Napasku terasa sesak, bahkan rasanya paru-paru sudah terbakar. Mungkin beberapa detik lagi aku akan mati. Dalam remang-remang cahaya, terdengar suara Bagas memanggil. Setelahnya, banyak langkah kaki mendekatiku. Aku hanya merasa, tubuhku ditarik dan cekikan pun terlepas. Hingga akhirnya aku terbatuk-batuk. Mataku mulai bisa melihat lagi, di sampingku Rena tengah pingsan dalam pelukan Lusi. Di belakang, Bagas dan Aldy sibuk mengusap-ngusap punggungku. "Kayaknya, suasana masih belum kondusif. Mending kita keluar aja, yuk. Hawanya gak enak," ucap Lusi. "Kamu gak apa-apa, kan, Put?" Tepukan gadis itu membuatku mengangguk pelan. Tak lama, Rena pun sadarkan diri. Kami akhirnya bangkit untuk segera pergi dari gudang ini. Saat naik tangga, aku menoleh pada beberapa lukisan yang berhasil dibuka penutupnya. Wajah mereka berbeda-beda. Siapa mereka? Dan sekilas, aku melihat sosok Megan berdiri di sana. Untungnya kejadian barusan tidak membuat Ibu bangun. Cepat-cepat, kami para wanita, kembali
Perdebatan kami terhenti saat Kang Budi pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa pun. Ia tergopoh-gopoh, berlari dengan kaki yang diseret. Aku hendak beranjak untuk mengejar, tetapi seseorang yang melintas menahanku dengan cepat. "Ada masalah apa Neng sama Kang Budi?" tanyanya. Karena merasa kaget, aku hanya bergeming sambil menantap ibu tersebut lalu menoleh sesekali pada pria itu. "Jangan mau deket dia. Bahaya atuh Neng. Dia itu kena gangguan jiwa tau," ucapnya dengan sedikit berbisik dan menekan kata terakhir. "Maksud Ibu?" Ibu berambut boop tersebut menoleh kanan dan kiri, lantas berkata, "Gak ada yang mau deketin dia dari dulu. Keluarga almarhum aja yang baik banget sama Kang Budi. Kalo dia udah ngamuk, kayak orang kesurupan." Sepertinya ibu ini tahu banyak tentang kehidupan Kang Budi. Apa hanya sekadar ibu-ibu yang suka gosip dan menelan kabar mentah-mentah? Aku hendak bertanya lagi, tetapi dari belakang Bapak memanggil. "Bapaknya manggil Neng, kalo gitu Ibu pergi dulu. Hat
Lusi menepuk bahuku, membuat aku terperanjak seketika. Begitu juga dengan sosok tadi yang tiba-tiba menghilang. Hanya saja, Rena bilang mobilnya bau bangkai. Gadis itu keluar dan langsung menuju selokan kecil untuk memuntahkan isi perutnya. "Put, kalau lihat sesuatu, kamu harus pura-pura gak lihat. Mereka bakalan terus gangguin kamu kalo kamu respon," ucap Lusi. Ia akhirnya turun menghampiri Rena. Sementara aku hanya mematung, bingung harus berbuat apa. Saat menoleh ke belakang, terlihat Bapak menengahi Kang Budi, entah apa yang mereka bicarakan. Hingga akhirnya situasi terlihat kondusif karena Pak Sopir, Bagas, serta Aldy sudah kembali masuk mobil. Lalu, disusul Lusi dan Rena. Aku bersikap seperti biasa agar anak-anak tidak curiga. Rena yang sudah baikan memintaku mengambil minyak angin dan mengoleskan pada pundak serta kepalanya. Mobil kembali melaju. Tidak ada pembicaraan mengenai kerusuhan tadi dari anak-anak. Karena penasaran, aku sampai harus mengirim chat pada Via. [Bapak
Via menatap jendela, memperhatikan kepergian kakaknya. Ada rasa cemas kala mobil itu melaju, terlihat sosok berambut putih duduk di pertengahan sahabat Putri—Bayu dan Aldy. Gadis itu terus memandangi jendela, melihat Kang Budi yang tiba-tiba mengejar mobil sambil berteriak, "Dasar gila. Keluar kau dari sana! Hadapi aku sekarang!" Tak lama, Pak Agung keluar dengan tergesa. Via memilih untuk tidak mencari tahu, ia hanya kembali duduk di ranjang dan menatap lemari yang selama ini membuatnya tidak bisa tidur setiap malam. Ia masih ingat, saat kejadian hari itu di mana lemari tersebut terbuka dan sesuatu menarik dirinya untuk masuk. Bahkan, masih terbayang ketika di dalam sana, sosok mengerikan memeluk dirinya dengan kulit melepuh dan bau busuk menyengat. Ia tak bisa berteriak sebab mulutnya dibekap oleh tangan yang memperlihatkan kuku-kuku panjang. Lamunannya buyar seketika saat notifikasi pesan masuk. Ternyata dari Putri yang menanyakan apakah bapak dan ibu mereka sedang mengobrol?
