Dengan langkah panik Rahee berlari menuju lantai kamar inap Bimo. Pikirannya benar-benar berantakan. Bahkan dia hanya menangis selama perjalanan dari gedung agensi Sean hingga tiba di rumah sakit. Sementara Sean masih coba terus menghubunginya, namun Rahee lebih memilih mematikan ponselnya. Dia tak punya cukup tenaga untuk meladeni amarah pria itu.
Pun di depan kamar Bimo, Rahee menemukan Bibi Miran dan Paman Dio. Keduanya terduduk di kursi sambil terlihat berdoa.
"Bibi Miran, bagaimana kondisi Bimo?"
"Perawat bilang Bimo sempat kejang. Kita harus menunggu di sini karena dokter masih berada di dalam," jawaban Bibi Miran membuat Rahee kembali terisak. Dadanya sesak memikirkan bahwa Bimo harus mengalami rasa sakit yang seakan tak pernah berakhir. Adiknya masih terlalu kecil. Kenapa bukan dia saja yang menanggung penyakit mengerikan itu?
"Apa Bimo akan baik-baik saja, bi?" tanya Rahee dengan gamang.
"Kau bicara apa, sayang? Bimo adalah anak yang kuat untuk seusianya. Sangat kuat. Kau tidak perlu khawatir."
Rahee mengangguk keras-keras, berusaha menghilangkan pemikiran buruk. Benar apa yang Sean ucapkan jika dirinya memang memiliki terlalu banyak ketakutan. Tapi, Sean tahu apa? Rahee trauma usai kehilangan ayah, ibu, serta kakaknya. Dia tak mau hal yang sama kembali terjadi.
"Tenangkan dirimu, nak. Lebih baik kita berdoa untuk Bimo," pinta Paman Dio.
Selang beberapa waktu pintu kamar Bimo terbuka. Seorang dokter pria muncul bersama dua orang perawat di belakangnya.
"Dok, bagaimana keadaan adik saya?" Rahee setengah berlari, menghampiri.
Dokter tersebut melepaskan stetoskop yang melingkar di lehernya, lalu memasukannya ke dalam saku jas putih khas dokter. Entah karena alasan apa, dipandangilah Rahee selama beberapa detik, barulah dia bicara, "Bimo sudah melewati masa kritisnya. Sekarang kondisinya sudah normal dan dia baru saja tertidur."
Rahee menghela nafas lega hingga kedua kakinya lemas. Beruntung, dokter di hadapan Rahee sigap menahan tubuh kurus itu agar tidak ambruk.
"Terima kasih," ujar Rahee, lalu dia memeluk Bibi Miran dan Paman Dio erat. Berikutnya Rahee kembali melayangkan pertanyaan untuk menjawab rasa penasarannya, "Apa yang sebenarnya terjadi, dok? Kenapa kondisi Bimo bisa tiba-tiba memburuk?"
"Bimo sempat mengalami kejang dan kondisinya memang menurun sejak dua jam lalu. Sebaiknya Bimo melakukan kemoterapi lagi minggu ini."
Rahee menelan ludah. Tidak, dia belum siap. Maksudnya, dia belum mengumpulkan cukup banyak uang. Bimo sebelumnya sudah melakukan tiga kali kemoterapi dan saat itu Rahee masih memiliki tabungan. Namun untuk sekarang sudah tak bersisa.
"Apa harus minggu ini?" tanya Rahee balik.
"Ya, lebih cepat lebih baik. Jika ditunda, dikahwatirkan apa yang terjadi hari ini akan terulang."
Rahee lebih dari sekedar tahu, tapi bagaimana bisa dia akan membayar di saat dia sudah kehilangan semua pekerjaannya?
"Baik, terima kasih," kata Rahee.
Dokter mengatakan bahwa hanya satu orang yang dapat menemui Bimo. Pun Rahee masuk ke dalam kamar Bimo, sementara Bibi Miran dan Paman Dio kembali ke kamar mereka setelah diperingatkan oleh dokter untuk tidak banyak bergerak. Begitu membuka pintu, Rahee menemukan adiknya sedang tertidur pulas. Diletakkanlah tas beserta high heelsnya yang sedari tadi dia tenteng. Ya, Rahee sekalut itu sampai-sampai dia melepaskan alas kakinya.
