Share

Kantong Plastik

Penulis: Dini Lisdianti
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-20 12:20:44

Setelah membaca doa sebisa mungkin, akhirnya kakiku bisa bergerak. Sontak aku berlari, masuk kembali ke rumah, tentunya menghampiri Ita di kamar. Terdengar Ibu memanggil dari dapur, bertanya aku kenapa. Namun, seolah tak peduli, fokusku hanya mencari Ita.

Pintu kubuka dengan cepat, tetapi gadis kecil itu tidak ada. Hanya peralatan gambar yang berserakan di lantai. Karena panik, aku memanggil Ibu, beliau pun ternyata mendatangiku ke kamar. "Ada apa, sih, Neng?"

"Adek ke mana, Bu?" tanyaku panik.

"Kan, dari tadi main sama kamu di kamar." Tanpa peduli jawaban Ibu, aku berkeliling rumah, mencari keberadaan gadis itu. Begitu juga kamar Via, berharap Adek ada di sana. Akan tetapi, yang ada hanya Via tengah mengerjakan sesuatu di lantai.

"Via, Adek mana?" bentakku, gadis itu hanya menatapku bingung.

"Gak ada ke sini. Emang ada apa, sih?"

Kepalaku terasa berdenyut, keringat mengucur deras, merasa takut jika terjadi sesuatu pada Ita. Perut pun mendadak sakit. Aku memang seperti itu kalau sedang panik.

Di ruang tamu, aku berpapasan dengan Bapak. Beliau mulai bertanya ada apa? Bukannya menjawab, aku malah menangis. Sampai akhirnya Bapak memberiku air agar sedikit tenang. Semua berkumpul di ruang keluarga, memintaku untuk bercerita.

"Kamu jangan ngarang, Neng," ucap Bapak tampak lesu.

"Aku bukan pengarang Pak. Masa iya aku bohongin Bapak," ketusku karena kalut. Sementara Ibu tak kalah gelisah. Tangannya mengusap bahuku, tetapi mulutnya ikut meracau.

Bapak pun beranjak dari tempat duduk, lantas kami semua mengikuti langkahnya. Ternyata, beliau masuk ke kamarku. Terlihat Bapak berjongkong kemudian menyibak seprai. "Ternyata Adek di sini!" kata Bapak, membuat sesak di dada sedikit berkurang.

"Lagi apa, cepet sini keluar." Bapak menarik tangan Ita hingga gadis kecil itu keluar. Aku mengusap dada beberapa kali. Gara-gara panik, sampai tidak berpikir jernih. Ya Allah ....

"Ngapain, sih, Dek, di situ?" bentakku kesal.

"Main petak umpet sama temen," jawabnya bersembunyi di balik lengan Bapak yang besar. Mungkin dia takut melihat ekspresiku.

"Terus kenapa tadi Kakak panggil kamu gak nyahut, hah?" teriakku. Via yang berdiri di sampingku menyenggol, membuatku menoleh. Mata gadis itu melotot, sepertinya kurang suka dengan sikapku yang kasar.

"Jangan teriak-teriak atuh, berisik!" ucapnya sembari melipat tangan di dada.

Ita yang mungkin merasa takut langsung menangis, Bapak dengan sigap menggendong putri bungsunya. Sementara aku masih memegangi dada karena jantung tak jelas detaknya. Lama-lama tinggal di rumah ini bisa bikin penghuninya gila. Atau mungkin hanya aku yang gila?

***

Malam hari, hujan begitu deras. Bapak belum pulang dari mesjid semenjak salat Magrib tadi. Katanya, mau silaturahmi dengan tetangga. Sementara Via dan Ita bermain di kamar. Mereka bilang ingin mewarnai. Aku dan Ibu duduk di depan TV sembari mencicipi kacang rebus yang dibawa Nenek.

Aku menatap Ibu yang fokus menonton sintron kesayagannya. Ingin bertanya lagi, apa tidak ada gangguan selama di sini. Hanya saja, aku takut Ibu jadi tidak nyaman ke depannya.

"Bu, benar gak ada yang aneh di rumah ini?" Akhirnya aku memberanikan diri. Ibu pun menoleh ke arahku, lantas menyimpan cangkang kacang di plastik yang sudah disediakan.

"Ada, tadi saat di dapur."

Mataku membulat seketika. Aku mengubah posisi duduk mejadi menghadap Ibu. "Gimana Bu?"

