Mobil Sean melaju tanpa arah. Usai memukuli Bayu sekaligus terkena tamparan Rahee, Sean persis merasakan sesuatu yang aneh. Sejak kapan Sean Ivano yang notabenenya adalah pria egois bisa peduli terhadap Rahee? Bukan urusan Sean jika Rahee tahu Bimo berniat bunuh diri. Dulu hanya Heredit Hera yang dapat meluluhkan rasa simpatinya. Lalu kenapa sekarang Rahee masuk ke dalam salah satu orang yang mampu mengusik sisi tersebut?
"Brengsek! Brengsek!" maki Sean sambil memukul setir mobil.
Dia berhenti di bahu jalan, lalu meneguk kaleng birnya. Selagi mencari jawaban dari hal yang mengganggunya, nama Aditya sang manajer muncul di layar ponsel.
"Sean! Apa-apaan ini?! Kau memukuli anak direktur rumah sakit?!" teriakan Aditya langsung terdengar.
"Siapa maksudmu?"
"Dokter Bayu Sasono. Ada artikel di internet yang memuat berita demikian, bahkan wajah Rahee yang diblurkan juga ikut terpampang," Aditya berapi-api bicara. "Dan seperti biasa, reporter gadungan itu yang menulis artikel ini. Dia memiliki dendam pribadi kepadamu atau bagaimana?"
Sean menekan kedua sisi kepalanya. Ini bukan persoalan bahwa Bayu adalah anak dari direktur rumah sakit. Bahkan jika dihadapkan pada situasi serupa, Sean pasti akan tetap menghajar Bayu karena sudah berani menyentuh gadisnya. Yang membuat Sean jengah adalah reporter bernama Leo. Reporter tersebut sejak dulu kerap membuntuti Sean dan memuat berita dengan tujuan untuk menghancurkannya.
"Kenapa Rahee dibawa-bawa oleh keparat itu?"
"Di sini tertulis kau dan anak direktur rumah sakit bertengkar karena seorang gadis. Lagipula bukankah Leo sudah lama berhenti menulis berita tentangmu? Kenapa sekarang dia mencari gara-gara lagi?"
"Pasti uang tutup mulut yang dulu ku berikan sudah habis," kata Sehun, kemudian melempar kaleng birnya ke jalanan. "Kau urus saja reporter sialan itu."
Terdengar helaan nafas di sebrang sana. Pasti Aditya yang kena batunya, "Bagaimana jika Leo meminta uang dalam jumlah yang tidak masuk akal?"
"Berikan saja."
Dan dengan itu Sean menyudahi pembicaraan mereka dan mulai kembali menekan pedal gas. Namun baru beberapa saat, sirene mobil polisi terdengar dan sedan mewah milik Sean diminta menepi.
"Selamat malam. Bisa tolong tunjukkan kelengkapan SIM dan STNK anda?" sapa seorang polisi muda begitu kaca mobil Sean diturunkan.
Tanpa menjawab, Sean memberikan apa yang diminta. Dokumennya lengkap dan Sean yakin dirinya lolos pemeriksaan, namun itu berubah hingga si polisi menyodorkan sebuah alat pendeteksi alkohol.
"Saya tidak mabuk," kesal Sean.
"Kalau begitu tolong tiup alat ini. Tingkat akuratnya 99% dan sama dengan tes darah," mau tidak mau Sean meniupkan alat tersebut dan beberapa detik kemudian si polisi berujar. "Kadar alkohol anda 0,09%. Mari ikut saya ke kantor polisi."
"Fuck."
Pun tidak beselang lama Sean berakhir menunggu di kantor polisi. Dia memutuskan tetap bungkam sampai Aditya datang. Salah bicara, bisa-bisa Sean akan tidur di sel penjara malam ini.
"Menakjubkan, 1 hari terlibat 2 kasus. Sebaiknya kau naikan gajiku," Sungut Aditya, lalu tersenyum ke arah polisi. "Di samping saya ada pengacara Sean. Jadi Sean akan didampingi oleh beliau."
