Aku beranjak dari kursi kemudian berpamitan pada Ibu. "Aku gak ikut sarapan ya Buk. Gak laper. Sisain aja buat nanti aku bawa ke sekolah." Bukan apa-apa, aku hanya takut terbawa emosi. Ibu mungkin paham perasaanku, tetapi bagaimana dengan Bapak? Dan nama yang tadi disebut Ita, sepertinya ada makhluk gaib yang bermain dengan adikku itu. Mungkin, jika sedang berdua, aku bisa mencari informasi lebih. Secepat kilat aku masuk kamar, membuka gorden meski langit belum sepenuhnya terang. Masih ada sisa kebiruan dari waktu Subuh. Dari jendela, aku bisa melihat orang lalu-lalang mengantarkan susu ke tempat penampungan. Mungkin, sekali-kali aku harus berbaur dengan masyarakat untuk tahu seluk-beluk rumah ini.Saat aku berbalik, tatapanku mengarah pada lukisan yang sudah tiga kali diturunkan, tetapi kembali dengan sendirinya. Bahkan, prakaryaku saja hancur, entah ulah siapa. Pandanganku beralih pada meja samping ranjang. Ada beberapa laci di sana. Kalau tidak salah, kemarin banyak buku di dala
Sepulang sekolah, sudah terlihat kue-kue basah di meja, tetapi masih dalam dus. Begitu juga nasi tumpeng yang sudah dihias dengan sangat cantik. Terlihat Bapak dan Ibu sangat semangat menggelar tikar dan membenahi rumah agar tampak nyaman saat tamu datang nanti.Hari ini aku pulang cepat, sekitar pukul 13.00. Jadi, jam setengah tiga pun sudah berada di rumah. Sebelum membantu pekerjaan, Ibu menyuruh aku dan Via untuk makan dulu. Namun, aku memilih menemui Ita yang katanya sedang bermain boneka di kamarku.Saat pintu dibuka, terlihat Ita tengah tertawa. Gadis kecil itu lebih senang, bermain di kamar sendirian. Aku pun menghampirinya, tawa Ita seketika berhenti. Bahkan, ia mendelik tak suka. "Lagi apa, Dek?" tanyaku duduk di sampingnya. Ita menyimpan boneka yang sedari tadi ia pegang, wajahnya terlihat ketus. "Kakak ganggu aja. Aku lagi main sama Helen," ucapnya dengan bibir mencebik seperti bebek. "Helen itu boneka, ya? Seumuran siapa?" Aku bertanya dengan hati-hati sambil menunjuk
Azan Magrib berkumandang, Bapak sudah pergi ke mesjid. Kami pun para wanita, sudah bersiap salat di kamar masing-masing. Kecuali Ita, seperti biasa, gadis itu ada kegiatan mengaji bersama anak tetangga.Karpet sudah digelar, makanan pun sudah siap di piring. Begitu juga dengan nasi tumpengnya. Beberapa Al-Quran disediakan, barangkali ada yang tidak membawa. Alhamdulillah, aku telah usai melaksanakan kewajiban Magrib. Usai zikir dan berdoa, pandanganku mengarah pada lemari kecil sisi ranjang. Teringat akan buku aneh di dalam sana. Masih menggunakan mukena, aku membuka laci dan mengeluarkan semua buka yang sampulnya masih sangat bagus. Buku itu aku Sejajarkan, lalu mengambil ponsel dan memotret semuaya tanpa terlewat. Mungkin, setelah pengajian, aku akan komunikasin bersama Aldy. Setelahnya, buku itu pun kumasukan kembali. Suara piring di luar menandakan Ibu telah selesai salat. Aku langsung membuka mukena dan bersiap untuk keluar. Namun, arah mataku selalu saja ingin menatap lukisa
