangan banyak bertanya."
Langkah mereka berakhir di dapur. Rahee menurut ketika Sean menyuruhnya untuk duduk di kursi meja makan. Pria bertubuh tinggi itu mulai menyalakan kompor dan memasak. Sesaat Rahee memerhatikan punggung kokoh Sean yang nampak cekatan dalam urusan dapur. Cukup lama keduanya saling diam, hanya terdengar dentingan alat masak yang sesekali beradu.
10 menit kemudian di depan Rahee sudah tersaji sepiring pasta bolognese. Sejujurnya cacing di perut Rahee tengah berdemo, tapi dia tak mau ambil resiko. Bagaimana jika Sean meracuninya?
"A-aku tidak lapar," tolak Rahee.
Sean yang duduk di depan Rahee memajukan wajahnya, "Jika kau tidak menyentuh piringmu, maka aku akan menyentuhmu sekarang juga."
Rahee menelan ludah.
Perlahan Rahee mau tidak mau meraih garpu dan mulai makan. Netranya sempat membelak lantaran pasta buatan Sean enak. Pun gadis itu lama-kelamaan menikmati, hingga gurat tertekannya hilang entah kemana. Sepiring pasta berhasil membuat Rahee lupa bahwa Sean masih di sini, memerhatikannya lekat dengan senyum tipis. Benar-benar tipis. Bahkan Sean juga tidak sadar bahwa dirinya dapat tersenyum kepada gadis selain Heredith Hera, kekasihnya.
---
Tiga hari berlalu. Keadaan tidak berubah lebih baik, justru semakin buruk. Sean melarangnya pergi dari rumah mewah miliknya. Rahee sudah coba buat penawaran, termasuk membatalkan semua hal kontra yang sempat membuat Sean marah besar. Asalkan dia tetap bisa bertemu Bimo, akan dirinya lakukan. "Bimo hanya memilik aku. Aku mohon, biarkan aku menemui adikku," pinta Rahee saat Sean baru selesai berlari di atas treadmil. Sambil menyeka keringatnya, Sean minum air mineral dengan mengacuhkan Rahee. Jujur saja, Sean tak suka saat Rahee bertelepon ria dengan seorang pria di malam itu. Sekalipun hanya teman dari almarhum kakaknya Rahee, Sean tetap saja benci. Apalagi dia juga cukup muak dengan dokter bernama Bayu Sasono. Kentara sekali bahwa dokter sialan itu menyukai Rahee. "Sean... aku mohon dengan sangat," kini suara Rahee kian melemah. "Aku sudah memberikan perawat
Diam-diam Bimo keluar dari kamar. Tanpa menggunakan jaket ataupun alas kaki, anak berusia 10 tahun tersebut dengan tertatih berusaha tak membuat suara sedikit pun. Pasalnya Rahee tengah terlelap, dan dia tak mau kakaknya sampai terbangun. Kasihan. Biarkan Rahee bermimpi indah walaupun hanya sebatas bunga tidur. Karena kenyataannya, dirinyalah penyebab Rahee menjadi kesusahan. Bimo adalah mimpi buruk Rahee.Para dokter dan perawat tidak sadar dengan keberadaannya. Bimo bersembunyi setiap kali mereka berada di koridor. Hingga Bimo akhirnya berhasil menaiki atap rumah sakit tanpa diketahui oleh siapa-siapa.Angin malam berhembus kencang disertai rintik hujan. Langkah kecil Bimo sampai pada ujung atap. Keramaian Kota Jakarta sangat pengap, sekalipun sudah larut kota ini selalu terjaga. Oh, kenapa kota ini tidak mati saja? Bukankah keadaan nantinya akan jauh lebih damai? Ya, sama dengan dirinya. Jika dirinya mati, pasti hidup Rahee menjadi tent