Tanpa membuat suara, Rahee duduk di kursi dekat ranjang, kemudian memerhatikan lekat Bimo. Rambut adiknya sudah cukup tipis dan nyaris habis. Jika Bimo kembali melakukan kemoterapi, bukan suatu hal yang mustahil adiknya akan kehilangan seluruh rambutnya. Namun lebih dari itu, darimana Rahee bisa mencari uang dalam waktu singkat?
Tiba-tiba dia kembali teringat Sean.
Apakah Rahee harus meminta uang dari Sean karena dirinya terlanjur mencap kontrak sialan itu?
Oh, Rahee pasti sudah gila!
"Kak?" panggil Bimo lemah.
Rahee mengerjap lantaran adiknya terbangun, "Bagaimana perasaanmu? Apa ada yang sakit? Mau aku panggilkan dokter?"
Bimo menggeleng pelan terhadap pertanyaan beruntun itu, "Kenapa kau di sini? Tidak bekerja?"
"Kau senang sekali memperingatkanku untuk bekerja. Aku di sini karena merindukanmu tentu saja," ujar Rahee, mengusap pipi sang adik. Anehnya tidak ada pemberontakan seperti biasa. Padahal Bimo paling sebal jika diperlakukan sebagai anak kecil.
"Kak?"
"Apa? Kau membuatku takut karena kau terus memanggilku demikian," ya, panggilan kakak dari Bimo hanya berlaku apabila adiknya menginginkan sesuatu ataupun karena sudah melakukan kesalahan.
"Apa aku boleh pindah ke kamar sebelumnya? Aku rindu Bibi Miran dan Paman Dio."
Kedua alis Rahee naik, "Bukankah kau menyukai kamar ini?"
"Di sini terlalu besar dan... sepi."
Padahal Bimo suka kamar VIP ini. Namun di sisi lain dia tahu diri. Untuk membiayai pengobatannya saja Rahee sudah harus jungkir balik, apalagi ditambah kamar mewah ini yang sebenarnya tidaklah penting. Ibu kandungnya bahkan tega membuangnya, lalu kenapa Rahee mau berkorban sedemikian keras hanya demi seorang adik tiri? Mungkin Rahee tidak menyangka kalau Bimo masih ingat hari dimana ibunya pergi ketika dirinya masih berusia 3 tahun. Kenangan buruk itu selalu ada di alam bawah sadar Bimo.
"Kau yakin? Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?"
"Oh, sungguh. Untuk apa aku berbohong?" pekik Bimo, tanda adiknya yang menyebalkan sudah kembali. Setidaknya Rahee dapat sedikit tenang sekarang.
"Baiklah, nanti aku akan pikirkan lagi," balas Rahee. "Aku akan mengisi ulang botol air minummu dulu di lorong. Tunggu sebentar."
Rahee meraih botol minum di atas meja, kemudian meminjam sandal milik Bimo bergambar doraemon. Bagaimana ini, katanya ingin disebut dewasa tapi sandal pun masih bergambar kartun. Alhasil dia pun terkekeh pelan.
"Rahee? Kau Angelia Rahee, kan?"
Seorang pria berjas dokter menyapa tepat saat Rahee keluar dari kamar. Bukankah dia adalah dokter yang barusan menangani Bimo?
"Ya, saya Rahee. Wali dari Bimo. Ada apa, dok?" pria tersebut melepaskan masker medis yang dikenakannya, memamerkan senyuman manis lengkap dengan kedua lesung pipi. Tunggu, Rahee kenal siapa dia. "Bayu? Kau sungguh Bayu?"
Pria itu mengangguk antusias. "Senang bisa bertemu denganmu lagi, Rahee. Sejak tadi aku ingin menyapa, tapi waktunya kurang tepat. Bagaimana kabarmu?"
"Baik, Bayu. Eh, maaf, maksudku dok," Jawab Rahee mendadak kikuk. Entah harus dengan sebutan apa dia menyapa pria ini.
Bayu tertawa hingga lesung pipinya semakin terbentuk, "Cukup nama. Panggil aku Bayu saja seperti dulu."
