Penjaga yang berusaha melawan berhasil dilumpuhkan. Sementara polisi yang lain berpencar untuk menangkap semua yang ada di dalam. Termasuk Ali dan Om Tio, ia menendang pintu kamar di mana seorang pria tanpa pakaian tengah berdiri mengangkat tangannya. Om Tio yang emosi berlari dan menonjok rahang pria itu. Ia merasa tak tega melihat Putri yang sudah dianggap keponakannya sendiri. Begitu juga Rena serta Lusi, mereka berlari menghampiri sahabatnya dan membetulkan kancing bagian atas yang sudah terbuka. Sementara itu, Ali menghampiri orang tua Putri, menatap Bu Aini yang bergetar ketakutan. Berbeda dengan Pak Agung, ia masih bertanya, "Ada apa ini? Kenapa kalian masuk tanpa izin? Kenapa Tuan Nur ditangkap?" "Tenang, Pak. Mari ikut saya ke luar." Di luar terjadi keramaian, warga yang ronda ikut membantu pengejaran orang-orang yang kabur. Tak lama, suasana mencekam itu sedikit mereda dengan dimasukkannya mereka ke mobil khusus—termasuk Bu Aini dan Pak Agung. Om Tio lebih memilih pergi
Beberapa hari sebelum kematian Kang Budi ....Pria itu memandang rumah Pak Rehan—pria yang selalu ia panggil Tuan. Ia merasa terhormat, diundang untuk makan malam dan dijemput oleh sopir. Puluhan tahun mengabdi pada keluarga Megan, membuat Kang Budi dekat dengan omnya Megan tersebut. Fisik Kang Budi sudah tak sesempurna dulu, bahkan tampak menjijikkan jika dipandang orang lain. Namun, Pak Rehan tidak pernah menjadikan itu sebagai masalah. Ia tetap memperlakukan Kang Budi layaknya keluarga—bukan tukang kebun keluarga Megan.Kang Budi keluar mobil dengan perlahan, kakinya diseret, apa lagi ketika menaiki tangga menuju pintu. Kakinya terkadang terseok dan dengan baiknya sopir membantu beliau. Pak Sopir yang sudah mengabdi lama itu pun dengan sabar membuka pintu, mempersilakan tamu tuannya masuk. "Silakan, Kang. Saya ke pos dulu, ya. Kopi tadi belum habis, hehe," pamitnya. "Makasih, ya, Kang. Maaf tiap ke sini saya ngerepotin." Kang Budi membungkukkan badannya. "Enggaklah, kayak ke si
"Cariin rumah yang murah. Gak apa-apa banyak hantunya, itu mah bisa diusir," ucap Bapak tergelak ketika mengobrol dengan Pak Hasan—tetangga yang memang jadi perantara untuk jual-beli rumah di kampungku.Selama ini kami memang tinggal di rumah nenek dari pihak Ibu. Saudara Ibu sering sekali membicarakan keluarga kami karena tak mampu membeli rumah. Hingga akhirnya, bapak bekerja keras dan bisa menabung selama tiga tahun di bank. Entah berapa hasil tabungan Bapak sekarang."Sebenarnya ada, Pak. Malah saya udah coba tawarin ke mana-mana, pada gak mau. Udah nyerah tadinya, malah udah bilang ke yang punya gak akan nawarin lagi, capek. Tapi kalo Bapak mau, hayolah. Cuma, ya, itu ...."Aku yang tengah mengerjakan tugas sekolah di depan komputer langsung mengubah posisi duduk, penasaran apa yang akan dijelaskan Pak Hasan tentang rumah itu karena memang tempat nonton TV dan ruang tamu hanya tersekat oleh dinding saja. Jadi, pembicaraan mereka bisa terdengar.Tetiba Ibu melintas, membawa sepiri
