Diam-diam Bimo keluar dari kamar. Tanpa menggunakan jaket ataupun alas kaki, anak berusia 10 tahun tersebut dengan tertatih berusaha tak membuat suara sedikit pun. Pasalnya Rahee tengah terlelap, dan dia tak mau kakaknya sampai terbangun. Kasihan. Biarkan Rahee bermimpi indah walaupun hanya sebatas bunga tidur. Karena kenyataannya, dirinyalah penyebab Rahee menjadi kesusahan. Bimo adalah mimpi buruk Rahee.
Para dokter dan perawat tidak sadar dengan keberadaannya. Bimo bersembunyi setiap kali mereka berada di koridor. Hingga Bimo akhirnya berhasil menaiki atap rumah sakit tanpa diketahui oleh siapa-siapa.
Angin malam berhembus kencang disertai rintik hujan. Langkah kecil Bimo sampai pada ujung atap. Keramaian Kota Jakarta sangat pengap, sekalipun sudah larut kota ini selalu terjaga. Oh, kenapa kota ini tidak mati saja? Bukankah keadaan nantinya akan jauh lebih damai? Ya, sama dengan dirinya. Jika dirinya mati, pasti hidup Rahee menjadi tentram.
"Brengsek, di mana rokok sialan itu?" seorang pria bersuara, cukup jauh dari tempat Bimo berdiri. "Kau punya rokok, adik kecil?"
Bimo melirik kekanan-kekiri. Apa dirinya yang disebut adik kecil oleh pria tersebut? "Aku sudah besar, om."
Si pria tergelak. Entah karena Bimo mengklaim sudah besar atau karena sebutan om. Pria itu berjalan mendekat, lalu membuka payung yang dibawanya agar Bimo tak kehujanan. Dahi Bimo mengernyit. Dia yakin sudah pernah melihat wajah itu di suatu tempat. Tapi... di mana ya?
"Pertama, tinggimu sekitar 135 cm, artinya kau masih kecil. Kedua," pria tersebut kini berjongkok supaya tinggi mereka sejajar. Bimo seketika menahan napasnya dan matanya berbinar diliputi rasa senang luar biasa. "Kedua, aku bukan seorang om-om. Usiaku baru 26 tahun. Dan namaku---"
"Sean Ivano! Kau Sean Ivano, kan?!" jerit Bimo antusias, dan tanpa sadar Bimo mengambil langkah mundur. Refleks, Sean menarik tangan Bimo dalam hitungan detik. Jantung Sean seperti berhenti berdetak selama beberapa saat, lantaran Bimo hampir jatuh dari atap dan sangat memungkinan terjadinya kematian. Namun Bimo bersikap seolah-olah tidak terjadi apapun. Dia justru berteriak girang, sebelum memeluk pria tampan tersebut.
"Hey, lepaskan. Aku benci anak-anak," tolak Sean seraya berusaha menarik-narik kecil piyama Bimo. Kemudian Sean sadar terhadap hal ganjil. Kenapa adik dari Rahee mengenali dirinya? "Kau mengenaliku?"
Bimo melepaskan pelukan mereka, lalu mengangguk berkali-kali. "Cita-citaku adalah menjadi drumer handal sepertimu. Saat sudah besar aku juga ingin punya band sekeren HEXID."
Kontan hidung Sean kembang-kempis, diikuti semburat senyum tertahan. Ayolah, pujian adalah makanan sehari-hari Sean. Fans-nya bukan satu dua, bukan di Indonesia saja, bahkan fans Internasional juga sudah banyak. Namun entah kenapa sanjungan dari adiknya Rahee berhasil membuatnya senang bukan kepalang. Mungkinkah Rahee menceritakan tentang dirinya kepada Bimo? Ah, itu musthail. Mana mungkin Rahee jujur pada Bimo kalau pekerjaannya adalah sebagai seorang pelacur.
"Kau tahu lagu milik kami?" tanya Sean iseng.
"Ya, aku suka lagu yang berjudul Overdose dan Monster! Kalian keren!" acungan jempol diberikan Bimo. "Tapi... kenapa kau tadi bertanya apakah aku memiliki rokok atau tidak? Aku bahkan baru 10 tahun. Lagipula rokok berbahaya, om."
Sean memutarkan bola matanya. Lagi lagi dipanggil om, "Panggil aku 'kak' saja. Kau sendiri kenapa berdiri seperti tadi? Bukankah tindakanmu lebih berbahaya?"
