Sekarang pukul 5 pagi. Langit masih gelap dan pria yang memperdaya Rahee juga masih terlelap. Sesudah membersihkan diri, Rahee menghabiskan lima belas menit dengan termenung di depan wastafel. Kejadian semalam berputar kembali dan dia ingin muntah. Tubuhnya hancur. Ada banyak jejak keunguan disetiap jengkal tubuhnya, pun bekas kemerahan akibat ikatan dipergelangan tangannya juga nampak mengerikan. Jangan lupakan kewanitaanya bahkan masih terasa sakit.
Rahee menunduk dan benar muntah.
Setelahnya dia bergegas, kemudian mengambil dompet dan jaket milik pria itu. Memalukan jika dia keluar dengan pakaian mini ini. Tidak lupa dia juga memungut tisu bekas dari tempat sampah. Rahee melirik sekilas pada pria yang masih tertidur pulas di ranjang. Hatinya lagi-lagi merasakan sakit luar biasa. Satu permintaannya, yaitu jangan sampai ada pertemuan-pertemuan lain.
Berjalan keluar, Rahee terkejut mendapati ada seseorang yang meringkuk di depan paviliun. Seorang pria berusia sekitar 30-an.
"Selamat pagi. Apa Sean masih tidur?" orang asing itu menyapa dengan mata setengah terbuka. Dilanjut menguap lebar-lebar sebelum beranjak dari kursi yang semula dijadikan tempat tidur. "Kau sepertinya tidak mengenaliku. Aku Aditya, manajer Sean. Kau artis dari agensi mana?"
Jadi, nama pria itu Sean? Dan manajer? Untuk apa?
Saat Rahee akan berlalu, Aditya menghadang dengan merentangkan kedua tangan, "Mungkin aku terkesan tidak sopan, tapi bisakah kau menandatangani surat ini terlebih dahulu? Dan di tas ini ada uang untukmu."
"Surat pernyataan tutup mulut," setelah membaca judul teratas dari kertas yang Aditya berikan, Rahee tak segan merobeknya. Batinnya menerka, apakah yang terjadi semalam sudah direncanakan? Sehingga Sean langsung menyuruh orang untuk mengetik draft sampah semacam ini?
"Katakan pada pria bajingan itu, bahwa seumur hidupnya dia harus merasa bersalah padaku. Aku akan pastikan itu."
Aditya menganga. Baru kali ini dia menerima penolakan. Oke, memang di sini konteksnya adalah Sean yang ditolak. Namun biasanya semua gadis yang ditiduri Sean patuh, terlebih jika melihat jumlah uang yang Aditya bawa sekarang. Dia penasaran, kesalahan apa yang Sean perbuat sampai-sampai ada gadis yang menolak bekerjasama dengan mereka.
---------
"Minumlah dan tenangkan dirimu."
"Terima kasih," kata Rahee.
Segelas kopi hangat melingkar di telapak tangannya. Dia menyeruput pelan-pelan. Kerongkongannya membaik dan dihabiskanlah setengah. Lambungnya persis kosong sejak semalam. Ah, semalam. Mengingat itu menjadikan batinnya berkecamuk lagi.
"Kau bisa menceritakan kronologinya jika sudah siap," tutur si polisi.
Ya, Rahee memutuskan mendatangi kantor polisi. Melapor sebagai korban pemerkosaan memang cukup sulit, bukan prosesnya, melainkan lebih ke diri korban. Rahee mengalami itu. Dia sungguh malu, takut, risih, namun di saat bersamaan diharuskan mengingat baik-baik kejadian semalam agar pria bernama Sean mendapatkan hukuman setimpal.
Diceritakanlah dari awal. Polisi pria itu mulai mengetik laporan di laptop. Ketikannya terhenti manakala Rahee menyebutkan tempat terkutuk, Yayasan Black Diamond.
"Apa kau mabuk?" tuduh si polisi. Rasa simpati berubah menjadi arogan.