Bapak dan Ibu masih sibuk bernegosiasi. Bahkan, Ibu minta agar Bapak berpikir ulang. Sepertinya mereka tidak bisa diganggu, aku pun meminta Ita untuk mengantarku ke tempat kediaman Via sambil sedikit berlari. "Di mana, Dek?" tanyaku.Ita terus menarik tanganku menuju dapur yang gelap. Hingga aku harus mencari sakelar terlebih dahulu. Sepertinya rumah ini diurus dengan baik, terlihat dari perabotan yang tertata rapi ketika lampu sudah menyala. Ita berhenti di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka—sangat sedikit, terdengar gemericik air dari keran di dalam sana. Aku meminta Ita untuk menunggu. Lantas, pintu kamar mandi aku buka sembari memanggil nama via. Namun, tidak ada siapa-siapa di dalam sana. Yang ada hanya gayung yang bergoyang di dalam bak mandi setinggi pusar orang dewasa itu.Dahiku mengernyit seketika. Sedikit kesal karena adikku berani berbohong. Dengan menghela napas panjang, tubuhku berbalik kemudian berjongkok kembali di depan Ita. Wajahnya terlihat bingung. Aku memeg
Aku meminta Ibu untuk berbicara empat mata dengan Bapak, berharap ada jalan yang terbaik. Jika Bapak bersikukuh, lebih baik mengalah. Siapa tahu rumah itu memberi rezeki pada penghuninya. Mungkin sugesti kami terlalu terfokus pada korban bunuh diri, belum tentu jika sudah ditempati, 'kan? Aku langsung memboyong Ita untuk masuk kamar. Kalau ada Nenek, pasti beliau minta dipijit. Kebetulan beliau sedang menginap di rumah Uwa karena akan ada acara hajatan. Sementara Ibu akan menyusul besok.Sebelum tidur, aku mengajak adikku untuk mengobrol sembari membuka kunciran rambutnya yang sedikit agak pirang itu. Ita berceloteh banyak hal, termasuk betapa semangatnya gadis kecil itu akan pindah rumah. Katanya, rumahnya ramai, tidak seperti di sini. "Masa, sih, Kakak gak lihat," ucapku sembari menyisir rambutnya. "Padahal Adek udah ajak mereka ikut, tapi pada gak mau," ketusnya mulai menyimpan boneka barbie yang sedari tidak ia mainkan di atas lemari kecil samping ranjang. Aku mulai menata ban
Kedua adikku hanya menatapku tanpa ada pembelaan. Sementara tangan Kang Budi aku lepas secara perlahan. Terdengar suara Bapak memanggil dari belakang, bahkan beliau berjalan menghampiri. "Ada apa ini teh, kok, rame?" tanyanya.Aku langsung berdiri, lantas bertanya pada Bapak, "Ini Bapak yang nyuruh?" Pria bertubuh tambun itu mengangguk. "Bukan nyuruh, tapi mempersilakan. Setiap tempat, ada aturannya tersediri. Bapak cuma mematuhi aturan itu, Neng. Gimana Kang Budi saja jadinya," jelas Beliau. Sepertinya, Bapak pun merasa tidak enak menolak permintaan Kang Budi.Akhirnya, aku pun beranjak dari tempat sembari mengucap kata 'terserah'. Via dan Ita kuminta pergi dari sana. Lebih baik, mereka membantuku membereskan kamar masing-masing dan memasukan pakaian pada tempatnya."Kamu, kok, diem aja Vi lihat yang kayak gitu," ucapku saat berjalan menuju kamar."Biarin aja kali, Kak. Bapak mah belum rasain sendiri, sih, akibatnya." "Huss, gak boleh didoain juga atuh." Dua kamar bersampingan, se
Setelah membaca doa sebisa mungkin, akhirnya kakiku bisa bergerak. Sontak aku berlari, masuk kembali ke rumah, tentunya menghampiri Ita di kamar. Terdengar Ibu memanggil dari dapur, bertanya aku kenapa. Namun, seolah tak peduli, fokusku hanya mencari Ita.Pintu kubuka dengan cepat, tetapi gadis kecil itu tidak ada. Hanya peralatan gambar yang berserakan di lantai. Karena panik, aku memanggil Ibu, beliau pun ternyata mendatangiku ke kamar. "Ada apa, sih, Neng?" "Adek ke mana, Bu?" tanyaku panik."Kan, dari tadi main sama kamu di kamar." Tanpa peduli jawaban Ibu, aku berkeliling rumah, mencari keberadaan gadis itu. Begitu juga kamar Via, berharap Adek ada di sana. Akan tetapi, yang ada hanya Via tengah mengerjakan sesuatu di lantai. "Via, Adek mana?" bentakku, gadis itu hanya menatapku bingung. "Gak ada ke sini. Emang ada apa, sih?"Kepalaku terasa berdenyut, keringat mengucur deras, merasa takut jika terjadi sesuatu pada Ita. Perut pun mendadak sakit. Aku memang seperti itu kalau se