Bimo menundukan wajahnya, seiring bibirnya mengerucut, "Dunia yang kita tinggali itu keras, om, eh maksudku, kak. Orang seperti Kak Sean tidak mungkin mengerti."
"Orang sepertiku?" tanya Sean. Bimo membuat pembicaraan ini seakan-akan anak tersebut lebih banyak makan asam garam kehidupan.
"Kak Sean terkenal dan punya banyak uang. Lebih dari itu kondisi kakak sehat, tidak seperti aku. Sejak kecil aku selalu sakit-sakitan hingga ibu kandungku memilih untuk membuangku. Aku hanya menjadi beban bagi kakak tiriku."
Sejenak Sean meresapi setiap kata Bimo. Tebakannya tidak salah bahwa adiknya Rahee ini memang sempat berniat lompat dari atap. Untung saja Sean mengikuti jejak bocah tersebut, "Apa kakakmu pernah bilang kalau kau adalah beban?"
"Tidak," geleng Bimo polos.
"Artinya?"
"Umm artinya... tidak?" suaranya terdengar tidak yakin.
"Jangan buat hal yang sudah rumit menjadi semakin rumit. Jika kakakmu tidak pernah bilang demikian, maka artinya tidak," jawab Sean, membiarkan pundak kirinya basah agar Bimo terlindungi sepenuhnya oleh payung.
"Dia sejak dulu selalu mengutamakanku. Pakaian, pendidikan, semua. Dari pagi hingga malam dia bekerja tanpa henti. Aku... kasihan padanya, kak. Mungkin jika aku tidak ada di dunia lagi, itu akan meringankan bebannya." Tertegunlah Sean. Bocah di depannya betulan sudah dewasa, hingga memikirkan hal-hal yang tidak semestinya. "Kak Jeno juga bilang agar aku jangan mempunyai pikiran yang aneh dan cukup perhatikan kesehatanku, tapi... aku tidak bisa menyingkirkan itu. Aku merasa bersalah karena sudah hidup."
"Kakakmu berhasil membesarkanmu. Saat seusiamu, aku tidak sepintar kau. Kau juga begitu cerewet," Sean mengelus wajah Bimo tulus. Teringat akan luka masa lalu. Mungkin jika Sean kecil mempunyai kemampuan bicara sebaik Bimo, dia akan dapat tertolong lebih cepat.
"Ya, kakakku adalah yang terbaik."
"Kau benar," Sean melempar senyum. "Saat kau ingin melompat dari gedung, pikirkan orang yang akan membersihkan darahmu sambil menangis sedih. Lagipula rumah sakit ini berlantai 15. Ketika kau jatuh dari sini tubuhmu pasti akan sakit dan seluruh tulangmu hancur."
Mimik wajah Bimo berubah ngeri, "Hih seram, kak. Aku tidak mau melakukannya lagi."
"Good boy. Kau bisa kembali ke kamarmu sendiri, kan? Tidak perlu aku gendong?"
"Tidak perlu, kak. Aku bisa sendiri kok." Pun Sean mengambil langkah besar, kentara jauh dengan Bimo yang tertatih. Dia memerhatikan bocah tersebut sebelum berjalan mundur. Deretan gigi rapih dipertontonkan Bimo saat Sean kembali sejajar dengannya. Dengan polos Bimo meraih jemari Sean, ingin bergandengan tangan. "Kak Sean orang yang baik. Aku senang bisa bertemu kakak secara langsung."
Baik?
Bimo pasti akan menarik perkataan itu jika tahu apa yang sudah dirinya lakukan pada Rahee.
"Perhatikan langkahmu," peringat Sean.
Setibanya di lantai kamar inap Bimo, keadaan agak kacau. Beberapa perawat berlarian panik, hingga seorang dokter berteriak dari kejauhan pada sosok Sean dan Bimo, "Aku menemukan Bimo!"
Bayo Sasono berlari ke arah mereka. Setiap jengkal wajah dan tubuh mungil Bimo diperhatikan seksama oleh dokter muda tersebut. Helaan napas lega pun terdengar setelahnya. "Bimo, kau darimana saja? Kami semua khawatir mencarimu."