"Ah, baiklah. Bayu..." gumam Rahee dengan pipi memerah.
"Apa kau sedang terburu-buru? Kalau tidak, bisakah kita berbincang sebentar?" gugup Bayu sembari menggaruk kepala bagian belakangnya.
"Tentu boleh. Aku sedang luang."
Mereka berdua akhirnya terduduk di kursi yang ada di depan kamar Bimo. Sekedar informasi, dokter tampan ini adalah Bayu Sasono, mantan kekasih Rahee. Saat itu Rahee baru masuk SMA, dan Bayu adalah kakak kelasnya. Selain populer karena ketampanannya, Bayu juga termasuk siswa akselerasi. Jadi, tidak mengherankan jika sekarang Bayu sudah menjadi dokter yang sukses.
"Bayu, selamat ya. Kau akhirnya berhasil menjadi dokter," ucap Rahee memecah keheningan.
Bayu melirik pada gadis di sampingnya, tersenyum. Sepersekian detik dia seperti kembali ke masa lalu. Mereka pernah berpacaran selama dua bulan. Itu memang waktu yang singkat, tapi tetap saja semua berkesan bagi Bayu, "Semua berkatmu, Rahee. Kau membantuku berada di titik ini."
Kepala Rahee bergerak miring, heran, "Aku? Bagaimana bisa?"
"Dulu setiap kali kita makan di kantin sekolah, kau bilang bahwa pria yang memakai jas dokter selalu terlihat keren. Ucapanmu menjadi inspirasiku."
"Tunggu, apa aku pernah bilang demikian?"
"Dulu kau penggemar Grey's Anatomy. Aku masih ingat sekali."
Astaga, Grey's Anatomy adalah serial televisi Amerika yang bercerita tentang kehidupan para dokter. Rahee sekedar mengikuti beberapa episode, lalu kenapa Bayu menganggap ucapan Rahee seolah-olah sangat penting? Padahal itu tak lebih dari celetukan anak kelas 1 SMA.
"Rahee?"
"Ya?"
Bayu seperti menimbang-nimbang apa yang hendak dikatakannya, "Aku baru tahu saat kuliah bahwa orang tua dan kakakmu meninggal karena kecelakaan. Kenapa kau tidak pernah memberitahuku? Apakah karena dulu kita sudah putus?"
Rahee memainkan jarinya. Tidak lama setelah hubungannya dan Bayu berakhir, kejadian memilukan itu terjadi. Dan Rahee memang sengaja tak memberitahu mantannya karena dia enggan membagi kesedihan. Biar Rahee saja yang merasakan pedih itu.
"Saat itu kau sedang persiapan masuk perguruan tinggi. Aku tidak mau menganggumu."
"Maaf, aku terlambat mendengarnya. Seharusnya aku ada di sana untuk menemanimu melalui masa sulit," Bayu menggenggam sekilas tangan Rahee, menyesal atas keterlambatannya. Pernah dia coba mencari keberadaan Rahee, tapi tak ada seorang pun yang tahu. Beberapa dari temen mereka sebatas bilang jika Rahee tidak berkuliah. Rahee pasti sudah melalui banyak hal untuk bisa bertahan sejauh ini.
"Kau tidak perlu meminta maaf atas takdirku."
Di mata Bayu, Rahee sungguh kuat. Bahkan gadis ini dapat dengan tegar membahas waktu-waktu kelamnya. Namun satu hal yang masih mengganjal. Bayu kenal anggota keluarga Rahee. Dia juga tahu bahwa mantan kekasihnya tidak memiliki adik.
"Siapa Bimo sebenarnya?"
"Dia penyelamat hidupku," jawab Rahee sambil tersenyum. Baiknya dia mengganti topik pembicaraan. Rahee tak mau tenggelam dalam rasa sedih berkepanjangan. "Aku sering ke rumah sakit ini untuk menemani Bimo. Tapi kenapa kita tidak pernah bertemu?"
"Aku baru pindah ke rumah sakit ini satu tahun terakhir. Dan aku lebih sering ditugaskan untuk bangsal VIP," jelas Bayu. "Andai kita bisa bertemu lebih cepat, pasti akan menyenangkan."