Interogasi berlangsung cukup lama. Sean ditanya ini itu, sampai akhirnya diperbolehkan pulang dengan sanksi denda, "Berhubung ini adalah pelanggaran pertama, maka sanksinya masih berupa denda. Diharapkan untuk ke depannya tidak ada pelanggaran lagi."
"Terima kasih, Tuan... Jeno?" tutur Aditya sembari mengucapkan nama pada seragam polisi tersebut. "Kami pamit sekarang."
"Silahkan."
Dengan melipat kedua tangan di depan dada, Sean berjalan acuh. Di koridor langkahnya mendadak terhenti. Jeno?... Bukankah Bimo menyebutkan nama Jeno ketika mereka berada di atap rumah sakit? Apa pria yang barusan adalah Jeno yang dekat dengan keluarga Rahee? Ah, Sean menggelengkan kepalanya. Untuk apa juga dia memikirkan hal itu?
"Bagaimana urusan kita dengan si bajingan Leo?"
"Leo sudah menarik artikelnya, dan aku sudah memberikannya uang," jelas Aditya. "Ohya, apa Rahee bermalam di rumah sakit?"
"Dia semakin pandai memuaskanku, jadi ku berikan dia izin menginap semalam."
Sebuah benda tiba-tiba mengenai sepatu bagian belakang Sean, membuat dirinya berhenti berjalan dan berbalik. Ada kaleng bir bekas. Dia pun meraihnya sembari terheran. Tunggu, ini adalah kaleng bir miliknya yang sudah dia buang di jalanan tadi.
Pandangan Sean menemukan sosok Jeno. Polisi yang sejak awal mencegat Sean hingga menggiringnya ke kantor polisi, "Kaleng bir anda tertinggal. Di pintu keluar ada tempat sampah, sebaiknya anda buang di sana."
Diremaslah kaleng birnya kuat-kuat, lalu Sean lemparkan ke arah Jeno yang telah masuk menuju ruangannya.
----
Sean:
Pulang dalam 1 jam, atau aku akan menghukummu.
Rahee mendorong air liurnya susah payah. Pesan dari Sean baru dia baca setengah jam kemudian, membuat Rahee otomatis bangkit dari kursi di pinggir ranjang Bimo. Otot-ototnya masih menegang karena dia baru bangun tidur. Sesegera mungkin, diraihlah tasnya yang tergeletak di lantai sebelum mengikat rambutnya asal.
"Kenapa buru-buru, kak? Ini bahkan belum jam 7 dan kau belum terlambat bekerja."
Bimo sudah terduduk di sandaran ranjang dengan raut tenang. Dia baru selesai melahap sendok terakhir dari nampan sarapannya, kemudian meraih bungkus obat, dan meminumnya. Berarti dugaan Bayu kalau Bimo tidak pernah mengkonsumsi obat adalah suatu kekeliruan.
"Kau rajin mengkonsumsi obatmu, kan?" pertanyaan Rahee mengalir begitu saja. Padahal dia sudah buat janji dengan Bayu agar tak membahasnya. Akan tetapi Rahee terlanjur penasaran.
"Tentu saja. Kau juga barusan lihat kalau aku meminum semua obat-obatan mengerikan ini."
Jemari Rahee membelai pipi adiknya. Usai kejadian semalam, Bimo enggan menjelaskan bagaimana dirinya bisa berkeliling rumah sakit bersama Sean, "Kau mengenal Sean? Dan semalam apa yang kalian bicarakan sampai-sampai kau pergi tanpa izinku?"
"Dia adalah drumer kesukaanku. Bagaimana mungkin aku tidak mengenalnya?" ungkap Bimo. "Dan yang kami bicarakan semalam adalah rahasia antar pria."
