Tak ada yang bisa menebak jalan hidup manusia. Apalagi, segala sesuatu yang sudah terkubur dalam tanah. Namun, jika sudah ada kalimat Kun Fayakun dari Maha Pencipta, maka segala yang tidak mungkin akan menjadi mungkin. Begitu juga dengan hari ini, Allah menunjukan kuasanya agar aku bisa melihat sebuah kebenaran yang terjadi. A Ali memberiku air, membuatku bisa sedikit lebih tenang. Terlihat Lusi masih sesegukan di depan sana.Setelah memberi air untukku, ia pun meminta Lusi untuk minum. Dengan dibantu oleh Rena, akhirnya Lusi bisa menghabiskan air doa tersebut.Lantunan ayat suci dari Aldy dan Bagas masing terdengar. Om Tio pun terlihat tengah berzikir di bawah dengan beralaskan sajadah. Tak berselang lama, kegiatannya pun usai. Om Tio mulai bangkit dan duduk di sebelah Lusi, beliau membacakan doa lalu mengusap wajah gadis itu beberapa kali. "Tetap zikir dan jangan lepas beristigfar, ya," ucapnya. Lusi hanya mengangguk. Lantas, pria itu berpindah tempat duduk menjadi di sampingku.
Saat masuk ke dapur, suasana masih terasa sama. Gelap dan mencekam. Lampu aku nyalakan untuk membuat rumah ini sedikit terang. Aku mulai masuk kamar mandi dan tidak ada gangguan apa-apa. Namun, ketika baru sampai ambang pintu. Terdengar suara teriakan dari kamar, seperti suara Lusi. Gegas aku berlari menghampiri, gadis itu tengah mencekik dirinya sendiri. Terlihat pula Rena yang berusaha menenangkan."Lusi, istigfar Lu! Ya Allah," ucap Rena menarik tangan Lusi. Aku langsung berlari, ikut menariknya karena wajah Lusi sudah membiru. "Lā haula wa lā quwwata illā billāhil 'aliyyil azhīmi. Allahu Akbar!" teriakku dengan penuh keyakinan, sampai akhirnya tangan Lusi terlepas dan ia pun terbatuk-batuk. Kami semua mengatur napas secara bersamaan, merasa lega, tetapi tetap waspada. Aku langsung menghubung A Ali dan menceritakan kejadian barusan. Dia mengirimkan rekaman lantunan ayat rukiah dan itu suaranya sendiri. Setidaknya, membuat kami bisa tidur kembali. ***"Assalamualaikum." Suara sa
"Ponselku mati, kayaknya semalem lupa cash deh," ucap Rena saat berada di mobil ketika hendak pulang. "Oh, iya, lupa. Aku juga belum aktifin ponsel. Pasti Putri nyariin kita." Dengan cepat Lusi merogoh ponselnya di tas dan mengaktifkan benda pipih itu. Seketika puluhan pesan masuk, juga laporan telepon. Gadis itu langsung memperlihatkan hal tersebut pada Rena. Tak lama, ponsel kembali berbunyi sebab di rumah, Putri sudah menyadari ponsel salah satu sahabatnya sudah aktif. "Putri telepon," kata Lusi, ia pun langsung menggeser tombol hijau. Seketika suara tangisan Putri menjadi pembuka percakapan. Dengan cepat Lusi meloadspeker ponselnya. "Kamu kenapa, Put?" "Aku khawatir sama kalian ya Allah, kalian ke mana, sih? Aku takut kalian kenapa-kenapa?" Suara Putri bergetar, kedua gadis itu bisa merasakan kekhawatiran Putri karena mereka pergi tanpa pamitan. Lusi yang bingung harus menjawab apa, melirik ke arah Rena dan hanya dibalas dengan mengangkat kedua tangannya. Karena merasa tidak
Putri melihat masih ada harapan menyadarkan sang ibu. Lantas, ia mengajak ibunya ke kamar Via dan memancing adiknya dengan makanan agar Bu Aini percaya ada keanehan dalam diri Via. "Ibu bisa lihat sendiri apa yang terjadi." Putri langsung menarik tangan ibunya menuju kamar Via. Kebutulan, Pak Agung sibuk mengurus tanaman di halaman depan dan belakang. Pintu dibuka, terlihat Via tengah berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Gegas Putri membawa piring berisi makanan dan menyodorkannya pada Via. "Makan ini. Kamu pasti lapar, 'kan?" ucap Putri dengan nada ketus. "Via pasti kenyang, Neng. Dia kan udah makan nasi padang tadi." "Ibu sabar dulu atuh. Via, cepetan ini makan." Hening. Tidak ada jawaban dari Via, gadis itu tetap sibuk menatap atap kamar dengan pandangan lurus. Merasa kesal, Putri membentak adiknya. "Via! Cepetan makan!" Bukannya menuruti perintah Putri, Via justru mengibaskan tangannya, membuat piring yang Putri bawa tadi terempas dan pecah. Makananya ber
