Mataku mengerjap seketika saat meyadari aku tengah berdiri di ruang tamu sendirian. Seingatku, tadi aku dibawa oleh Lusi dan Rena. Ke mana mereka sekarang? Apa sudah pulang karena memang ini sudah malam.Perlahan kakiku mulai melangkah, menelusuri ruangan demi ruangan. Tampak begitu sepi. Aku mulai membuka kamar Via, tidak ada orang. Begitu juga dengan kamari Ibu. Ketika aku di dapur, terdengar suara pintu luar terbuka, lalu suara langkah dengan mengenakan sepatu. Cepat-cepat aku ke depan, takut ada orang jahat masuk. Namun, mataku menyipit seketika ketika gerombolan pria berbadan tegap dan besar membopong tubuh Megan dan membawanya masuk ke kamarku. Aku baru paham sekarang, ternyata ini mimpi seperti waktu itu. Gegas aku ikut masuk, gadis belasteran itu sudah dibaringkan di atas ranjang. "Kalian boleh pulang, ini uang tutup mulutnya," ucap wanita berkebaya merah yang di mimpi kemarin pun dia ada. Para pria berpenampilan casual itu pun mengangguk, lantas pergi dari rumah ini. Sema
Ali mengangguk. "Tadi gak tau kenapa ada dorongan kuat untuk ke sini Neng. Ternyata bener, Neng dalam keadaan bahaya." Ya Allah, aku jadi membayangkan jika tadi posisinya sendirian di rumah. Mungkin aku sudah mati. Aku langsung mengucapkan permintaan maaf dan terima kasih pada mereka semua. "Kayaknya karena kamu lagi kurang feet, Put. Jadi mereka gampang buat ganggu kamu. Oyah, tadi apa yang kamu rasain?" tanya Lusi. Aku merenung, mencoba berpikir dari mana harus menceritakan kejadian tadi. Akhirnya, aku memilih untuk mengatakan, "Cuma mimpi, Lus. Tapi ya agak aneh aja.""Banyak zikir, Neng. Insya Allah, di mana pun kita berada akan selalu dilindungi oleh Allah." Ali mulai bersuara. Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan anggukan. Setelah berbincang lama, Ali pun berpamitan pulang. Tidak lupa ia mempagari rumah ini sebelum pergi. Katanya, Ali sudah memberi air ruqiah di setiap sudut. Sementara itu, Rena dan Lusi memilih untuk menginap. Mereka memang terbaik. Malam kian larut,
[Pliss, anter aku ke rumah sakit] Pesan yang tadinya akan aku kirim pada Rey, akhirnya dihapus kembali. Aku lupa, Rey itu sedang ada misi masuk ke lingkungan mereka. Bisa-bisa dia gagal jadi mata-mata di sana.Aku bingung harus meminta tolong pada siapa. Karena tidak ada cara lain, ojek online lah yang menjadi sasaran utama. Saat sudah mendapat driver, aku mengirim sebuah note agar menunggu di jalan besar saja. Agar tidak dicurigai Ibu dan Bapak, aku tidak membawa tas. Berpenampilan biasa dengan memakai jaket dan celana levis. Untuk alas kaki, mungkin hanya sendal yang ada di luar. Sebelum pergi, rambut kurapikan. Dari pantulan cermin, terlihat wajahku yang memucat apalagi di bagian bibir. Ah, sudahlah. Tidak ada waktu untuk bersolek, keselamatan Via jauh lebih penting. Cepat-cepat aku keluar dari kamar sambil memperhatikan laju driver dari Map. Sebentar lagi sampai. Namun, ketika menuju pintu, suara Ibu memanggil dari belakang. Aku terdiam sejenak, mengatur napas, mempersiapkan j
Kata terakhir membuatku muak. Aku semakin yakin, Bapak akan menumbalkanku seperti yang Megan alami.Orang-orang bodoh. Bahkan aku tidak paham maksudnya apa. Aku langsung duduk di samping Via. Kebetulan, ada satu bangku yang disediakan untuk penjenguk. Sementara di sudut lainnya ada sofa yang berjajar rapi. Via berada di ruangan kelas elite. Sepertinya, biaya di ruangan ini tidak main-main. Tentu Bapak dan Ibu akan mudah silau, jika yang ditawarkan mereka adalah kemudahan dalam mencari dunia. Nauzubillaminzalik.Tanganku mengusap sayang rambut gadis itu. Dia sudah tidak memakai banyak alat lagi, hanya inpusan di tangan saja. Apa dia benar-benar sudah membaik?Teringat ponsel dalam saku celana. Aku langsung melihat beberapa notif yang masuk. Ternyata Ibu dan Bapak yang beberapa kali menelepon. Biarkan saja, aku lebih memilih membuka chat Rena. [Udah diminum obatnya belum, Put?] Melihat perhatian sahabatku itu, tentunnya aku merasa senang. Segera aku balas, [Aku di rumah sakit, jenguk