"Tidak. Aku tidak minum alkohol. Aku bahkan membawa barang bukti."
"Kau ternyata salah satu gadis dari Yayasan Black Diamond," gerak tangan Rahee yang tengah merogoh tasnya terhenti. Padahal dia memiliki kartu pengenal Sean dari dompet yang diambilnya, juga beberapa lembar tisu –ada sperma Sean di sana. Itu bisa menjadi bukti kuat. Tapi apa maksud dari ucapan polisi tadi? "Di Black Diamond hanya ada pelacuran, bukan pemerkosaan."
"Pelacuran?"
Si Polisi berdiri, menarik Rahee keluar dari kantor dengan perasaan jengah, "Semalam aku bergadang memecahkan kasus pembunuhan dan baru tertidur dua jam. Kau mengganggu waktu berhargaku! Pergilah!"
Rahee bergeming di luar gedung kepolisian. Kakinya mati rasa dan dia menjadikan undakan anak tangga sebagai pilihan untuk duduk sejenak. Apa Rahee salah dengar? Yayasan Black Diamond tempat pelacuran? Dengan demikian pikirannya resmi bercabang. Salah satunya yaitu kemungkinan jika Lia sudah menipunya. Tidak, itu tidak mungkin. Lia adalah temannya. Teman.
"Rahee? Kau sedang apa di sini?"
Suara seseorang yang familiar menyapa. Di hadapan Rahee sudah ada sosok Angkasa Jeno, sahabatnya, atau lebih tepatnya sahabat dari mendiang kakaknya Rahee. Usai kematian kakak satu-satunya, persahabatan Jeno beralih kepada Rahee.
"Aku sedang... mencarimu. Ya, mencarimu. Kau hari ini bekerja, kan?"
"Aku sedang cuti, tapi pimpinan menyuruhku mempelajari berkas penting. Uh, menyebalkan sekali!"
"Kau terlihat aneh," Rahee bergidik.
Jeno melakukan peregangan ringan dengan berbagai macam ekspresi lucu, membuat Rahee setidaknya sedikit terhibur. Jeno berusia 25 tahun dan merupakan seorang polisi junior. Dia baru bergabung di kepolisian selama dua tahun terakhir. Dan Rahee berpura-pura tidak tahu bahwa Jeno sebenarnya sedang dalam masa skors, bukan cuti. Mengambil tempat di sisi Rahee, Jeno melirik penuh curiga.
"Mengapa semalam kau tidak pulang ke rumah? Bimo juga bilang kau tidak ada di rumah sakit."
"Aku sudah dewasa, kak. Berhenti mendatangi rumahku seperti seorang penguntit."
"Kalau begitu berhenti memblokir nomorku."
Rahee mengotak-atik ponsel, lalu mempertontonkan layar ponselnya, "Puas?"
Jeno mengacak-acak rambut panjang itu, yang langsung direspon dengan tepisan. Biasanya Rahee tak mempermasalahkan sentuhan kecil semacam ini. Rahee pun sudah menganggap dirinya sebagai pengganti mendiang sang kakak. Pandangan Jeno pun jatuh pada tampilan Rahee yang berantakan.
"Kau baik-baik saja? Apa semalam terjadi sesuatu?"
"Tidak ada," akting ceria Rahee agaknya berhasil, sebab setelahnya Jeno hanya mengangguk kecil. "Kak Jeno, apa aku boleh bertanya sesuatu?"
Sebenarnya Rahee agak ragu untuk mengajukan pertanyaan, mengingat dirinya adalah alasan Jeno diskors sementara. Jeno sempat menyalahgunakan statusnya sebagai polisi, lantaran beberapa kali kedapatan memukuli pria hidung belang yang berniat mesum terhadap Rahee. Namun di satu sisi Rahee juga penasaran dengan fakta mengenai Black Diamond.
"Tentu, pengetahuanku luas. Kau bisa tanyakan apa saja."
"Yayasan Black Diamond. Apa itu benar tempat prostitusi?"