Mobil Sean melaju tanpa arah. Usai memukuli Bayu sekaligus terkena tamparan Rahee, Sean persis merasakan sesuatu yang aneh. Sejak kapan Sean Ivano yang notabenenya adalah pria egois bisa peduli terhadap Rahee? Bukan urusan Sean jika Rahee tahu Bimo berniat bunuh diri. Dulu hanya Heredit Hera yang dapat meluluhkan rasa simpatinya. Lalu kenapa sekarang Rahee masuk ke dalam salah satu orang yang mampu mengusik sisi tersebut?"Brengsek! Brengsek!" maki Sean sambil memukul setir mobil.Dia berhenti di bahu jalan, lalu meneguk kaleng birnya. Selagi mencari jawaban dari hal yang mengganggunya, nama Aditya sang manajer muncul di layar ponsel."Sean! Apa-apaan ini?! Kau memukuli anak direktur rumah sakit?!" teriakan Aditya langsung terdengar."Siapa maksudmu?""Dokter Bayu Sasono. Ada artikel di internet yang memuat berita demikian, bahkan wajah Rahee yang diblurkan juga ikut terpampang," Aditya be
"Angkat dagumu lebih tinggi," ujar Sean sembari menarik ujung kuas di atas kanvas. Jemarinya berlari cekatan untuk membuat siluet terbaik. Ya, Sean sedang melukis sosok Rahee yang terlihat kikuk. Bagaimana tidak, gadis berwajah mungil itu hanya mengenakan selimut putih tipis dan berdiri di balkon kamar yang langsung menghadap ke kolam renang. Sementara Sean duduk disebuah kursi dengan posisi menyilangkan kaki, nampak fokus. "Sudah kubilang sembunyikan rambutmu di belakang telinga."Dahi Rahee mengernyit. Kapan Sean bilang demikian?Pria berpostur 185 cm ini bangkit, lalu menyentak tangan Rahee yang berupaya merapihkan rambut. Dirapihkanlah helaian anak rambut yang membuat pandangan Sean terganggu. Rahee pikir cukup sampai disitu, ternyata Sean mendekatkan wajahnya untuk memberikan kecupan singkat, "Kau memang bodoh dalam mematuhi perintahku."Segera Rahee usap bibirnya menggunakan punggung tangan. Bibir mereka tadi bertemu
Melakukan suatu hal baru untuk kali pertama tentu mendebarkan. Entah konteks yang dapat diartikan sebagai debaran menyenangkan ataupun buruk. Satu hal pasti, kali ini debaran menyenangkan tengah menyelimuti Rahee. Usai pemeriksaan imigrasi dan klaim bagasi yang menurutnya rumit, Rahee menatap kagum seisi Bandara Changi Singapura. Ini pertama kalinya dia berpergian ke luar negeri. Seumur hidup dia tidak pernah meninggalkan Indonesia, termasuk Bimo. Walau sangat berat bagi Rahee, Bimo memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Ah, anak itu memang selalu bertindak terlalu dewasa. "Kak! Ini baru 3 jam sejak kau pergi, dan kau sudah menghubungiku?" pekik Bimo disebrang sana. Rahee mengganti menjadi mode video call, lalu menunjukan sekelilingnya. Wajah Bimo seketika berbinar penuh takjub, "Wow, bagus sekali. Aku iri padamu." "Tidak boleh iri, karena aku akan membawamu kemari." "Bisakah?" gumam Bi