Rahee bergedik ngeri sesaat menyadari kalau drumer yang menjadi panutan Bimo ialah si bajingan Sean. Rahee betulan lupa, "Sebaiknya ubah cita-citamu dan pilih instrumen musik lain selain drum. Jika Sean datang kemari lagi, kau harus usir dia. Dia adalah orang jahat." Nasehat Rahee membuat Bimo berniat membantah, namun sang kakak terlebih dahulu melanjutkan kalimatnya. "Aku pergi sekarang. Perawat Wendy akan datang sebentar lagi, dan jangan buat dia kesulitan. "
"Iya, aku mengerti."
Setengah berlari, Rahee keluar dari rumah sakit dan menemukan sebuah taksi kosong. Ketika dia menarik pintu taksi, tiba-tiba seseorang mencegah dirinya masuk. Spontan dia menoleh kepada seseorang yang kini ada di belakangnya," Kak Jeno? Ada apa kemari?"
"Kau mau kemana?"
"Pulang. Aku harus ganti pakaian untuk shift pagi."
"Akhir-akhir ini kau tidak pernah pulang ke rumah, dan baru malam ini lagi kau menginap untuk menemani Bimo di rumah sakit. Kenapa kau seperti ini?" pria yang sudah Rahee anggap sebagai kakak ini bertanya dengan mimik menuntut penjelasan. "Jangan bilang aku penguntit, Rahee. Aku hanya cemas. Apalagi sikapmu seperti sedang menyembunyikan sesuatu."
Rahee melirik jam di ponselnya.
Sudah 40 menit berlalu.
Bagaimana ini?
"Kak, aku baik-baik saja dan tidak ada yang ku sembunyikan darimu."
Jeno menyentuh pergelangan tangan Rahee seiring mendekatkan wajah mereka, "Apa ini ada hubungannya dengan Yayasan Black Diamond? Ketika kau bertanya mengenai yayasan itu, kau begitu panik."
Jujur dia terkejut karena Jeno mengaitkan perubahannya dengan yayasan Black Diamond, yang mana asumsi Jeno memang benar adanya, "Aku hanya iseng bertanya."
"Tidak mungkin kau datang pagi buta ke kantor polisi sebatas untuk bertanya tentang hal itu," Rahee pun lepaskan paksa genggaman tangan Jeno. Ketika dirinya berhasil masuk ke dalam taksi, Jeno bergerak menahan pintu. Sehingga posisi Rahee kini sudah duduk, sementara pria berseragam polisi itu berdiri di luar taksi dan masih coba untuk bicara. "Apa kau kenal seseorang bernama Sean?"
Deg.
Pandangan Rahee sepersekian detik bergetar. Disebutkan Yayasan Black Diamond saja sudah cukup menjadikan isi perutnya bergejolak tak nyaman, lantas sekarang nama Sean juga turut dipertanyakan. Bagaimana Jeno bisa tahu? Perlahan Rahee berusaha menguasai diri sebelum akhirnya menggelengkan kepala, "Tidak. Siapa dia?"
"Nama lengkapnya Sean Ivano. Dari yang aku cari di internet, dia drumer band terkenal dan," kalimat Jeno terhenti lantaran Rahee menatap balik, dan dia tidak menemukan keraguan dari mata teduh nan indah itu. Segala sesuatunya nampak tenang. Jeno paham apabila Rahee tengah berbohong, dan kali ini dia bicara jujur. "Apa kau sungguh tidak mengenalnya?"
"Kak Jeno... Aku sudah terlambat. Apa kau mau bertanggungjawab jika aku dipecat?"
Langkah Jeno mundur satu langkah, "Baiklah. Maaf aku barusan bertanya yang macam-macam padamu."
"Terima kasih kau sudah perhatian padaku dan Bimo, aku sangat menghargainya. Tapi... ini terlalu berlebihan. Aku tidak nyaman, kak."