Pengajian berjalan lancar, untung saja Ustad Imran bisa memberi alasan baik pada tamu yang hadir. Aku tidak sabar menunggu mereka pulang sebab penasaran dengan paket yang kutemukan di halaman. Saat menemukan paket, aku mengendap ke rumah bagian samping dan melempar benda itu lewat jendela kamar. Entah di mana jatuhnya, bisa juga di kolong ranjang. Yang penting dalam keadaan aman.Satu per satu tamu berpamitan pulang, ada juga yang masih menikmati camilan kue basah dalam piring. Hingga masuk waktu ba'da Isya, akhirnya tidak ada tamu yang tersisa—kecuali Pak Ustad. Sepertinya pria sepuh itu akan menepati janjinya untuk membersihkan rumah ini dari hal gaib.Bapak mempersilakan Pak Ustad untuk masuk ke ruang tamu, supaya bisa lebih fokus untuk mengobrol. Toh, Bapak belum tahu kejadian yang menimpa Ustad Imran sampai beliau telat datang. Aku dan Via sibuk mencuci piring di dapur, sambil menguping apa saja yang dibicarakan oleh Bapak. Kebetulan, dua ruangan ini saling bersebelahan dan tid
"Gila, Put, rumah kamu tambah serem. Via itu Sepertinya dilihatin kejadian masa lalu, kayaknya," ucap Rena berapi-api. Gadis bertubuh sintal itu memang paling semangat jika aku bercerita tentang keadaan di rumah. Jam istirahat, seperti biasa kami mengobrol tentang hal mistis yang aku alami, hanya saja kali ini kami memilih untuk tinggal di kelas, bukan di kantin lagi. Aku sengaja menceritakan tentang rentetan kejadian, sampai ucapan Via tadi pagi. Masing-masih dari sahabatku punya spekulasi dan sudut pandang yang berbeda. Seperti Aldy, dia lebih menebak jika satu keluarga itu sengaja dibunuh karena unsur pekerjaan, mengingat kepala keluarganya adalah dosen. Untuk masalah buku, itu hanya sebuah koleksi saja. Dia lebih berpikir realistis. Rena, lebih mengarah ke bisikan setan yang membuat mereka bunuh diri. Gadis itu bilang, setan bisa memanipulasi pikiran manusia untuk berbuat hal yang aneh-aneh, termasuk mencelakai diri sendiri. Kalau Bagas, ia lebih condong ke perjanjian dengan i
Pintu kututup segera, lantas menarik kursi meja makan dan meletakannya di depan pintu untuk menjadi penghalang. Terdengar suara langkah kaki di tangga, selanjutnya knop berputar-putar seperti ada seseorang di dalam yang minta dibukakan. Badanku mundur perlahan, tetapi berhenti tepat di depan meja makan dan berjongkok di sana seraya menutup telinga karena bising mendengar teriakan minta tolong dari dalam. Belum lagi suara ketukan pintu, membuat bulu kuduk merinding seketika. "Put, kamu sedang apa?" tanya Ibu yang tiba-tiba datang, membuatku menarik napas panjang dan mengusap dada karena kaget. Ibu menoleh ke arah kursi di depan pintu kemudian menariknya dan meletakkannya kembali pada posisi semula. Ibu menarikku untuk bangkit dan duduk. Beliau terlihat menuang air ke gelas dan memberikannya padaku. "Minum Neng, jangan lupa baca bismillah."Aku mengangguk dan melakukan apa yang Ibu suruh. "Apa cuma aku yang kena teror di sini?" tanyaku seraya meletakan gelas di atas meja makan."Engg
Sore hari, aku duduk di taman belakang sembari menatap pohon besar di depan sana. Bagian bawahnya gosong, membuat aku membayangkan betapa mengerikannya kejadian tiga tahun yang lalu itu. Otakku berpikir keras tentang pertemuan dengan Rey tadi pagi. Sayangnya, aku mengakhiri obrolan karena harus pergi ke pasar. Kami pun hanya bertukan nomor HP dan sampai saat ini pria itu belum menghubungi. Aku meraih ponsel di saku celana, mengecek notifikasi yang masuk. Namun, tidak ada pesan satu pun dari Rey. Apa aku harus menghubunginya duluan?"Bu, Bapak pergi dulu, ya." Suara Bapak membuatku menoleh ke arah pintu. Sontak aku turun dari kursi kemudian menghampiri beliau di ruang tamu yang masih menggulung kemejanya. Penampilannya sangat rapi."Mau ke mana sore-sore gini, Pak?" tanyaku. Bapak membetulkan kerahnya seraya tersenyum, lantas menjawab, "Mau ke rumah bosnya Kang Budi, Neng.""Kenapa harus menjelang Magrib gini, sih, Pak. Kenapa gak besok pagi aja atuh. Mencurigan," ketusku seraya mel