Raut Jeno berubah drastis. Dia jadi enggan membanggakan wawasannya bila berkaitan dengan hal semacam ini, "Kau... tahu dari mana? Siapa yang memberitahumu?"
Jawaban Jeno menjelaskan segalanya, menjadikan jiwa Rahee seolah dilepaskan paksa dari raganya. Rahee bungkam. Dia ingin denial bahwa semalam dia sudah menjual tubuhnya di tempat pelacuran. Sekalipun dia dijebak oleh Lia, toh kenyataan tak berubah. Rahee yang mendatangi Black Diamond dengan kesadaran penuh dan terlalu naif terhadap keadaan disekitar.
"Mengapa polisi diam saja? Bukankah banyak orang penting terlibat?" suaranya tertahan di kerongkongan.
"Justru karena banyak orang penting yang terlibat, maka Black Diamond menjadi kasus tak tersentuh. Komisaris kami sering main di sana. Prostitusi elite itu sengaja diabaikan," Jelas Jeno. Entah ada angin apa Rahee jadi peduli dengan kasus yang bahkan tak tercium media. "Kau berantakan, Rahee. Ayo, aku akan mengantarkanmu pulang."
Lagi, Rahee menolak begitu Jeno akan memberi rangkulan, "Aku bisa sendiri. Kau masuklah. Bukankah kau masih ada urusan kantor?"
"Kau yakin?"
"Iya, sana kau masuk ke dalam," Rahee pun berdiri, kemudian melangkah menuruni anak tangga.
"Nanti aku akan menghubungimu. Ingat, jangan blokir nomorku lagi."
Rahee melambaikan tangannya, sementara Jeno memerhatikan hingga gadis itu benar-benar hilang dari pandangannya. Jeno berharap, setidaknya Rahee menoleh walau sekali saja. Namun gadis itu tak pernah melakukannya. Rahee tak pernah 'melihat' Jeno.
Di jalan pulang, Rahee menghubungi manajer mini market untuk izin cuti. Dia benar-benar tak sanggup pergi bekerja dalam situasi ini. Baru saja Rahee tiba di rumah, dia harus melihat sosok yang paling dirinya benci. Untuk apa Sean ada di sini? Pria itu sedang menginjak puntung rokok, kemudian memberi makan kelinci milik Bimo dengan tampang tak berdosa.
Dengan mengepalkan kedua tangan, Rahee berjalan melewati Sean seolah tak ada orang. Pun Sean yang sadar segera menyentak pergelangan tangan Rahee.
"Mengapa tadi pagi kau pergi begitu saja?" tanyanya seduktif. Sean tak menyukai fakta bahwa dirinya telah diabaikan. "Jawab aku, Angelia Rahee. Gunakan mulut kecilmu itu untuk menjawab pertanyaanku."
"Jika kau kemari untuk mengambil dompet dan jaketmu, ini! Pergi dari rumahku sekarang!" dilemparkanlah seluruh barang milik Sean ke tanah. Amarahnya lepas sudah. Pria di hadapannya telah merenggut kesuciannya tanpa gurat penyesalan ataupun kata maaf. Polisi pun sama-sama tidak bergunanya. Jadi, kemana Rahee harus menyuarakan ketidakadilan ini? "Pergi!"
"Selain pelacur, ternyata kau juga seorang pencuri," Sean terkekeh ketika memungut dompetnya. "Berapa banyak lagi yang kau mau? Ambil semuanya! Aku tidak butuh itu!"
Lembaran uang dilemparkan Sean tinggi-tinggi. Alhasil semuanya berterbangan diantara mereka. Hati Rahee berdenyut nyeri dan matanya terasa panas. Berapa kali lagi dia harus direndahkan oleh pria ini?
Memilih memutar tumitnya, Rahee berniat masuk ke rumah sekaligus menyebunyikan tangisannya yang hampir pecah. Sayang, Sean selalu satu langkah lebih cepat. Pergelangan tangan Rahee lagi-lagi dicengkram keras.