Sesampainya di hotel, aku hanya duduk di balkon sambil memandangi laju kendaraan. Pemandangan ibu kota begitu indah dengan cahaya lampu dari bangunan tinggi dan lampu jalanan.Entah mengapa, kejadian sore tadi saat aku menelepon Via membuatku syok seketika. Suara itu, sangat jelas kalau itu adalah suara Bapak yang menyebutkan nama si Bungsu dengan nada terbata. Perasaanku jadi semakin tidak enak. Apa benar tumbal itu ada? "Mandi dulu sana," ucap Rena. Aku menoleh ke arahnya, gadis itu tengah mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Aku hanya menghela napas, tidak bersemangat melakukan apa pun. Hingga akhirnya Rena mendekat, duduk di sampingku. "Sabar, insya Allah semuanya akan ada jalan," katanya. Suara ketukan pintu membuat gadis itu beranjak lalu membukanya. Ternyata yang datang adalah Lusi. Tadi dia sempat pulang dulu ke rumahnya dan memutuskan untuk kembali karena ia akan ikut mencari Pak Cahya bersama kami besok."Kalian belum tidur, udah hampir tengah malam juga," ucapnya ser
Setelah mengetahui keberadaan Pak Cahya, kami pun langsung check out dari hotel dan memutuskan untuk pulang ke Lembang—kecuali Lusi, gadis itu pulang ke rumahnya di Jakarta. Masalahnya, ponsel keluarga di rumah belum juga aktif.Sepanjang jalan aku tidak nafsu untuk bercanda atau sekadar mengobrol. Tadinya, Rena mengajak untuk menginap satu hari lagi karena dia masih ingin liburan. Namun, aku memaksa untuk pulang sebab perasaanku tidak enak.Kami sampai Bandung sekitar 3 jam melewati tol Cipularang. Sementara dari Bandung ke Cikole sekitar 1 jam lebih. Tepat jam dua siang, aku sudah berada di depan rumah. Buru-buru aku turun dari mobil, mengucapkan salam dengan setengah berteriak seraya berlari. Sialnya, pintu rumah ternyata dikunci. Perasaanku semakin tidak enak, mempertanyakan keadaan Bapak dan Ibu, juga kedua adikku. Bagaimana bisa mereka pergi tanpa memberi kabar. Saking paniknya, aku sampai mengetuk pintu beberapa kali kemudian berlari ke arah samping untuk menggedor kaca kamar
"Sedang apa di sini?" Aku tersentak saat suara bariton itu menggema. Sontak aku mundur perlahan saat menatap sang empunya rumah tengah berdiri di depan pintu, tangannya menggenggam cerulit. Kang Budi mengulang pertanyaannya, tetapi bukannya menjawab, pikiranku malah berkelana ke mana-mana. Jika Kang Budi ada di sini, lantas siapa yang ada di kamar itu? Atau jangan-jangan ....Tanpa basa-basi, aku langsung berlari ke arah kamar tersebut, membuka pintu dengan sekali entak. Namun, yang ada hanyalah kesunyian—bahkan deru napasku yang terengah-engah menahan takut, terdengar jelas. "Mau apa kamu sebenarnya?" tanya Kang Budi lagi. Air mataku malah berlinang, bersamaan dengan keringat yang mengucur deras. Rasanya, badanku melayang. Aku pun duduk di lantai, menenangkan perasaan yang kalang kabut, memikirkan keadaan Via sekarang. Tanpa banyak bicara, aku bangkit dan berjalan perlahan melewati pria itu. Akan tetapi, tangan yang memegang cerulit itu menahanku dengan cara direntangkan. Mau ta