Sesudah Isya, aku masih merasa cemas karena Aldy dan Bagas belum juga memberi kabar tentang obat bius yang aku minta. Chatnya centang dua, tetapi masih belum dibaca. Sementara di luar hujan begitu lebat. Aku juga menghubungi Ali dan Om Tio di grup, meminta arahannya saat melakukan biusan pada Via nanti. Mereka menyarankan untuk hati-hati karena tubuh Via dikuasai oleh jin. [Jadi aku harus gimana?] [Nanti kalo obat biasnya datang, kamu telepon Om ya. Letakan HP dekat obat itu, Om coba bacakan dulu ayat ruqiah supaya jinnya sedikit melemah] balas Om Tio. [Kabari saya juga, Put. Saya menunggu di luar rumah kamu nanti ya. Hati-hati pokoknya.] Kali ini Ali yang menyahut. Alhamdulillah, aku dikelilingi orang baik dan pemberani dan itu membuat aku menjadi orang yang nekat. Insya Allah, ini semua demi kesembuhan Via. Masalah Ibu dan Bapak, itu urusan belakangan. [Renacananya Via mau dibawa ke mana Put?] Chat dari Om Tio masuk kembali. [Ke rumah nenek aja Om, di sana tolong ruqiah Via y
Langkahku tergesa untuk melihat kejadian di dalam sana. Saat berada di depan pintu kamar, mataku terbelalak melihat Via dalam keadaan kayang. Ia tertawa nyaring, kadang menangis."Kita ruqiah saja sekarang Om, saya wudu dulu." Ali melirik ke arahku. Karena paham apa maksudnya, aku menunjuk pintu sebelah kiri dari kamar ini. Pemuda itu mengangguk, lalu berlari.Om Tio masih terlihat melafalkan sesuatu. Tak lama Ali datang, bergantian dengan Om Tio yang mengambil wudu. "kalo Via sudah dalam keadaan normal, tolong pakaikan dia mukena, ya," ucapnya seraya menggulung lengan kemejanya lalu berjalan masuk ke kamar. Di awali dengan basmallah, Ali berdiri di depan ranjang lalu mulai melantunkan ayat dengan suara merdunya. Sementara nenek datang dari kamarnya membawa mukena. "Kalian bisa bantu membaca surah Al-Jin. Mau di ponsel atau Al-Quran gak masalah," ucap Om Tio, membuat kami semua yang berdiri di pintu mengangguk paham. Nenek menuntunku yang masih terisak, tangannya memelukku dari bel
"Kamu ini kenapa, Gung? Emak perasaan kenal kamu sebagai orang yang kuat iman dan bertanggungjawab. Kenapa jadi gini?" tanya Nenek, Bapak hanya menunduk. Sengaja aku ikut duduk di samping Nenek, agar mudah menahan Bapak saat ingin bertemu Via. Ita aku suruh menemani kakaknya supaya ada teman mengobrol."Mak, saya melakukan ini supaya kehidupan saya dan anak-anak mendapat kedamaian." Nenek tampak menggeleng sembari mengucap istigfar. "Salat, Gung. Salat dan sedekah, dua hal eta yang bikin hidup damai. Kalo sekiranya kamu melakukan hal baik untuk anak-anak, mereka gak akan ketakutan gini pas ketemu kamu." "Mereka masih kecil, Mak. Belum paham dengan asam garam kehidupan," elak Bapak. Nenek tampak geram. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama cucu Emak, demi Allah ... Emak gak akan maafin kalian." Karena takut darah tinggi Nenek kambuh, aku meminta beliau menemani Via dan Ita saja di kamar. Urusan bicara pada Bapak, biar aku yang hadapi, meski di hati ada rasa takut. Nenek pun beranjak
Sedih, bahagia, mati, dan hidup memang rahasia Tuhan. Lantas, apakah kesesatan ini bagian dari skenario Tuhan? Beribu kali aku berpikir, tetapi belum menemukan jawaban. Hanya bisa menangis di ranjang milik Ibu dan Bapak. Di luar tidak terdengar pembicaraan apa pun, hanya terdengar suara aktivitas memasak. Sepertinya Ibu. Tak lama, pintu dibuka. Aku menoleh sesaat. Ibu membawa nampan yang diisi nasi dan beberapa lauk. Pintu terbuka dengan lebar, entah kenapa bukannya ingin kabur, aku malah ingin bicara pada Ibu dari hati ke hati. Beliau meletakkan nampan di atas meja rias samping ranjang, lalu menarik kursinya dan duduk di sana. "Makan dulu, Neng. Kalo udah banyak tamu, Ibu bakalan sibuk."Pasti tamu yang Ibu maksud adalah orang-orang yang akan menghadiri upacara laknat nanti malam. Aku menghela napas kemudian menjawab, "Padahal Ibu ga usah bawa makanan, bukannya Putri bakalan jadi tumbal kalian? Akhirnya, kan, mati juga." "Kamu bukan menikah secara fisik, Put. Tapi hanya secara si