"Apa ini?! Kau sinting?!" teriak Sean usai membaca sekilas kertas pemberian Rahee.
Di sana Rahee menuliskan syarat-syaratnya sendiri, semacam hal kontra terhadap kontrak yang Sean buat secara sepihak. Dimulai dari dilarang mencampuri kehidupan pribadi masing-masing, batasan seks mereka, hingga tertera jumlah uang yang Rahee inginkan. Apabila mustahil lepas dari Sean, maka dia akan masuk dalam lingkar permainan itu. Rahee akan buktikan bahwa dia bisa sama gilanya dengan seorang Sean Ivano.
Salah satu alasan Rahee berani menunjukan taringnya adalah karena kejadian kemarin. Selepas mereka berciuman di depan Bayu, Sean langsung membawanya pergi. Dan begitu tiba di rumah, Sean menyetubuhi Rahee secara menggila. Jadi, Rahee putuskan membangun tameng agar kewarasannya tetap terjaga.
"Kau bisa baca juga bahwa aku ingin kau melakukan test kesehatan. Siapa yang tahu mungkin kau memiliki penyakit kelamin," ejek Rahee diiring tertawa getir.
Diremaslah kertas tersebut sebelum dilemparkan pada wajah cantik itu, "Kau wanita sialan!"
Rahee yang masih mengenakan selimut guna menutupi tubuh polosnya, langsung mengepalkan tangan kesal. Sementara Sean pagi ini sudah rapih entah akan pergi kemana. Rahee tidak tahu dan tidak mau tahu.
"Dan wanita sialan ini mempunyai kehidupannya sendiri. Aku tidak mau mati sia-sia karena kau."
"Kau semakin kurang ajar. Padahal aku sudah melakukan banyak hal untukmu," Sean menyentak rambut Rahee, membuat gadis itu mendongak lebih atas. "Asal kau tahu jika bukan karenaku, kau pasti sekarang sedang menangisi kematian adikmu."
Plak!
Rahee dengan segenap tenaga yang dia miliki langsung menampar pipi kanan Sean, sangat keras, sampai-sampai telapak tangannya panas dan sakit. Dari semua kalimat tajam yang pernah Sean lontarkan, barusan adalah sesuatu yang tidak bisa dia ditolerir lagi. Siapa Sean hingga berhak membahas kematian Bimo?!
"Sialan kau, Angelia Rahee!" pekik Sean marah.
"Kau yang akan terlebih dulu mati, bajingan! Kau!"
Histeris teriakan Rahee semakin menjadi saat Sean menyeret rambutnya dengan paksa. Wajah Rahee terbenam di atas ranjang, sementara kakinya berada di lantai. Seolah tidak ada puasnya, Sean pun meloloskan celananya dan kembali bermain bersama Rahee. Demi Tuhan, seluruh tubuh Rahee masih sakit, tapi Sean kian kuat menekan punggungnya, hingga tak ada yang dapat dia lakukan selain menjerit.
"B-bimo akan tetap hidup," lirih Rahee dengan pandangan kosong. "Bimo tidak boleh mati."
Seks mereka berlangsung cepat. Sean sebatas melampiaskan kekesalannya sebab Rahee dirasa semakin kurang ajar. Setelahnya Sean pun menggendong Rahee ke atas ranjang, kemudian mengikat kedua tangan kurus itu pada sisi ranjang. Tak berhenti di sana, Sean juga menyumpal mulut Rahee dengan sebuah celana dalam.
Rahee benar-benar membenci hidupnya.
"Saat aku pulang, sebaiknya kau sudah menyadari apa kesalahanmu."
----
Sean adalah musisi terkenal. Topi dan masker merupakan dua benda penting ketika dirinya pergi agar identitasnya selalu aman, termasuk saat dia mengunjungi sebuah rumah sakit jiwa. Ada rasa bersalah ketika Sean menginjakan kaki di tempat ini. Beberapa waktu terakhir dia lupa dengan sosok Heredith Hera, kekasihnya. Semenjak kehadiran gadis bernama Angelia Rahee, pikiran Sean benar-benar tertuju pada gadis itu saja.