Berikutnya Rahee datang dan segera memeluk erat sang adik. Sama seperti Bayu, napas Rahee memburu seolah telah berlari mengitari setiap sudut rumah sakit. "Kau darimana?! Kenapa tiba-tiba menghilang?! Apa kau sengaja melakukan ini pada kakak?!"
Pertanyaan bertubi-tubi nan emosi meluncur tak tertahan. Ini gila. Rahee nyaris gila saat terbangun dan adiknya telah menghilang dari atas ranjang.
"Maafkan aku, kak. Aku tadi ke---"
"Aku mengajaknya berjalan-jalan di sekitar rumah sakit. Bukankah bosan berada di kamar seharian?" potong Sean terhadap ucapan Bimo.
Plak!
Tanpa diduga tamparan keras diberikan Rahee untuk pipi Sean. Kulit putih pucat pria itu seketika memerah. Sean mengepalkan tangannya. Selain dia benci karena lagi-lagi ditampar Rahee, dia juga benci lantaran secara tidak langsung sudah ikut campur atas masalah kakak-beradik ini. Sean hanya tak bisa membayangkan jika Rahee tahu bahwa Bimo tadi berniat bunuh diri.
"Kenapa kau libatkan adikku dalam permainan sialanmu?! Tidak cukupkah kau memperalatku?!" teriak Rahee.
"Rahee, tenang. Jangan emosi," bujuk Bayu dengan meremas lengan Rahee.
Mata Sean memincing tajam pada Bayu, persis elang yang marah karena santapannya telah menjadi buruan binatang lain. Rahee disentuh oleh pria lain! Brengsek!
Sean menarik jas dokter Bayu sebelum melepaskan tinjuan. Wajah dan perut Bayu menjadi sasaran empuk. Para perawat wanita di koridor berteriak histeris, sementara perawat pria berusaha menghentikan aksi Sean yang kian menggila.
"Kau betulan pria sinting!" maki Rahee setelah menyaksikan betapa babak belurnya wajah Bayu. Darah mengalir di sudut bibir serta pelipis Bayu. Ini terlihat mengerikan.
"Aku baik-baik saja, Rahee. Lebih baik segera bawa Bimo kembali ke kamar," saran Bayu.
Begitu Bimo berjalan melewati Sean, bocah itu memegang tangan Sean yang masih mengepal. "Kak... Terima kasih dan maafkan aku."
Rahee tarik paksa tangan adiknya, lalu mereka bergegas kembali ke kamar. Untuk sekarang biarkan Rahee dan seluruh emosinya meluap. Karena besok saat Rahee menginjakan kaki di rumah Sean, dirinyalah yang habis. Rahee yakin Sean akan membunuhnya.
Pun Bayu bangun dibantu oleh perawat pria. Dia meringis sembari menyeka darah pada ujung bibirnya. "Kemarin kita sudah bertemu, tapi aku belum sempat memperkenalkan diri. Aku Bayu Sasono, mantan kekasihnya Rahee." Ada seringaian kecil yang mengundang puing-puing amarah Sean. Beruntung para perawat bergerak menahan Sean. "Ah, satu lagi. Pukulanmu boleh juga. Dan aku pastikan, lain kali aku tidak akan menahan diri untuk balas menghajarmu."
