Perdebatan kami terhenti saat Kang Budi pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa pun. Ia tergopoh-gopoh, berlari dengan kaki yang diseret. Aku hendak beranjak untuk mengejar, tetapi seseorang yang melintas menahanku dengan cepat. "Ada masalah apa Neng sama Kang Budi?" tanyanya. Karena merasa kaget, aku hanya bergeming sambil menantap ibu tersebut lalu menoleh sesekali pada pria itu. "Jangan mau deket dia. Bahaya atuh Neng. Dia itu kena gangguan jiwa tau," ucapnya dengan sedikit berbisik dan menekan kata terakhir. "Maksud Ibu?" Ibu berambut boop tersebut menoleh kanan dan kiri, lantas berkata, "Gak ada yang mau deketin dia dari dulu. Keluarga almarhum aja yang baik banget sama Kang Budi. Kalo dia udah ngamuk, kayak orang kesurupan." Sepertinya ibu ini tahu banyak tentang kehidupan Kang Budi. Apa hanya sekadar ibu-ibu yang suka gosip dan menelan kabar mentah-mentah? Aku hendak bertanya lagi, tetapi dari belakang Bapak memanggil. "Bapaknya manggil Neng, kalo gitu Ibu pergi dulu. Hat
Lusi menepuk bahuku, membuat aku terperanjak seketika. Begitu juga dengan sosok tadi yang tiba-tiba menghilang. Hanya saja, Rena bilang mobilnya bau bangkai. Gadis itu keluar dan langsung menuju selokan kecil untuk memuntahkan isi perutnya. "Put, kalau lihat sesuatu, kamu harus pura-pura gak lihat. Mereka bakalan terus gangguin kamu kalo kamu respon," ucap Lusi. Ia akhirnya turun menghampiri Rena. Sementara aku hanya mematung, bingung harus berbuat apa. Saat menoleh ke belakang, terlihat Bapak menengahi Kang Budi, entah apa yang mereka bicarakan. Hingga akhirnya situasi terlihat kondusif karena Pak Sopir, Bagas, serta Aldy sudah kembali masuk mobil. Lalu, disusul Lusi dan Rena. Aku bersikap seperti biasa agar anak-anak tidak curiga. Rena yang sudah baikan memintaku mengambil minyak angin dan mengoleskan pada pundak serta kepalanya. Mobil kembali melaju. Tidak ada pembicaraan mengenai kerusuhan tadi dari anak-anak. Karena penasaran, aku sampai harus mengirim chat pada Via. [Bapak
Via menatap jendela, memperhatikan kepergian kakaknya. Ada rasa cemas kala mobil itu melaju, terlihat sosok berambut putih duduk di pertengahan sahabat Putri—Bayu dan Aldy. Gadis itu terus memandangi jendela, melihat Kang Budi yang tiba-tiba mengejar mobil sambil berteriak, "Dasar gila. Keluar kau dari sana! Hadapi aku sekarang!" Tak lama, Pak Agung keluar dengan tergesa. Via memilih untuk tidak mencari tahu, ia hanya kembali duduk di ranjang dan menatap lemari yang selama ini membuatnya tidak bisa tidur setiap malam. Ia masih ingat, saat kejadian hari itu di mana lemari tersebut terbuka dan sesuatu menarik dirinya untuk masuk. Bahkan, masih terbayang ketika di dalam sana, sosok mengerikan memeluk dirinya dengan kulit melepuh dan bau busuk menyengat. Ia tak bisa berteriak sebab mulutnya dibekap oleh tangan yang memperlihatkan kuku-kuku panjang. Lamunannya buyar seketika saat notifikasi pesan masuk. Ternyata dari Putri yang menanyakan apakah bapak dan ibu mereka sedang mengobrol?
