Aku tidak memedulikan ucapan Kang Budi, lebih memilih membuka helm dan cepat-cepat masuk rumah. Begitu juga teman-temanku yang membantu menyisir setiap sudut. Bahkan, Aldy dan Bagas pamit mengelilingi desa.Tempat seperti kolong ranjang dan lemari pun tak lepas dari pengamatan. Hasilnya nihil, mereka tidak ada. Saat aku, Ibu, dan Rena sedang panik, terlihat Lusi menatap pohon di halaman belakang. Mungkin ada yang dilihat oleh gadis itu atau ... entahlah. Satu tempat yang belum aku datangi hanya ruang bawah tanah. Bagaimana jika mereka ada di sana. Misal, Via penasaran lalu mengajak Ita, tapi Via tidak akan seceroboh itu. Hatiku gusar menatap pintu ruangan yang belum terinjak oleh kami. Bapak pun sempat akan masuk untuk memindahkan barang, tetapi selalu saja ada halangan. Apa sekarang waktunya aku masuk?Ibu duduk di kursi, ia tergugu meratapi kejadian ini. Mungkin beliau lelah mencari kedua putrinya sendirian.Perlahan tanganku mulai terulur, mencoba menyentuh knop dengan jantung be
Di tengah rasa mual dan pusing, aku malah fokus pada makhluk di belakang Lusi. Di merayap dari satu tembok, ke tembok yang lain lalu kembali lagi di belakang Lusi. Tangannya kini menyentuh pundak gadis itu, rambut putihnya melambai-lambai, seakan tertiup angin.Kulit melepuh dan kuku panjangnya membuatku bergedik ngeri. Makhluk itu merayap kembali, berpindah pada Bagas. Menyentuh kepala pemuda itu, bahkan lidahnya hampir saja menyentuh permukaan wajah Bagas. Tubuh Bagas bergetar, menatap kami secara bergantian. Tidak ada yang berani bicara sebab ingat pepatah Lusi untuk pura-pura tidak melihat kehadiran mereka. Tanganku semakin erat digenggam oleh Rena. Hingga tatapanku beralih pada gadis berseragam, aku yakin itu Megan. Tidak terlalu jelas karena sebagian wajahnya rusak, begitu pun dengan Helen. Belum lagi wanita-wanita berbaju putih tinggi besar dengan rambut menyentuh lantai."Tutup mata kalian." Ucapan Lusi membuat aku langsung menutup mata. Mungkin yang lain juga sama. Seketika
Napasku terasa sesak, bahkan rasanya paru-paru sudah terbakar. Mungkin beberapa detik lagi aku akan mati. Dalam remang-remang cahaya, terdengar suara Bagas memanggil. Setelahnya, banyak langkah kaki mendekatiku. Aku hanya merasa, tubuhku ditarik dan cekikan pun terlepas. Hingga akhirnya aku terbatuk-batuk. Mataku mulai bisa melihat lagi, di sampingku Rena tengah pingsan dalam pelukan Lusi. Di belakang, Bagas dan Aldy sibuk mengusap-ngusap punggungku. "Kayaknya, suasana masih belum kondusif. Mending kita keluar aja, yuk. Hawanya gak enak," ucap Lusi. "Kamu gak apa-apa, kan, Put?" Tepukan gadis itu membuatku mengangguk pelan. Tak lama, Rena pun sadarkan diri. Kami akhirnya bangkit untuk segera pergi dari gudang ini. Saat naik tangga, aku menoleh pada beberapa lukisan yang berhasil dibuka penutupnya. Wajah mereka berbeda-beda. Siapa mereka? Dan sekilas, aku melihat sosok Megan berdiri di sana. Untungnya kejadian barusan tidak membuat Ibu bangun. Cepat-cepat, kami para wanita, kembali
Perdebatan kami terhenti saat Kang Budi pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa pun. Ia tergopoh-gopoh, berlari dengan kaki yang diseret. Aku hendak beranjak untuk mengejar, tetapi seseorang yang melintas menahanku dengan cepat. "Ada masalah apa Neng sama Kang Budi?" tanyanya. Karena merasa kaget, aku hanya bergeming sambil menantap ibu tersebut lalu menoleh sesekali pada pria itu. "Jangan mau deket dia. Bahaya atuh Neng. Dia itu kena gangguan jiwa tau," ucapnya dengan sedikit berbisik dan menekan kata terakhir. "Maksud Ibu?" Ibu berambut boop tersebut menoleh kanan dan kiri, lantas berkata, "Gak ada yang mau deketin dia dari dulu. Keluarga almarhum aja yang baik banget sama Kang Budi. Kalo dia udah ngamuk, kayak orang kesurupan." Sepertinya ibu ini tahu banyak tentang kehidupan Kang Budi. Apa hanya sekadar ibu-ibu yang suka gosip dan menelan kabar mentah-mentah? Aku hendak bertanya lagi, tetapi dari belakang Bapak memanggil. "Bapaknya manggil Neng, kalo gitu Ibu pergi dulu. Hat
