Share

Kolong Ranjang

last update Last Updated: 2022-05-20 12:20:13

Kedua adikku hanya menatapku tanpa ada pembelaan. Sementara tangan Kang Budi aku lepas secara perlahan. Terdengar suara Bapak memanggil dari belakang, bahkan beliau berjalan menghampiri. "Ada apa ini teh, kok, rame?" tanyanya.

Aku langsung berdiri, lantas bertanya pada Bapak, "Ini Bapak yang nyuruh?"

Pria bertubuh tambun itu mengangguk. "Bukan nyuruh, tapi mempersilakan. Setiap tempat, ada aturannya tersediri. Bapak cuma mematuhi aturan itu, Neng. Gimana Kang Budi saja jadinya," jelas Beliau. Sepertinya, Bapak pun merasa tidak enak menolak permintaan Kang Budi.

Akhirnya, aku pun beranjak dari tempat sembari mengucap kata 'terserah'. Via dan Ita kuminta pergi dari sana. Lebih baik, mereka membantuku membereskan kamar masing-masing dan memasukan pakaian pada tempatnya.

"Kamu, kok, diem aja Vi lihat yang kayak gitu," ucapku saat berjalan menuju kamar.

"Biarin aja kali, Kak. Bapak mah belum rasain sendiri, sih, akibatnya."

"Huss, gak boleh didoain juga atuh."

Dua kamar bersampingan, sementara kamar yang satu lagi terletak di ruangan keluarga—ruangan dekat halaman belakang. Itu tempat untuk Ibu dan Bapak

Via langsung memilih kamar sebelah kanan, sementara aku di bagian kiri. Aku pun mengajak Ita untuk masuk. Setelah pintu terbuka, menguar aroma dari pewangi ruangan. Ternyata Kang Budi merawat rumah ini dengan baik.

Saat kami sudah masuk, suasana kamar terasa begitu kelam. Mungkin karena gorden yang masih tertutup. Aku meminta Ita untuk membongkar pakaiannya di dalam tas. Gorden mulai kusibak, begitu juga jendelanya—agar ada udara masuk.

Pemandangan di luar ternyata halaman samping rumah, di mana terlihat lalu lalang beberapa orang dari kejauahan tengah melintas. Rumah ini memang di kelilingi halaman. Hanya saja yang paling luas bagian depan dan belakang. Belum lagi banyak pohon-pohon dan tumbuhan yang subur.

Yang menjadi pusat perhatianku adalah ranjang besi tempo dulu, di mana bagian bawah begitu tinggi. Aku sampai bersujud dan melihat bagian kolong yang ternyata sangat gelap karena tertutup seprai putih yang menjuntai sampai bawah.

Suasana tempo dulu begitu kental, bahkan kamar ini lantainya saja belum keramik. Mungkin nanti aku akan mengubahnya untuk lebih modern dengan pernak-pernik handmade ala remaja seusiaku.

Ada hal lain menjadi pusat perhatianku, yaitu lukisan sebuah keluarga yang tergantung di dinding. Terdiri antara, ayah, ibu, dan dua anak. Ibunya seorang pribumi karena memakai kebaya, sementara si ayah terlihat seperti orang luar. Gen ayah diturunkan pada kedua putrinya. Sepertinya seusiaku dan juga Ita. Apa mereka yang bunuh diri?

Lukisan keluarga itu aku turunkan kemudian menyimpannya di bawah. Mungkin akan kuganti dengan foto polaroid dan lampu-lampu kecil yang kubawa dari rumah nenek. Namun, ketika aku berbalik badan dengan menentek beberapa lampu, lukisan itu sudah kembali terpasang di dinding.

Dahiku mengernyit, lantas menoleh ke arah Ita yang masih sibuk mengeluarkan isi tasnya. Aneh, kenapa bisa terpasang lagi? Apa aku lupa menurukan lukisan itu?

Sebuah benda mengelinding ke kolong ranjang. Ternyata itu pensil milik Ita. Aku hanya menatap benda itu sanpai benar-benar menghilang. "Kak, tolong ambilin atuh," ucap gadis kecil itu membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk, lantas menyimpan bawaan di atas ranjang. Kemudian, mulai terlungkup dengan tangan dimasukan ke dalam. Mencoba meraba-raba tanpa harus masuk ke kolong ranjang. Pasti banyak debu. Sialnya, benda itu tidak terjamah.