Tepat hari ini, liburan sekolah dimulai—kelas 12 sudah mulai menghadapi pemantapan dan juga Try Out. Belum lagi rapat-rapat guru yang membuat pembelajaran diliburkan selama tujuh hari ke depan.Aku punya waktu selama itu untuk bisa membuka misteri demi misteri di rumah ini. Mungkin. Aku juga akan izin pergi ke Jakarta dengan alasan liburan bersama ayahnya Rena. Begitupun Rena yang sudah bicara pada ayahnya agar jadi perantara kepergian kami kali ini. Gadis manja itu punya seribu macam akal untuk melakukan apa saja. Hari ini aku membuat beberapa camilan sebab Rena, Aldy, dan Bagas akan datang ke sini. Ibu sibuk membantu. Sementara Via masih diam di kamar Ibu. Gadis itu sakit lagi, badannya kembali panas. "Neng Put, antarkan makanan buat Via," perintah Ibu, aku langsung menghampiri beliau. Saat mengambil nampan, ponselku di atas meja bergetar—ternyata notifikasi pesan.[Put, bisa ketemu nanti siang? Di Kafe I L U Cikole. Kamu tahu kan?] Aku langsung membalas pesan dari Rey itu [Jam b
Beberapa hari sebelum kematian Kang Budi ....Pria itu memandang rumah Pak Rehan—pria yang selalu ia panggil Tuan. Ia merasa terhormat, diundang untuk makan malam dan dijemput oleh sopir. Puluhan tahun mengabdi pada keluarga Megan, membuat Kang Budi dekat dengan omnya Megan tersebut. Fisik Kang Budi sudah tak sesempurna dulu, bahkan tampak menjijikkan jika dipandang orang lain. Namun, Pak Rehan tidak pernah menjadikan itu sebagai masalah. Ia tetap memperlakukan Kang Budi layaknya keluarga—bukan tukang kebun keluarga Megan.Kang Budi keluar mobil dengan perlahan, kakinya diseret, apa lagi ketika menaiki tangga menuju pintu. Kakinya terkadang terseok dan dengan baiknya sopir membantu beliau. Pak Sopir yang sudah mengabdi lama itu pun dengan sabar membuka pintu, mempersilakan tamu tuannya masuk. "Silakan, Kang. Saya ke pos dulu, ya. Kopi tadi belum habis, hehe," pamitnya. "Makasih, ya, Kang. Maaf tiap ke sini saya ngerepotin." Kang Budi membungkukkan badannya. "Enggaklah, kayak ke si
Penjaga yang berusaha melawan berhasil dilumpuhkan. Sementara polisi yang lain berpencar untuk menangkap semua yang ada di dalam. Termasuk Ali dan Om Tio, ia menendang pintu kamar di mana seorang pria tanpa pakaian tengah berdiri mengangkat tangannya. Om Tio yang emosi berlari dan menonjok rahang pria itu. Ia merasa tak tega melihat Putri yang sudah dianggap keponakannya sendiri. Begitu juga Rena serta Lusi, mereka berlari menghampiri sahabatnya dan membetulkan kancing bagian atas yang sudah terbuka. Sementara itu, Ali menghampiri orang tua Putri, menatap Bu Aini yang bergetar ketakutan. Berbeda dengan Pak Agung, ia masih bertanya, "Ada apa ini? Kenapa kalian masuk tanpa izin? Kenapa Tuan Nur ditangkap?" "Tenang, Pak. Mari ikut saya ke luar." Di luar terjadi keramaian, warga yang ronda ikut membantu pengejaran orang-orang yang kabur. Tak lama, suasana mencekam itu sedikit mereda dengan dimasukkannya mereka ke mobil khusus—termasuk Bu Aini dan Pak Agung. Om Tio lebih memilih pergi