"Mengapa kau senang menentangku? Kau pikir dirimu siapa?" Sean menatap mata Rahee. Ada amarah besar dari sorot itu sekalipun mata kecoklatan Rahee sudah berkaca-kaca. "Tandatangani dokumen yang diberikan manajerku."
Rahee tertawa mengejek, "Jangan harap aku akan menandatangi dokumen tutup mulut itu."
"Kontrak yang akan aku tawarkan adalah kontrak berbeda. Kau akan bekerja padaku, Angelia Rahee."
"Apa maksudmu?"
Sean pun menarik pinggang Rahee menggunakan tangan besarnya. Nafasnya menggelitik persis di tengkuk indah Rahee, lalu diberikanlah kecupan sensual dijejak keunguan itu. Jejak keunguan yang membuktikan bahwa Sean menyukai permainan panas mereka semalam. Tidak ada dalam kamus Sean Ivano untuk meninduri gadis yang sama, tapi kali ini pengecualian. Sean tertarik pada tubuh indah Rahee sampai-sampai dia menginginkan Rahee menjadi miliknya seorang.
"Kau harus jadi milikku. Dan aku tidak membutuhkan jawabanmu, karena ini adalah pernyataan bukan pertanyaan."
Rahee dulu memiliki kehidupan yang baik. Keluarga utuh dan secara ekonomi pun berkecukupan. Hingga kecelakaan mobil dengan tragis menewaskan ibu, ayah, juga kakak satu-satunya. Seluruh anggota keluarganya direnggut paksa saat usainya baru beranjak 15 tahun. Tepat di hari pemakaman, ada pelayat yang tersisa, yaitu seorang wanita dan anak kecil. Anak lelaki itu berkisar tiga tahun, asyik menggambar menggunakan crayon warna."Apa kau Angelia Rahee? Kau anak bungsu dari Mas Hendra, kan?""Iya, anda benar. Kalau boleh tahu kenapa anda bertanya?""Aku dan ayahmu adalah rekan kerja. Kami... menjalin hubungan secara diam-diam. Bukti cinta kami adalah anak ini, Angelo Bimo," wanita itu menyodorkan anak lelaki tadi, lalu tersenyum masam. Lain halnya dengan Rahee yang tak dapat berkutik. Rahee me
"Minggu depan HEXID akan memulai tur Asia. Kau harus ikut bersama kami selama satu bulan penuh."Perkataan Aditya berhasil membuat Rahee yang sedang minum tersedak. Kerongkongannya kering sejak manajer dari Sean datang menjemput. Dan sekarang mereka sudah tiba disebuah rumah mewah. Rumah mewah milik Sean lebih tepatnya."Jika aku ikut, bagaimana dengan adikku?"Aditya memijat kepalanya, paham. Kemarin saat dia memindahkan Bimo ke kamar VIP, dia tahu bahwa adik dari Rahee memang sedang sakit parah. Namun Aditya harus membuat Rahee bersedia ikut tur Asia. Akan melelahkan jika dia mencari gadis berbeda di setiap negara sebagai teman tidur Sean. Oh, barusan memang terdengar sangat egois, tapi sejak kehadiran Rahee, Aditya bisa sedikit bernafas lantaran Sean hanya terpaku pada gadis ini saj