---
Mobil Sean melaju tanpa arah. Usai memukuli Bayu sekaligus terkena tamparan Rahee, Sean persis merasakan sesuatu yang aneh. Sejak kapan Sean Ivano yang notabenenya adalah pria egois bisa peduli terhadap Rahee? Bukan urusan Sean jika Rahee tahu Bimo berniat bunuh diri. Dulu hanya Heredit Hera yang dapat meluluhkan rasa simpatinya. Lalu kenapa sekarang Rahee masuk ke dalam salah satu orang yang mampu mengusik sisi tersebut?"Brengsek! Brengsek!" maki Sean sambil memukul setir mobil.Dia berhenti di bahu jalan, lalu meneguk kaleng birnya. Selagi mencari jawaban dari hal yang mengganggunya, nama Aditya sang manajer muncul di layar ponsel."Sean! Apa-apaan ini?! Kau memukuli anak direktur rumah sakit?!" teriakan Aditya langsung terdengar."Siapa maksudmu?""Dokter Bayu Sasono. Ada artikel di internet yang memuat berita demikian, bahkan wajah Rahee yang diblurkan juga ikut terpampang," Aditya be
"Angkat dagumu lebih tinggi," ujar Sean sembari menarik ujung kuas di atas kanvas. Jemarinya berlari cekatan untuk membuat siluet terbaik. Ya, Sean sedang melukis sosok Rahee yang terlihat kikuk. Bagaimana tidak, gadis berwajah mungil itu hanya mengenakan selimut putih tipis dan berdiri di balkon kamar yang langsung menghadap ke kolam renang. Sementara Sean duduk disebuah kursi dengan posisi menyilangkan kaki, nampak fokus. "Sudah kubilang sembunyikan rambutmu di belakang telinga."Dahi Rahee mengernyit. Kapan Sean bilang demikian?Pria berpostur 185 cm ini bangkit, lalu menyentak tangan Rahee yang berupaya merapihkan rambut. Dirapihkanlah helaian anak rambut yang membuat pandangan Sean terganggu. Rahee pikir cukup sampai disitu, ternyata Sean mendekatkan wajahnya untuk memberikan kecupan singkat, "Kau memang bodoh dalam mematuhi perintahku."Segera Rahee usap bibirnya menggunakan punggung tangan. Bibir mereka tadi bertemu
Melakukan suatu hal baru untuk kali pertama tentu mendebarkan. Entah konteks yang dapat diartikan sebagai debaran menyenangkan ataupun buruk. Satu hal pasti, kali ini debaran menyenangkan tengah menyelimuti Rahee. Usai pemeriksaan imigrasi dan klaim bagasi yang menurutnya rumit, Rahee menatap kagum seisi Bandara Changi Singapura. Ini pertama kalinya dia berpergian ke luar negeri. Seumur hidup dia tidak pernah meninggalkan Indonesia, termasuk Bimo. Walau sangat berat bagi Rahee, Bimo memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Ah, anak itu memang selalu bertindak terlalu dewasa. "Kak! Ini baru 3 jam sejak kau pergi, dan kau sudah menghubungiku?" pekik Bimo disebrang sana. Rahee mengganti menjadi mode video call, lalu menunjukan sekelilingnya. Wajah Bimo seketika berbinar penuh takjub, "Wow, bagus sekali. Aku iri padamu." "Tidak boleh iri, karena aku akan membawamu kemari." "Bisakah?" gumam Bi
Sean menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya dalam satu helaan nafas. Risau perasaannya, membuat dia tekan ujung putung rokoknya yang masih panjang di atas asbak. Sean menatap tangan kanannya. Permukaan tangannya masih merah dan panas, tanda bahwa tamparan yang dia berikan pada Rahee tadi begitu keras. "Kenapa kau memandangi tanganmu seperti itu?" tanya Ezra, mendatangi Sean yang sejak tadi duduk di balkon kamar hotel seorang diri. "Oh, kau ingin bermasturbasi? Sebentar, ponselku sebentar lagi penuh." Iya, Ezra berada di kamar Sean untuk meminjam kabel charger. Bukannya membawa benda itu, Ezra justru langsung meng-charger ponselnya di kamar Sean. "Aku tidak level melakukan itu," balas Sean, lalu dia melihat ke arah dalam kaamrnya. Ada sosok Lucas dan Mark yang tengah melakukan live di I*******m. "Sejak kapan kalian berdua ada di sini?" "Kami menyelinap di belakan