Rey mengutak-atik ponselnya, lantas memperlihatkan sebuah foto. Di sana, terpampang tiga pria berbeda generasi, berdiri di depan sebuah lukisan. Aku mengernyit saat menatap foto itu. "Ini adalah aku, Ayah, dan juga Pak Cahya Handoko. Aku paham sedari awal, kamu pasti curiga sama aku, 'kan? Seandainya kemarin kamu bilang, kamu gak usah pergi jauh-jauh ke Jakarta," tukasnya sembari memasukan ponsel ke saku celananya. Ada rasa malu juga bersalah di sana. Aku enggan menanggapi, hanya menunduk, menatap lantai dengan pikiran serba salah. "Soal Nyonya Besar, aku kurang tau. Cuma, kalo tidak salah Megan punya Nenek dari pihak ibu yang sering dia panggil Oma. Pernah aku minta ketemu, tapi Megan bilang tidak sembarang orang bisa bertemu dengan omanya." Jangan-jangan, wanita itu yang disebut Nyonya Besar oleh Kang Budi. Aku langsung menanyakan jadwal pekerjaan Rey hari ini. Untung saja pria itu bilang sedang longgar. Untuk memanfaatkan waktu, aku memintanya untuk mengantar ke Rumah Sakit Jiw
Beberapa hari sebelum kematian Kang Budi ....Pria itu memandang rumah Pak Rehan—pria yang selalu ia panggil Tuan. Ia merasa terhormat, diundang untuk makan malam dan dijemput oleh sopir. Puluhan tahun mengabdi pada keluarga Megan, membuat Kang Budi dekat dengan omnya Megan tersebut. Fisik Kang Budi sudah tak sesempurna dulu, bahkan tampak menjijikkan jika dipandang orang lain. Namun, Pak Rehan tidak pernah menjadikan itu sebagai masalah. Ia tetap memperlakukan Kang Budi layaknya keluarga—bukan tukang kebun keluarga Megan.Kang Budi keluar mobil dengan perlahan, kakinya diseret, apa lagi ketika menaiki tangga menuju pintu. Kakinya terkadang terseok dan dengan baiknya sopir membantu beliau. Pak Sopir yang sudah mengabdi lama itu pun dengan sabar membuka pintu, mempersilakan tamu tuannya masuk. "Silakan, Kang. Saya ke pos dulu, ya. Kopi tadi belum habis, hehe," pamitnya. "Makasih, ya, Kang. Maaf tiap ke sini saya ngerepotin." Kang Budi membungkukkan badannya. "Enggaklah, kayak ke si
Penjaga yang berusaha melawan berhasil dilumpuhkan. Sementara polisi yang lain berpencar untuk menangkap semua yang ada di dalam. Termasuk Ali dan Om Tio, ia menendang pintu kamar di mana seorang pria tanpa pakaian tengah berdiri mengangkat tangannya. Om Tio yang emosi berlari dan menonjok rahang pria itu. Ia merasa tak tega melihat Putri yang sudah dianggap keponakannya sendiri. Begitu juga Rena serta Lusi, mereka berlari menghampiri sahabatnya dan membetulkan kancing bagian atas yang sudah terbuka. Sementara itu, Ali menghampiri orang tua Putri, menatap Bu Aini yang bergetar ketakutan. Berbeda dengan Pak Agung, ia masih bertanya, "Ada apa ini? Kenapa kalian masuk tanpa izin? Kenapa Tuan Nur ditangkap?" "Tenang, Pak. Mari ikut saya ke luar." Di luar terjadi keramaian, warga yang ronda ikut membantu pengejaran orang-orang yang kabur. Tak lama, suasana mencekam itu sedikit mereda dengan dimasukkannya mereka ke mobil khusus—termasuk Bu Aini dan Pak Agung. Om Tio lebih memilih pergi
Beberapa hari ini, Rey sibuk chat bersama Rena dengan menggunakan nomor baru. Ia sengaja tidak berkomunikasi dengan Putri, mengingat ada Pak Agung di sana. Bahkan, Putri tidak jujur jika bapaknya masuk ke kelompok tersebut. Rey sengaja menghilangkan foto profile, takut jika Putri dalam keadaan ceroboh menyimpan ponsel. Namun, pria itu tetap bisa memonitor rumah serta keadaan Putri lewat sahabatnya, Rena. [Putri bilang sama Om Tio, katanya dia dijemput sama bapaknya. Gimana dong?] Membaca pesan