Lantas mereka berbicara lebih banyak lagi hingga bertukar kontak. Obrolan mereka sayangnya harus terhenti karena kehadiran seseorang.
Sean Ivano.
Entah kapan Sean datang dan menyaksikan bagaimana akrabnya Rahee bersama seorang pria. Bahkan ada tawa lepas, sesuatu hal yang mustahil gadis itu pertontonkan kepada Sean. Ditariklah secara paksa pergelangan tangan Rahee, membuat si pemilik lengan langsung meronta. Sekalipun Sean mamakai topi, Rahee dapat melihat wajah itu sudah merah padam.
"Hei, apa-apaan kau? Kau menyakitinya!" pekik Bayu, berusaha menyelamatkan Rahee.
Detik selanjutnya Sean memelintir tangan Bayu dan menjadikan dokter tersebut tersungkur di lantai, "Jangan coba ikut campur. Ini urusan kami."
"Rahee, kau kenal dia?" tanya Bayu sembari menyeka ujung bibirnya yang berdarah.
Sean berdecih sebelum tertawa meremehkan, "Angelia Rahee adalah kekasihku, brengsek. Bagaimana mungkin kami tidak saling mengenal?"
"Tidak ada pasangan kekasih yang seperti ini. Rahee, bicaralah. Apakah dia benar kekasihmu?"
Bayu berniat mengguncang pundak Rahee, tapi segera ditepis oleh Sean. Pasalnya Rahee terus saja tertunduk. Sean pun kian mencengkram keras pergelangan tangan Rahee, sebagai tanda gadis itu harus mau ambil peran.
"Apa kau mau aku menghabisi adikmu?" bisik Sean disertai senyum licik.
"Ya, dia kekasihku. Kami berpacaran," jawab Rahee segera.
Selanjutnya, hal memalukan terjadi. Sean meraih tengkuk Rahee, dan mencumbu bibir ranum itu dengan rakus. Perlahan Rahee merelakan harga dirinya yang semakin terkikis saat bibirnya lambat-laun ikut bergerak. Dia pun mulai meladeni ciuman Sean di depan Bayu Sasono, mantan kekasihnya yang diam melongo.
----
"Apa ini?! Kau sinting?!" teriak Sean usai membaca sekilas kertas pemberian Rahee.Di sana Rahee menuliskan syarat-syaratnya sendiri, semacam hal kontra terhadap kontrak yang Sean buat secara sepihak. Dimulai dari dilarang mencampuri kehidupan pribadi masing-masing, batasan seks mereka, hingga tertera jumlah uang yang Rahee inginkan. Apabila mustahil lepas dari Sean, maka dia akan masuk dalam lingkar permainan itu. Rahee akan buktikan bahwa dia bisa sama gilanya dengan seorang Sean Ivano.Salah satu alasan Rahee berani menunjukan taringnya adalah karena kejadian kemarin. Selepas mereka berciuman di depan Bayu, Sean langsung membawanya pergi. Dan begitu tiba di rumah, Sean menyetubuhi Rahee secara menggila. Jadi, Rahee putuskan membangun tameng agar kewarasannya tetap terjaga."Kau bisa baca juga bahwa aku ingin kau melakukan test kesehatan. Siapa yang tahu mungkin kau memiliki penyakit kelamin," ejek Rahee diiring tertawa getir.Diremaslah kertas te
Pandangan Sean terkunci pada Rahee. Kelopak mata Rahee terpejam dengan tali infus yang terpasangan pada bagian lengan kiri. Usai menemui Hera di rumah sakit jiwa, Sean pulang dan menemukan gadis tersebut pingsan. Kondisinya masih sama, kedua tangan kurus Rahee masih terikat pada sisi ranjang, dan juga mulut kecil itu masih tersumpal oleh celana dalam.Sean merasa bersalah."Dia dehidarasi, dan kewanitaannya agak lecet," tutur seorang dokter wanita, lalu menuliskan resep obat. "Kau tidak perlu khawatir, Sean. Paling lambat dia akan sadar malam nanti."Sayangnya hanya sepersekian detik perasaan bersalah itu hadir. Pandangannya yang semula lunak kembali mengeras. Khawatir? Tidak, seorang Sean Ivano tak pernah menunjukan sisi khawatir selain kepada Hera. Terlebih lagi Rahee hanya wanita murahan."Khawatir? Tidak sama sekali," ketus Sean, memutarkan bola matanya. Beranjak dari posisinya yang semula berdiri di p