"Air keran nyala sendiri. Cuma, ya, Ibu mikirnya itu rusak. Besok Ibu panggil Kang Budi saja. Soalnya gak cuma sekali."

Jawaban Ibu tidak sepenuhnya membuatku puas. Tidak mungkin kalau hanya itu saja. Pasti ada hal yang beliau sembunyikan. Selain menghargai Bapak, juga tidak ingin para putrinya takut. Aku kembali memaksa Ibu untuk bicara. "Ada lagi Bu?"

Beliau menggeleng, tetapi matanya fokus pada acara TV lagi. Aku menghela napas berat, sedikit kecewa. "Kalau gitu aku harus periksa ke dokter. Udah kayak orang gila soalnya. Ketakutan sendiri di rumah ini."

Kini, terdengar helaan napas dari Ibu. "Ada anak lari-lari di belakang Ibu pas lagi cuci piring. Kirain Ibu teh Adek, tapi pas nengok gak ada siapa-siapa," ucap Ibu, membuat mulutku menganga seketika. Belum lagi tengkuk terasa begitu dingin.

"Jangan bilang sama Bapak, kasian. Takutnya, nanti malah kepikiran. Hargai usaha Bapak untuk beli rumah ini, Neng. Kalau ada apa-apa, bilang saja sama Ibu," lanjutnya.

Aku hanya bisa mengangguk. Benar dugaanku, Ibu hanya ingin menghargai jerih payah Bapak. Mungkin, aku pun harusnya bisa bersikap sama dengan apa yang Ibu lakukan. Kejadian tadi sore pun, membuat Bapak sedikit kecewa akan sikapku terhadap Ita.

Suara ketukan pintu membuat kami menghentikan pembicaraan. Ibu mulai beranjak, dengan spontan aku menahannya dan meminta beliau untuk duduk. Bergegas aku menuju pintu, melihat siapa yang bertamu malam begini.

Mataku menyipit saat mendapati Kang Budi berdiri di depan pintu dengan menggunakan jaket yang kebesaran. Kupluk pada jeket pun disematkan pada kepalanya. Bibirnya bergetar menahan dingin karena beliau sudah basah kuyup.

Hujan dan petir seakan saling bersahutan, mengeluarkan kilat cahaya yang membuatku merasa takut tersambar. Namun, lebih takut melihat wajah Kang Budi yang tersorot remang-remang lampu bohlam.

"Duduk, Kang," ucapku menunjuk kursi kayu di teras.

Ia hanya menggeleng. Pria itu menyodorkan sesuatu dalam plastik. Entah apa isinya. Tanganku lansung menganbil bungkusan tersebut.

"Simpan di salah satu pojok rumah. Kalau hujan begini, mereka suka gentayangan." Bukan hanya gila oleh hal-hal mistis, aku pun sepertinya akan gila jika terus menanggapi tingkah laku pria ini.

"Sepertinya gak usah Kang, apalagi Bapak gak ada di rumah," tolakku secara halus, lantas menyodorkan plastik itu kembali.

Bukannya menjawab atau mengambil, pria itu malah pergi. Kang Budi berlari di bawah guyuran hujan. Meski kakinya sedikit berjinjit dan diseret, tetapi lumayan cepat saat menghilang di kegelapan.

Sembari menggerutu, bergegas aku masuk dan menutup pintu tanpa berniat membuka bungkusan. Lebih baik Ibu saja yang buka.

"Siapa?" Pertanyaan Ibu memecah keheningan ketika aku kembali dan duduk di meja kayu jati beralaskan bantal panjang agar pantat tidak merasa sakit.

"Kang Budi, kasih ini. Gak tau isinya apa. Ibu buka aja, deh. Aku mah males kalo urusan sama dia." Aku menggerutu sembari menyimpan plastik di meja.

"Jangan gitu, ah. Gak sopan namanya sama orang tua." Akhirnya Ibu meraih plastik itu, mulai membuka apa isinya. Aku pun penasaran dan sedikit mengintip.

Saat plastik dibuka, bau darah begitu menguar. Ibu pun menjerit dan melempar benda itu ke sembarang tempat. Hingga isian dari plastik pun keluar.

"Astagfirullah. Ini mah udah keterlaluan Bu!" kataku sambil berjalan untuk mengambil benda itu dan membuangnya.