Sean menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya dalam satu helaan nafas. Risau perasaannya, membuat dia tekan ujung putung rokoknya yang masih panjang di atas asbak. Sean menatap tangan kanannya. Permukaan tangannya masih merah dan panas, tanda bahwa tamparan yang dia berikan pada Rahee tadi begitu keras. "Kenapa kau memandangi tanganmu seperti itu?" tanya Ezra, mendatangi Sean yang sejak tadi duduk di balkon kamar hotel seorang diri. "Oh, kau ingin bermasturbasi? Sebentar, ponselku sebentar lagi penuh." Iya, Ezra berada di kamar Sean untuk meminjam kabel charger. Bukannya membawa benda itu, Ezra justru langsung meng-charger ponselnya di kamar Sean. "Aku tidak level melakukan itu," balas Sean, lalu dia melihat ke arah dalam kaamrnya. Ada sosok Lucas dan Mark yang tengah melakukan live di I*******m. "Sejak kapan kalian berdua ada di sini?" "Kami menyelinap di belakan
Venue konser berada di sebuah stadion dengan kapasitas 20 ribu penonton. Hal yang menakjubkan adalah tiket konser HEXID di Singapura sold out. Riuh teriakan para penggemar terdengar hingga backstage, dan Rahee jelas bisa mendengar semua itu. Saat ini penyanyi lokal sedang bertugas sebagai pembuka, jadilah jelas waktu yang Rahee miliki tidak banyak. "Tenang, Rahee. Tenang," gumam Rahee pada dirinya sendiri. Dia gugup karena ini adalah pertama kalinya dia memiliki klien pria, dan yang lebih membuatnya gugup adalah pria itu Sean. Master-nya, bosnya, dan pria yang sangat Rahee benci. Itulah macam-macam julukan yang Rahee sematkan. Sementara Sean yang tengah hanya diam saja. Ya, Sean tidak bicara apa pun sejak keluar dari fitting room hingga kini. Rahee sungguh tidak mengerti dengan mood Sean. "Kau ingin model rambut seperti apa?" tanya Rahee. "Itu pekerjaanmu. Kenapa kau harus me
Rahee sedang berkirim pesan dengan Perawat Wendy. Jarak Rahee dan Bimo boleh saja berjauhan, tapi itu tidak membuat perhatiannya pada sang adik berkurang, justru dia kian memberikan perhatian lebih. Perawat Wendy bilang jika Dokter Bayu selalu ada untuk Bimo. Jeno juga sesekali datang ke rumah sakit. Ah, Rahee bersyukur Bimo dikelilingi oleh orang-orang baik. Setidaknya selama tur HEXID berlangsung, dia bisa sedikit tenang. "T-tidak. Menjauh dariku." Rahee mematikan ponselnya, lalu melirik ke arah ranjang. Sean ternyata tengah mengigau dalam tidurnya. Dengan ragu Rahee mendekat, dan yang dia heran adalah wajah Sean nampak ketakutan. Keringat disekitaran dahinya juga cukup banyak, seolah-olah pria itu dihantui oleh sesuatu hal menakutkan. Apa yang Sean mimpikan? "Pergi! Pergi!" Tangan Rahee terulur untuk membangunkan Sean, namun dia urungkan. 'Tugas'nya malam ini sudah selesai, dan dia hendak kembali ke
Sean pikir dirinya sinting. Sean pikir dirinya terkena guna-guna atau semacamnya. Apa pun sebutannya, dia masih tak percaya bahwa dirinya melemparkan stick drum ketika konser HEXID masih berlangsung. Mereka baru memainkan dua lagu, dan Sean beranjak hendak pergi."Aku akan absen untuk konser malam ini," jelas Sean pada Ezra yang sempat menahannya untuk kembali ke backstage."Apa kau gila?!" Ezra mendorong tubuh Sean. "Aku tidak peduli tentang masalahmu, tapi tolong tunjukan profesionalitasmu pada fans kita!"Venue konser di Malaysia memang dua kali lipat lebih besar daripada di Singapura, dan Sean bisa lihat itu. Beruntung, Mark dan Lucas sedang bercanda dengan para penggemar, sehingga keributan kecil antara Sean dan Ezra tak nampak.