"Hera menolak makan sejak kemarin. Maafkan aku sampai harus memintamu datang."
Dokter Willy, 50 tahun, berbicara demikian sebelum meninggalkan Sean di taman belakang rumah sakit. Ya, tepat ketika Sean sedang memandangi wajah pulas Rahee, Dokter Willy menghubunginya. Kini Sean menatap lurus pada punggung familiar dari wanita yang dicintainya. Heredith Hera sedang duduk membelakanginya disebuah kursi taman.
"Kau kemari?" sapa Hera saat sadar seseorang mengambil tempat di sisinya.
"Iya, aku merindukanmu," balas Sean, tersenyum. Senyum Sean selama satu tahun tak pernah berbalas sebab wajah Hera selalu datar tanpa ekspresi. Padahal dulu gadis ini adalah gadis penuh semangat dan periang. Menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah Hera, Sean kembali berucap, "Kenapa kau tidak mau makan sejak kemarin? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?"
Penuh kasih dan kelembutan adalah sikap yang Sean tunjukan pada Hera seorang. Berbanding terbalik dengan perlakuan Sean kepada Hera.
"Aku sedang sedih," tutur Hera terisak.
"Kenapa? Ceritakan padaku."
Gadis berusia 24 tahun itu menunduk pada benda yang ada di pangkuannya. Boneka usang berbentuk bayi perempuan. Dibelailah lembut boneka itu seolah-olah itu adalah makhluk hidup. Memang, sudah satu tahun terakhir Hera sengaja diberikan sebuah benda sebagai penyalur rasa sedih akibat keguguran. Kehilangan mendalam membuat Hera stres berat.
"Clara demam tinggi. Bagaimana bisa aku sebagai ibunya memiliki nafsu makan ketika anakku sedang sakit?"
"Clara akan sembuh jika kau bersedia makan," ujar Sean.
Ah, Clara adalah nama yang diberikan Hera untuk boneka tersebut.
"Begitukah? Clara akan sembuh jika aku makan?"
Anggukan kepala diberikan Sean, "Aku akan menghubungi Dokter Willy untuk mempersiapkan sarapanmu."
Begitu Sean akan mengeluarkan ponselnya, tangan Hera terlebih dahulu bergerak guna menahan, "Kenapa? Kenapa kau selalu peduli? Bukankah aku sudah bilang agar kau belajar melepaskanku?"
Sean terdiam cukup lama. Berkali-kali sudah Hera meminta hal yang sama. Hera ingin Sean melepaskannya, tapi Sean tak pernah mau, "Apa maksudmu, sayang?"
"Jangan panggil aku demikian, Sean. Aku adalah perempuan iblis. Aku jahat," kata Hera dengan pandangan lurus ke depan. "Bagaimana jika kau melewatkan perempuan baik hanya karena kau bertahan di sisiku?"
"Hanya kau yang ku ingingkan, Hera. Berapa kali lagi harus ku katakan supaya kau percaya?" Sean pun menggenggam tangan Hera erat
"Sebenarnya apa yang kau harapkan dariku? Aku... sudah mengkhianatimu," kata Hera, membuat Sean kembali teringat bagaimana hatinya sempat terluka. Padahal Sean sudah lupakan semua. Pengkhianatan Hera. Rasa kecewanya. Namun Hera seperti sengaja membahas kembali masalah yang sama. "Dosaku begitu besar..."
Hera dulu berselingkuh hingga hamil oleh pria lain, dan berakhir dengan keguguran. Bahkan setelah perselingkuhan itu, Sean masih mau menerima kembali Hera. Hera bukan sekedar sosok cinta pertama bagi Sean. Mereka sudah mengenal sejak usia 10 tahun. Mereka dulu sempat berada di posisi yang sama, hingga secara tidak sadar mereka terikat hingga dewasa. Sebesar itulah arti Heredith Hera bagi hidup Sean Ivano.
Lalu, bagaimana dengan Rahee?