Aku membuang bungkusan yang isinya bangkai ayam hitam. Mungkin karena mendengar teriakanku, sampai membuat Via dan Ita keluar. Mereka pun akhirnya ikut duduk bersama kami menunggu kedatangan Bapak.Sejurus kemudian, suara pintu diketuk. Gegas aku membuka pintu. Bapak tengah menata payung agar tidak tertiup angin. "Untung aja ada tetangga yang minjemin," ucapnya.Aku pun menutup pintu kembali setelah beliau masuk. Bapak mengernyitkan dahi saat menatap kami bergantian, lantas bertanya, "Aya naon? Kok, kalian natap Bapak kayak gitu." Ibu langsung berdiri dari kursi, menanyakan pada Bapak mau minun teh atau kopi. Hingga pilihan jatuh pada kopi hitam. Bapak tidak bisa minum kopi susu, lambungnya bisa kumat. Aku membiarkan Bapak duduk terlebih dahulu sambil mematikan TV, sebab di luar hujan makin deras dan petirnya pun kian kencang. Khawatir jika TV dibiarkan menyala, takut listriknya tersambar. Via dan Ita pun aku suruh masuk ke kamarku untuk tidur. "Pak, Putri mau bicara." Aku mulai me
Beberapa hari sebelum kematian Kang Budi ....Pria itu memandang rumah Pak Rehan—pria yang selalu ia panggil Tuan. Ia merasa terhormat, diundang untuk makan malam dan dijemput oleh sopir. Puluhan tahun mengabdi pada keluarga Megan, membuat Kang Budi dekat dengan omnya Megan tersebut. Fisik Kang Budi sudah tak sesempurna dulu, bahkan tampak menjijikkan jika dipandang orang lain. Namun, Pak Rehan tidak pernah menjadikan itu sebagai masalah. Ia tetap memperlakukan Kang Budi layaknya keluarga—bukan tukang kebun keluarga Megan.Kang Budi keluar mobil dengan perlahan, kakinya diseret, apa lagi ketika menaiki tangga menuju pintu. Kakinya terkadang terseok dan dengan baiknya sopir membantu beliau. Pak Sopir yang sudah mengabdi lama itu pun dengan sabar membuka pintu, mempersilakan tamu tuannya masuk. "Silakan, Kang. Saya ke pos dulu, ya. Kopi tadi belum habis, hehe," pamitnya. "Makasih, ya, Kang. Maaf tiap ke sini saya ngerepotin." Kang Budi membungkukkan badannya. "Enggaklah, kayak ke si
Penjaga yang berusaha melawan berhasil dilumpuhkan. Sementara polisi yang lain berpencar untuk menangkap semua yang ada di dalam. Termasuk Ali dan Om Tio, ia menendang pintu kamar di mana seorang pria tanpa pakaian tengah berdiri mengangkat tangannya. Om Tio yang emosi berlari dan menonjok rahang pria itu. Ia merasa tak tega melihat Putri yang sudah dianggap keponakannya sendiri. Begitu juga Rena serta Lusi, mereka berlari menghampiri sahabatnya dan membetulkan kancing bagian atas yang sudah terbuka. Sementara itu, Ali menghampiri orang tua Putri, menatap Bu Aini yang bergetar ketakutan. Berbeda dengan Pak Agung, ia masih bertanya, "Ada apa ini? Kenapa kalian masuk tanpa izin? Kenapa Tuan Nur ditangkap?" "Tenang, Pak. Mari ikut saya ke luar." Di luar terjadi keramaian, warga yang ronda ikut membantu pengejaran orang-orang yang kabur. Tak lama, suasana mencekam itu sedikit mereda dengan dimasukkannya mereka ke mobil khusus—termasuk Bu Aini dan Pak Agung. Om Tio lebih memilih pergi