Langit malam di Singapura indah. Bintang-bintang seperti berlomba muncul untuk menunjukan kecantikan mereka. Mungkin di Indonesia pun sama indahnya, hanya saja Rahee jarang memerhatikan. Sebelumnya, dia tak mempunyai kesempatan untuk menikmati keindahan sekitar. Untuk bernafas saja dia kesulitan, karena hidupnya hanya fokus pada kerja. Jadi, dia terkesan dengan pemandangan yang ada di hadapannya.Rambut Rahee yang masih basah tersapu sepoian angin. Hotel yang dia inapi tidak memiliki balkon, sehingga menempatkan bokong di pinggiran jendela adalah cara yang dia lakukan sekarang. Dia harus ekstra hati-hati, salah sedikit saja, dia bisa terjatuh dari lantai 5. Uh, memikirkan kemungkinan itu membuatnya spontan berdiri ngeri.Pun Rahee mulai melakukan peregangan kecil. Dari ujung kaki hingga ujung kepala dia gerakan. Sebelumnya Rahee sudah m
Ketagihan. Kata itu berputar di kepala Rahee selama dia menyantap semangkuk ramen. Aneh sekali. Kenapa Sean ketagihan dengan dirinya ketika ada ramen selezat ini? Rahee mengigit ujung sumpit, kemudian melirik diam-diam pada ramen Sean yang sama sekali tidak tersentuh. Dia menelan air liurnya karena ramen miliknya sudah lenyap tak bersisa. "Kau bisa makan punyaku jika mau," Sean menyodorkan mangkuk ramennya seakan-akan mempunyai kemampuan membaca pikiran. "Bolehkah?" tanya Rahee ragu. Sejak kemarin malam Rahee belum makan, dan kini perutnya seperti memerlukan porsi ekstra. "Hmm makanlah," kata Sean, membuat cengiran di wajah cantik Rahee terbentuk. Gadis itu menyeruput ramen milik Sean dengan semangat 45. Sementara Sean menompangkan dagu menggunakan tangannya, merasa senang mendapati Rahee mempunyai selera makan yang besar. Umumnya para gadis akan bersikap malu-malu, dan bahkan berpura-pura tid
Satu jam sebelumnya...Sean melangkahkan kaki pada turunan anak tangga. Dia memakai kembali kacamata hitamnya, kemudian berbalik memandangi bangunan mewah di belakangnya. Psikiater tolol, batin Sean murka. Sebelum menuju bandara, Sean sengaja membuat janji dengan seorang Dokter Psikiater. Psikiater ini memiliki nama besar, dan beberapa orang menyebutkan bahwa psikater yang baru dia datangi adalah yang terbaik di Singapura.Sean membuang ludah ke aspal jalan, tak setuju. Bisa-bisanya psikater tersebut bilang bahwa Hera, kekasihnya, tidak memiliki kesempatan untuk kembali normal. Di dalam tadi Sean melakukan video call bersama Dokter Willy –dokter yang bertanggungjawab mengawasi Hera. Dokter Willy menaruh ponsel secara diam-diam, lalu mulai berinteraksi dengan Hera. Sehingga Sean dan psikater dapat melihat segala sesuatu di lain tempat. Namun psikater justru membuat pernyataan yang menjadikan Sean marah."Dari
Rahee menarik kopernya keluar kamar dengan tergesa-gesa. Bus rombongan para staf sudah berangkat beberapa saat yang lalu, dan dia tidak punya pilihan selain menyusul sendirian. Setengah berlari, Rahee menuju ke lift sambil mencari taksi via online. Oh, sekilas ini memang nampak mudah, tapi ternyata cukup sulit. Masalahnya tak ada satupun taksi yang bersedia mengantarkannya ke bandara. Semua menolak pesanannya.Begitu tiba di lobi, Rahee mengembalikan kunci ke bagian respsionis. Tidak lupa dia turut bertanya, "Apa mudah menemukan taksi di sekitar hotel? Saya harus ke bandara sesegera mungkin.""Biasanya mudah, tapi ini sudah masuk jam sibuk. Jadi mungkin akan ada sedikit kendala," jawab si resepsionis kemudian mengambil handy talkie. "Security, bisa tolong carikan taksi menuju bandara untuk tamu hotel kita?""Baik, dimohon tunggu sebentar," jawab si security yang dapat terdengar oleh Rahe