Bab terkait

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Gadis Berseragam

    Aku membuang bungkusan yang isinya bangkai ayam hitam. Mungkin karena mendengar teriakanku, sampai membuat Via dan Ita keluar. Mereka pun akhirnya ikut duduk bersama kami menunggu kedatangan Bapak.Sejurus kemudian, suara pintu diketuk. Gegas aku membuka pintu. Bapak tengah menata payung agar tidak tertiup angin. "Untung aja ada tetangga yang minjemin," ucapnya.Aku pun menutup pintu kembali setelah beliau masuk. Bapak mengernyitkan dahi saat menatap kami bergantian, lantas bertanya, "Aya naon? Kok, kalian natap Bapak kayak gitu." Ibu langsung berdiri dari kursi, menanyakan pada Bapak mau minun teh atau kopi. Hingga pilihan jatuh pada kopi hitam. Bapak tidak bisa minum kopi susu, lambungnya bisa kumat. Aku membiarkan Bapak duduk terlebih dahulu sambil mematikan TV, sebab di luar hujan makin deras dan petirnya pun kian kencang. Khawatir jika TV dibiarkan menyala, takut listriknya tersambar. Via dan Ita pun aku suruh masuk ke kamarku untuk tidur. "Pak, Putri mau bicara." Aku mulai me

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-20
  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Penelepon Misterius

    "Kenapa pada ngelamun di sini atuh," ucap Aldi yang tiba-tiba datang, membuatku tercekat seketika. Aku repleks memukul lengannya sambil mengucap istigfar beberapa kali. Gara-gara ucapan Rena tadi, aku jadi terbawa suasana merinding. Alhasil, parno. "Udah nanti aku ceritain deh jam istirahat di kantin. Jangan di sini, udah mau upacara juga." Aku mendorong tubuh mereka agar masuk kelas dan melupakan apa yang tadi Rena lihat. Tiba-tiba Aldi mendadak berhenti. "Sebentar," ucapnya, membuat kami berdiri di dekat meja guru. "Kalian cium bau gosong, gak?" Perasaan semakin tidak enak, apalagi tengkuk terasa begitu berat. Ekor mataku menangkap ada seseorang yang berdiri di sampingku, tetapi aku coba tepis untuk menghilangkan rasa tidak nyaman. Biarkan saja, justru yang aku khawatirkan keadaan Ibu di rumah.Bell sudah berbunyi, tanda upacara akan segera dimulai. Semua berjalan semestinya. Seperti upacara, jam pelajaran pertama dan kedua. Sampai akhirnya bell istirahat. Aldi dan Rena bahkan me

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-24
  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Mukena Ibu

    Aku dan Via sudah dijemput oleh Bapak. Sebelumnya, aku meminta Pak Hasan untuk tidak bicara soal kedatangan kami, takut jika Bapak marah. Di mobil tidak ada pembicaraan apa pun, aku masih sibuk mencari berita di internet tentang kejadian di rumah itu. Namun, hasilnya masih nihil. Sementara Via, ia masih sibuk bermain game. "Besok kamu sekolah bawa motor aja, ya, Neng. Biar sore ada di rumah. Soalnya, Bapak disuruh ngadain pengajian sama Bos Arya. Jadi, nanti salat Isa Bapak mau ke mesjid buat ngundang tetangga." Suara Bapak mulai memecah keheningan. "Emang udah ada uangnya buat ngundang tetangga, Pak?" tanyaku seraya mematikan ponsel sejenak agar lebih sopan saat bicara dengan Bapak meski posisi kami tidak berhadapan. Dari kaca sepion, terlihat senyum Bapak mengembang. Beliau pun menjawab, "Semua catring dan snack dihandle oleh Bos Arya dan istrinya. Cuma katanya teh, mereka belum bisa hadir, soalnya masih sibuk sama kerjaan." Menurutku, Bapak itu salah satu orang yang selalu ber

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-24
  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Siapa Helen

