Rey mengutak-atik ponselnya, lantas memperlihatkan sebuah foto. Di sana, terpampang tiga pria berbeda generasi, berdiri di depan sebuah lukisan. Aku mengernyit saat menatap foto itu. "Ini adalah aku, Ayah, dan juga Pak Cahya Handoko. Aku paham sedari awal, kamu pasti curiga sama aku, 'kan? Seandainya kemarin kamu bilang, kamu gak usah pergi jauh-jauh ke Jakarta," tukasnya sembari memasukan ponsel ke saku celananya. Ada rasa malu juga bersalah di sana. Aku enggan menanggapi, hanya menunduk, menatap lantai dengan pikiran serba salah. "Soal Nyonya Besar, aku kurang tau. Cuma, kalo tidak salah Megan punya Nenek dari pihak ibu yang sering dia panggil Oma. Pernah aku minta ketemu, tapi Megan bilang tidak sembarang orang bisa bertemu dengan omanya." Jangan-jangan, wanita itu yang disebut Nyonya Besar oleh Kang Budi. Aku langsung menanyakan jadwal pekerjaan Rey hari ini. Untung saja pria itu bilang sedang longgar. Untuk memanfaatkan waktu, aku memintanya untuk mengantar ke Rumah Sakit Jiw
"Maksud Bapak cara apa?"Pak Agung hanya terdiam, tanganya di lipat di atas perut yang membuncit. Napasnya naik turun, seperti kelelahan menghadapi hari-hari yang begitu berat. Ia mengusap rambut hitam putrinya lalu berkata, "Nanti juga kamu tahu, Bapak sedang negosiasi dulu untuk persyaratannya." Dahi Putri mengeryit, ia merasa curiga kalau bapaknya sedang merencanakan sesuatu yang gila. Ketika hendak membuka suara, Bu Aini keluar dari ruang ICU, matanya terlihat sembab. Putri menggeser duduknya, mempersilakan sang ibu untuk duduk di kursi bagian tengah. Ketiganya duduk dengan posisi yang sama, punggung bersandar ke dinding dan kaki diselonjorkan. Bahkan, Pak Agung memijat lutut beberapa kali karena memang ia mempunyai riwayat penyakit rematik. Hanya saja belum terlalu parah. "Lebih baik, Bapak sama Ibu pulang dan istirahat di rumah. Via biar Putri saja yang jaga," ucap Putri sembari melirik jam hitam di tangan kirinya yang sudah menunjukan pukul 21.00 waktu setempat. "Emang kamu
[Kamu masih di rumah sakit? Mau aku temenin? Aku ada pemotretan di Braga barusan, ini baru selesai] Sebuah notif masuk sekitar jam 01.00. Dahiku mengernyit, melihat Rey jam segini baru selesai pemotretan. Motret apa? Miss Kun? Merasa jenuh dengan keadaan, aku langsung membalas pesan dari Rey dan menyetujui usulan pria itu untuk datang. Tak lupa memintanya membawa makanan karena aku merasa sangat lapar. Sedari tadi aku sengaja bermain game di ponsel karena suasana rumah sakit tengah malam begini sangat sepi. Di sebelah ruang ICU ada tangga dan di sana begitu gelap. Sesekali perawat lewat, hanya untuk mengecek keadaan Via. Sisanya, hanya keheningan. Kini, pantatku sudah terasa panas. Bergegas aku bangkit, mengintip ruangan ICU. Cukup kesulitan karena dilapiri kaca buram. Sementara kaca bening hanya di bagian tengah saja. Ketika melihat ke dalam, suasana tak kalah sepi. Di sana, hanya ada Via yang terbaring lemah. Entah kapan gadis itu sadarkan diri. Aku langsung memutar badan, kemb
"Bapak pernah mendengar istilah rumah itu bisa mengubah watak pemiliknya? Bisa jadi lebih baik, atau jauh lebih buruk. Tinggal pilih Bapak mau yang mana." Mendengar ucapanku, Bapak mengucap istigfar. Semantara aku berdiri dan hendak pergi, tetapi tangan Bapak menarik tanganku. Karena tidak kuat membendung air mata, aku mengempas cekalan itu. "Neng, Bapak minta maaf. Barusan Bapak hanya sedang banyak pikiran."Aku tidak peduli dengan kata-kata Bapak, sontak aku berlari dan masuk ke kamar, menutup pintu lalu menguncinya dari dalam. Apa lagi yang aku lakukan selain menumpahkan segala kekesalan dan kekecewaan lewat air mata. Bapak yang dulu lemah lembut, kini berubah menjadi keras dan keluar dari adab serta aturan. Aku hanya takut, bagaimana jika Kang Budi meninggal gara-gara Bapak? Dibunuh, misal. Ya Allah, aku belum siap melihat beliau dipenjara. Kasian Ibu dan juga adik-adikku. Suara notifikasi ponsel membuatku bangkit dan mengambil benda tersebut di saku celana. Ternyata itu dari