Rahee sedang berkirim pesan dengan Perawat Wendy. Jarak Rahee dan Bimo boleh saja berjauhan, tapi itu tidak membuat perhatiannya pada sang adik berkurang, justru dia kian memberikan perhatian lebih. Perawat Wendy bilang jika Dokter Bayu selalu ada untuk Bimo. Jeno juga sesekali datang ke rumah sakit. Ah, Rahee bersyukur Bimo dikelilingi oleh orang-orang baik. Setidaknya selama tur HEXID berlangsung, dia bisa sedikit tenang. "T-tidak. Menjauh dariku." Rahee mematikan ponselnya, lalu melirik ke arah ranjang. Sean ternyata tengah mengigau dalam tidurnya. Dengan ragu Rahee mendekat, dan yang dia heran adalah wajah Sean nampak ketakutan. Keringat disekitaran dahinya juga cukup banyak, seolah-olah pria itu dihantui oleh sesuatu hal menakutkan. Apa yang Sean mimpikan? "Pergi! Pergi!" Tangan Rahee terulur untuk membangunkan Sean, namun dia urungkan. 'Tugas'nya malam ini sudah selesai, dan dia hendak kembali ke
Venue konser berada di sebuah stadion dengan kapasitas 20 ribu penonton. Hal yang menakjubkan adalah tiket konser HEXID di Singapura sold out. Riuh teriakan para penggemar terdengar hingga backstage, dan Rahee jelas bisa mendengar semua itu. Saat ini penyanyi lokal sedang bertugas sebagai pembuka, jadilah jelas waktu yang Rahee miliki tidak banyak. "Tenang, Rahee. Tenang," gumam Rahee pada dirinya sendiri. Dia gugup karena ini adalah pertama kalinya dia memiliki klien pria, dan yang lebih membuatnya gugup adalah pria itu Sean. Master-nya, bosnya, dan pria yang sangat Rahee benci. Itulah macam-macam julukan yang Rahee sematkan. Sementara Sean yang tengah hanya diam saja. Ya, Sean tidak bicara apa pun sejak keluar dari fitting room hingga kini. Rahee sungguh tidak mengerti dengan mood Sean. "Kau ingin model rambut seperti apa?" tanya Rahee. "Itu pekerjaanmu. Kenapa kau harus me
Sean menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya dalam satu helaan nafas. Risau perasaannya, membuat dia tekan ujung putung rokoknya yang masih panjang di atas asbak. Sean menatap tangan kanannya. Permukaan tangannya masih merah dan panas, tanda bahwa tamparan yang dia berikan pada Rahee tadi begitu keras. "Kenapa kau memandangi tanganmu seperti itu?" tanya Ezra, mendatangi Sean yang sejak tadi duduk di balkon kamar hotel seorang diri. "Oh, kau ingin bermasturbasi? Sebentar, ponselku sebentar lagi penuh." Iya, Ezra berada di kamar Sean untuk meminjam kabel charger. Bukannya membawa benda itu, Ezra justru langsung meng-charger ponselnya di kamar Sean. "Aku tidak level melakukan itu," balas Sean, lalu dia melihat ke arah dalam kaamrnya. Ada sosok Lucas dan Mark yang tengah melakukan live di I*******m. "Sejak kapan kalian berdua ada di sini?" "Kami menyelinap di belakan
Melakukan suatu hal baru untuk kali pertama tentu mendebarkan. Entah konteks yang dapat diartikan sebagai debaran menyenangkan ataupun buruk. Satu hal pasti, kali ini debaran menyenangkan tengah menyelimuti Rahee. Usai pemeriksaan imigrasi dan klaim bagasi yang menurutnya rumit, Rahee menatap kagum seisi Bandara Changi Singapura. Ini pertama kalinya dia berpergian ke luar negeri. Seumur hidup dia tidak pernah meninggalkan Indonesia, termasuk Bimo. Walau sangat berat bagi Rahee, Bimo memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Ah, anak itu memang selalu bertindak terlalu dewasa. "Kak! Ini baru 3 jam sejak kau pergi, dan kau sudah menghubungiku?" pekik Bimo disebrang sana. Rahee mengganti menjadi mode video call, lalu menunjukan sekelilingnya. Wajah Bimo seketika berbinar penuh takjub, "Wow, bagus sekali. Aku iri padamu." "Tidak boleh iri, karena aku akan membawamu kemari." "Bisakah?" gumam Bi