    Mendengar suara jeritan di tengah malam, tepat di kamar Via, membuat aku dan Bapak berlari untuk melihat keadaan gadis itu. Tentunya pikiranku sudah ke mana-mana, mengingat video yang direkam kemarin saja cukup membuat bulu kuduk merinding. Pintu kubuka secara paksa, lantas menghidupkan lampu kamar Via yang memang jika tidur selalu padam. Berbeda denganku, kadang selalu pengap jika lampu mati. Saat sudah masuk, nyatanya, Via dalam keadaan tengah tertidur. Kami berdua hanya bergeming, menatap Via yang terbangun dengan mengucek matanya. "Ada apa ini, Pak? Kok, pada ke sini?" tanyanya dengan suara serak. Wajah Bapak yang tadinya menegang, kini berubah sedikit lega. Pria tambun itu menghampiri putrinya kemudian mengusap lembut rambut Via dan menyuruh gadis berponi itu untuk tidur lagi. Sementara aku masih terdiam seraya mengatur napas yang masih naik turun. Bapak mengajakku untuk keluar dan tidak menceritakan apa pun pada Via. Aku kira Bapak akan kembali ke kamar, nyatanya beliau perg

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-24
  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Cahya Handoko

    Aku beranjak dari kursi kemudian berpamitan pada Ibu. "Aku gak ikut sarapan ya Buk. Gak laper. Sisain aja buat nanti aku bawa ke sekolah." Bukan apa-apa, aku hanya takut terbawa emosi. Ibu mungkin paham perasaanku, tetapi bagaimana dengan Bapak? Dan nama yang tadi disebut Ita, sepertinya ada makhluk gaib yang bermain dengan adikku itu. Mungkin, jika sedang berdua, aku bisa mencari informasi lebih. Secepat kilat aku masuk kamar, membuka gorden meski langit belum sepenuhnya terang. Masih ada sisa kebiruan dari waktu Subuh. Dari jendela, aku bisa melihat orang lalu-lalang mengantarkan susu ke tempat penampungan. Mungkin, sekali-kali aku harus berbaur dengan masyarakat untuk tahu seluk-beluk rumah ini.Saat aku berbalik, tatapanku mengarah pada lukisan yang sudah tiga kali diturunkan, tetapi kembali dengan sendirinya. Bahkan, prakaryaku saja hancur, entah ulah siapa. Pandanganku beralih pada meja samping ranjang. Ada beberapa laci di sana. Kalau tidak salah, kemarin banyak buku di dala

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-24
  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Menguak Siapa Helen

    Sepulang sekolah, sudah terlihat kue-kue basah di meja, tetapi masih dalam dus. Begitu juga nasi tumpeng yang sudah dihias dengan sangat cantik. Terlihat Bapak dan Ibu sangat semangat menggelar tikar dan membenahi rumah agar tampak nyaman saat tamu datang nanti.Hari ini aku pulang cepat, sekitar pukul 13.00. Jadi, jam setengah tiga pun sudah berada di rumah. Sebelum membantu pekerjaan, Ibu menyuruh aku dan Via untuk makan dulu. Namun, aku memilih menemui Ita yang katanya sedang bermain boneka di kamarku.Saat pintu dibuka, terlihat Ita tengah tertawa. Gadis kecil itu lebih senang, bermain di kamar sendirian. Aku pun menghampirinya, tawa Ita seketika berhenti. Bahkan, ia mendelik tak suka. "Lagi apa, Dek?" tanyaku duduk di sampingnya. Ita menyimpan boneka yang sedari tadi ia pegang, wajahnya terlihat ketus. "Kakak ganggu aja. Aku lagi main sama Helen," ucapnya dengan bibir mencebik seperti bebek. "Helen itu boneka, ya? Seumuran siapa?" Aku bertanya dengan hati-hati sambil menunjuk

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-24
  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Jelmaan Bapak

    Azan Magrib berkumandang, Bapak sudah pergi ke mesjid. Kami pun para wanita, sudah bersiap salat di kamar masing-masing. Kecuali Ita, seperti biasa, gadis itu ada kegiatan mengaji bersama anak tetangga.Karpet sudah digelar, makanan pun sudah siap di piring. Begitu juga dengan nasi tumpengnya. Beberapa Al-Quran disediakan, barangkali ada yang tidak membawa. Alhamdulillah, aku telah usai melaksanakan kewajiban Magrib. Usai zikir dan berdoa, pandanganku mengarah pada lemari kecil sisi ranjang. Teringat akan buku aneh di dalam sana. Masih menggunakan mukena, aku membuka laci dan mengeluarkan semua buka yang sampulnya masih sangat bagus. Buku itu aku Sejajarkan, lalu mengambil ponsel dan memotret semuaya tanpa terlewat. Mungkin, setelah pengajian, aku akan komunikasin bersama Aldy. Setelahnya, buku itu pun kumasukan kembali. Suara piring di luar menandakan Ibu telah selesai salat. Aku langsung membuka mukena dan bersiap untuk keluar. Namun, arah mataku selalu saja ingin menatap lukisa