Tubuhku mulai bergeser agar tangan bisa lebih masuk. Akan tetapi, aku merasa memegang sesuatu di dalam sana. Tidak, tidak ... aku merasa tengah berjabat tangan dengan seseorang. Lama aku bergeming sebab tanganku sulit sekali ditarik.

Astagfirullahalazim. Sontak tangan kanan kugunakan untuk menyibak seprai, agar bisa melihat sesuatu di dalam sana. Jantungku mencelos karena di dalam sana tidak ada siapa pun. Jadi, yang tadi apa?

Secepat kilat aku mengambil pensil Ita, lantas bergegas beranjak dan memberikan benda itu pada adikku. Detak jantungku masih sama seperti tadi, berdetak tak karuan.

Gara-gara kejadian barusan, tubuhku kini terasa lemas. Aku hanya bisa duduk di ranjang, meratapi kejadian singkat barusan yang berhasil membuat bulu kuduk merinding. Sampai akhirnya terdengar suara Ibu memanggil dari luar.

"Dek, mau di sini apa ikut keluar?" tanyaku.

"Di sini aja," jawabnya sambil sibuk menggoreskan pensil pada buku gambar.

"Ya sudah. Kakak ke Ibu dulu sebentar." Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menemui Ibu, suaranya terdengar dari dapur.

Benar saja, Ibu tengah sibuk memindahkan sisa lauk yang dibawa tamu tadi siang ke penggorengan. Kalau di daerah Sunda, ada kebiasaan menyatukan sisa-sisa lauk dan menumisnya sampai kering.

"Put, bisa belikan sabun cuci piring di warung? Lihat, tuh, cuciannya banyak." Ibu menunjuk wastafle yang penuh dengan dagunya.

Aku melirik jam di dinding, sudah hampir mau Magrib. "Ya sudah, Putri ke warung. Oh, iya, Bu ... Ibu betah di sini?"

"Ya betah gak betah, kudu betah." Ibu menjawab seolah tanpa beban.

"Gak ada gangguan aneh, 'kan?" tanyaku lagi.

Tangan Ibu yang mengaduk makanan seketika berhenti. Suasana berubah hening, Ibu pun menoleh ke arahku dan tersenyum kemudian menggeleng. Aku membalas senyuman Ibu, meski tahu ada hal yang disembunyikan.

"Oh, iya, Bapak ke mana, Bu?"

"Kayaknya masih sama Kang Budi di belakang."

Aku mencebik mendengar jawaban Ibu. Ada rasa tidak suka pada Kang Budi, seperti mencurigakan. Lebih baik, aku bicara pada Bapak nanti malam agar tidak terlalu dekat dengan pria itu.

Karena takut waktu Magrib datang, bergegas aku keluar rumah. Beberapa orang yang lewat menoleh ke arahku tanpa menyapa. Mereka sepertinya baru pulang dari mengantar susu. Yang aku dengar, ada tempat pengumpul susu di sini.

Aku pun mulai keluar dari halaman dan berjalan di jalanan aspal yang terdapat banyak kerikil. Saat aku berjalan sembari memainkan ponsel, entah mengapa langkahku berhenti di depan jendela kamar. Sebab, ekor mata seakan menangkap sesuatu. Spontan aku menoleh, dari jarak beberapa meter—terlihat Ita tengah berdiri sambil melambaikan tangannya di dalam sana. Namun, yang jadi perhatianku adalah bola mata yang nyaris hitam semua.

Aku ingin berbalik dan berlari menghampiri gadis itu di kamar, tetapi kaki seakan kaku. Gadis kecil itu menatapku dingin, tangannya pun masih melambai dengan senyum pilu tergurat di bibir mungilnya.

Ya Allah, ada apa dengan Ita?