Venue konser berada di sebuah stadion dengan kapasitas 20 ribu penonton. Hal yang menakjubkan adalah tiket konser HEXID di Singapura sold out. Riuh teriakan para penggemar terdengar hingga backstage, dan Rahee jelas bisa mendengar semua itu. Saat ini penyanyi lokal sedang bertugas sebagai pembuka, jadilah jelas waktu yang Rahee miliki tidak banyak. "Tenang, Rahee. Tenang," gumam Rahee pada dirinya sendiri. Dia gugup karena ini adalah pertama kalinya dia memiliki klien pria, dan yang lebih membuatnya gugup adalah pria itu Sean. Master-nya, bosnya, dan pria yang sangat Rahee benci. Itulah macam-macam julukan yang Rahee sematkan. Sementara Sean yang tengah hanya diam saja. Ya, Sean tidak bicara apa pun sejak keluar dari fitting room hingga kini. Rahee sungguh tidak mengerti dengan mood Sean. "Kau ingin model rambut seperti apa?" tanya Rahee. "Itu pekerjaanmu. Kenapa kau harus me
Rahee sedang berkirim pesan dengan Perawat Wendy. Jarak Rahee dan Bimo boleh saja berjauhan, tapi itu tidak membuat perhatiannya pada sang adik berkurang, justru dia kian memberikan perhatian lebih. Perawat Wendy bilang jika Dokter Bayu selalu ada untuk Bimo. Jeno juga sesekali datang ke rumah sakit. Ah, Rahee bersyukur Bimo dikelilingi oleh orang-orang baik. Setidaknya selama tur HEXID berlangsung, dia bisa sedikit tenang. "T-tidak. Menjauh dariku." Rahee mematikan ponselnya, lalu melirik ke arah ranjang. Sean ternyata tengah mengigau dalam tidurnya. Dengan ragu Rahee mendekat, dan yang dia heran adalah wajah Sean nampak ketakutan. Keringat disekitaran dahinya juga cukup banyak, seolah-olah pria itu dihantui oleh sesuatu hal menakutkan. Apa yang Sean mimpikan? "Pergi! Pergi!" Tangan Rahee terulur untuk membangunkan Sean, namun dia urungkan. 'Tugas'nya malam ini sudah selesai, dan dia hendak kembali ke
Rahee menarik kopernya keluar kamar dengan tergesa-gesa. Bus rombongan para staf sudah berangkat beberapa saat yang lalu, dan dia tidak punya pilihan selain menyusul sendirian. Setengah berlari, Rahee menuju ke lift sambil mencari taksi via online. Oh, sekilas ini memang nampak mudah, tapi ternyata cukup sulit. Masalahnya tak ada satupun taksi yang bersedia mengantarkannya ke bandara. Semua menolak pesanannya.Begitu tiba di lobi, Rahee mengembalikan kunci ke bagian respsionis. Tidak lupa dia turut bertanya, "Apa mudah menemukan taksi di sekitar hotel? Saya harus ke bandara sesegera mungkin.""Biasanya mudah, tapi ini sudah masuk jam sibuk. Jadi mungkin akan ada sedikit kendala," jawab si resepsionis kemudian mengambil handy talkie. "Security, bisa tolong carikan taksi menuju bandara untuk tamu hotel kita?""Baik, dimohon tunggu sebentar," jawab si security yang dapat terdengar oleh Rahe
Satu jam sebelumnya...Sean melangkahkan kaki pada turunan anak tangga. Dia memakai kembali kacamata hitamnya, kemudian berbalik memandangi bangunan mewah di belakangnya. Psikiater tolol, batin Sean murka. Sebelum menuju bandara, Sean sengaja membuat janji dengan seorang Dokter Psikiater. Psikiater ini memiliki nama besar, dan beberapa orang menyebutkan bahwa psikater yang baru dia datangi adalah yang terbaik di Singapura.Sean membuang ludah ke aspal jalan, tak setuju. Bisa-bisanya psikater tersebut bilang bahwa Hera, kekasihnya, tidak memiliki kesempatan untuk kembali normal. Di dalam tadi Sean melakukan video call bersama Dokter Willy –dokter yang bertanggungjawab mengawasi Hera. Dokter Willy menaruh ponsel secara diam-diam, lalu mulai berinteraksi dengan Hera. Sehingga Sean dan psikater dapat melihat segala sesuatu di lain tempat. Namun psikater justru membuat pernyataan yang menjadikan Sean marah."Dari
Sean pikir dirinya sinting. Sean pikir dirinya terkena guna-guna atau semacamnya. Apa pun sebutannya, dia masih tak percaya bahwa dirinya melemparkan stick drum ketika konser HEXID masih berlangsung. Mereka baru memainkan dua lagu, dan Sean beranjak hendak pergi."Aku akan absen untuk konser malam ini," jelas Sean pada Ezra yang sempat menahannya untuk kembali ke backstage."Apa kau gila?!" Ezra mendorong tubuh Sean. "Aku tidak peduli tentang masalahmu, tapi tolong tunjukan profesionalitasmu pada fans kita!"Venue konser di Malaysia memang dua kali lipat lebih besar daripada di Singapura, dan Sean bisa lihat itu. Beruntung, Mark dan Lucas sedang bercanda dengan para penggemar, sehingga keributan kecil antara Sean dan Ezra tak nampak.