Dengan langkah panik Rahee berlari menuju lantai kamar inap Bimo. Pikirannya benar-benar berantakan. Bahkan dia hanya menangis selama perjalanan dari gedung agensi Sean hingga tiba di rumah sakit. Sementara Sean masih coba terus menghubunginya, namun Rahee lebih memilih mematikan ponselnya. Dia tak punya cukup tenaga untuk meladeni amarah pria itu.Pun di depan kamar Bimo, Rahee menemukan Bibi Miran dan Paman Dio. Keduanya terduduk di kursi sambil terlihat berdoa."Bibi Miran, bagaimana kondisi Bimo?""Perawat bilang Bimo sempat kejang. Kita harus menunggu di sini karena dokter masih berada di dalam," jawaban Bibi Miran membuat Rahee kembali terisak. Dadanya sesak memikirkan bahwa Bimo harus mengalami rasa sakit yang seakan tak pernah berakhir. Adiknya masih terlalu kecil. Kenapa bukan
"Apa ini?! Kau sinting?!" teriak Sean usai membaca sekilas kertas pemberian Rahee.Di sana Rahee menuliskan syarat-syaratnya sendiri, semacam hal kontra terhadap kontrak yang Sean buat secara sepihak. Dimulai dari dilarang mencampuri kehidupan pribadi masing-masing, batasan seks mereka, hingga tertera jumlah uang yang Rahee inginkan. Apabila mustahil lepas dari Sean, maka dia akan masuk dalam lingkar permainan itu. Rahee akan buktikan bahwa dia bisa sama gilanya dengan seorang Sean Ivano.Salah satu alasan Rahee berani menunjukan taringnya adalah karena kejadian kemarin. Selepas mereka berciuman di depan Bayu, Sean langsung membawanya pergi. Dan begitu tiba di rumah, Sean menyetubuhi Rahee secara menggila. Jadi, Rahee putuskan membangun tameng agar kewarasannya tetap terjaga."Kau bisa baca juga bahwa aku ingin kau melakukan test kesehatan. Siapa yang tahu mungkin kau memiliki penyakit kelamin," ejek Rahee diiring tertawa getir.Diremaslah kertas te
Pandangan Sean terkunci pada Rahee. Kelopak mata Rahee terpejam dengan tali infus yang terpasangan pada bagian lengan kiri. Usai menemui Hera di rumah sakit jiwa, Sean pulang dan menemukan gadis tersebut pingsan. Kondisinya masih sama, kedua tangan kurus Rahee masih terikat pada sisi ranjang, dan juga mulut kecil itu masih tersumpal oleh celana dalam.Sean merasa bersalah."Dia dehidarasi, dan kewanitaannya agak lecet," tutur seorang dokter wanita, lalu menuliskan resep obat. "Kau tidak perlu khawatir, Sean. Paling lambat dia akan sadar malam nanti."Sayangnya hanya sepersekian detik perasaan bersalah itu hadir. Pandangannya yang semula lunak kembali mengeras. Khawatir? Tidak, seorang Sean Ivano tak pernah menunjukan sisi khawatir selain kepada Hera. Terlebih lagi Rahee hanya wanita murahan."Khawatir? Tidak sama sekali," ketus Sean, memutarkan bola matanya. Beranjak dari posisinya yang semula berdiri di p
Tiga hari berlalu. Keadaan tidak berubah lebih baik, justru semakin buruk. Sean melarangnya pergi dari rumah mewah miliknya. Rahee sudah coba buat penawaran, termasuk membatalkan semua hal kontra yang sempat membuat Sean marah besar. Asalkan dia tetap bisa bertemu Bimo, akan dirinya lakukan. "Bimo hanya memilik aku. Aku mohon, biarkan aku menemui adikku," pinta Rahee saat Sean baru selesai berlari di atas treadmil. Sambil menyeka keringatnya, Sean minum air mineral dengan mengacuhkan Rahee. Jujur saja, Sean tak suka saat Rahee bertelepon ria dengan seorang pria di malam itu. Sekalipun hanya teman dari almarhum kakaknya Rahee, Sean tetap saja benci. Apalagi dia juga cukup muak dengan dokter bernama Bayu Sasono. Kentara sekali bahwa dokter sialan itu menyukai Rahee. "Sean... aku mohon dengan sangat," kini suara Rahee kian melemah. "Aku sudah memberikan perawat