Sean tak mau membahayakan karirnya apabila bermain dengan banyak wanita. Rahee dia pakai untuk menyalurkan kelainan hiperseksnya. Sean harus akui, biasanya dia mudah bosan, namun dengan Rahee dia selalu ingin lagi dan lagi. Jadi, mereka sebatas partner seks saja, tidak lebih. Cintanya tetap utuh untuk Hera seorang.
"Kau harus kembali ke dalam. Udara semakin dingin, dan itu tidak bagus untukmu." ujar Sean, mengalihkan topik pembicaraan.
"Tak apa, Sean. Clara suka di sini. Di kamar begitu pengap."
Hera memandangi lurus kolam air mancur di depan mereka. Sementara Sean dibuat betah menatap wajah cantik sang kekasih. Sekalipun Hera hanya mengenakan piyama rumah sakit, Sean selalu terpesona. Dia berjanji akan membuat Hera sembuh agar mereka bisa kembali bersama seperti dulu.
Di lain tempat Rahee berusaha melepaskan ikatan tangannya. Rahee merasa dia lebih rendah daripada pelacur. Fisik dan batinnya sengaja dibuat hancur, seolah-olah Sean ingin dirinya mati secara perlahan. Gerakan Rahee melemah seiring kepalanya berputar pening. Matanya semakin lama semakin berat. Tidak lama kemudian, dia berhenti mencoba membuka ikatan karena kesadarannya yang semakin menipis.
Ya, Rahee pingsan.
Pandangan Sean terkunci pada Rahee. Kelopak mata Rahee terpejam dengan tali infus yang terpasangan pada bagian lengan kiri. Usai menemui Hera di rumah sakit jiwa, Sean pulang dan menemukan gadis tersebut pingsan. Kondisinya masih sama, kedua tangan kurus Rahee masih terikat pada sisi ranjang, dan juga mulut kecil itu masih tersumpal oleh celana dalam.Sean merasa bersalah."Dia dehidarasi, dan kewanitaannya agak lecet," tutur seorang dokter wanita, lalu menuliskan resep obat. "Kau tidak perlu khawatir, Sean. Paling lambat dia akan sadar malam nanti."Sayangnya hanya sepersekian detik perasaan bersalah itu hadir. Pandangannya yang semula lunak kembali mengeras. Khawatir? Tidak, seorang Sean Ivano tak pernah menunjukan sisi khawatir selain kepada Hera. Terlebih lagi Rahee hanya wanita murahan."Khawatir? Tidak sama sekali," ketus Sean, memutarkan bola matanya. Beranjak dari posisinya yang semula berdiri di p
Tiga hari berlalu. Keadaan tidak berubah lebih baik, justru semakin buruk. Sean melarangnya pergi dari rumah mewah miliknya. Rahee sudah coba buat penawaran, termasuk membatalkan semua hal kontra yang sempat membuat Sean marah besar. Asalkan dia tetap bisa bertemu Bimo, akan dirinya lakukan. "Bimo hanya memilik aku. Aku mohon, biarkan aku menemui adikku," pinta Rahee saat Sean baru selesai berlari di atas treadmil. Sambil menyeka keringatnya, Sean minum air mineral dengan mengacuhkan Rahee. Jujur saja, Sean tak suka saat Rahee bertelepon ria dengan seorang pria di malam itu. Sekalipun hanya teman dari almarhum kakaknya Rahee, Sean tetap saja benci. Apalagi dia juga cukup muak dengan dokter bernama Bayu Sasono. Kentara sekali bahwa dokter sialan itu menyukai Rahee. "Sean... aku mohon dengan sangat," kini suara Rahee kian melemah. "Aku sudah memberikan perawat