Langit malam di Singapura indah. Bintang-bintang seperti berlomba muncul untuk menunjukan kecantikan mereka. Mungkin di Indonesia pun sama indahnya, hanya saja Rahee jarang memerhatikan. Sebelumnya, dia tak mempunyai kesempatan untuk menikmati keindahan sekitar. Untuk bernafas saja dia kesulitan, karena hidupnya hanya fokus pada kerja. Jadi, dia terkesan dengan pemandangan yang ada di hadapannya.Rambut Rahee yang masih basah tersapu sepoian angin. Hotel yang dia inapi tidak memiliki balkon, sehingga menempatkan bokong di pinggiran jendela adalah cara yang dia lakukan sekarang. Dia harus ekstra hati-hati, salah sedikit saja, dia bisa terjatuh dari lantai 5. Uh, memikirkan kemungkinan itu membuatnya spontan berdiri ngeri.Pun Rahee mulai melakukan peregangan kecil. Dari ujung kaki hingga ujung kepala dia gerakan. Sebelumnya Rahee sudah m
Ketagihan. Kata itu berputar di kepala Rahee selama dia menyantap semangkuk ramen. Aneh sekali. Kenapa Sean ketagihan dengan dirinya ketika ada ramen selezat ini? Rahee mengigit ujung sumpit, kemudian melirik diam-diam pada ramen Sean yang sama sekali tidak tersentuh. Dia menelan air liurnya karena ramen miliknya sudah lenyap tak bersisa. "Kau bisa makan punyaku jika mau," Sean menyodorkan mangkuk ramennya seakan-akan mempunyai kemampuan membaca pikiran. "Bolehkah?" tanya Rahee ragu. Sejak kemarin malam Rahee belum makan, dan kini perutnya seperti memerlukan porsi ekstra. "Hmm makanlah," kata Sean, membuat cengiran di wajah cantik Rahee terbentuk. Gadis itu menyeruput ramen milik Sean dengan semangat 45. Sementara Sean menompangkan dagu menggunakan tangannya, merasa senang mendapati Rahee mempunyai selera makan yang besar. Umumnya para gadis akan bersikap malu-malu, dan bahkan berpura-pura tid
Satu jam sebelumnya...Sean melangkahkan kaki pada turunan anak tangga. Dia memakai kembali kacamata hitamnya, kemudian berbalik memandangi bangunan mewah di belakangnya. Psikiater tolol, batin Sean murka. Sebelum menuju bandara, Sean sengaja membuat janji dengan seorang Dokter Psikiater. Psikiater ini memiliki nama besar, dan beberapa orang menyebutkan bahwa psikater yang baru dia datangi adalah yang terbaik di Singapura.Sean membuang ludah ke aspal jalan, tak setuju. Bisa-bisanya psikater tersebut bilang bahwa Hera, kekasihnya, tidak memiliki kesempatan untuk kembali normal. Di dalam tadi Sean melakukan video call bersama Dokter Willy –dokter yang bertanggungjawab mengawasi Hera. Dokter Willy menaruh ponsel secara diam-diam, lalu mulai berinteraksi dengan Hera. Sehingga Sean dan psikater dapat melihat segala sesuatu di lain tempat. Namun psikater justru membuat pernyataan yang menjadikan Sean marah."Dari
Rahee menarik kopernya keluar kamar dengan tergesa-gesa. Bus rombongan para staf sudah berangkat beberapa saat yang lalu, dan dia tidak punya pilihan selain menyusul sendirian. Setengah berlari, Rahee menuju ke lift sambil mencari taksi via online. Oh, sekilas ini memang nampak mudah, tapi ternyata cukup sulit. Masalahnya tak ada satupun taksi yang bersedia mengantarkannya ke bandara. Semua menolak pesanannya.Begitu tiba di lobi, Rahee mengembalikan kunci ke bagian respsionis. Tidak lupa dia turut bertanya, "Apa mudah menemukan taksi di sekitar hotel? Saya harus ke bandara sesegera mungkin.""Biasanya mudah, tapi ini sudah masuk jam sibuk. Jadi mungkin akan ada sedikit kendala," jawab si resepsionis kemudian mengambil handy talkie. "Security, bisa tolong carikan taksi menuju bandara untuk tamu hotel kita?""Baik, dimohon tunggu sebentar," jawab si security yang dapat terdengar oleh Rahe