Beberapa hari ini, Rey sibuk chat bersama Rena dengan menggunakan nomor baru. Ia sengaja tidak berkomunikasi dengan Putri, mengingat ada Pak Agung di sana. Bahkan, Putri tidak jujur jika bapaknya masuk ke kelompok tersebut. Rey sengaja menghilangkan foto profile, takut jika Putri dalam keadaan ceroboh menyimpan ponsel. Namun, pria itu tetap bisa memonitor rumah serta keadaan Putri lewat sahabatnya, Rena. [Putri bilang sama Om Tio, katanya dia dijemput sama bapaknya. Gimana dong?] Membaca pesan itu, tidak membuat Rey kaget sama sekali. Sebab, ia tahu jika malam ini akan diadakan upacara suci di rumahnya Pak Agung. [Kita ketemu bisa? Ajak semua teman Putri. Aku punya rencana] Pesan sudah dibaca, tetapi Rena belum bisa memastikan apa-apa karena dia bertanya pada semua orang yang berhubungan dengan peristiwa ini. Akhirnya, jawaban dari mereka pun setuju untuk bertemu di tempat yang lebih private. Dengan cepat Rena membalas, [Oke. Di rumah aku aja Kak, biar lebih aman. Aku share alam
Setelah mengantar ibunya pulang ke rumah neneknya, gegas Putri pergi menuju tempat yang sudah dijanjikan oleh Rey. Yaitu, sebuah rumah dikawasan perumahan elite kota Bandung. Tak sulit bagi Putri untuk menemukan lokasi, sebab Rey sudah mengirim detail lokasi menggunakan WA—gadis itu hanya tinggal mengikuti arahan dari Google Map."Pak, Cempaka 2 kavling 2 di sebelah mana, ya," tanya Putri pada security saat sudah sampai di gerbang menuju perumahan. "Lurus, nanti belok kanan. Di sana ada keterangan nomornya, Neng," jawab pria itu sopan. "Makasih, Pak." Motor Putri kembali melaju, menapaki jalan yang ditunjukan oleh security tadi. Dari kejauhan, Putri melihat orang yang dicarinya tengah duduk di motornya. Ia langsung menghampiri Rey dan menekan klakson untuk mengagetkan karena pria berkemeja kotak biru itu sibuk dengan ponselnya.Rey menyambut kedatang Putri dengan tersenyum. Lantas, ia mengajak Putri untuk memasuki rumah yang beberapa bulan ini sering ia kunjungi. Di depan pintu r
Sedih, bahagia, mati, dan hidup memang rahasia Tuhan. Lantas, apakah kesesatan ini bagian dari skenario Tuhan? Beribu kali aku berpikir, tetapi belum menemukan jawaban. Hanya bisa menangis di ranjang milik Ibu dan Bapak. Di luar tidak terdengar pembicaraan apa pun, hanya terdengar suara aktivitas memasak. Sepertinya Ibu. Tak lama, pintu dibuka. Aku menoleh sesaat. Ibu membawa nampan yang diisi nasi dan beberapa lauk. Pintu terbuka dengan lebar, entah kenapa bukannya ingin kabur, aku malah ingin bicara pada Ibu dari hati ke hati. Beliau meletakkan nampan di atas meja rias samping ranjang, lalu menarik kursinya dan duduk di sana. "Makan dulu, Neng. Kalo udah banyak tamu, Ibu bakalan sibuk."Pasti tamu yang Ibu maksud adalah orang-orang yang akan menghadiri upacara laknat nanti malam. Aku menghela napas kemudian menjawab, "Padahal Ibu ga usah bawa makanan, bukannya Putri bakalan jadi tumbal kalian? Akhirnya, kan, mati juga." "Kamu bukan menikah secara fisik, Put. Tapi hanya secara si
"Kamu ini kenapa, Gung? Emak perasaan kenal kamu sebagai orang yang kuat iman dan bertanggungjawab. Kenapa jadi gini?" tanya Nenek, Bapak hanya menunduk. Sengaja aku ikut duduk di samping Nenek, agar mudah menahan Bapak saat ingin bertemu Via. Ita aku suruh menemani kakaknya supaya ada teman mengobrol."Mak, saya melakukan ini supaya kehidupan saya dan anak-anak mendapat kedamaian." Nenek tampak menggeleng sembari mengucap istigfar. "Salat, Gung. Salat dan sedekah, dua hal eta yang bikin hidup damai. Kalo sekiranya kamu melakukan hal baik untuk anak-anak, mereka gak akan ketakutan gini pas ketemu kamu." "Mereka masih kecil, Mak. Belum paham dengan asam garam kehidupan," elak Bapak. Nenek tampak geram. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama cucu Emak, demi Allah ... Emak gak akan maafin kalian." Karena takut darah tinggi Nenek kambuh, aku meminta beliau menemani Via dan Ita saja di kamar. Urusan bicara pada Bapak, biar aku yang hadapi, meski di hati ada rasa takut. Nenek pun beranjak