Sepulangnya keluarga Ustaz Imran, aku menyimak semua foto yang diberikan oleh Rey. Belum ada video di sana, mungkin ia masih sulit mengambil gambar. Jika hanya foto, sepertinya masih diperbolehkan. Masalahnya, ia adalah orang baru dalam kelompok tersebut. Aku masih sulit percaya, jika Bapak yang notabenenya orang fanatik dalam agama, bisa terjerumus dalam hal seperti itu. Aku pun masih bingung dan beberapa kali bertanya pada dirinya sendiri, "Kok, Bisa?"Banyak hal yang aku pikirkan, tetapi sebisa mungkin tenagaku disisakan untuk menjaga Via di rumah sakit. Dengan cepat aku memesan mobil online setelah mandi, ingin segera sampai dan membicarakan hal ini pada ibu-terutama tentang ruqiah yang akan dilakukan oleh Ali.Banyak chat berdatangan dari grup, menanyakan kabarku. [Put, lo baik-baik aja kan?] [Jangan lupa makan, Put][Stay strong ya] Mereka memang sahabat terbaikku. Mungkin karena aku memasang wajah sedih di status di WA. Aku langsung mamasukan posel kembali ke dalam tas sele
Kenapa aku ada di rumah? Bukannya tadi di kantin rumah sakit? Atau aku sedang bermimpi? Pertanyaan itu muncul ketika aku terbangun dan tengah duduk di dapur. Pintu gudang terlihat terbuka, bahkan ada suara seseorang yang tengah mengobrol. Penasaran, aku pun beranjak dan mulai berjalan perlahan menuju arah pintu. Aku mulai menuruni tangga, tetapi langkahku terhenti seketika. Di bawah sana, ada seseorang tengah melukis seorang wanita cantik. Dari perawakan si pelukis, itu seperti Pak Cahya. Sementara di samping Pak Cahya ada wanita berkebaya merah dengan sanggul yang begitu rapi. "Cantik sekali," ucap wanita itu memuji. Entah siapa yang dipuji. Hasil lukisan atau wanita yang berada di depannya.Kalau ini mimpi, tentunya mereka tidak bisa melihatku, bukan?Ruangan ini terlihat bukan seperti gudang, malah seperti studio foto, menurutku. Apa ini gambaran di masa lalu? "Daddy, jahat!" Sebuah teriakan dari arah luar lumayan kencang. Gegas aku keluar, melihat apa yang terjadi. Seorang gadi
Putri menatap bapaknya dengan mata berkaca-kaca. Meneliksik wajah semringah tersebut. Terlihat tanpa dosa. Gadis itu berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa ini bukan salah sang bapak, melainkan otaknya yang sedang dipermainkan oleh para iblis. Dengan badan lesu, Putri berbalik dan berniat untuk pergi. Ia merasa tidak ada nafsu untuk mencari ribut, mungkin efek dari demam. Saat Putri berbalik, tangannya dicekal oleh Pak Agung. "Bapak sedang bicara Neng, dengarkan dulu. Bapak yakin Tuan bisa membangunkan Via," ucapnya berapi-api. Awalnya Putri membiarkan bapaknya merayu, lama kelamaan, gadis itu merasa muak. Diempasnya tangan Pak Agung. Refleks pria itu ingin menampar, tetapi dengan cepat ia mengucap istigfar. "Kenapa berhenti, Pak? Tampar saja atuh. Paling Bapak gak akan bisa lihat Putri lagi besok. Tapi kayaknya itu bukan masalah buat Bapak." Hening. Pak Agung terdiam seraya mengatur napas yang naik turun. Dirinya pun bingung, mengapa bisa ada dorongan kuat untuk bersikap kasar
Putri berjalan terseok menuju rumah yang pernah ia datangi. Dari kejuahan, ia melihat rumah dari bilik itu berdiri kokoh tanpa penghuni. Di depannya sudah ada garis polisi, tandanya tidak bisa sembarangan orang masuk. Namun, bukan itu tujuan Putri, melainkan makam di samping rumah tersebut. Dengan mata sayu, ia menatap batu nisan bertuliskan 'Budi', hari lahir beserta hari wafatnya. Gadis itu terduduk sejenak, membuka ponsel. Ternyata, ia membuka Al-Quran digital dan membacarakan surah yasin dengan mata berkaca-kaca. Tak sampai berjam-jam, hanya hitungan menit Putri selesai membaca lantunan ayat suci. Air matanya menetes, mengusap batu nisan yang terlihat kusam karena mungkin terguyur hujan beberapa hari ini. "Kenapa Akang harus meninggal sebelum semuanya terjawab?" tanya Putri. Ia jadi teringat saat dirinya begitu membenci Kang Budi. Putri merasa, almarhum akan menyesatkan bapaknya. Ternyata ia salah, justru Kang Budi akan menyelamatkannya. Hanya saja, caranya salah. "Apa Bapak