Pintu kututup segera, lantas menarik kursi meja makan dan meletakannya di depan pintu untuk menjadi penghalang. Terdengar suara langkah kaki di tangga, selanjutnya knop berputar-putar seperti ada seseorang di dalam yang minta dibukakan. Badanku mundur perlahan, tetapi berhenti tepat di depan meja makan dan berjongkok di sana seraya menutup telinga karena bising mendengar teriakan minta tolong dari dalam. Belum lagi suara ketukan pintu, membuat bulu kuduk merinding seketika. "Put, kamu sedang apa?" tanya Ibu yang tiba-tiba datang, membuatku menarik napas panjang dan mengusap dada karena kaget. Ibu menoleh ke arah kursi di depan pintu kemudian menariknya dan meletakkannya kembali pada posisi semula. Ibu menarikku untuk bangkit dan duduk. Beliau terlihat menuang air ke gelas dan memberikannya padaku. "Minum Neng, jangan lupa baca bismillah."Aku mengangguk dan melakukan apa yang Ibu suruh. "Apa cuma aku yang kena teror di sini?" tanyaku seraya meletakan gelas di atas meja makan."Engg
Sore hari, aku duduk di taman belakang sembari menatap pohon besar di depan sana. Bagian bawahnya gosong, membuat aku membayangkan betapa mengerikannya kejadian tiga tahun yang lalu itu. Otakku berpikir keras tentang pertemuan dengan Rey tadi pagi. Sayangnya, aku mengakhiri obrolan karena harus pergi ke pasar. Kami pun hanya bertukan nomor HP dan sampai saat ini pria itu belum menghubungi. Aku meraih ponsel di saku celana, mengecek notifikasi yang masuk. Namun, tidak ada pesan satu pun dari Rey. Apa aku harus menghubunginya duluan?"Bu, Bapak pergi dulu, ya." Suara Bapak membuatku menoleh ke arah pintu. Sontak aku turun dari kursi kemudian menghampiri beliau di ruang tamu yang masih menggulung kemejanya. Penampilannya sangat rapi."Mau ke mana sore-sore gini, Pak?" tanyaku. Bapak membetulkan kerahnya seraya tersenyum, lantas menjawab, "Mau ke rumah bosnya Kang Budi, Neng.""Kenapa harus menjelang Magrib gini, sih, Pak. Kenapa gak besok pagi aja atuh. Mencurigan," ketusku seraya mel
Tepat hari ini, liburan sekolah dimulai—kelas 12 sudah mulai menghadapi pemantapan dan juga Try Out. Belum lagi rapat-rapat guru yang membuat pembelajaran diliburkan selama tujuh hari ke depan.Aku punya waktu selama itu untuk bisa membuka misteri demi misteri di rumah ini. Mungkin. Aku juga akan izin pergi ke Jakarta dengan alasan liburan bersama ayahnya Rena. Begitupun Rena yang sudah bicara pada ayahnya agar jadi perantara kepergian kami kali ini. Gadis manja itu punya seribu macam akal untuk melakukan apa saja. Hari ini aku membuat beberapa camilan sebab Rena, Aldy, dan Bagas akan datang ke sini. Ibu sibuk membantu. Sementara Via masih diam di kamar Ibu. Gadis itu sakit lagi, badannya kembali panas. "Neng Put, antarkan makanan buat Via," perintah Ibu, aku langsung menghampiri beliau. Saat mengambil nampan, ponselku di atas meja bergetar—ternyata notifikasi pesan.[Put, bisa ketemu nanti siang? Di Kafe I L U Cikole. Kamu tahu kan?] Aku langsung membalas pesan dari Rey itu [Jam b