Sesampainya di hotel, aku hanya duduk di balkon sambil memandangi laju kendaraan. Pemandangan ibu kota begitu indah dengan cahaya lampu dari bangunan tinggi dan lampu jalanan.Entah mengapa, kejadian sore tadi saat aku menelepon Via membuatku syok seketika. Suara itu, sangat jelas kalau itu adalah suara Bapak yang menyebutkan nama si Bungsu dengan nada terbata. Perasaanku jadi semakin tidak enak. Apa benar tumbal itu ada? "Mandi dulu sana," ucap Rena. Aku menoleh ke arahnya, gadis itu tengah mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Aku hanya menghela napas, tidak bersemangat melakukan apa pun. Hingga akhirnya Rena mendekat, duduk di sampingku. "Sabar, insya Allah semuanya akan ada jalan," katanya. Suara ketukan pintu membuat gadis itu beranjak lalu membukanya. Ternyata yang datang adalah Lusi. Tadi dia sempat pulang dulu ke rumahnya dan memutuskan untuk kembali karena ia akan ikut mencari Pak Cahya bersama kami besok."Kalian belum tidur, udah hampir tengah malam juga," ucapnya ser
Setelah mengetahui keberadaan Pak Cahya, kami pun langsung check out dari hotel dan memutuskan untuk pulang ke Lembang—kecuali Lusi, gadis itu pulang ke rumahnya di Jakarta. Masalahnya, ponsel keluarga di rumah belum juga aktif.Sepanjang jalan aku tidak nafsu untuk bercanda atau sekadar mengobrol. Tadinya, Rena mengajak untuk menginap satu hari lagi karena dia masih ingin liburan. Namun, aku memaksa untuk pulang sebab perasaanku tidak enak.Kami sampai Bandung sekitar 3 jam melewati tol Cipularang. Sementara dari Bandung ke Cikole sekitar 1 jam lebih. Tepat jam dua siang, aku sudah berada di depan rumah. Buru-buru aku turun dari mobil, mengucapkan salam dengan setengah berteriak seraya berlari. Sialnya, pintu rumah ternyata dikunci. Perasaanku semakin tidak enak, mempertanyakan keadaan Bapak dan Ibu, juga kedua adikku. Bagaimana bisa mereka pergi tanpa memberi kabar. Saking paniknya, aku sampai mengetuk pintu beberapa kali kemudian berlari ke arah samping untuk menggedor kaca kamar
"Sedang apa di sini?" Aku tersentak saat suara bariton itu menggema. Sontak aku mundur perlahan saat menatap sang empunya rumah tengah berdiri di depan pintu, tangannya menggenggam cerulit. Kang Budi mengulang pertanyaannya, tetapi bukannya menjawab, pikiranku malah berkelana ke mana-mana. Jika Kang Budi ada di sini, lantas siapa yang ada di kamar itu? Atau jangan-jangan ....Tanpa basa-basi, aku langsung berlari ke arah kamar tersebut, membuka pintu dengan sekali entak. Namun, yang ada hanyalah kesunyian—bahkan deru napasku yang terengah-engah menahan takut, terdengar jelas. "Mau apa kamu sebenarnya?" tanya Kang Budi lagi. Air mataku malah berlinang, bersamaan dengan keringat yang mengucur deras. Rasanya, badanku melayang. Aku pun duduk di lantai, menenangkan perasaan yang kalang kabut, memikirkan keadaan Via sekarang. Tanpa banyak bicara, aku bangkit dan berjalan perlahan melewati pria itu. Akan tetapi, tangan yang memegang cerulit itu menahanku dengan cara direntangkan. Mau ta
Rey mengutak-atik ponselnya, lantas memperlihatkan sebuah foto. Di sana, terpampang tiga pria berbeda generasi, berdiri di depan sebuah lukisan. Aku mengernyit saat menatap foto itu. "Ini adalah aku, Ayah, dan juga Pak Cahya Handoko. Aku paham sedari awal, kamu pasti curiga sama aku, 'kan? Seandainya kemarin kamu bilang, kamu gak usah pergi jauh-jauh ke Jakarta," tukasnya sembari memasukan ponsel ke saku celananya. Ada rasa malu juga bersalah di sana. Aku enggan menanggapi, hanya menunduk, menatap lantai dengan pikiran serba salah. "Soal Nyonya Besar, aku kurang tau. Cuma, kalo tidak salah Megan punya Nenek dari pihak ibu yang sering dia panggil Oma. Pernah aku minta ketemu, tapi Megan bilang tidak sembarang orang bisa bertemu dengan omanya." Jangan-jangan, wanita itu yang disebut Nyonya Besar oleh Kang Budi. Aku langsung menanyakan jadwal pekerjaan Rey hari ini. Untung saja pria itu bilang sedang longgar. Untuk memanfaatkan waktu, aku memintanya untuk mengantar ke Rumah Sakit Jiw
"Maksud Bapak cara apa?"Pak Agung hanya terdiam, tanganya di lipat di atas perut yang membuncit. Napasnya naik turun, seperti kelelahan menghadapi hari-hari yang begitu berat. Ia mengusap rambut hitam putrinya lalu berkata, "Nanti juga kamu tahu, Bapak sedang negosiasi dulu untuk persyaratannya." Dahi Putri mengeryit, ia merasa curiga kalau bapaknya sedang merencanakan sesuatu yang gila. Ketika hendak membuka suara, Bu Aini keluar dari ruang ICU, matanya terlihat sembab. Putri menggeser duduknya, mempersilakan sang ibu untuk duduk di kursi bagian tengah. Ketiganya duduk dengan posisi yang sama, punggung bersandar ke dinding dan kaki diselonjorkan. Bahkan, Pak Agung memijat lutut beberapa kali karena memang ia mempunyai riwayat penyakit rematik. Hanya saja belum terlalu parah. "Lebih baik, Bapak sama Ibu pulang dan istirahat di rumah. Via biar Putri saja yang jaga," ucap Putri sembari melirik jam hitam di tangan kirinya yang sudah menunjukan pukul 21.00 waktu setempat. "Emang kamu