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-25
  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Tarian Mistis

    Pengajian berjalan lancar, untung saja Ustad Imran bisa memberi alasan baik pada tamu yang hadir. Aku tidak sabar menunggu mereka pulang sebab penasaran dengan paket yang kutemukan di halaman. Saat menemukan paket, aku mengendap ke rumah bagian samping dan melempar benda itu lewat jendela kamar. Entah di mana jatuhnya, bisa juga di kolong ranjang. Yang penting dalam keadaan aman.Satu per satu tamu berpamitan pulang, ada juga yang masih menikmati camilan kue basah dalam piring. Hingga masuk waktu ba'da Isya, akhirnya tidak ada tamu yang tersisa—kecuali Pak Ustad. Sepertinya pria sepuh itu akan menepati janjinya untuk membersihkan rumah ini dari hal gaib.Bapak mempersilakan Pak Ustad untuk masuk ke ruang tamu, supaya bisa lebih fokus untuk mengobrol. Toh, Bapak belum tahu kejadian yang menimpa Ustad Imran sampai beliau telat datang. Aku dan Via sibuk mencuci piring di dapur, sambil menguping apa saja yang dibicarakan oleh Bapak. Kebetulan, dua ruangan ini saling bersebelahan dan tid

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-25

Bab terbaru

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Pembacaan Vonis (Tamat)

    Beberapa hari sebelum kematian Kang Budi ....Pria itu memandang rumah Pak Rehan—pria yang selalu ia panggil Tuan. Ia merasa terhormat, diundang untuk makan malam dan dijemput oleh sopir. Puluhan tahun mengabdi pada keluarga Megan, membuat Kang Budi dekat dengan omnya Megan tersebut. Fisik Kang Budi sudah tak sesempurna dulu, bahkan tampak menjijikkan jika dipandang orang lain. Namun, Pak Rehan tidak pernah menjadikan itu sebagai masalah. Ia tetap memperlakukan Kang Budi layaknya keluarga—bukan tukang kebun keluarga Megan.Kang Budi keluar mobil dengan perlahan, kakinya diseret, apa lagi ketika menaiki tangga menuju pintu. Kakinya terkadang terseok dan dengan baiknya sopir membantu beliau. Pak Sopir yang sudah mengabdi lama itu pun dengan sabar membuka pintu, mempersilakan tamu tuannya masuk. "Silakan, Kang. Saya ke pos dulu, ya. Kopi tadi belum habis, hehe," pamitnya. "Makasih, ya, Kang. Maaf tiap ke sini saya ngerepotin." Kang Budi membungkukkan badannya. "Enggaklah, kayak ke si

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Masa Lalu Kelam

    Penjaga yang berusaha melawan berhasil dilumpuhkan. Sementara polisi yang lain berpencar untuk menangkap semua yang ada di dalam. Termasuk Ali dan Om Tio, ia menendang pintu kamar di mana seorang pria tanpa pakaian tengah berdiri mengangkat tangannya. Om Tio yang emosi berlari dan menonjok rahang pria itu. Ia merasa tak tega melihat Putri yang sudah dianggap keponakannya sendiri. Begitu juga Rena serta Lusi, mereka berlari menghampiri sahabatnya dan membetulkan kancing bagian atas yang sudah terbuka. Sementara itu, Ali menghampiri orang tua Putri, menatap Bu Aini yang bergetar ketakutan. Berbeda dengan Pak Agung, ia masih bertanya, "Ada apa ini? Kenapa kalian masuk tanpa izin? Kenapa Tuan Nur ditangkap?" "Tenang, Pak. Mari ikut saya ke luar." Di luar terjadi keramaian, warga yang ronda ikut membantu pengejaran orang-orang yang kabur. Tak lama, suasana mencekam itu sedikit mereda dengan dimasukkannya mereka ke mobil khusus—termasuk Bu Aini dan Pak Agung. Om Tio lebih memilih pergi