Aku tidak memedulikan ucapan Kang Budi, lebih memilih membuka helm dan cepat-cepat masuk rumah. Begitu juga teman-temanku yang membantu menyisir setiap sudut. Bahkan, Aldy dan Bagas pamit mengelilingi desa.Tempat seperti kolong ranjang dan lemari pun tak lepas dari pengamatan. Hasilnya nihil, mereka tidak ada. Saat aku, Ibu, dan Rena sedang panik, terlihat Lusi menatap pohon di halaman belakang. Mungkin ada yang dilihat oleh gadis itu atau ... entahlah. Satu tempat yang belum aku datangi hanya ruang bawah tanah. Bagaimana jika mereka ada di sana. Misal, Via penasaran lalu mengajak Ita, tapi Via tidak akan seceroboh itu. Hatiku gusar menatap pintu ruangan yang belum terinjak oleh kami. Bapak pun sempat akan masuk untuk memindahkan barang, tetapi selalu saja ada halangan. Apa sekarang waktunya aku masuk?Ibu duduk di kursi, ia tergugu meratapi kejadian ini. Mungkin beliau lelah mencari kedua putrinya sendirian.Perlahan tanganku mulai terulur, mencoba menyentuh knop dengan jantung be
Di tengah rasa mual dan pusing, aku malah fokus pada makhluk di belakang Lusi. Di merayap dari satu tembok, ke tembok yang lain lalu kembali lagi di belakang Lusi. Tangannya kini menyentuh pundak gadis itu, rambut putihnya melambai-lambai, seakan tertiup angin.Kulit melepuh dan kuku panjangnya membuatku bergedik ngeri. Makhluk itu merayap kembali, berpindah pada Bagas. Menyentuh kepala pemuda itu, bahkan lidahnya hampir saja menyentuh permukaan wajah Bagas. Tubuh Bagas bergetar, menatap kami secara bergantian. Tidak ada yang berani bicara sebab ingat pepatah Lusi untuk pura-pura tidak melihat kehadiran mereka. Tanganku semakin erat digenggam oleh Rena. Hingga tatapanku beralih pada gadis berseragam, aku yakin itu Megan. Tidak terlalu jelas karena sebagian wajahnya rusak, begitu pun dengan Helen. Belum lagi wanita-wanita berbaju putih tinggi besar dengan rambut menyentuh lantai."Tutup mata kalian." Ucapan Lusi membuat aku langsung menutup mata. Mungkin yang lain juga sama. Seketika
Napasku terasa sesak, bahkan rasanya paru-paru sudah terbakar. Mungkin beberapa detik lagi aku akan mati. Dalam remang-remang cahaya, terdengar suara Bagas memanggil. Setelahnya, banyak langkah kaki mendekatiku. Aku hanya merasa, tubuhku ditarik dan cekikan pun terlepas. Hingga akhirnya aku terbatuk-batuk. Mataku mulai bisa melihat lagi, di sampingku Rena tengah pingsan dalam pelukan Lusi. Di belakang, Bagas dan Aldy sibuk mengusap-ngusap punggungku. "Kayaknya, suasana masih belum kondusif. Mending kita keluar aja, yuk. Hawanya gak enak," ucap Lusi. "Kamu gak apa-apa, kan, Put?" Tepukan gadis itu membuatku mengangguk pelan. Tak lama, Rena pun sadarkan diri. Kami akhirnya bangkit untuk segera pergi dari gudang ini. Saat naik tangga, aku menoleh pada beberapa lukisan yang berhasil dibuka penutupnya. Wajah mereka berbeda-beda. Siapa mereka? Dan sekilas, aku melihat sosok Megan berdiri di sana. Untungnya kejadian barusan tidak membuat Ibu bangun. Cepat-cepat, kami para wanita, kembali
Perdebatan kami terhenti saat Kang Budi pergi begitu saja tanpa menjelaskan apa pun. Ia tergopoh-gopoh, berlari dengan kaki yang diseret. Aku hendak beranjak untuk mengejar, tetapi seseorang yang melintas menahanku dengan cepat. "Ada masalah apa Neng sama Kang Budi?" tanyanya. Karena merasa kaget, aku hanya bergeming sambil menantap ibu tersebut lalu menoleh sesekali pada pria itu. "Jangan mau deket dia. Bahaya atuh Neng. Dia itu kena gangguan jiwa tau," ucapnya dengan sedikit berbisik dan menekan kata terakhir. "Maksud Ibu?" Ibu berambut boop tersebut menoleh kanan dan kiri, lantas berkata, "Gak ada yang mau deketin dia dari dulu. Keluarga almarhum aja yang baik banget sama Kang Budi. Kalo dia udah ngamuk, kayak orang kesurupan." Sepertinya ibu ini tahu banyak tentang kehidupan Kang Budi. Apa hanya sekadar ibu-ibu yang suka gosip dan menelan kabar mentah-mentah? Aku hendak bertanya lagi, tetapi dari belakang Bapak memanggil. "Bapaknya manggil Neng, kalo gitu Ibu pergi dulu. Hat