Diam-diam Bimo keluar dari kamar. Tanpa menggunakan jaket ataupun alas kaki, anak berusia 10 tahun tersebut dengan tertatih berusaha tak membuat suara sedikit pun. Pasalnya Rahee tengah terlelap, dan dia tak mau kakaknya sampai terbangun. Kasihan. Biarkan Rahee bermimpi indah walaupun hanya sebatas bunga tidur. Karena kenyataannya, dirinyalah penyebab Rahee menjadi kesusahan. Bimo adalah mimpi buruk Rahee.Para dokter dan perawat tidak sadar dengan keberadaannya. Bimo bersembunyi setiap kali mereka berada di koridor. Hingga Bimo akhirnya berhasil menaiki atap rumah sakit tanpa diketahui oleh siapa-siapa.Angin malam berhembus kencang disertai rintik hujan. Langkah kecil Bimo sampai pada ujung atap. Keramaian Kota Jakarta sangat pengap, sekalipun sudah larut kota ini selalu terjaga. Oh, kenapa kota ini tidak mati saja? Bukankah keadaan nantinya akan jauh lebih damai? Ya, sama dengan dirinya. Jika dirinya mati, pasti hidup Rahee menjadi tent
Mobil Sean melaju tanpa arah. Usai memukuli Bayu sekaligus terkena tamparan Rahee, Sean persis merasakan sesuatu yang aneh. Sejak kapan Sean Ivano yang notabenenya adalah pria egois bisa peduli terhadap Rahee? Bukan urusan Sean jika Rahee tahu Bimo berniat bunuh diri. Dulu hanya Heredit Hera yang dapat meluluhkan rasa simpatinya. Lalu kenapa sekarang Rahee masuk ke dalam salah satu orang yang mampu mengusik sisi tersebut?"Brengsek! Brengsek!" maki Sean sambil memukul setir mobil.Dia berhenti di bahu jalan, lalu meneguk kaleng birnya. Selagi mencari jawaban dari hal yang mengganggunya, nama Aditya sang manajer muncul di layar ponsel."Sean! Apa-apaan ini?! Kau memukuli anak direktur rumah sakit?!" teriakan Aditya langsung terdengar."Siapa maksudmu?""Dokter Bayu Sasono. Ada artikel di internet yang memuat berita demikian, bahkan wajah Rahee yang diblurkan juga ikut terpampang," Aditya be
"Angkat dagumu lebih tinggi," ujar Sean sembari menarik ujung kuas di atas kanvas. Jemarinya berlari cekatan untuk membuat siluet terbaik. Ya, Sean sedang melukis sosok Rahee yang terlihat kikuk. Bagaimana tidak, gadis berwajah mungil itu hanya mengenakan selimut putih tipis dan berdiri di balkon kamar yang langsung menghadap ke kolam renang. Sementara Sean duduk disebuah kursi dengan posisi menyilangkan kaki, nampak fokus. "Sudah kubilang sembunyikan rambutmu di belakang telinga."Dahi Rahee mengernyit. Kapan Sean bilang demikian?Pria berpostur 185 cm ini bangkit, lalu menyentak tangan Rahee yang berupaya merapihkan rambut. Dirapihkanlah helaian anak rambut yang membuat pandangan Sean terganggu. Rahee pikir cukup sampai disitu, ternyata Sean mendekatkan wajahnya untuk memberikan kecupan singkat, "Kau memang bodoh dalam mematuhi perintahku."Segera Rahee usap bibirnya menggunakan punggung tangan. Bibir mereka tadi bertemu