Diam-diam Bimo keluar dari kamar. Tanpa menggunakan jaket ataupun alas kaki, anak berusia 10 tahun tersebut dengan tertatih berusaha tak membuat suara sedikit pun. Pasalnya Rahee tengah terlelap, dan dia tak mau kakaknya sampai terbangun. Kasihan. Biarkan Rahee bermimpi indah walaupun hanya sebatas bunga tidur. Karena kenyataannya, dirinyalah penyebab Rahee menjadi kesusahan. Bimo adalah mimpi buruk Rahee.Para dokter dan perawat tidak sadar dengan keberadaannya. Bimo bersembunyi setiap kali mereka berada di koridor. Hingga Bimo akhirnya berhasil menaiki atap rumah sakit tanpa diketahui oleh siapa-siapa.Angin malam berhembus kencang disertai rintik hujan. Langkah kecil Bimo sampai pada ujung atap. Keramaian Kota Jakarta sangat pengap, sekalipun sudah larut kota ini selalu terjaga. Oh, kenapa kota ini tidak mati saja? Bukankah keadaan nantinya akan jauh lebih damai? Ya, sama dengan dirinya. Jika dirinya mati, pasti hidup Rahee menjadi tent
Mobil Sean melaju tanpa arah. Usai memukuli Bayu sekaligus terkena tamparan Rahee, Sean persis merasakan sesuatu yang aneh. Sejak kapan Sean Ivano yang notabenenya adalah pria egois bisa peduli terhadap Rahee? Bukan urusan Sean jika Rahee tahu Bimo berniat bunuh diri. Dulu hanya Heredit Hera yang dapat meluluhkan rasa simpatinya. Lalu kenapa sekarang Rahee masuk ke dalam salah satu orang yang mampu mengusik sisi tersebut?"Brengsek! Brengsek!" maki Sean sambil memukul setir mobil.Dia berhenti di bahu jalan, lalu meneguk kaleng birnya. Selagi mencari jawaban dari hal yang mengganggunya, nama Aditya sang manajer muncul di layar ponsel."Sean! Apa-apaan ini?! Kau memukuli anak direktur rumah sakit?!" teriakan Aditya langsung terdengar."Siapa maksudmu?""Dokter Bayu Sasono. Ada artikel di internet yang memuat berita demikian, bahkan wajah Rahee yang diblurkan juga ikut terpampang," Aditya be
Sean pikir dirinya sinting. Sean pikir dirinya terkena guna-guna atau semacamnya. Apa pun sebutannya, dia masih tak percaya bahwa dirinya melemparkan stick drum ketika konser HEXID masih berlangsung. Mereka baru memainkan dua lagu, dan Sean beranjak hendak pergi."Aku akan absen untuk konser malam ini," jelas Sean pada Ezra yang sempat menahannya untuk kembali ke backstage."Apa kau gila?!" Ezra mendorong tubuh Sean. "Aku tidak peduli tentang masalahmu, tapi tolong tunjukan profesionalitasmu pada fans kita!"Venue konser di Malaysia memang dua kali lipat lebih besar daripada di Singapura, dan Sean bisa lihat itu. Beruntung, Mark dan Lucas sedang bercanda dengan para penggemar, sehingga keributan kecil antara Sean dan Ezra tak nampak.