Rahee sedang berkirim pesan dengan Perawat Wendy. Jarak Rahee dan Bimo boleh saja berjauhan, tapi itu tidak membuat perhatiannya pada sang adik berkurang, justru dia kian memberikan perhatian lebih. Perawat Wendy bilang jika Dokter Bayu selalu ada untuk Bimo. Jeno juga sesekali datang ke rumah sakit. Ah, Rahee bersyukur Bimo dikelilingi oleh orang-orang baik. Setidaknya selama tur HEXID berlangsung, dia bisa sedikit tenang. "T-tidak. Menjauh dariku." Rahee mematikan ponselnya, lalu melirik ke arah ranjang. Sean ternyata tengah mengigau dalam tidurnya. Dengan ragu Rahee mendekat, dan yang dia heran adalah wajah Sean nampak ketakutan. Keringat disekitaran dahinya juga cukup banyak, seolah-olah pria itu dihantui oleh sesuatu hal menakutkan. Apa yang Sean mimpikan? "Pergi! Pergi!" Tangan Rahee terulur untuk membangunkan Sean, namun dia urungkan. 'Tugas'nya malam ini sudah selesai, dan dia hendak kembali ke
Venue konser berada di sebuah stadion dengan kapasitas 20 ribu penonton. Hal yang menakjubkan adalah tiket konser HEXID di Singapura sold out. Riuh teriakan para penggemar terdengar hingga backstage, dan Rahee jelas bisa mendengar semua itu. Saat ini penyanyi lokal sedang bertugas sebagai pembuka, jadilah jelas waktu yang Rahee miliki tidak banyak. "Tenang, Rahee. Tenang," gumam Rahee pada dirinya sendiri. Dia gugup karena ini adalah pertama kalinya dia memiliki klien pria, dan yang lebih membuatnya gugup adalah pria itu Sean. Master-nya, bosnya, dan pria yang sangat Rahee benci. Itulah macam-macam julukan yang Rahee sematkan. Sementara Sean yang tengah hanya diam saja. Ya, Sean tidak bicara apa pun sejak keluar dari fitting room hingga kini. Rahee sungguh tidak mengerti dengan mood Sean. "Kau ingin model rambut seperti apa?" tanya Rahee. "Itu pekerjaanmu. Kenapa kau harus me
Sean menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya dalam satu helaan nafas. Risau perasaannya, membuat dia tekan ujung putung rokoknya yang masih panjang di atas asbak. Sean menatap tangan kanannya. Permukaan tangannya masih merah dan panas, tanda bahwa tamparan yang dia berikan pada Rahee tadi begitu keras. "Kenapa kau memandangi tanganmu seperti itu?" tanya Ezra, mendatangi Sean yang sejak tadi duduk di balkon kamar hotel seorang diri. "Oh, kau ingin bermasturbasi? Sebentar, ponselku sebentar lagi penuh." Iya, Ezra berada di kamar Sean untuk meminjam kabel charger. Bukannya membawa benda itu, Ezra justru langsung meng-charger ponselnya di kamar Sean. "Aku tidak level melakukan itu," balas Sean, lalu dia melihat ke arah dalam kaamrnya. Ada sosok Lucas dan Mark yang tengah melakukan live di I*******m. "Sejak kapan kalian berdua ada di sini?" "Kami menyelinap di belakan
Melakukan suatu hal baru untuk kali pertama tentu mendebarkan. Entah konteks yang dapat diartikan sebagai debaran menyenangkan ataupun buruk. Satu hal pasti, kali ini debaran menyenangkan tengah menyelimuti Rahee. Usai pemeriksaan imigrasi dan klaim bagasi yang menurutnya rumit, Rahee menatap kagum seisi Bandara Changi Singapura. Ini pertama kalinya dia berpergian ke luar negeri. Seumur hidup dia tidak pernah meninggalkan Indonesia, termasuk Bimo. Walau sangat berat bagi Rahee, Bimo memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Ah, anak itu memang selalu bertindak terlalu dewasa. "Kak! Ini baru 3 jam sejak kau pergi, dan kau sudah menghubungiku?" pekik Bimo disebrang sana. Rahee mengganti menjadi mode video call, lalu menunjukan sekelilingnya. Wajah Bimo seketika berbinar penuh takjub, "Wow, bagus sekali. Aku iri padamu." "Tidak boleh iri, karena aku akan membawamu kemari." "Bisakah?" gumam Bi