Wajah Jeno menunjukan gurat sesal. Mungkin semalam dirinya salah dengar ketika akan mengembalikan kaleng bir milik Sean. Pasti kedua pria itu membicarakan sosok Rahee yang berbeda, bukan Raheenya, "Sekali lagi maafkan aku. Hubungi aku jika ada yang ingin kau ceritakan."
Waktu yang Rahee miliki sekitar 15 menit, jadi dia pamit dan segera pulang –pulang ke rumah Sean. Dia coba singkirkan rasa penasarannya terhadap perkataan Jeno, lalu berfokus pada kenyataan yang akan dia hadapi. Sean tidak berniat membunuhnya, kan?
"1 menit 30 detik. Kau terlambat, Angelia Rahee," suara Sean langsung terdengar sewaktu Rahee memasuki rumah. Dia terpenjat karena sosok itu ternyata ada di belakangnya. Dalam gerakan cepat, Sean menarik rambut Rahee dan menyeretnya ke lantai atas. Teriak kesakitan Rahee memenuhi seisi rumah, tapi Sean tak peduli dan justru kian menyeringai puas. "Mari kita lihat, hukuman apa yang pantas untuk gadis pembangkang seperti dirimu."
---
----"Angkat dagumu lebih tinggi," ujar Sean sembari menarik ujung kuas di atas kanvas. Jemarinya berlari cekatan untuk membuat siluet terbaik. Ya, Sean sedang melukis sosok Rahee yang terlihat kikuk. Bagaimana tidak, gadis berwajah mungil itu hanya mengenakan selimut putih tipis dan berdiri di balkon kamar yang langsung menghadap ke kolam renang. Sementara Sean duduk disebuah kursi dengan posisi menyilangkan kaki, nampak fokus. "Sudah kubilang sembunyikan rambutmu di belakang telinga."Dahi Rahee mengernyit. Kapan Sean bilang demikian?Pria berpostur 185 cm ini bangkit, lalu menyentak tangan Rahee yang berupaya merapihkan rambut. Dirapihkanlah helaian anak rambut yang membuat pandangan Sean terganggu. Rahee pikir cukup sampai disitu, ternyata Sean mendekatkan wajahnya untuk memberikan kecupan singkat, "Kau memang bodoh dalam mematuhi perintahku."Segera Rahee usap bibirnya menggunakan punggung tangan. Bibir mereka tadi bertemu
Melakukan suatu hal baru untuk kali pertama tentu mendebarkan. Entah konteks yang dapat diartikan sebagai debaran menyenangkan ataupun buruk. Satu hal pasti, kali ini debaran menyenangkan tengah menyelimuti Rahee. Usai pemeriksaan imigrasi dan klaim bagasi yang menurutnya rumit, Rahee menatap kagum seisi Bandara Changi Singapura. Ini pertama kalinya dia berpergian ke luar negeri. Seumur hidup dia tidak pernah meninggalkan Indonesia, termasuk Bimo. Walau sangat berat bagi Rahee, Bimo memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Ah, anak itu memang selalu bertindak terlalu dewasa. "Kak! Ini baru 3 jam sejak kau pergi, dan kau sudah menghubungiku?" pekik Bimo disebrang sana. Rahee mengganti menjadi mode video call, lalu menunjukan sekelilingnya. Wajah Bimo seketika berbinar penuh takjub, "Wow, bagus sekali. Aku iri padamu." "Tidak boleh iri, karena aku akan membawamu kemari." "Bisakah?" gumam Bi