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Penggerebegan 2

    Beberapa hari ini, Rey sibuk chat bersama Rena dengan menggunakan nomor baru. Ia sengaja tidak berkomunikasi dengan Putri, mengingat ada Pak Agung di sana. Bahkan, Putri tidak jujur jika bapaknya masuk ke kelompok tersebut. Rey sengaja menghilangkan foto profile, takut jika Putri dalam keadaan ceroboh menyimpan ponsel. Namun, pria itu tetap bisa memonitor rumah serta keadaan Putri lewat sahabatnya, Rena. [Putri bilang sama Om Tio, katanya dia dijemput sama bapaknya. Gimana dong?] Membaca pesan itu, tidak membuat Rey kaget sama sekali. Sebab, ia tahu jika malam ini akan diadakan upacara suci di rumahnya Pak Agung. [Kita ketemu bisa? Ajak semua teman Putri. Aku punya rencana] Pesan sudah dibaca, tetapi Rena belum bisa memastikan apa-apa karena dia bertanya pada semua orang yang berhubungan dengan peristiwa ini. Akhirnya, jawaban dari mereka pun setuju untuk bertemu di tempat yang lebih private. Dengan cepat Rena membalas, [Oke. Di rumah aku aja Kak, biar lebih aman. Aku share alam

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Penggerebegan

    Setelah mengantar ibunya pulang ke rumah neneknya, gegas Putri pergi menuju tempat yang sudah dijanjikan oleh Rey. Yaitu, sebuah rumah dikawasan perumahan elite kota Bandung. Tak sulit bagi Putri untuk menemukan lokasi, sebab Rey sudah mengirim detail lokasi menggunakan WA—gadis itu hanya tinggal mengikuti arahan dari Google Map."Pak, Cempaka 2 kavling 2 di sebelah mana, ya," tanya Putri pada security saat sudah sampai di gerbang menuju perumahan. "Lurus, nanti belok kanan. Di sana ada keterangan nomornya, Neng," jawab pria itu sopan. "Makasih, Pak." Motor Putri kembali melaju, menapaki jalan yang ditunjukan oleh security tadi. Dari kejauhan, Putri melihat orang yang dicarinya tengah duduk di motornya. Ia langsung menghampiri Rey dan menekan klakson untuk mengagetkan karena pria berkemeja kotak biru itu sibuk dengan ponselnya.Rey menyambut kedatang Putri dengan tersenyum. Lantas, ia mengajak Putri untuk memasuki rumah yang beberapa bulan ini sering ia kunjungi. Di depan pintu r

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Kehidupan Baru

    Sedih, bahagia, mati, dan hidup memang rahasia Tuhan. Lantas, apakah kesesatan ini bagian dari skenario Tuhan? Beribu kali aku berpikir, tetapi belum menemukan jawaban. Hanya bisa menangis di ranjang milik Ibu dan Bapak. Di luar tidak terdengar pembicaraan apa pun, hanya terdengar suara aktivitas memasak. Sepertinya Ibu. Tak lama, pintu dibuka. Aku menoleh sesaat. Ibu membawa nampan yang diisi nasi dan beberapa lauk. Pintu terbuka dengan lebar, entah kenapa bukannya ingin kabur, aku malah ingin bicara pada Ibu dari hati ke hati. Beliau meletakkan nampan di atas meja rias samping ranjang, lalu menarik kursinya dan duduk di sana. "Makan dulu, Neng. Kalo udah banyak tamu, Ibu bakalan sibuk."Pasti tamu yang Ibu maksud adalah orang-orang yang akan menghadiri upacara laknat nanti malam. Aku menghela napas kemudian menjawab, "Padahal Ibu ga usah bawa makanan, bukannya Putri bakalan jadi tumbal kalian? Akhirnya, kan, mati juga." "Kamu bukan menikah secara fisik, Put. Tapi hanya secara si

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Aku Tidak Gila 2

    "Kamu ini kenapa, Gung? Emak perasaan kenal kamu sebagai orang yang kuat iman dan bertanggungjawab. Kenapa jadi gini?" tanya Nenek, Bapak hanya menunduk. Sengaja aku ikut duduk di samping Nenek, agar mudah menahan Bapak saat ingin bertemu Via. Ita aku suruh menemani kakaknya supaya ada teman mengobrol."Mak, saya melakukan ini supaya kehidupan saya dan anak-anak mendapat kedamaian." Nenek tampak menggeleng sembari mengucap istigfar. "Salat, Gung. Salat dan sedekah, dua hal eta yang bikin hidup damai. Kalo sekiranya kamu melakukan hal baik untuk anak-anak, mereka gak akan ketakutan gini pas ketemu kamu." "Mereka masih kecil, Mak. Belum paham dengan asam garam kehidupan," elak Bapak. Nenek tampak geram. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama cucu Emak, demi Allah ... Emak gak akan maafin kalian." Karena takut darah tinggi Nenek kambuh, aku meminta beliau menemani Via dan Ita saja di kamar. Urusan bicara pada Bapak, biar aku yang hadapi, meski di hati ada rasa takut. Nenek pun beranjak