Melakukan suatu hal baru untuk kali pertama tentu mendebarkan. Entah konteks yang dapat diartikan sebagai debaran menyenangkan ataupun buruk. Satu hal pasti, kali ini debaran menyenangkan tengah menyelimuti Rahee. Usai pemeriksaan imigrasi dan klaim bagasi yang menurutnya rumit, Rahee menatap kagum seisi Bandara Changi Singapura. Ini pertama kalinya dia berpergian ke luar negeri. Seumur hidup dia tidak pernah meninggalkan Indonesia, termasuk Bimo. Walau sangat berat bagi Rahee, Bimo memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Ah, anak itu memang selalu bertindak terlalu dewasa. "Kak! Ini baru 3 jam sejak kau pergi, dan kau sudah menghubungiku?" pekik Bimo disebrang sana. Rahee mengganti menjadi mode video call, lalu menunjukan sekelilingnya. Wajah Bimo seketika berbinar penuh takjub, "Wow, bagus sekali. Aku iri padamu." "Tidak boleh iri, karena aku akan membawamu kemari." "Bisakah?" gumam Bi
Sean menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya dalam satu helaan nafas. Risau perasaannya, membuat dia tekan ujung putung rokoknya yang masih panjang di atas asbak. Sean menatap tangan kanannya. Permukaan tangannya masih merah dan panas, tanda bahwa tamparan yang dia berikan pada Rahee tadi begitu keras. "Kenapa kau memandangi tanganmu seperti itu?" tanya Ezra, mendatangi Sean yang sejak tadi duduk di balkon kamar hotel seorang diri. "Oh, kau ingin bermasturbasi? Sebentar, ponselku sebentar lagi penuh." Iya, Ezra berada di kamar Sean untuk meminjam kabel charger. Bukannya membawa benda itu, Ezra justru langsung meng-charger ponselnya di kamar Sean. "Aku tidak level melakukan itu," balas Sean, lalu dia melihat ke arah dalam kaamrnya. Ada sosok Lucas dan Mark yang tengah melakukan live di I*******m. "Sejak kapan kalian berdua ada di sini?" "Kami menyelinap di belakan
Venue konser berada di sebuah stadion dengan kapasitas 20 ribu penonton. Hal yang menakjubkan adalah tiket konser HEXID di Singapura sold out. Riuh teriakan para penggemar terdengar hingga backstage, dan Rahee jelas bisa mendengar semua itu. Saat ini penyanyi lokal sedang bertugas sebagai pembuka, jadilah jelas waktu yang Rahee miliki tidak banyak. "Tenang, Rahee. Tenang," gumam Rahee pada dirinya sendiri. Dia gugup karena ini adalah pertama kalinya dia memiliki klien pria, dan yang lebih membuatnya gugup adalah pria itu Sean. Master-nya, bosnya, dan pria yang sangat Rahee benci. Itulah macam-macam julukan yang Rahee sematkan. Sementara Sean yang tengah hanya diam saja. Ya, Sean tidak bicara apa pun sejak keluar dari fitting room hingga kini. Rahee sungguh tidak mengerti dengan mood Sean. "Kau ingin model rambut seperti apa?" tanya Rahee. "Itu pekerjaanmu. Kenapa kau harus me
Sean pikir dirinya sinting. Sean pikir dirinya terkena guna-guna atau semacamnya. Apa pun sebutannya, dia masih tak percaya bahwa dirinya melemparkan stick drum ketika konser HEXID masih berlangsung. Mereka baru memainkan dua lagu, dan Sean beranjak hendak pergi."Aku akan absen untuk konser malam ini," jelas Sean pada Ezra yang sempat menahannya untuk kembali ke backstage."Apa kau gila?!" Ezra mendorong tubuh Sean. "Aku tidak peduli tentang masalahmu, tapi tolong tunjukan profesionalitasmu pada fans kita!"Venue konser di Malaysia memang dua kali lipat lebih besar daripada di Singapura, dan Sean bisa lihat itu. Beruntung, Mark dan Lucas sedang bercanda dengan para penggemar, sehingga keributan kecil antara Sean dan Ezra tak nampak.