Tiga hari berlalu. Keadaan tidak berubah lebih baik, justru semakin buruk. Sean melarangnya pergi dari rumah mewah miliknya. Rahee sudah coba buat penawaran, termasuk membatalkan semua hal kontra yang sempat membuat Sean marah besar. Asalkan dia tetap bisa bertemu Bimo, akan dirinya lakukan. "Bimo hanya memilik aku. Aku mohon, biarkan aku menemui adikku," pinta Rahee saat Sean baru selesai berlari di atas treadmil. Sambil menyeka keringatnya, Sean minum air mineral dengan mengacuhkan Rahee. Jujur saja, Sean tak suka saat Rahee bertelepon ria dengan seorang pria di malam itu. Sekalipun hanya teman dari almarhum kakaknya Rahee, Sean tetap saja benci. Apalagi dia juga cukup muak dengan dokter bernama Bayu Sasono. Kentara sekali bahwa dokter sialan itu menyukai Rahee. "Sean... aku mohon dengan sangat," kini suara Rahee kian melemah. "Aku sudah memberikan perawat
Diam-diam Bimo keluar dari kamar. Tanpa menggunakan jaket ataupun alas kaki, anak berusia 10 tahun tersebut dengan tertatih berusaha tak membuat suara sedikit pun. Pasalnya Rahee tengah terlelap, dan dia tak mau kakaknya sampai terbangun. Kasihan. Biarkan Rahee bermimpi indah walaupun hanya sebatas bunga tidur. Karena kenyataannya, dirinyalah penyebab Rahee menjadi kesusahan. Bimo adalah mimpi buruk Rahee.Para dokter dan perawat tidak sadar dengan keberadaannya. Bimo bersembunyi setiap kali mereka berada di koridor. Hingga Bimo akhirnya berhasil menaiki atap rumah sakit tanpa diketahui oleh siapa-siapa.Angin malam berhembus kencang disertai rintik hujan. Langkah kecil Bimo sampai pada ujung atap. Keramaian Kota Jakarta sangat pengap, sekalipun sudah larut kota ini selalu terjaga. Oh, kenapa kota ini tidak mati saja? Bukankah keadaan nantinya akan jauh lebih damai? Ya, sama dengan dirinya. Jika dirinya mati, pasti hidup Rahee menjadi tent
Mobil Sean melaju tanpa arah. Usai memukuli Bayu sekaligus terkena tamparan Rahee, Sean persis merasakan sesuatu yang aneh. Sejak kapan Sean Ivano yang notabenenya adalah pria egois bisa peduli terhadap Rahee? Bukan urusan Sean jika Rahee tahu Bimo berniat bunuh diri. Dulu hanya Heredit Hera yang dapat meluluhkan rasa simpatinya. Lalu kenapa sekarang Rahee masuk ke dalam salah satu orang yang mampu mengusik sisi tersebut?"Brengsek! Brengsek!" maki Sean sambil memukul setir mobil.Dia berhenti di bahu jalan, lalu meneguk kaleng birnya. Selagi mencari jawaban dari hal yang mengganggunya, nama Aditya sang manajer muncul di layar ponsel."Sean! Apa-apaan ini?! Kau memukuli anak direktur rumah sakit?!" teriakan Aditya langsung terdengar."Siapa maksudmu?""Dokter Bayu Sasono. Ada artikel di internet yang memuat berita demikian, bahkan wajah Rahee yang diblurkan juga ikut terpampang," Aditya be