Langkahku tergesa untuk melihat kejadian di dalam sana. Saat berada di depan pintu kamar, mataku terbelalak melihat Via dalam keadaan kayang. Ia tertawa nyaring, kadang menangis."Kita ruqiah saja sekarang Om, saya wudu dulu." Ali melirik ke arahku. Karena paham apa maksudnya, aku menunjuk pintu sebelah kiri dari kamar ini. Pemuda itu mengangguk, lalu berlari.Om Tio masih terlihat melafalkan sesuatu. Tak lama Ali datang, bergantian dengan Om Tio yang mengambil wudu. "kalo Via sudah dalam keadaan normal, tolong pakaikan dia mukena, ya," ucapnya seraya menggulung lengan kemejanya lalu berjalan masuk ke kamar. Di awali dengan basmallah, Ali berdiri di depan ranjang lalu mulai melantunkan ayat dengan suara merdunya. Sementara nenek datang dari kamarnya membawa mukena. "Kalian bisa bantu membaca surah Al-Jin. Mau di ponsel atau Al-Quran gak masalah," ucap Om Tio, membuat kami semua yang berdiri di pintu mengangguk paham. Nenek menuntunku yang masih terisak, tangannya memelukku dari bel
Sesudah Isya, aku masih merasa cemas karena Aldy dan Bagas belum juga memberi kabar tentang obat bius yang aku minta. Chatnya centang dua, tetapi masih belum dibaca. Sementara di luar hujan begitu lebat. Aku juga menghubungi Ali dan Om Tio di grup, meminta arahannya saat melakukan biusan pada Via nanti. Mereka menyarankan untuk hati-hati karena tubuh Via dikuasai oleh jin. [Jadi aku harus gimana?] [Nanti kalo obat biasnya datang, kamu telepon Om ya. Letakan HP dekat obat itu, Om coba bacakan dulu ayat ruqiah supaya jinnya sedikit melemah] balas Om Tio. [Kabari saya juga, Put. Saya menunggu di luar rumah kamu nanti ya. Hati-hati pokoknya.] Kali ini Ali yang menyahut. Alhamdulillah, aku dikelilingi orang baik dan pemberani dan itu membuat aku menjadi orang yang nekat. Insya Allah, ini semua demi kesembuhan Via. Masalah Ibu dan Bapak, itu urusan belakangan. [Renacananya Via mau dibawa ke mana Put?] Chat dari Om Tio masuk kembali. [Ke rumah nenek aja Om, di sana tolong ruqiah Via y
Putri melihat masih ada harapan menyadarkan sang ibu. Lantas, ia mengajak ibunya ke kamar Via dan memancing adiknya dengan makanan agar Bu Aini percaya ada keanehan dalam diri Via. "Ibu bisa lihat sendiri apa yang terjadi." Putri langsung menarik tangan ibunya menuju kamar Via. Kebutulan, Pak Agung sibuk mengurus tanaman di halaman depan dan belakang. Pintu dibuka, terlihat Via tengah berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Gegas Putri membawa piring berisi makanan dan menyodorkannya pada Via. "Makan ini. Kamu pasti lapar, 'kan?" ucap Putri dengan nada ketus. "Via pasti kenyang, Neng. Dia kan udah makan nasi padang tadi." "Ibu sabar dulu atuh. Via, cepetan ini makan." Hening. Tidak ada jawaban dari Via, gadis itu tetap sibuk menatap atap kamar dengan pandangan lurus. Merasa kesal, Putri membentak adiknya. "Via! Cepetan makan!" Bukannya menuruti perintah Putri, Via justru mengibaskan tangannya, membuat piring yang Putri bawa tadi terempas dan pecah. Makananya ber