itu, tidak membuat Rey kaget sama sekali. Sebab, ia tahu jika malam ini akan diadakan upacara suci di rumahnya Pak Agung. [Kita ketemu bisa? Ajak semua teman Putri. Aku punya rencana] Pesan sudah dibaca, tetapi Rena belum bisa memastikan apa-apa karena dia bertanya pada semua orang yang berhubungan dengan peristiwa ini. Akhirnya, jawaban dari mereka pun setuju untuk bertemu di tempat yang lebih private. Dengan cepat Rena membalas, [Oke. Di rumah aku aja Kak, biar lebih aman. Aku share alam
Setelah mengantar ibunya pulang ke rumah neneknya, gegas Putri pergi menuju tempat yang sudah dijanjikan oleh Rey. Yaitu, sebuah rumah dikawasan perumahan elite kota Bandung. Tak sulit bagi Putri untuk menemukan lokasi, sebab Rey sudah mengirim detail lokasi menggunakan WA—gadis itu hanya tinggal mengikuti arahan dari Google Map."Pak, Cempaka 2 kavling 2 di sebelah mana, ya," tanya Putri pada security saat sudah sampai di gerbang menuju perumahan. "Lurus, nanti belok kanan. Di sana ada keterangan nomornya, Neng," jawab pria itu sopan. "Makasih, Pak." Motor Putri kembali melaju, menapaki jalan yang ditunjukan oleh security tadi. Dari kejauhan, Putri melihat orang yang dicarinya tengah duduk di motornya. Ia langsung menghampiri Rey dan menekan klakson untuk mengagetkan karena pria berkemeja kotak biru itu sibuk dengan ponselnya.Rey menyambut kedatang Putri dengan tersenyum. Lantas, ia mengajak Putri untuk memasuki rumah yang beberapa bulan ini sering ia kunjungi. Di depan pintu r
Sedih, bahagia, mati, dan hidup memang rahasia Tuhan. Lantas, apakah kesesatan ini bagian dari skenario Tuhan? Beribu kali aku berpikir, tetapi belum menemukan jawaban. Hanya bisa menangis di ranjang milik Ibu dan Bapak. Di luar tidak terdengar pembicaraan apa pun, hanya terdengar suara aktivitas memasak. Sepertinya Ibu. Tak lama, pintu dibuka. Aku menoleh sesaat. Ibu membawa nampan yang diisi nasi dan beberapa lauk. Pintu terbuka dengan lebar, entah kenapa bukannya ingin kabur, aku malah ingin bicara pada Ibu dari hati ke hati. Beliau meletakkan nampan di atas meja rias samping ranjang, lalu menarik kursinya dan duduk di sana. "Makan dulu, Neng. Kalo udah banyak tamu, Ibu bakalan sibuk."Pasti tamu yang Ibu maksud adalah orang-orang yang akan menghadiri upacara laknat nanti malam. Aku menghela napas kemudian menjawab, "Padahal Ibu ga usah bawa makanan, bukannya Putri bakalan jadi tumbal kalian? Akhirnya, kan, mati juga." "Kamu bukan menikah secara fisik, Put. Tapi hanya secara si
"Kamu ini kenapa, Gung? Emak perasaan kenal kamu sebagai orang yang kuat iman dan bertanggungjawab. Kenapa jadi gini?" tanya Nenek, Bapak hanya menunduk. Sengaja aku ikut duduk di samping Nenek, agar mudah menahan Bapak saat ingin bertemu Via. Ita aku suruh menemani kakaknya supaya ada teman mengobrol."Mak, saya melakukan ini supaya kehidupan saya dan anak-anak mendapat kedamaian." Nenek tampak menggeleng sembari mengucap istigfar. "Salat, Gung. Salat dan sedekah, dua hal eta yang bikin hidup damai. Kalo sekiranya kamu melakukan hal baik untuk anak-anak, mereka gak akan ketakutan gini pas ketemu kamu." "Mereka masih kecil, Mak. Belum paham dengan asam garam kehidupan," elak Bapak. Nenek tampak geram. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama cucu Emak, demi Allah ... Emak gak akan maafin kalian." Karena takut darah tinggi Nenek kambuh, aku meminta beliau menemani Via dan Ita saja di kamar. Urusan bicara pada Bapak, biar aku yang hadapi, meski di hati ada rasa takut. Nenek pun beranjak