Related chapters

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Kantong Plastik

    Setelah membaca doa sebisa mungkin, akhirnya kakiku bisa bergerak. Sontak aku berlari, masuk kembali ke rumah, tentunya menghampiri Ita di kamar. Terdengar Ibu memanggil dari dapur, bertanya aku kenapa. Namun, seolah tak peduli, fokusku hanya mencari Ita.Pintu kubuka dengan cepat, tetapi gadis kecil itu tidak ada. Hanya peralatan gambar yang berserakan di lantai. Karena panik, aku memanggil Ibu, beliau pun ternyata mendatangiku ke kamar. "Ada apa, sih, Neng?" "Adek ke mana, Bu?" tanyaku panik."Kan, dari tadi main sama kamu di kamar." Tanpa peduli jawaban Ibu, aku berkeliling rumah, mencari keberadaan gadis itu. Begitu juga kamar Via, berharap Adek ada di sana. Akan tetapi, yang ada hanya Via tengah mengerjakan sesuatu di lantai. "Via, Adek mana?" bentakku, gadis itu hanya menatapku bingung. "Gak ada ke sini. Emang ada apa, sih?"Kepalaku terasa berdenyut, keringat mengucur deras, merasa takut jika terjadi sesuatu pada Ita. Perut pun mendadak sakit. Aku memang seperti itu kalau se

    Last Updated : 2022-05-20
  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Gadis Berseragam

    Aku membuang bungkusan yang isinya bangkai ayam hitam. Mungkin karena mendengar teriakanku, sampai membuat Via dan Ita keluar. Mereka pun akhirnya ikut duduk bersama kami menunggu kedatangan Bapak.Sejurus kemudian, suara pintu diketuk. Gegas aku membuka pintu. Bapak tengah menata payung agar tidak tertiup angin. "Untung aja ada tetangga yang minjemin," ucapnya.Aku pun menutup pintu kembali setelah beliau masuk. Bapak mengernyitkan dahi saat menatap kami bergantian, lantas bertanya, "Aya naon? Kok, kalian natap Bapak kayak gitu." Ibu langsung berdiri dari kursi, menanyakan pada Bapak mau minun teh atau kopi. Hingga pilihan jatuh pada kopi hitam. Bapak tidak bisa minum kopi susu, lambungnya bisa kumat. Aku membiarkan Bapak duduk terlebih dahulu sambil mematikan TV, sebab di luar hujan makin deras dan petirnya pun kian kencang. Khawatir jika TV dibiarkan menyala, takut listriknya tersambar. Via dan Ita pun aku suruh masuk ke kamarku untuk tidur. "Pak, Putri mau bicara." Aku mulai me

    Last Updated : 2022-05-20
  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Penelepon Misterius

    "Kenapa pada ngelamun di sini atuh," ucap Aldi yang tiba-tiba datang, membuatku tercekat seketika. Aku repleks memukul lengannya sambil mengucap istigfar beberapa kali. Gara-gara ucapan Rena tadi, aku jadi terbawa suasana merinding. Alhasil, parno. "Udah nanti aku ceritain deh jam istirahat di kantin. Jangan di sini, udah mau upacara juga." Aku mendorong tubuh mereka agar masuk kelas dan melupakan apa yang tadi Rena lihat. Tiba-tiba Aldi mendadak berhenti. "Sebentar," ucapnya, membuat kami berdiri di dekat meja guru. "Kalian cium bau gosong, gak?" Perasaan semakin tidak enak, apalagi tengkuk terasa begitu berat. Ekor mataku menangkap ada seseorang yang berdiri di sampingku, tetapi aku coba tepis untuk menghilangkan rasa tidak nyaman. Biarkan saja, justru yang aku khawatirkan keadaan Ibu di rumah.Bell sudah berbunyi, tanda upacara akan segera dimulai. Semua berjalan semestinya. Seperti upacara, jam pelajaran pertama dan kedua. Sampai akhirnya bell istirahat. Aldi dan Rena bahkan me

    Last Updated : 2022-05-24
  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Mukena Ibu

    Aku dan Via sudah dijemput oleh Bapak. Sebelumnya, aku meminta Pak Hasan untuk tidak bicara soal kedatangan kami, takut jika Bapak marah. Di mobil tidak ada pembicaraan apa pun, aku masih sibuk mencari berita di internet tentang kejadian di rumah itu. Namun, hasilnya masih nihil. Sementara Via, ia masih sibuk bermain game. "Besok kamu sekolah bawa motor aja, ya, Neng. Biar sore ada di rumah. Soalnya, Bapak disuruh ngadain pengajian sama Bos Arya. Jadi, nanti salat Isa Bapak mau ke mesjid buat ngundang tetangga." Suara Bapak mulai memecah keheningan. "Emang udah ada uangnya buat ngundang tetangga, Pak?" tanyaku seraya mematikan ponsel sejenak agar lebih sopan saat bicara dengan Bapak meski posisi kami tidak berhadapan. Dari kaca sepion, terlihat senyum Bapak mengembang. Beliau pun menjawab, "Semua catring dan snack dihandle oleh Bos Arya dan istrinya. Cuma katanya teh, mereka belum bisa hadir, soalnya masih sibuk sama kerjaan." Menurutku, Bapak itu salah satu orang yang selalu ber