Langit malam di Singapura indah. Bintang-bintang seperti berlomba muncul untuk menunjukan kecantikan mereka. Mungkin di Indonesia pun sama indahnya, hanya saja Rahee jarang memerhatikan. Sebelumnya, dia tak mempunyai kesempatan untuk menikmati keindahan sekitar. Untuk bernafas saja dia kesulitan, karena hidupnya hanya fokus pada kerja. Jadi, dia terkesan dengan pemandangan yang ada di hadapannya.Rambut Rahee yang masih basah tersapu sepoian angin. Hotel yang dia inapi tidak memiliki balkon, sehingga menempatkan bokong di pinggiran jendela adalah cara yang dia lakukan sekarang. Dia harus ekstra hati-hati, salah sedikit saja, dia bisa terjatuh dari lantai 5. Uh, memikirkan kemungkinan itu membuatnya spontan berdiri ngeri.Pun Rahee mulai melakukan peregangan kecil. Dari ujung kaki hingga ujung kepala dia gerakan. Sebelumnya Rahee sudah m
Ketagihan. Kata itu berputar di kepala Rahee selama dia menyantap semangkuk ramen. Aneh sekali. Kenapa Sean ketagihan dengan dirinya ketika ada ramen selezat ini? Rahee mengigit ujung sumpit, kemudian melirik diam-diam pada ramen Sean yang sama sekali tidak tersentuh. Dia menelan air liurnya karena ramen miliknya sudah lenyap tak bersisa. "Kau bisa makan punyaku jika mau," Sean menyodorkan mangkuk ramennya seakan-akan mempunyai kemampuan membaca pikiran. "Bolehkah?" tanya Rahee ragu. Sejak kemarin malam Rahee belum makan, dan kini perutnya seperti memerlukan porsi ekstra. "Hmm makanlah," kata Sean, membuat cengiran di wajah cantik Rahee terbentuk. Gadis itu menyeruput ramen milik Sean dengan semangat 45. Sementara Sean menompangkan dagu menggunakan tangannya, merasa senang mendapati Rahee mempunyai selera makan yang besar. Umumnya para gadis akan bersikap malu-malu, dan bahkan berpura-pura tid
Satu jam sebelumnya...Sean melangkahkan kaki pada turunan anak tangga. Dia memakai kembali kacamata hitamnya, kemudian berbalik memandangi bangunan mewah di belakangnya. Psikiater tolol, batin Sean murka. Sebelum menuju bandara, Sean sengaja membuat janji dengan seorang Dokter Psikiater. Psikiater ini memiliki nama besar, dan beberapa orang menyebutkan bahwa psikater yang baru dia datangi adalah yang terbaik di Singapura.Sean membuang ludah ke aspal jalan, tak setuju. Bisa-bisanya psikater tersebut bilang bahwa Hera, kekasihnya, tidak memiliki kesempatan untuk kembali normal. Di dalam tadi Sean melakukan video call bersama Dokter Willy –dokter yang bertanggungjawab mengawasi Hera. Dokter Willy menaruh ponsel secara diam-diam, lalu mulai berinteraksi dengan Hera. Sehingga Sean dan psikater dapat melihat segala sesuatu di lain tempat. Namun psikater justru membuat pernyataan yang menjadikan Sean marah."Dari
Rahee menarik kopernya keluar kamar dengan tergesa-gesa. Bus rombongan para staf sudah berangkat beberapa saat yang lalu, dan dia tidak punya pilihan selain menyusul sendirian. Setengah berlari, Rahee menuju ke lift sambil mencari taksi via online. Oh, sekilas ini memang nampak mudah, tapi ternyata cukup sulit. Masalahnya tak ada satupun taksi yang bersedia mengantarkannya ke bandara. Semua menolak pesanannya.Begitu tiba di lobi, Rahee mengembalikan kunci ke bagian respsionis. Tidak lupa dia turut bertanya, "Apa mudah menemukan taksi di sekitar hotel? Saya harus ke bandara sesegera mungkin.""Biasanya mudah, tapi ini sudah masuk jam sibuk. Jadi mungkin akan ada sedikit kendala," jawab si resepsionis kemudian mengambil handy talkie. "Security, bisa tolong carikan taksi menuju bandara untuk tamu hotel kita?""Baik, dimohon tunggu sebentar," jawab si security yang dapat terdengar oleh Rahe