Lusi menepuk bahuku, membuat aku terperanjak seketika. Begitu juga dengan sosok tadi yang tiba-tiba menghilang. Hanya saja, Rena bilang mobilnya bau bangkai. Gadis itu keluar dan langsung menuju selokan kecil untuk memuntahkan isi perutnya. "Put, kalau lihat sesuatu, kamu harus pura-pura gak lihat. Mereka bakalan terus gangguin kamu kalo kamu respon," ucap Lusi. Ia akhirnya turun menghampiri Rena. Sementara aku hanya mematung, bingung harus berbuat apa. Saat menoleh ke belakang, terlihat Bapak menengahi Kang Budi, entah apa yang mereka bicarakan. Hingga akhirnya situasi terlihat kondusif karena Pak Sopir, Bagas, serta Aldy sudah kembali masuk mobil. Lalu, disusul Lusi dan Rena. Aku bersikap seperti biasa agar anak-anak tidak curiga. Rena yang sudah baikan memintaku mengambil minyak angin dan mengoleskan pada pundak serta kepalanya. Mobil kembali melaju. Tidak ada pembicaraan mengenai kerusuhan tadi dari anak-anak. Karena penasaran, aku sampai harus mengirim chat pada Via. [Bapak
Beberapa hari sebelum kematian Kang Budi ....Pria itu memandang rumah Pak Rehan—pria yang selalu ia panggil Tuan. Ia merasa terhormat, diundang untuk makan malam dan dijemput oleh sopir. Puluhan tahun mengabdi pada keluarga Megan, membuat Kang Budi dekat dengan omnya Megan tersebut. Fisik Kang Budi sudah tak sesempurna dulu, bahkan tampak menjijikkan jika dipandang orang lain. Namun, Pak Rehan tidak pernah menjadikan itu sebagai masalah. Ia tetap memperlakukan Kang Budi layaknya keluarga—bukan tukang kebun keluarga Megan.Kang Budi keluar mobil dengan perlahan, kakinya diseret, apa lagi ketika menaiki tangga menuju pintu. Kakinya terkadang terseok dan dengan baiknya sopir membantu beliau. Pak Sopir yang sudah mengabdi lama itu pun dengan sabar membuka pintu, mempersilakan tamu tuannya masuk. "Silakan, Kang. Saya ke pos dulu, ya. Kopi tadi belum habis, hehe," pamitnya. "Makasih, ya, Kang. Maaf tiap ke sini saya ngerepotin." Kang Budi membungkukkan badannya. "Enggaklah, kayak ke si
Penjaga yang berusaha melawan berhasil dilumpuhkan. Sementara polisi yang lain berpencar untuk menangkap semua yang ada di dalam. Termasuk Ali dan Om Tio, ia menendang pintu kamar di mana seorang pria tanpa pakaian tengah berdiri mengangkat tangannya. Om Tio yang emosi berlari dan menonjok rahang pria itu. Ia merasa tak tega melihat Putri yang sudah dianggap keponakannya sendiri. Begitu juga Rena serta Lusi, mereka berlari menghampiri sahabatnya dan membetulkan kancing bagian atas yang sudah terbuka. Sementara itu, Ali menghampiri orang tua Putri, menatap Bu Aini yang bergetar ketakutan. Berbeda dengan Pak Agung, ia masih bertanya, "Ada apa ini? Kenapa kalian masuk tanpa izin? Kenapa Tuan Nur ditangkap?" "Tenang, Pak. Mari ikut saya ke luar." Di luar terjadi keramaian, warga yang ronda ikut membantu pengejaran orang-orang yang kabur. Tak lama, suasana mencekam itu sedikit mereda dengan dimasukkannya mereka ke mobil khusus—termasuk Bu Aini dan Pak Agung. Om Tio lebih memilih pergi