Sean menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya dalam satu helaan nafas. Risau perasaannya, membuat dia tekan ujung putung rokoknya yang masih panjang di atas asbak. Sean menatap tangan kanannya. Permukaan tangannya masih merah dan panas, tanda bahwa tamparan yang dia berikan pada Rahee tadi begitu keras. "Kenapa kau memandangi tanganmu seperti itu?" tanya Ezra, mendatangi Sean yang sejak tadi duduk di balkon kamar hotel seorang diri. "Oh, kau ingin bermasturbasi? Sebentar, ponselku sebentar lagi penuh." Iya, Ezra berada di kamar Sean untuk meminjam kabel charger. Bukannya membawa benda itu, Ezra justru langsung meng-charger ponselnya di kamar Sean. "Aku tidak level melakukan itu," balas Sean, lalu dia melihat ke arah dalam kaamrnya. Ada sosok Lucas dan Mark yang tengah melakukan live di I*******m. "Sejak kapan kalian berdua ada di sini?" "Kami menyelinap di belakan
Venue konser berada di sebuah stadion dengan kapasitas 20 ribu penonton. Hal yang menakjubkan adalah tiket konser HEXID di Singapura sold out. Riuh teriakan para penggemar terdengar hingga backstage, dan Rahee jelas bisa mendengar semua itu. Saat ini penyanyi lokal sedang bertugas sebagai pembuka, jadilah jelas waktu yang Rahee miliki tidak banyak. "Tenang, Rahee. Tenang," gumam Rahee pada dirinya sendiri. Dia gugup karena ini adalah pertama kalinya dia memiliki klien pria, dan yang lebih membuatnya gugup adalah pria itu Sean. Master-nya, bosnya, dan pria yang sangat Rahee benci. Itulah macam-macam julukan yang Rahee sematkan. Sementara Sean yang tengah hanya diam saja. Ya, Sean tidak bicara apa pun sejak keluar dari fitting room hingga kini. Rahee sungguh tidak mengerti dengan mood Sean. "Kau ingin model rambut seperti apa?" tanya Rahee. "Itu pekerjaanmu. Kenapa kau harus me
Rahee sedang berkirim pesan dengan Perawat Wendy. Jarak Rahee dan Bimo boleh saja berjauhan, tapi itu tidak membuat perhatiannya pada sang adik berkurang, justru dia kian memberikan perhatian lebih. Perawat Wendy bilang jika Dokter Bayu selalu ada untuk Bimo. Jeno juga sesekali datang ke rumah sakit. Ah, Rahee bersyukur Bimo dikelilingi oleh orang-orang baik. Setidaknya selama tur HEXID berlangsung, dia bisa sedikit tenang. "T-tidak. Menjauh dariku." Rahee mematikan ponselnya, lalu melirik ke arah ranjang. Sean ternyata tengah mengigau dalam tidurnya. Dengan ragu Rahee mendekat, dan yang dia heran adalah wajah Sean nampak ketakutan. Keringat disekitaran dahinya juga cukup banyak, seolah-olah pria itu dihantui oleh sesuatu hal menakutkan. Apa yang Sean mimpikan? "Pergi! Pergi!" Tangan Rahee terulur untuk membangunkan Sean, namun dia urungkan. 'Tugas'nya malam ini sudah selesai, dan dia hendak kembali ke
Rahee menarik kopernya keluar kamar dengan tergesa-gesa. Bus rombongan para staf sudah berangkat beberapa saat yang lalu, dan dia tidak punya pilihan selain menyusul sendirian. Setengah berlari, Rahee menuju ke lift sambil mencari taksi via online. Oh, sekilas ini memang nampak mudah, tapi ternyata cukup sulit. Masalahnya tak ada satupun taksi yang bersedia mengantarkannya ke bandara. Semua menolak pesanannya.Begitu tiba di lobi, Rahee mengembalikan kunci ke bagian respsionis. Tidak lupa dia turut bertanya, "Apa mudah menemukan taksi di sekitar hotel? Saya harus ke bandara sesegera mungkin.""Biasanya mudah, tapi ini sudah masuk jam sibuk. Jadi mungkin akan ada sedikit kendala," jawab si resepsionis kemudian mengambil handy talkie. "Security, bisa tolong carikan taksi menuju bandara untuk tamu hotel kita?""Baik, dimohon tunggu sebentar," jawab si security yang dapat terdengar oleh Rahe