Aku menatap Via yang sudah tertidur kembali. Tetiba, pintu ruangan terbuka. Ternyata Ibu dan Bapak yang masuk. Mereka menceramahiku karena sudah berbohong. Apa bedanya dengan mereka? Selama Ibu dan Bapak berbicara, aku menoleh pada jam dinding. Sudah 30 menit, pasti Suster Ana sudah menunggu. Tanpa melawan atau memberi jawaban, aku langsung ke luar dari kamar. Terdengar Ibu memanggil dari belakang, tetapi aku hiraukan. Dari kejauhan, terlihat beberapa orang tengah makan. Hanya terlihat sebagian karena memang ditutup oleh spanduk besar yang menutup sebagian warung. Saat aku membuka kain penutup, terlihat Suster Ana tengah mengaduk tehnya. "Sus, maaf telat," kataku seraya duduk di hadapannya. Jarak kami kini tersekat meja. "Tidak apa-apa. Oh, nama saya Ana. Namu kamu siapa?" tanyanya menyodorkan tangan. Aku langsung memperkenalkan diri. "Saya Putri, Sus. Bagaimana, apa ada yang Suster tahu?" Suster Ana menceritakan awal mula kecurigaan pada orang yang menjenguk Via. Katanya, semua
Bapak dan Ibu tidak salah, Put. Mereka tetaplah orang tua yang baik, yang rela melakukan apa saja untuk kebahagiaan putrinya. Mungkin saat ini, Allah tengah menguji keimanannya. Doakan saja, semoga Allah segera membuka pintu kebenaran," ucap Ali menenagkanku yang masih terisak. "Cuci otak itu membuat orang tidak sadar dengan apa yang dia lakukan. Om yakin, setelah mereka kembali, mereka tidak mengingat apa pun yang sudah terjadi." Kini Om Tio menimpali. "Aku cuma ingin Bapak dan Ibu lepas dari jerat mereka, dan kami pindah dari rumah ini. Jujur, Putri merasa sangat capek, Om, A," keluhku dengan suara yang nyaris hilang. "Insya Allah, atas izin Allah semua akan baik-baik saja." Ali mencoba memberi semangat. "Oh, iya, tidak ada anak kecil di rumah ini, kan? Bahaya." "Tidak ada Om, Ita dititip di rumah Nenek."Akhirnya, Om Tio dan Ali sepakat untuk meruqiah dan bermediasi di rumah ini sekarang juga. Siapa tahu, dengan begitu pengaruh cuci otak para iblis itu bisa sekalian lenyap. A
Tak ada yang bisa menebak jalan hidup manusia. Apalagi, segala sesuatu yang sudah terkubur dalam tanah. Namun, jika sudah ada kalimat Kun Fayakun dari Maha Pencipta, maka segala yang tidak mungkin akan menjadi mungkin. Begitu juga dengan hari ini, Allah menunjukan kuasanya agar aku bisa melihat sebuah kebenaran yang terjadi. A Ali memberiku air, membuatku bisa sedikit lebih tenang. Terlihat Lusi masih sesegukan di depan sana.Setelah memberi air untukku, ia pun meminta Lusi untuk minum. Dengan dibantu oleh Rena, akhirnya Lusi bisa menghabiskan air doa tersebut.Lantunan ayat suci dari Aldy dan Bagas masing terdengar. Om Tio pun terlihat tengah berzikir di bawah dengan beralaskan sajadah. Tak berselang lama, kegiatannya pun usai. Om Tio mulai bangkit dan duduk di sebelah Lusi, beliau membacakan doa lalu mengusap wajah gadis itu beberapa kali. "Tetap zikir dan jangan lepas beristigfar, ya," ucapnya. Lusi hanya mengangguk. Lantas, pria itu berpindah tempat duduk menjadi di sampingku.
Saat masuk ke dapur, suasana masih terasa sama. Gelap dan mencekam. Lampu aku nyalakan untuk membuat rumah ini sedikit terang. Aku mulai masuk kamar mandi dan tidak ada gangguan apa-apa. Namun, ketika baru sampai ambang pintu. Terdengar suara teriakan dari kamar, seperti suara Lusi. Gegas aku berlari menghampiri, gadis itu tengah mencekik dirinya sendiri. Terlihat pula Rena yang berusaha menenangkan."Lusi, istigfar Lu! Ya Allah," ucap Rena menarik tangan Lusi. Aku langsung berlari, ikut menariknya karena wajah Lusi sudah membiru. "Lā haula wa lā quwwata illā billāhil 'aliyyil azhīmi. Allahu Akbar!" teriakku dengan penuh keyakinan, sampai akhirnya tangan Lusi terlepas dan ia pun terbatuk-batuk. Kami semua mengatur napas secara bersamaan, merasa lega, tetapi tetap waspada. Aku langsung menghubung A Ali dan menceritakan kejadian barusan. Dia mengirimkan rekaman lantunan ayat rukiah dan itu suaranya sendiri. Setidaknya, membuat kami bisa tidur kembali. ***"Assalamualaikum." Suara sa