    Last Updated : 2022-05-24
  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Siapa Helen

    Mendengar suara jeritan di tengah malam, tepat di kamar Via, membuat aku dan Bapak berlari untuk melihat keadaan gadis itu. Tentunya pikiranku sudah ke mana-mana, mengingat video yang direkam kemarin saja cukup membuat bulu kuduk merinding. Pintu kubuka secara paksa, lantas menghidupkan lampu kamar Via yang memang jika tidur selalu padam. Berbeda denganku, kadang selalu pengap jika lampu mati. Saat sudah masuk, nyatanya, Via dalam keadaan tengah tertidur. Kami berdua hanya bergeming, menatap Via yang terbangun dengan mengucek matanya. "Ada apa ini, Pak? Kok, pada ke sini?" tanyanya dengan suara serak. Wajah Bapak yang tadinya menegang, kini berubah sedikit lega. Pria tambun itu menghampiri putrinya kemudian mengusap lembut rambut Via dan menyuruh gadis berponi itu untuk tidur lagi. Sementara aku masih terdiam seraya mengatur napas yang masih naik turun. Bapak mengajakku untuk keluar dan tidak menceritakan apa pun pada Via. Aku kira Bapak akan kembali ke kamar, nyatanya beliau perg

    Last Updated : 2022-05-24
  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Cahya Handoko

    Aku beranjak dari kursi kemudian berpamitan pada Ibu. "Aku gak ikut sarapan ya Buk. Gak laper. Sisain aja buat nanti aku bawa ke sekolah." Bukan apa-apa, aku hanya takut terbawa emosi. Ibu mungkin paham perasaanku, tetapi bagaimana dengan Bapak? Dan nama yang tadi disebut Ita, sepertinya ada makhluk gaib yang bermain dengan adikku itu. Mungkin, jika sedang berdua, aku bisa mencari informasi lebih. Secepat kilat aku masuk kamar, membuka gorden meski langit belum sepenuhnya terang. Masih ada sisa kebiruan dari waktu Subuh. Dari jendela, aku bisa melihat orang lalu-lalang mengantarkan susu ke tempat penampungan. Mungkin, sekali-kali aku harus berbaur dengan masyarakat untuk tahu seluk-beluk rumah ini.Saat aku berbalik, tatapanku mengarah pada lukisan yang sudah tiga kali diturunkan, tetapi kembali dengan sendirinya. Bahkan, prakaryaku saja hancur, entah ulah siapa. Pandanganku beralih pada meja samping ranjang. Ada beberapa laci di sana. Kalau tidak salah, kemarin banyak buku di dala

    Last Updated : 2022-05-24
  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Menguak Siapa Helen

    Sepulang sekolah, sudah terlihat kue-kue basah di meja, tetapi masih dalam dus. Begitu juga nasi tumpeng yang sudah dihias dengan sangat cantik. Terlihat Bapak dan Ibu sangat semangat menggelar tikar dan membenahi rumah agar tampak nyaman saat tamu datang nanti.Hari ini aku pulang cepat, sekitar pukul 13.00. Jadi, jam setengah tiga pun sudah berada di rumah. Sebelum membantu pekerjaan, Ibu menyuruh aku dan Via untuk makan dulu. Namun, aku memilih menemui Ita yang katanya sedang bermain boneka di kamarku.Saat pintu dibuka, terlihat Ita tengah tertawa. Gadis kecil itu lebih senang, bermain di kamar sendirian. Aku pun menghampirinya, tawa Ita seketika berhenti. Bahkan, ia mendelik tak suka. "Lagi apa, Dek?" tanyaku duduk di sampingnya. Ita menyimpan boneka yang sedari tadi ia pegang, wajahnya terlihat ketus. "Kakak ganggu aja. Aku lagi main sama Helen," ucapnya dengan bibir mencebik seperti bebek. "Helen itu boneka, ya? Seumuran siapa?" Aku bertanya dengan hati-hati sambil menunjuk

    Last Updated : 2022-05-24
  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Jelmaan Bapak