Satu jam sebelumnya...Sean melangkahkan kaki pada turunan anak tangga. Dia memakai kembali kacamata hitamnya, kemudian berbalik memandangi bangunan mewah di belakangnya. Psikiater tolol, batin Sean murka. Sebelum menuju bandara, Sean sengaja membuat janji dengan seorang Dokter Psikiater. Psikiater ini memiliki nama besar, dan beberapa orang menyebutkan bahwa psikater yang baru dia datangi adalah yang terbaik di Singapura.Sean membuang ludah ke aspal jalan, tak setuju. Bisa-bisanya psikater tersebut bilang bahwa Hera, kekasihnya, tidak memiliki kesempatan untuk kembali normal. Di dalam tadi Sean melakukan video call bersama Dokter Willy –dokter yang bertanggungjawab mengawasi Hera. Dokter Willy menaruh ponsel secara diam-diam, lalu mulai berinteraksi dengan Hera. Sehingga Sean dan psikater dapat melihat segala sesuatu di lain tempat. Namun psikater justru membuat pernyataan yang menjadikan Sean marah."Dari
Ketagihan. Kata itu berputar di kepala Rahee selama dia menyantap semangkuk ramen. Aneh sekali. Kenapa Sean ketagihan dengan dirinya ketika ada ramen selezat ini? Rahee mengigit ujung sumpit, kemudian melirik diam-diam pada ramen Sean yang sama sekali tidak tersentuh. Dia menelan air liurnya karena ramen miliknya sudah lenyap tak bersisa. "Kau bisa makan punyaku jika mau," Sean menyodorkan mangkuk ramennya seakan-akan mempunyai kemampuan membaca pikiran. "Bolehkah?" tanya Rahee ragu. Sejak kemarin malam Rahee belum makan, dan kini perutnya seperti memerlukan porsi ekstra. "Hmm makanlah," kata Sean, membuat cengiran di wajah cantik Rahee terbentuk. Gadis itu menyeruput ramen milik Sean dengan semangat 45. Sementara Sean menompangkan dagu menggunakan tangannya, merasa senang mendapati Rahee mempunyai selera makan yang besar. Umumnya para gadis akan bersikap malu-malu, dan bahkan berpura-pura tid
Sean pikir dirinya sinting. Sean pikir dirinya terkena guna-guna atau semacamnya. Apa pun sebutannya, dia masih tak percaya bahwa dirinya melemparkan stick drum ketika konser HEXID masih berlangsung. Mereka baru memainkan dua lagu, dan Sean beranjak hendak pergi."Aku akan absen untuk konser malam ini," jelas Sean pada Ezra yang sempat menahannya untuk kembali ke backstage."Apa kau gila?!" Ezra mendorong tubuh Sean. "Aku tidak peduli tentang masalahmu, tapi tolong tunjukan profesionalitasmu pada fans kita!"Venue konser di Malaysia memang dua kali lipat lebih besar daripada di Singapura, dan Sean bisa lihat itu. Beruntung, Mark dan Lucas sedang bercanda dengan para penggemar, sehingga keributan kecil antara Sean dan Ezra tak nampak.