Langit malam di Singapura indah. Bintang-bintang seperti berlomba muncul untuk menunjukan kecantikan mereka. Mungkin di Indonesia pun sama indahnya, hanya saja Rahee jarang memerhatikan. Sebelumnya, dia tak mempunyai kesempatan untuk menikmati keindahan sekitar. Untuk bernafas saja dia kesulitan, karena hidupnya hanya fokus pada kerja. Jadi, dia terkesan dengan pemandangan yang ada di hadapannya.Rambut Rahee yang masih basah tersapu sepoian angin. Hotel yang dia inapi tidak memiliki balkon, sehingga menempatkan bokong di pinggiran jendela adalah cara yang dia lakukan sekarang. Dia harus ekstra hati-hati, salah sedikit saja, dia bisa terjatuh dari lantai 5. Uh, memikirkan kemungkinan itu membuatnya spontan berdiri ngeri.Pun Rahee mulai melakukan peregangan kecil. Dari ujung kaki hingga ujung kepala dia gerakan. Sebelumnya Rahee sudah m
Ketagihan. Kata itu berputar di kepala Rahee selama dia menyantap semangkuk ramen. Aneh sekali. Kenapa Sean ketagihan dengan dirinya ketika ada ramen selezat ini? Rahee mengigit ujung sumpit, kemudian melirik diam-diam pada ramen Sean yang sama sekali tidak tersentuh. Dia menelan air liurnya karena ramen miliknya sudah lenyap tak bersisa. "Kau bisa makan punyaku jika mau," Sean menyodorkan mangkuk ramennya seakan-akan mempunyai kemampuan membaca pikiran. "Bolehkah?" tanya Rahee ragu. Sejak kemarin malam Rahee belum makan, dan kini perutnya seperti memerlukan porsi ekstra. "Hmm makanlah," kata Sean, membuat cengiran di wajah cantik Rahee terbentuk. Gadis itu menyeruput ramen milik Sean dengan semangat 45. Sementara Sean menompangkan dagu menggunakan tangannya, merasa senang mendapati Rahee mempunyai selera makan yang besar. Umumnya para gadis akan bersikap malu-malu, dan bahkan berpura-pura tid
Satu jam sebelumnya...Sean melangkahkan kaki pada turunan anak tangga. Dia memakai kembali kacamata hitamnya, kemudian berbalik memandangi bangunan mewah di belakangnya. Psikiater tolol, batin Sean murka. Sebelum menuju bandara, Sean sengaja membuat janji dengan seorang Dokter Psikiater. Psikiater ini memiliki nama besar, dan beberapa orang menyebutkan bahwa psikater yang baru dia datangi adalah yang terbaik di Singapura.Sean membuang ludah ke aspal jalan, tak setuju. Bisa-bisanya psikater tersebut bilang bahwa Hera, kekasihnya, tidak memiliki kesempatan untuk kembali normal. Di dalam tadi Sean melakukan video call bersama Dokter Willy –dokter yang bertanggungjawab mengawasi Hera. Dokter Willy menaruh ponsel secara diam-diam, lalu mulai berinteraksi dengan Hera. Sehingga Sean dan psikater dapat melihat segala sesuatu di lain tempat. Namun psikater justru membuat pernyataan yang menjadikan Sean marah."Dari
Rahee menarik kopernya keluar kamar dengan tergesa-gesa. Bus rombongan para staf sudah berangkat beberapa saat yang lalu, dan dia tidak punya pilihan selain menyusul sendirian. Setengah berlari, Rahee menuju ke lift sambil mencari taksi via online. Oh, sekilas ini memang nampak mudah, tapi ternyata cukup sulit. Masalahnya tak ada satupun taksi yang bersedia mengantarkannya ke bandara. Semua menolak pesanannya.Begitu tiba di lobi, Rahee mengembalikan kunci ke bagian respsionis. Tidak lupa dia turut bertanya, "Apa mudah menemukan taksi di sekitar hotel? Saya harus ke bandara sesegera mungkin.""Biasanya mudah, tapi ini sudah masuk jam sibuk. Jadi mungkin akan ada sedikit kendala," jawab si resepsionis kemudian mengambil handy talkie. "Security, bisa tolong carikan taksi menuju bandara untuk tamu hotel kita?""Baik, dimohon tunggu sebentar," jawab si security yang dapat terdengar oleh Rahe