Langkahku tergesa untuk melihat kejadian di dalam sana. Saat berada di depan pintu kamar, mataku terbelalak melihat Via dalam keadaan kayang. Ia tertawa nyaring, kadang menangis."Kita ruqiah saja sekarang Om, saya wudu dulu." Ali melirik ke arahku. Karena paham apa maksudnya, aku menunjuk pintu sebelah kiri dari kamar ini. Pemuda itu mengangguk, lalu berlari.Om Tio masih terlihat melafalkan sesuatu. Tak lama Ali datang, bergantian dengan Om Tio yang mengambil wudu. "kalo Via sudah dalam keadaan normal, tolong pakaikan dia mukena, ya," ucapnya seraya menggulung lengan kemejanya lalu berjalan masuk ke kamar. Di awali dengan basmallah, Ali berdiri di depan ranjang lalu mulai melantunkan ayat dengan suara merdunya. Sementara nenek datang dari kamarnya membawa mukena. "Kalian bisa bantu membaca surah Al-Jin. Mau di ponsel atau Al-Quran gak masalah," ucap Om Tio, membuat kami semua yang berdiri di pintu mengangguk paham. Nenek menuntunku yang masih terisak, tangannya memelukku dari bel
Sesudah Isya, aku masih merasa cemas karena Aldy dan Bagas belum juga memberi kabar tentang obat bius yang aku minta. Chatnya centang dua, tetapi masih belum dibaca. Sementara di luar hujan begitu lebat. Aku juga menghubungi Ali dan Om Tio di grup, meminta arahannya saat melakukan biusan pada Via nanti. Mereka menyarankan untuk hati-hati karena tubuh Via dikuasai oleh jin. [Jadi aku harus gimana?] [Nanti kalo obat biasnya datang, kamu telepon Om ya. Letakan HP dekat obat itu, Om coba bacakan dulu ayat ruqiah supaya jinnya sedikit melemah] balas Om Tio. [Kabari saya juga, Put. Saya menunggu di luar rumah kamu nanti ya. Hati-hati pokoknya.] Kali ini Ali yang menyahut. Alhamdulillah, aku dikelilingi orang baik dan pemberani dan itu membuat aku menjadi orang yang nekat. Insya Allah, ini semua demi kesembuhan Via. Masalah Ibu dan Bapak, itu urusan belakangan. [Renacananya Via mau dibawa ke mana Put?] Chat dari Om Tio masuk kembali. [Ke rumah nenek aja Om, di sana tolong ruqiah Via y
Putri melihat masih ada harapan menyadarkan sang ibu. Lantas, ia mengajak ibunya ke kamar Via dan memancing adiknya dengan makanan agar Bu Aini percaya ada keanehan dalam diri Via. "Ibu bisa lihat sendiri apa yang terjadi." Putri langsung menarik tangan ibunya menuju kamar Via. Kebutulan, Pak Agung sibuk mengurus tanaman di halaman depan dan belakang. Pintu dibuka, terlihat Via tengah berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Gegas Putri membawa piring berisi makanan dan menyodorkannya pada Via. "Makan ini. Kamu pasti lapar, 'kan?" ucap Putri dengan nada ketus. "Via pasti kenyang, Neng. Dia kan udah makan nasi padang tadi." "Ibu sabar dulu atuh. Via, cepetan ini makan." Hening. Tidak ada jawaban dari Via, gadis itu tetap sibuk menatap atap kamar dengan pandangan lurus. Merasa kesal, Putri membentak adiknya. "Via! Cepetan makan!" Bukannya menuruti perintah Putri, Via justru mengibaskan tangannya, membuat piring yang Putri bawa tadi terempas dan pecah. Makananya ber