Langit malam di Singapura indah. Bintang-bintang seperti berlomba muncul untuk menunjukan kecantikan mereka. Mungkin di Indonesia pun sama indahnya, hanya saja Rahee jarang memerhatikan. Sebelumnya, dia tak mempunyai kesempatan untuk menikmati keindahan sekitar. Untuk bernafas saja dia kesulitan, karena hidupnya hanya fokus pada kerja. Jadi, dia terkesan dengan pemandangan yang ada di hadapannya.Rambut Rahee yang masih basah tersapu sepoian angin. Hotel yang dia inapi tidak memiliki balkon, sehingga menempatkan bokong di pinggiran jendela adalah cara yang dia lakukan sekarang. Dia harus ekstra hati-hati, salah sedikit saja, dia bisa terjatuh dari lantai 5. Uh, memikirkan kemungkinan itu membuatnya spontan berdiri ngeri.Pun Rahee mulai melakukan peregangan kecil. Dari ujung kaki hingga ujung kepala dia gerakan. Sebelumnya Rahee sudah m
Ketagihan. Kata itu berputar di kepala Rahee selama dia menyantap semangkuk ramen. Aneh sekali. Kenapa Sean ketagihan dengan dirinya ketika ada ramen selezat ini? Rahee mengigit ujung sumpit, kemudian melirik diam-diam pada ramen Sean yang sama sekali tidak tersentuh. Dia menelan air liurnya karena ramen miliknya sudah lenyap tak bersisa. "Kau bisa makan punyaku jika mau," Sean menyodorkan mangkuk ramennya seakan-akan mempunyai kemampuan membaca pikiran. "Bolehkah?" tanya Rahee ragu. Sejak kemarin malam Rahee belum makan, dan kini perutnya seperti memerlukan porsi ekstra. "Hmm makanlah," kata Sean, membuat cengiran di wajah cantik Rahee terbentuk. Gadis itu menyeruput ramen milik Sean dengan semangat 45. Sementara Sean menompangkan dagu menggunakan tangannya, merasa senang mendapati Rahee mempunyai selera makan yang besar. Umumnya para gadis akan bersikap malu-malu, dan bahkan berpura-pura tid
Satu jam sebelumnya...Sean melangkahkan kaki pada turunan anak tangga. Dia memakai kembali kacamata hitamnya, kemudian berbalik memandangi bangunan mewah di belakangnya. Psikiater tolol, batin Sean murka. Sebelum menuju bandara, Sean sengaja membuat janji dengan seorang Dokter Psikiater. Psikiater ini memiliki nama besar, dan beberapa orang menyebutkan bahwa psikater yang baru dia datangi adalah yang terbaik di Singapura.Sean membuang ludah ke aspal jalan, tak setuju. Bisa-bisanya psikater tersebut bilang bahwa Hera, kekasihnya, tidak memiliki kesempatan untuk kembali normal. Di dalam tadi Sean melakukan video call bersama Dokter Willy –dokter yang bertanggungjawab mengawasi Hera. Dokter Willy menaruh ponsel secara diam-diam, lalu mulai berinteraksi dengan Hera. Sehingga Sean dan psikater dapat melihat segala sesuatu di lain tempat. Namun psikater justru membuat pernyataan yang menjadikan Sean marah."Dari
Rahee menarik kopernya keluar kamar dengan tergesa-gesa. Bus rombongan para staf sudah berangkat beberapa saat yang lalu, dan dia tidak punya pilihan selain menyusul sendirian. Setengah berlari, Rahee menuju ke lift sambil mencari taksi via online. Oh, sekilas ini memang nampak mudah, tapi ternyata cukup sulit. Masalahnya tak ada satupun taksi yang bersedia mengantarkannya ke bandara. Semua menolak pesanannya.Begitu tiba di lobi, Rahee mengembalikan kunci ke bagian respsionis. Tidak lupa dia turut bertanya, "Apa mudah menemukan taksi di sekitar hotel? Saya harus ke bandara sesegera mungkin.""Biasanya mudah, tapi ini sudah masuk jam sibuk. Jadi mungkin akan ada sedikit kendala," jawab si resepsionis kemudian mengambil handy talkie. "Security, bisa tolong carikan taksi menuju bandara untuk tamu hotel kita?""Baik, dimohon tunggu sebentar," jawab si security yang dapat terdengar oleh Rahe