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Aku Tidak Gila 1

    Langkahku tergesa untuk melihat kejadian di dalam sana. Saat berada di depan pintu kamar, mataku terbelalak melihat Via dalam keadaan kayang. Ia tertawa nyaring, kadang menangis."Kita ruqiah saja sekarang Om, saya wudu dulu." Ali melirik ke arahku. Karena paham apa maksudnya, aku menunjuk pintu sebelah kiri dari kamar ini. Pemuda itu mengangguk, lalu berlari.Om Tio masih terlihat melafalkan sesuatu. Tak lama Ali datang, bergantian dengan Om Tio yang mengambil wudu. "kalo Via sudah dalam keadaan normal, tolong pakaikan dia mukena, ya," ucapnya seraya menggulung lengan kemejanya lalu berjalan masuk ke kamar. Di awali dengan basmallah, Ali berdiri di depan ranjang lalu mulai melantunkan ayat dengan suara merdunya. Sementara nenek datang dari kamarnya membawa mukena. "Kalian bisa bantu membaca surah Al-Jin. Mau di ponsel atau Al-Quran gak masalah," ucap Om Tio, membuat kami semua yang berdiri di pintu mengangguk paham. Nenek menuntunku yang masih terisak, tangannya memelukku dari bel

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Kabur dari Rumah

    Sesudah Isya, aku masih merasa cemas karena Aldy dan Bagas belum juga memberi kabar tentang obat bius yang aku minta. Chatnya centang dua, tetapi masih belum dibaca. Sementara di luar hujan begitu lebat. Aku juga menghubungi Ali dan Om Tio di grup, meminta arahannya saat melakukan biusan pada Via nanti. Mereka menyarankan untuk hati-hati karena tubuh Via dikuasai oleh jin. [Jadi aku harus gimana?] [Nanti kalo obat biasnya datang, kamu telepon Om ya. Letakan HP dekat obat itu, Om coba bacakan dulu ayat ruqiah supaya jinnya sedikit melemah] balas Om Tio. [Kabari saya juga, Put. Saya menunggu di luar rumah kamu nanti ya. Hati-hati pokoknya.] Kali ini Ali yang menyahut. Alhamdulillah, aku dikelilingi orang baik dan pemberani dan itu membuat aku menjadi orang yang nekat. Insya Allah, ini semua demi kesembuhan Via. Masalah Ibu dan Bapak, itu urusan belakangan. [Renacananya Via mau dibawa ke mana Put?] Chat dari Om Tio masuk kembali. [Ke rumah nenek aja Om, di sana tolong ruqiah Via y

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Rahasia 2

    Putri melihat masih ada harapan menyadarkan sang ibu. Lantas, ia mengajak ibunya ke kamar Via dan memancing adiknya dengan makanan agar Bu Aini percaya ada keanehan dalam diri Via. "Ibu bisa lihat sendiri apa yang terjadi." Putri langsung menarik tangan ibunya menuju kamar Via. Kebutulan, Pak Agung sibuk mengurus tanaman di halaman depan dan belakang. Pintu dibuka, terlihat Via tengah berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Gegas Putri membawa piring berisi makanan dan menyodorkannya pada Via. "Makan ini. Kamu pasti lapar, 'kan?" ucap Putri dengan nada ketus. "Via pasti kenyang, Neng. Dia kan udah makan nasi padang tadi." "Ibu sabar dulu atuh. Via, cepetan ini makan." Hening. Tidak ada jawaban dari Via, gadis itu tetap sibuk menatap atap kamar dengan pandangan lurus. Merasa kesal, Putri membentak adiknya. "Via! Cepetan makan!" Bukannya menuruti perintah Putri, Via justru mengibaskan tangannya, membuat piring yang Putri bawa tadi terempas dan pecah. Makananya ber

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status