Beberapa hari ini, Rey sibuk chat bersama Rena dengan menggunakan nomor baru. Ia sengaja tidak berkomunikasi dengan Putri, mengingat ada Pak Agung di sana. Bahkan, Putri tidak jujur jika bapaknya masuk ke kelompok tersebut. Rey sengaja menghilangkan foto profile, takut jika Putri dalam keadaan ceroboh menyimpan ponsel. Namun, pria itu tetap bisa memonitor rumah serta keadaan Putri lewat sahabatnya, Rena. [Putri bilang sama Om Tio, katanya dia dijemput sama bapaknya. Gimana dong?] Membaca pesan itu, tidak membuat Rey kaget sama sekali. Sebab, ia tahu jika malam ini akan diadakan upacara suci di rumahnya Pak Agung. [Kita ketemu bisa? Ajak semua teman Putri. Aku punya rencana] Pesan sudah dibaca, tetapi Rena belum bisa memastikan apa-apa karena dia bertanya pada semua orang yang berhubungan dengan peristiwa ini. Akhirnya, jawaban dari mereka pun setuju untuk bertemu di tempat yang lebih private. Dengan cepat Rena membalas, [Oke. Di rumah aku aja Kak, biar lebih aman. Aku share alam
Setelah mengantar ibunya pulang ke rumah neneknya, gegas Putri pergi menuju tempat yang sudah dijanjikan oleh Rey. Yaitu, sebuah rumah dikawasan perumahan elite kota Bandung. Tak sulit bagi Putri untuk menemukan lokasi, sebab Rey sudah mengirim detail lokasi menggunakan WA—gadis itu hanya tinggal mengikuti arahan dari Google Map."Pak, Cempaka 2 kavling 2 di sebelah mana, ya," tanya Putri pada security saat sudah sampai di gerbang menuju perumahan. "Lurus, nanti belok kanan. Di sana ada keterangan nomornya, Neng," jawab pria itu sopan. "Makasih, Pak." Motor Putri kembali melaju, menapaki jalan yang ditunjukan oleh security tadi. Dari kejauhan, Putri melihat orang yang dicarinya tengah duduk di motornya. Ia langsung menghampiri Rey dan menekan klakson untuk mengagetkan karena pria berkemeja kotak biru itu sibuk dengan ponselnya.Rey menyambut kedatang Putri dengan tersenyum. Lantas, ia mengajak Putri untuk memasuki rumah yang beberapa bulan ini sering ia kunjungi. Di depan pintu r
Sedih, bahagia, mati, dan hidup memang rahasia Tuhan. Lantas, apakah kesesatan ini bagian dari skenario Tuhan? Beribu kali aku berpikir, tetapi belum menemukan jawaban. Hanya bisa menangis di ranjang milik Ibu dan Bapak. Di luar tidak terdengar pembicaraan apa pun, hanya terdengar suara aktivitas memasak. Sepertinya Ibu. Tak lama, pintu dibuka. Aku menoleh sesaat. Ibu membawa nampan yang diisi nasi dan beberapa lauk. Pintu terbuka dengan lebar, entah kenapa bukannya ingin kabur, aku malah ingin bicara pada Ibu dari hati ke hati. Beliau meletakkan nampan di atas meja rias samping ranjang, lalu menarik kursinya dan duduk di sana. "Makan dulu, Neng. Kalo udah banyak tamu, Ibu bakalan sibuk."Pasti tamu yang Ibu maksud adalah orang-orang yang akan menghadiri upacara laknat nanti malam. Aku menghela napas kemudian menjawab, "Padahal Ibu ga usah bawa makanan, bukannya Putri bakalan jadi tumbal kalian? Akhirnya, kan, mati juga." "Kamu bukan menikah secara fisik, Put. Tapi hanya secara si
"Kamu ini kenapa, Gung? Emak perasaan kenal kamu sebagai orang yang kuat iman dan bertanggungjawab. Kenapa jadi gini?" tanya Nenek, Bapak hanya menunduk. Sengaja aku ikut duduk di samping Nenek, agar mudah menahan Bapak saat ingin bertemu Via. Ita aku suruh menemani kakaknya supaya ada teman mengobrol."Mak, saya melakukan ini supaya kehidupan saya dan anak-anak mendapat kedamaian." Nenek tampak menggeleng sembari mengucap istigfar. "Salat, Gung. Salat dan sedekah, dua hal eta yang bikin hidup damai. Kalo sekiranya kamu melakukan hal baik untuk anak-anak, mereka gak akan ketakutan gini pas ketemu kamu." "Mereka masih kecil, Mak. Belum paham dengan asam garam kehidupan," elak Bapak. Nenek tampak geram. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama cucu Emak, demi Allah ... Emak gak akan maafin kalian." Karena takut darah tinggi Nenek kambuh, aku meminta beliau menemani Via dan Ita saja di kamar. Urusan bicara pada Bapak, biar aku yang hadapi, meski di hati ada rasa takut. Nenek pun beranjak