Rahee sedang berkirim pesan dengan Perawat Wendy. Jarak Rahee dan Bimo boleh saja berjauhan, tapi itu tidak membuat perhatiannya pada sang adik berkurang, justru dia kian memberikan perhatian lebih. Perawat Wendy bilang jika Dokter Bayu selalu ada untuk Bimo. Jeno juga sesekali datang ke rumah sakit. Ah, Rahee bersyukur Bimo dikelilingi oleh orang-orang baik. Setidaknya selama tur HEXID berlangsung, dia bisa sedikit tenang. "T-tidak. Menjauh dariku." Rahee mematikan ponselnya, lalu melirik ke arah ranjang. Sean ternyata tengah mengigau dalam tidurnya. Dengan ragu Rahee mendekat, dan yang dia heran adalah wajah Sean nampak ketakutan. Keringat disekitaran dahinya juga cukup banyak, seolah-olah pria itu dihantui oleh sesuatu hal menakutkan. Apa yang Sean mimpikan? "Pergi! Pergi!" Tangan Rahee terulur untuk membangunkan Sean, namun dia urungkan. 'Tugas'nya malam ini sudah selesai, dan dia hendak kembali ke
Venue konser berada di sebuah stadion dengan kapasitas 20 ribu penonton. Hal yang menakjubkan adalah tiket konser HEXID di Singapura sold out. Riuh teriakan para penggemar terdengar hingga backstage, dan Rahee jelas bisa mendengar semua itu. Saat ini penyanyi lokal sedang bertugas sebagai pembuka, jadilah jelas waktu yang Rahee miliki tidak banyak. "Tenang, Rahee. Tenang," gumam Rahee pada dirinya sendiri. Dia gugup karena ini adalah pertama kalinya dia memiliki klien pria, dan yang lebih membuatnya gugup adalah pria itu Sean. Master-nya, bosnya, dan pria yang sangat Rahee benci. Itulah macam-macam julukan yang Rahee sematkan. Sementara Sean yang tengah hanya diam saja. Ya, Sean tidak bicara apa pun sejak keluar dari fitting room hingga kini. Rahee sungguh tidak mengerti dengan mood Sean. "Kau ingin model rambut seperti apa?" tanya Rahee. "Itu pekerjaanmu. Kenapa kau harus me
Sean menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya dalam satu helaan nafas. Risau perasaannya, membuat dia tekan ujung putung rokoknya yang masih panjang di atas asbak. Sean menatap tangan kanannya. Permukaan tangannya masih merah dan panas, tanda bahwa tamparan yang dia berikan pada Rahee tadi begitu keras. "Kenapa kau memandangi tanganmu seperti itu?" tanya Ezra, mendatangi Sean yang sejak tadi duduk di balkon kamar hotel seorang diri. "Oh, kau ingin bermasturbasi? Sebentar, ponselku sebentar lagi penuh." Iya, Ezra berada di kamar Sean untuk meminjam kabel charger. Bukannya membawa benda itu, Ezra justru langsung meng-charger ponselnya di kamar Sean. "Aku tidak level melakukan itu," balas Sean, lalu dia melihat ke arah dalam kaamrnya. Ada sosok Lucas dan Mark yang tengah melakukan live di I*******m. "Sejak kapan kalian berdua ada di sini?" "Kami menyelinap di belakan
Melakukan suatu hal baru untuk kali pertama tentu mendebarkan. Entah konteks yang dapat diartikan sebagai debaran menyenangkan ataupun buruk. Satu hal pasti, kali ini debaran menyenangkan tengah menyelimuti Rahee. Usai pemeriksaan imigrasi dan klaim bagasi yang menurutnya rumit, Rahee menatap kagum seisi Bandara Changi Singapura. Ini pertama kalinya dia berpergian ke luar negeri. Seumur hidup dia tidak pernah meninggalkan Indonesia, termasuk Bimo. Walau sangat berat bagi Rahee, Bimo memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Ah, anak itu memang selalu bertindak terlalu dewasa. "Kak! Ini baru 3 jam sejak kau pergi, dan kau sudah menghubungiku?" pekik Bimo disebrang sana. Rahee mengganti menjadi mode video call, lalu menunjukan sekelilingnya. Wajah Bimo seketika berbinar penuh takjub, "Wow, bagus sekali. Aku iri padamu." "Tidak boleh iri, karena aku akan membawamu kemari." "Bisakah?" gumam Bi