Lusi menepuk bahuku, membuat aku terperanjak seketika. Begitu juga dengan sosok tadi yang tiba-tiba menghilang. Hanya saja, Rena bilang mobilnya bau bangkai. Gadis itu keluar dan langsung menuju selokan kecil untuk memuntahkan isi perutnya. "Put, kalau lihat sesuatu, kamu harus pura-pura gak lihat. Mereka bakalan terus gangguin kamu kalo kamu respon," ucap Lusi. Ia akhirnya turun menghampiri Rena. Sementara aku hanya mematung, bingung harus berbuat apa. Saat menoleh ke belakang, terlihat Bapak menengahi Kang Budi, entah apa yang mereka bicarakan. Hingga akhirnya situasi terlihat kondusif karena Pak Sopir, Bagas, serta Aldy sudah kembali masuk mobil. Lalu, disusul Lusi dan Rena. Aku bersikap seperti biasa agar anak-anak tidak curiga. Rena yang sudah baikan memintaku mengambil minyak angin dan mengoleskan pada pundak serta kepalanya. Mobil kembali melaju. Tidak ada pembicaraan mengenai kerusuhan tadi dari anak-anak. Karena penasaran, aku sampai harus mengirim chat pada Via. [Bapak
Via menatap jendela, memperhatikan kepergian kakaknya. Ada rasa cemas kala mobil itu melaju, terlihat sosok berambut putih duduk di pertengahan sahabat Putri—Bayu dan Aldy. Gadis itu terus memandangi jendela, melihat Kang Budi yang tiba-tiba mengejar mobil sambil berteriak, "Dasar gila. Keluar kau dari sana! Hadapi aku sekarang!" Tak lama, Pak Agung keluar dengan tergesa. Via memilih untuk tidak mencari tahu, ia hanya kembali duduk di ranjang dan menatap lemari yang selama ini membuatnya tidak bisa tidur setiap malam. Ia masih ingat, saat kejadian hari itu di mana lemari tersebut terbuka dan sesuatu menarik dirinya untuk masuk. Bahkan, masih terbayang ketika di dalam sana, sosok mengerikan memeluk dirinya dengan kulit melepuh dan bau busuk menyengat. Ia tak bisa berteriak sebab mulutnya dibekap oleh tangan yang memperlihatkan kuku-kuku panjang. Lamunannya buyar seketika saat notifikasi pesan masuk. Ternyata dari Putri yang menanyakan apakah bapak dan ibu mereka sedang mengobrol?
Sesampainya di hotel, aku hanya duduk di balkon sambil memandangi laju kendaraan. Pemandangan ibu kota begitu indah dengan cahaya lampu dari bangunan tinggi dan lampu jalanan.Entah mengapa, kejadian sore tadi saat aku menelepon Via membuatku syok seketika. Suara itu, sangat jelas kalau itu adalah suara Bapak yang menyebutkan nama si Bungsu dengan nada terbata. Perasaanku jadi semakin tidak enak. Apa benar tumbal itu ada? "Mandi dulu sana," ucap Rena. Aku menoleh ke arahnya, gadis itu tengah mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Aku hanya menghela napas, tidak bersemangat melakukan apa pun. Hingga akhirnya Rena mendekat, duduk di sampingku. "Sabar, insya Allah semuanya akan ada jalan," katanya. Suara ketukan pintu membuat gadis itu beranjak lalu membukanya. Ternyata yang datang adalah Lusi. Tadi dia sempat pulang dulu ke rumahnya dan memutuskan untuk kembali karena ia akan ikut mencari Pak Cahya bersama kami besok."Kalian belum tidur, udah hampir tengah malam juga," ucapnya ser
Setelah mengetahui keberadaan Pak Cahya, kami pun langsung check out dari hotel dan memutuskan untuk pulang ke Lembang—kecuali Lusi, gadis itu pulang ke rumahnya di Jakarta. Masalahnya, ponsel keluarga di rumah belum juga aktif.Sepanjang jalan aku tidak nafsu untuk bercanda atau sekadar mengobrol. Tadinya, Rena mengajak untuk menginap satu hari lagi karena dia masih ingin liburan. Namun, aku memaksa untuk pulang sebab perasaanku tidak enak.Kami sampai Bandung sekitar 3 jam melewati tol Cipularang. Sementara dari Bandung ke Cikole sekitar 1 jam lebih. Tepat jam dua siang, aku sudah berada di depan rumah. Buru-buru aku turun dari mobil, mengucapkan salam dengan setengah berteriak seraya berlari. Sialnya, pintu rumah ternyata dikunci. Perasaanku semakin tidak enak, mempertanyakan keadaan Bapak dan Ibu, juga kedua adikku. Bagaimana bisa mereka pergi tanpa memberi kabar. Saking paniknya, aku sampai mengetuk pintu beberapa kali kemudian berlari ke arah samping untuk menggedor kaca kamar