"Angkat dagumu lebih tinggi," ujar Sean sembari menarik ujung kuas di atas kanvas. Jemarinya berlari cekatan untuk membuat siluet terbaik. Ya, Sean sedang melukis sosok Rahee yang terlihat kikuk. Bagaimana tidak, gadis berwajah mungil itu hanya mengenakan selimut putih tipis dan berdiri di balkon kamar yang langsung menghadap ke kolam renang. Sementara Sean duduk disebuah kursi dengan posisi menyilangkan kaki, nampak fokus. "Sudah kubilang sembunyikan rambutmu di belakang telinga."Dahi Rahee mengernyit. Kapan Sean bilang demikian?Pria berpostur 185 cm ini bangkit, lalu menyentak tangan Rahee yang berupaya merapihkan rambut. Dirapihkanlah helaian anak rambut yang membuat pandangan Sean terganggu. Rahee pikir cukup sampai disitu, ternyata Sean mendekatkan wajahnya untuk memberikan kecupan singkat, "Kau memang bodoh dalam mematuhi perintahku."Segera Rahee usap bibirnya menggunakan punggung tangan. Bibir mereka tadi bertemu
Melakukan suatu hal baru untuk kali pertama tentu mendebarkan. Entah konteks yang dapat diartikan sebagai debaran menyenangkan ataupun buruk. Satu hal pasti, kali ini debaran menyenangkan tengah menyelimuti Rahee. Usai pemeriksaan imigrasi dan klaim bagasi yang menurutnya rumit, Rahee menatap kagum seisi Bandara Changi Singapura. Ini pertama kalinya dia berpergian ke luar negeri. Seumur hidup dia tidak pernah meninggalkan Indonesia, termasuk Bimo. Walau sangat berat bagi Rahee, Bimo memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Ah, anak itu memang selalu bertindak terlalu dewasa. "Kak! Ini baru 3 jam sejak kau pergi, dan kau sudah menghubungiku?" pekik Bimo disebrang sana. Rahee mengganti menjadi mode video call, lalu menunjukan sekelilingnya. Wajah Bimo seketika berbinar penuh takjub, "Wow, bagus sekali. Aku iri padamu." "Tidak boleh iri, karena aku akan membawamu kemari." "Bisakah?" gumam Bi
Sean menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya dalam satu helaan nafas. Risau perasaannya, membuat dia tekan ujung putung rokoknya yang masih panjang di atas asbak. Sean menatap tangan kanannya. Permukaan tangannya masih merah dan panas, tanda bahwa tamparan yang dia berikan pada Rahee tadi begitu keras. "Kenapa kau memandangi tanganmu seperti itu?" tanya Ezra, mendatangi Sean yang sejak tadi duduk di balkon kamar hotel seorang diri. "Oh, kau ingin bermasturbasi? Sebentar, ponselku sebentar lagi penuh." Iya, Ezra berada di kamar Sean untuk meminjam kabel charger. Bukannya membawa benda itu, Ezra justru langsung meng-charger ponselnya di kamar Sean. "Aku tidak level melakukan itu," balas Sean, lalu dia melihat ke arah dalam kaamrnya. Ada sosok Lucas dan Mark yang tengah melakukan live di I*******m. "Sejak kapan kalian berdua ada di sini?" "Kami menyelinap di belakan
Sean pikir dirinya sinting. Sean pikir dirinya terkena guna-guna atau semacamnya. Apa pun sebutannya, dia masih tak percaya bahwa dirinya melemparkan stick drum ketika konser HEXID masih berlangsung. Mereka baru memainkan dua lagu, dan Sean beranjak hendak pergi."Aku akan absen untuk konser malam ini," jelas Sean pada Ezra yang sempat menahannya untuk kembali ke backstage."Apa kau gila?!" Ezra mendorong tubuh Sean. "Aku tidak peduli tentang masalahmu, tapi tolong tunjukan profesionalitasmu pada fans kita!"Venue konser di Malaysia memang dua kali lipat lebih besar daripada di Singapura, dan Sean bisa lihat itu. Beruntung, Mark dan Lucas sedang bercanda dengan para penggemar, sehingga keributan kecil antara Sean dan Ezra tak nampak.