Rahee sedang berkirim pesan dengan Perawat Wendy. Jarak Rahee dan Bimo boleh saja berjauhan, tapi itu tidak membuat perhatiannya pada sang adik berkurang, justru dia kian memberikan perhatian lebih. Perawat Wendy bilang jika Dokter Bayu selalu ada untuk Bimo. Jeno juga sesekali datang ke rumah sakit. Ah, Rahee bersyukur Bimo dikelilingi oleh orang-orang baik. Setidaknya selama tur HEXID berlangsung, dia bisa sedikit tenang. "T-tidak. Menjauh dariku." Rahee mematikan ponselnya, lalu melirik ke arah ranjang. Sean ternyata tengah mengigau dalam tidurnya. Dengan ragu Rahee mendekat, dan yang dia heran adalah wajah Sean nampak ketakutan. Keringat disekitaran dahinya juga cukup banyak, seolah-olah pria itu dihantui oleh sesuatu hal menakutkan. Apa yang Sean mimpikan? "Pergi! Pergi!" Tangan Rahee terulur untuk membangunkan Sean, namun dia urungkan. 'Tugas'nya malam ini sudah selesai, dan dia hendak kembali ke
Venue konser berada di sebuah stadion dengan kapasitas 20 ribu penonton. Hal yang menakjubkan adalah tiket konser HEXID di Singapura sold out. Riuh teriakan para penggemar terdengar hingga backstage, dan Rahee jelas bisa mendengar semua itu. Saat ini penyanyi lokal sedang bertugas sebagai pembuka, jadilah jelas waktu yang Rahee miliki tidak banyak. "Tenang, Rahee. Tenang," gumam Rahee pada dirinya sendiri. Dia gugup karena ini adalah pertama kalinya dia memiliki klien pria, dan yang lebih membuatnya gugup adalah pria itu Sean. Master-nya, bosnya, dan pria yang sangat Rahee benci. Itulah macam-macam julukan yang Rahee sematkan. Sementara Sean yang tengah hanya diam saja. Ya, Sean tidak bicara apa pun sejak keluar dari fitting room hingga kini. Rahee sungguh tidak mengerti dengan mood Sean. "Kau ingin model rambut seperti apa?" tanya Rahee. "Itu pekerjaanmu. Kenapa kau harus me
Sean menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya dalam satu helaan nafas. Risau perasaannya, membuat dia tekan ujung putung rokoknya yang masih panjang di atas asbak. Sean menatap tangan kanannya. Permukaan tangannya masih merah dan panas, tanda bahwa tamparan yang dia berikan pada Rahee tadi begitu keras. "Kenapa kau memandangi tanganmu seperti itu?" tanya Ezra, mendatangi Sean yang sejak tadi duduk di balkon kamar hotel seorang diri. "Oh, kau ingin bermasturbasi? Sebentar, ponselku sebentar lagi penuh." Iya, Ezra berada di kamar Sean untuk meminjam kabel charger. Bukannya membawa benda itu, Ezra justru langsung meng-charger ponselnya di kamar Sean. "Aku tidak level melakukan itu," balas Sean, lalu dia melihat ke arah dalam kaamrnya. Ada sosok Lucas dan Mark yang tengah melakukan live di I*******m. "Sejak kapan kalian berdua ada di sini?" "Kami menyelinap di belakan
Melakukan suatu hal baru untuk kali pertama tentu mendebarkan. Entah konteks yang dapat diartikan sebagai debaran menyenangkan ataupun buruk. Satu hal pasti, kali ini debaran menyenangkan tengah menyelimuti Rahee. Usai pemeriksaan imigrasi dan klaim bagasi yang menurutnya rumit, Rahee menatap kagum seisi Bandara Changi Singapura. Ini pertama kalinya dia berpergian ke luar negeri. Seumur hidup dia tidak pernah meninggalkan Indonesia, termasuk Bimo. Walau sangat berat bagi Rahee, Bimo memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Ah, anak itu memang selalu bertindak terlalu dewasa. "Kak! Ini baru 3 jam sejak kau pergi, dan kau sudah menghubungiku?" pekik Bimo disebrang sana. Rahee mengganti menjadi mode video call, lalu menunjukan sekelilingnya. Wajah Bimo seketika berbinar penuh takjub, "Wow, bagus sekali. Aku iri padamu." "Tidak boleh iri, karena aku akan membawamu kemari." "Bisakah?" gumam Bi