Rahee sedang berkirim pesan dengan Perawat Wendy. Jarak Rahee dan Bimo boleh saja berjauhan, tapi itu tidak membuat perhatiannya pada sang adik berkurang, justru dia kian memberikan perhatian lebih. Perawat Wendy bilang jika Dokter Bayu selalu ada untuk Bimo. Jeno juga sesekali datang ke rumah sakit. Ah, Rahee bersyukur Bimo dikelilingi oleh orang-orang baik. Setidaknya selama tur HEXID berlangsung, dia bisa sedikit tenang. "T-tidak. Menjauh dariku." Rahee mematikan ponselnya, lalu melirik ke arah ranjang. Sean ternyata tengah mengigau dalam tidurnya. Dengan ragu Rahee mendekat, dan yang dia heran adalah wajah Sean nampak ketakutan. Keringat disekitaran dahinya juga cukup banyak, seolah-olah pria itu dihantui oleh sesuatu hal menakutkan. Apa yang Sean mimpikan? "Pergi! Pergi!" Tangan Rahee terulur untuk membangunkan Sean, namun dia urungkan. 'Tugas'nya malam ini sudah selesai, dan dia hendak kembali ke
Venue konser berada di sebuah stadion dengan kapasitas 20 ribu penonton. Hal yang menakjubkan adalah tiket konser HEXID di Singapura sold out. Riuh teriakan para penggemar terdengar hingga backstage, dan Rahee jelas bisa mendengar semua itu. Saat ini penyanyi lokal sedang bertugas sebagai pembuka, jadilah jelas waktu yang Rahee miliki tidak banyak. "Tenang, Rahee. Tenang," gumam Rahee pada dirinya sendiri. Dia gugup karena ini adalah pertama kalinya dia memiliki klien pria, dan yang lebih membuatnya gugup adalah pria itu Sean. Master-nya, bosnya, dan pria yang sangat Rahee benci. Itulah macam-macam julukan yang Rahee sematkan. Sementara Sean yang tengah hanya diam saja. Ya, Sean tidak bicara apa pun sejak keluar dari fitting room hingga kini. Rahee sungguh tidak mengerti dengan mood Sean. "Kau ingin model rambut seperti apa?" tanya Rahee. "Itu pekerjaanmu. Kenapa kau harus me
Sean menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya dalam satu helaan nafas. Risau perasaannya, membuat dia tekan ujung putung rokoknya yang masih panjang di atas asbak. Sean menatap tangan kanannya. Permukaan tangannya masih merah dan panas, tanda bahwa tamparan yang dia berikan pada Rahee tadi begitu keras. "Kenapa kau memandangi tanganmu seperti itu?" tanya Ezra, mendatangi Sean yang sejak tadi duduk di balkon kamar hotel seorang diri. "Oh, kau ingin bermasturbasi? Sebentar, ponselku sebentar lagi penuh." Iya, Ezra berada di kamar Sean untuk meminjam kabel charger. Bukannya membawa benda itu, Ezra justru langsung meng-charger ponselnya di kamar Sean. "Aku tidak level melakukan itu," balas Sean, lalu dia melihat ke arah dalam kaamrnya. Ada sosok Lucas dan Mark yang tengah melakukan live di I*******m. "Sejak kapan kalian berdua ada di sini?" "Kami menyelinap di belakan
Melakukan suatu hal baru untuk kali pertama tentu mendebarkan. Entah konteks yang dapat diartikan sebagai debaran menyenangkan ataupun buruk. Satu hal pasti, kali ini debaran menyenangkan tengah menyelimuti Rahee. Usai pemeriksaan imigrasi dan klaim bagasi yang menurutnya rumit, Rahee menatap kagum seisi Bandara Changi Singapura. Ini pertama kalinya dia berpergian ke luar negeri. Seumur hidup dia tidak pernah meninggalkan Indonesia, termasuk Bimo. Walau sangat berat bagi Rahee, Bimo memastikan bahwa dirinya akan baik-baik saja. Ah, anak itu memang selalu bertindak terlalu dewasa. "Kak! Ini baru 3 jam sejak kau pergi, dan kau sudah menghubungiku?" pekik Bimo disebrang sana. Rahee mengganti menjadi mode video call, lalu menunjukan sekelilingnya. Wajah Bimo seketika berbinar penuh takjub, "Wow, bagus sekali. Aku iri padamu." "Tidak boleh iri, karena aku akan membawamu kemari." "Bisakah?" gumam Bi