Langit malam di Singapura indah. Bintang-bintang seperti berlomba muncul untuk menunjukan kecantikan mereka. Mungkin di Indonesia pun sama indahnya, hanya saja Rahee jarang memerhatikan. Sebelumnya, dia tak mempunyai kesempatan untuk menikmati keindahan sekitar. Untuk bernafas saja dia kesulitan, karena hidupnya hanya fokus pada kerja. Jadi, dia terkesan dengan pemandangan yang ada di hadapannya.Rambut Rahee yang masih basah tersapu sepoian angin. Hotel yang dia inapi tidak memiliki balkon, sehingga menempatkan bokong di pinggiran jendela adalah cara yang dia lakukan sekarang. Dia harus ekstra hati-hati, salah sedikit saja, dia bisa terjatuh dari lantai 5. Uh, memikirkan kemungkinan itu membuatnya spontan berdiri ngeri.Pun Rahee mulai melakukan peregangan kecil. Dari ujung kaki hingga ujung kepala dia gerakan. Sebelumnya Rahee sudah m
Ketagihan. Kata itu berputar di kepala Rahee selama dia menyantap semangkuk ramen. Aneh sekali. Kenapa Sean ketagihan dengan dirinya ketika ada ramen selezat ini? Rahee mengigit ujung sumpit, kemudian melirik diam-diam pada ramen Sean yang sama sekali tidak tersentuh. Dia menelan air liurnya karena ramen miliknya sudah lenyap tak bersisa. "Kau bisa makan punyaku jika mau," Sean menyodorkan mangkuk ramennya seakan-akan mempunyai kemampuan membaca pikiran. "Bolehkah?" tanya Rahee ragu. Sejak kemarin malam Rahee belum makan, dan kini perutnya seperti memerlukan porsi ekstra. "Hmm makanlah," kata Sean, membuat cengiran di wajah cantik Rahee terbentuk. Gadis itu menyeruput ramen milik Sean dengan semangat 45. Sementara Sean menompangkan dagu menggunakan tangannya, merasa senang mendapati Rahee mempunyai selera makan yang besar. Umumnya para gadis akan bersikap malu-malu, dan bahkan berpura-pura tid
Satu jam sebelumnya...Sean melangkahkan kaki pada turunan anak tangga. Dia memakai kembali kacamata hitamnya, kemudian berbalik memandangi bangunan mewah di belakangnya. Psikiater tolol, batin Sean murka. Sebelum menuju bandara, Sean sengaja membuat janji dengan seorang Dokter Psikiater. Psikiater ini memiliki nama besar, dan beberapa orang menyebutkan bahwa psikater yang baru dia datangi adalah yang terbaik di Singapura.Sean membuang ludah ke aspal jalan, tak setuju. Bisa-bisanya psikater tersebut bilang bahwa Hera, kekasihnya, tidak memiliki kesempatan untuk kembali normal. Di dalam tadi Sean melakukan video call bersama Dokter Willy –dokter yang bertanggungjawab mengawasi Hera. Dokter Willy menaruh ponsel secara diam-diam, lalu mulai berinteraksi dengan Hera. Sehingga Sean dan psikater dapat melihat segala sesuatu di lain tempat. Namun psikater justru membuat pernyataan yang menjadikan Sean marah."Dari
Rahee menarik kopernya keluar kamar dengan tergesa-gesa. Bus rombongan para staf sudah berangkat beberapa saat yang lalu, dan dia tidak punya pilihan selain menyusul sendirian. Setengah berlari, Rahee menuju ke lift sambil mencari taksi via online. Oh, sekilas ini memang nampak mudah, tapi ternyata cukup sulit. Masalahnya tak ada satupun taksi yang bersedia mengantarkannya ke bandara. Semua menolak pesanannya.Begitu tiba di lobi, Rahee mengembalikan kunci ke bagian respsionis. Tidak lupa dia turut bertanya, "Apa mudah menemukan taksi di sekitar hotel? Saya harus ke bandara sesegera mungkin.""Biasanya mudah, tapi ini sudah masuk jam sibuk. Jadi mungkin akan ada sedikit kendala," jawab si resepsionis kemudian mengambil handy talkie. "Security, bisa tolong carikan taksi menuju bandara untuk tamu hotel kita?""Baik, dimohon tunggu sebentar," jawab si security yang dapat terdengar oleh Rahe