Langkahku tergesa untuk melihat kejadian di dalam sana. Saat berada di depan pintu kamar, mataku terbelalak melihat Via dalam keadaan kayang. Ia tertawa nyaring, kadang menangis."Kita ruqiah saja sekarang Om, saya wudu dulu." Ali melirik ke arahku. Karena paham apa maksudnya, aku menunjuk pintu sebelah kiri dari kamar ini. Pemuda itu mengangguk, lalu berlari.Om Tio masih terlihat melafalkan sesuatu. Tak lama Ali datang, bergantian dengan Om Tio yang mengambil wudu. "kalo Via sudah dalam keadaan normal, tolong pakaikan dia mukena, ya," ucapnya seraya menggulung lengan kemejanya lalu berjalan masuk ke kamar. Di awali dengan basmallah, Ali berdiri di depan ranjang lalu mulai melantunkan ayat dengan suara merdunya. Sementara nenek datang dari kamarnya membawa mukena. "Kalian bisa bantu membaca surah Al-Jin. Mau di ponsel atau Al-Quran gak masalah," ucap Om Tio, membuat kami semua yang berdiri di pintu mengangguk paham. Nenek menuntunku yang masih terisak, tangannya memelukku dari bel
Sesudah Isya, aku masih merasa cemas karena Aldy dan Bagas belum juga memberi kabar tentang obat bius yang aku minta. Chatnya centang dua, tetapi masih belum dibaca. Sementara di luar hujan begitu lebat. Aku juga menghubungi Ali dan Om Tio di grup, meminta arahannya saat melakukan biusan pada Via nanti. Mereka menyarankan untuk hati-hati karena tubuh Via dikuasai oleh jin. [Jadi aku harus gimana?] [Nanti kalo obat biasnya datang, kamu telepon Om ya. Letakan HP dekat obat itu, Om coba bacakan dulu ayat ruqiah supaya jinnya sedikit melemah] balas Om Tio. [Kabari saya juga, Put. Saya menunggu di luar rumah kamu nanti ya. Hati-hati pokoknya.] Kali ini Ali yang menyahut. Alhamdulillah, aku dikelilingi orang baik dan pemberani dan itu membuat aku menjadi orang yang nekat. Insya Allah, ini semua demi kesembuhan Via. Masalah Ibu dan Bapak, itu urusan belakangan. [Renacananya Via mau dibawa ke mana Put?] Chat dari Om Tio masuk kembali. [Ke rumah nenek aja Om, di sana tolong ruqiah Via y
Putri melihat masih ada harapan menyadarkan sang ibu. Lantas, ia mengajak ibunya ke kamar Via dan memancing adiknya dengan makanan agar Bu Aini percaya ada keanehan dalam diri Via. "Ibu bisa lihat sendiri apa yang terjadi." Putri langsung menarik tangan ibunya menuju kamar Via. Kebutulan, Pak Agung sibuk mengurus tanaman di halaman depan dan belakang. Pintu dibuka, terlihat Via tengah berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Gegas Putri membawa piring berisi makanan dan menyodorkannya pada Via. "Makan ini. Kamu pasti lapar, 'kan?" ucap Putri dengan nada ketus. "Via pasti kenyang, Neng. Dia kan udah makan nasi padang tadi." "Ibu sabar dulu atuh. Via, cepetan ini makan." Hening. Tidak ada jawaban dari Via, gadis itu tetap sibuk menatap atap kamar dengan pandangan lurus. Merasa kesal, Putri membentak adiknya. "Via! Cepetan makan!" Bukannya menuruti perintah Putri, Via justru mengibaskan tangannya, membuat piring yang Putri bawa tadi terempas dan pecah. Makananya ber