Beberapa hari ini, Rey sibuk chat bersama Rena dengan menggunakan nomor baru. Ia sengaja tidak berkomunikasi dengan Putri, mengingat ada Pak Agung di sana. Bahkan, Putri tidak jujur jika bapaknya masuk ke kelompok tersebut. Rey sengaja menghilangkan foto profile, takut jika Putri dalam keadaan ceroboh menyimpan ponsel. Namun, pria itu tetap bisa memonitor rumah serta keadaan Putri lewat sahabatnya, Rena. [Putri bilang sama Om Tio, katanya dia dijemput sama bapaknya. Gimana dong?] Membaca pesan itu, tidak membuat Rey kaget sama sekali. Sebab, ia tahu jika malam ini akan diadakan upacara suci di rumahnya Pak Agung. [Kita ketemu bisa? Ajak semua teman Putri. Aku punya rencana] Pesan sudah dibaca, tetapi Rena belum bisa memastikan apa-apa karena dia bertanya pada semua orang yang berhubungan dengan peristiwa ini. Akhirnya, jawaban dari mereka pun setuju untuk bertemu di tempat yang lebih private. Dengan cepat Rena membalas, [Oke. Di rumah aku aja Kak, biar lebih aman. Aku share alam
Setelah mengantar ibunya pulang ke rumah neneknya, gegas Putri pergi menuju tempat yang sudah dijanjikan oleh Rey. Yaitu, sebuah rumah dikawasan perumahan elite kota Bandung. Tak sulit bagi Putri untuk menemukan lokasi, sebab Rey sudah mengirim detail lokasi menggunakan WA—gadis itu hanya tinggal mengikuti arahan dari Google Map."Pak, Cempaka 2 kavling 2 di sebelah mana, ya," tanya Putri pada security saat sudah sampai di gerbang menuju perumahan. "Lurus, nanti belok kanan. Di sana ada keterangan nomornya, Neng," jawab pria itu sopan. "Makasih, Pak." Motor Putri kembali melaju, menapaki jalan yang ditunjukan oleh security tadi. Dari kejauhan, Putri melihat orang yang dicarinya tengah duduk di motornya. Ia langsung menghampiri Rey dan menekan klakson untuk mengagetkan karena pria berkemeja kotak biru itu sibuk dengan ponselnya.Rey menyambut kedatang Putri dengan tersenyum. Lantas, ia mengajak Putri untuk memasuki rumah yang beberapa bulan ini sering ia kunjungi. Di depan pintu r
Sedih, bahagia, mati, dan hidup memang rahasia Tuhan. Lantas, apakah kesesatan ini bagian dari skenario Tuhan? Beribu kali aku berpikir, tetapi belum menemukan jawaban. Hanya bisa menangis di ranjang milik Ibu dan Bapak. Di luar tidak terdengar pembicaraan apa pun, hanya terdengar suara aktivitas memasak. Sepertinya Ibu. Tak lama, pintu dibuka. Aku menoleh sesaat. Ibu membawa nampan yang diisi nasi dan beberapa lauk. Pintu terbuka dengan lebar, entah kenapa bukannya ingin kabur, aku malah ingin bicara pada Ibu dari hati ke hati. Beliau meletakkan nampan di atas meja rias samping ranjang, lalu menarik kursinya dan duduk di sana. "Makan dulu, Neng. Kalo udah banyak tamu, Ibu bakalan sibuk."Pasti tamu yang Ibu maksud adalah orang-orang yang akan menghadiri upacara laknat nanti malam. Aku menghela napas kemudian menjawab, "Padahal Ibu ga usah bawa makanan, bukannya Putri bakalan jadi tumbal kalian? Akhirnya, kan, mati juga." "Kamu bukan menikah secara fisik, Put. Tapi hanya secara si
"Kamu ini kenapa, Gung? Emak perasaan kenal kamu sebagai orang yang kuat iman dan bertanggungjawab. Kenapa jadi gini?" tanya Nenek, Bapak hanya menunduk. Sengaja aku ikut duduk di samping Nenek, agar mudah menahan Bapak saat ingin bertemu Via. Ita aku suruh menemani kakaknya supaya ada teman mengobrol."Mak, saya melakukan ini supaya kehidupan saya dan anak-anak mendapat kedamaian." Nenek tampak menggeleng sembari mengucap istigfar. "Salat, Gung. Salat dan sedekah, dua hal eta yang bikin hidup damai. Kalo sekiranya kamu melakukan hal baik untuk anak-anak, mereka gak akan ketakutan gini pas ketemu kamu." "Mereka masih kecil, Mak. Belum paham dengan asam garam kehidupan," elak Bapak. Nenek tampak geram. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama cucu Emak, demi Allah ... Emak gak akan maafin kalian." Karena takut darah tinggi Nenek kambuh, aku meminta beliau menemani Via dan Ita saja di kamar. Urusan bicara pada Bapak, biar aku yang hadapi, meski di hati ada rasa takut. Nenek pun beranjak