Rahee sedang berkirim pesan dengan Perawat Wendy. Jarak Rahee dan Bimo boleh saja berjauhan, tapi itu tidak membuat perhatiannya pada sang adik berkurang, justru dia kian memberikan perhatian lebih. Perawat Wendy bilang jika Dokter Bayu selalu ada untuk Bimo. Jeno juga sesekali datang ke rumah sakit. Ah, Rahee bersyukur Bimo dikelilingi oleh orang-orang baik. Setidaknya selama tur HEXID berlangsung, dia bisa sedikit tenang. "T-tidak. Menjauh dariku." Rahee mematikan ponselnya, lalu melirik ke arah ranjang. Sean ternyata tengah mengigau dalam tidurnya. Dengan ragu Rahee mendekat, dan yang dia heran adalah wajah Sean nampak ketakutan. Keringat disekitaran dahinya juga cukup banyak, seolah-olah pria itu dihantui oleh sesuatu hal menakutkan. Apa yang Sean mimpikan? "Pergi! Pergi!" Tangan Rahee terulur untuk membangunkan Sean, namun dia urungkan. 'Tugas'nya malam ini sudah selesai, dan dia hendak kembali ke
Venue konser berada di sebuah stadion dengan kapasitas 20 ribu penonton. Hal yang menakjubkan adalah tiket konser HEXID di Singapura sold out. Riuh teriakan para penggemar terdengar hingga backstage, dan Rahee jelas bisa mendengar semua itu. Saat ini penyanyi lokal sedang bertugas sebagai pembuka, jadilah jelas waktu yang Rahee miliki tidak banyak. "Tenang, Rahee. Tenang," gumam Rahee pada dirinya sendiri. Dia gugup karena ini adalah pertama kalinya dia memiliki klien pria, dan yang lebih membuatnya gugup adalah pria itu Sean. Master-nya, bosnya, dan pria yang sangat Rahee benci. Itulah macam-macam julukan yang Rahee sematkan. Sementara Sean yang tengah hanya diam saja. Ya, Sean tidak bicara apa pun sejak keluar dari fitting room hingga kini. Rahee sungguh tidak mengerti dengan mood Sean. "Kau ingin model rambut seperti apa?" tanya Rahee. "Itu pekerjaanmu. Kenapa kau harus me
Sean menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya dalam satu helaan nafas. Risau perasaannya, membuat dia tekan ujung putung rokoknya yang masih panjang di atas asbak. Sean menatap tangan kanannya. Permukaan tangannya masih merah dan panas, tanda bahwa tamparan yang dia berikan pada Rahee tadi begitu keras. "Kenapa kau memandangi tanganmu seperti itu?" tanya Ezra, mendatangi Sean yang sejak tadi duduk di balkon kamar hotel seorang diri. "Oh, kau ingin bermasturbasi? Sebentar, ponselku sebentar lagi penuh." Iya, Ezra berada di kamar Sean untuk meminjam kabel charger. Bukannya membawa benda itu, Ezra justru langsung meng-charger ponselnya di kamar Sean. "Aku tidak level melakukan itu," balas Sean, lalu dia melihat ke arah dalam kaamrnya. Ada sosok Lucas dan Mark yang tengah melakukan live di I*******m. "Sejak kapan kalian berdua ada di sini?" "Kami menyelinap di belakan
Melakukan suatu hal baru untuk kali pertama tentu mendebarkan. Entah konteks yang dapat diartikan sebagai debaran menyenangkan ataupun buruk. Satu hal pasti, kali ini debaran menyenangkan tengah menyelimuti Rahee. Usai pemeriksaan imigrasi dan klaim bagasi yang menurutnya rumit, Rahee menatap kagum seisi Bandara Changi Singapura. Ini pertama kalinya dia berpergian ke luar negeri. Seumur hidup dia tidak pernah meninggalkan Indonesia, termasuk Bimo. Walau sangat berat bagi Rahee, Bimo memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Ah, anak itu memang selalu bertindak terlalu dewasa. "Kak! Ini baru 3 jam sejak kau pergi, dan kau sudah menghubungiku?" pekik Bimo disebrang sana. Rahee mengganti menjadi mode video call, lalu menunjukan sekelilingnya. Wajah Bimo seketika berbinar penuh takjub, "Wow, bagus sekali. Aku iri padamu." "Tidak boleh iri, karena aku akan membawamu kemari." "Bisakah?" gumam Bi