Langkahku tergesa untuk melihat kejadian di dalam sana. Saat berada di depan pintu kamar, mataku terbelalak melihat Via dalam keadaan kayang. Ia tertawa nyaring, kadang menangis."Kita ruqiah saja sekarang Om, saya wudu dulu." Ali melirik ke arahku. Karena paham apa maksudnya, aku menunjuk pintu sebelah kiri dari kamar ini. Pemuda itu mengangguk, lalu berlari.Om Tio masih terlihat melafalkan sesuatu. Tak lama Ali datang, bergantian dengan Om Tio yang mengambil wudu. "kalo Via sudah dalam keadaan normal, tolong pakaikan dia mukena, ya," ucapnya seraya menggulung lengan kemejanya lalu berjalan masuk ke kamar. Di awali dengan basmallah, Ali berdiri di depan ranjang lalu mulai melantunkan ayat dengan suara merdunya. Sementara nenek datang dari kamarnya membawa mukena. "Kalian bisa bantu membaca surah Al-Jin. Mau di ponsel atau Al-Quran gak masalah," ucap Om Tio, membuat kami semua yang berdiri di pintu mengangguk paham. Nenek menuntunku yang masih terisak, tangannya memelukku dari bel
Sesudah Isya, aku masih merasa cemas karena Aldy dan Bagas belum juga memberi kabar tentang obat bius yang aku minta. Chatnya centang dua, tetapi masih belum dibaca. Sementara di luar hujan begitu lebat. Aku juga menghubungi Ali dan Om Tio di grup, meminta arahannya saat melakukan biusan pada Via nanti. Mereka menyarankan untuk hati-hati karena tubuh Via dikuasai oleh jin. [Jadi aku harus gimana?] [Nanti kalo obat biasnya datang, kamu telepon Om ya. Letakan HP dekat obat itu, Om coba bacakan dulu ayat ruqiah supaya jinnya sedikit melemah] balas Om Tio. [Kabari saya juga, Put. Saya menunggu di luar rumah kamu nanti ya. Hati-hati pokoknya.] Kali ini Ali yang menyahut. Alhamdulillah, aku dikelilingi orang baik dan pemberani dan itu membuat aku menjadi orang yang nekat. Insya Allah, ini semua demi kesembuhan Via. Masalah Ibu dan Bapak, itu urusan belakangan. [Renacananya Via mau dibawa ke mana Put?] Chat dari Om Tio masuk kembali. [Ke rumah nenek aja Om, di sana tolong ruqiah Via y
Putri melihat masih ada harapan menyadarkan sang ibu. Lantas, ia mengajak ibunya ke kamar Via dan memancing adiknya dengan makanan agar Bu Aini percaya ada keanehan dalam diri Via. "Ibu bisa lihat sendiri apa yang terjadi." Putri langsung menarik tangan ibunya menuju kamar Via. Kebutulan, Pak Agung sibuk mengurus tanaman di halaman depan dan belakang. Pintu dibuka, terlihat Via tengah berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Gegas Putri membawa piring berisi makanan dan menyodorkannya pada Via. "Makan ini. Kamu pasti lapar, 'kan?" ucap Putri dengan nada ketus. "Via pasti kenyang, Neng. Dia kan udah makan nasi padang tadi." "Ibu sabar dulu atuh. Via, cepetan ini makan." Hening. Tidak ada jawaban dari Via, gadis itu tetap sibuk menatap atap kamar dengan pandangan lurus. Merasa kesal, Putri membentak adiknya. "Via! Cepetan makan!" Bukannya menuruti perintah Putri, Via justru mengibaskan tangannya, membuat piring yang Putri bawa tadi terempas dan pecah. Makananya ber