    Azan Magrib berkumandang, Bapak sudah pergi ke mesjid. Kami pun para wanita, sudah bersiap salat di kamar masing-masing. Kecuali Ita, seperti biasa, gadis itu ada kegiatan mengaji bersama anak tetangga.Karpet sudah digelar, makanan pun sudah siap di piring. Begitu juga dengan nasi tumpengnya. Beberapa Al-Quran disediakan, barangkali ada yang tidak membawa. Alhamdulillah, aku telah usai melaksanakan kewajiban Magrib. Usai zikir dan berdoa, pandanganku mengarah pada lemari kecil sisi ranjang. Teringat akan buku aneh di dalam sana. Masih menggunakan mukena, aku membuka laci dan mengeluarkan semua buka yang sampulnya masih sangat bagus. Buku itu aku Sejajarkan, lalu mengambil ponsel dan memotret semuaya tanpa terlewat. Mungkin, setelah pengajian, aku akan komunikasin bersama Aldy. Setelahnya, buku itu pun kumasukan kembali. Suara piring di luar menandakan Ibu telah selesai salat. Aku langsung membuka mukena dan bersiap untuk keluar. Namun, arah mataku selalu saja ingin menatap lukisa

    Last Updated : 2022-05-25

Latest chapter

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Pembacaan Vonis (Tamat)

    Beberapa hari sebelum kematian Kang Budi ....Pria itu memandang rumah Pak Rehan—pria yang selalu ia panggil Tuan. Ia merasa terhormat, diundang untuk makan malam dan dijemput oleh sopir. Puluhan tahun mengabdi pada keluarga Megan, membuat Kang Budi dekat dengan omnya Megan tersebut. Fisik Kang Budi sudah tak sesempurna dulu, bahkan tampak menjijikkan jika dipandang orang lain. Namun, Pak Rehan tidak pernah menjadikan itu sebagai masalah. Ia tetap memperlakukan Kang Budi layaknya keluarga—bukan tukang kebun keluarga Megan.Kang Budi keluar mobil dengan perlahan, kakinya diseret, apa lagi ketika menaiki tangga menuju pintu. Kakinya terkadang terseok dan dengan baiknya sopir membantu beliau. Pak Sopir yang sudah mengabdi lama itu pun dengan sabar membuka pintu, mempersilakan tamu tuannya masuk. "Silakan, Kang. Saya ke pos dulu, ya. Kopi tadi belum habis, hehe," pamitnya. "Makasih, ya, Kang. Maaf tiap ke sini saya ngerepotin." Kang Budi membungkukkan badannya. "Enggaklah, kayak ke si

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Masa Lalu Kelam

    Penjaga yang berusaha melawan berhasil dilumpuhkan. Sementara polisi yang lain berpencar untuk menangkap semua yang ada di dalam. Termasuk Ali dan Om Tio, ia menendang pintu kamar di mana seorang pria tanpa pakaian tengah berdiri mengangkat tangannya. Om Tio yang emosi berlari dan menonjok rahang pria itu. Ia merasa tak tega melihat Putri yang sudah dianggap keponakannya sendiri. Begitu juga Rena serta Lusi, mereka berlari menghampiri sahabatnya dan membetulkan kancing bagian atas yang sudah terbuka. Sementara itu, Ali menghampiri orang tua Putri, menatap Bu Aini yang bergetar ketakutan. Berbeda dengan Pak Agung, ia masih bertanya, "Ada apa ini? Kenapa kalian masuk tanpa izin? Kenapa Tuan Nur ditangkap?" "Tenang, Pak. Mari ikut saya ke luar." Di luar terjadi keramaian, warga yang ronda ikut membantu pengejaran orang-orang yang kabur. Tak lama, suasana mencekam itu sedikit mereda dengan dimasukkannya mereka ke mobil khusus—termasuk Bu Aini dan Pak Agung. Om Tio lebih memilih pergi

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Penggerebegan 2

    Beberapa hari ini, Rey sibuk chat bersama Rena dengan menggunakan nomor baru. Ia sengaja tidak berkomunikasi dengan Putri, mengingat ada Pak Agung di sana. Bahkan, Putri tidak jujur jika bapaknya masuk ke kelompok tersebut. Rey sengaja menghilangkan foto profile, takut jika Putri dalam keadaan ceroboh menyimpan ponsel. Namun, pria itu tetap bisa memonitor rumah serta keadaan Putri lewat sahabatnya, Rena. [Putri bilang sama Om Tio, katanya dia dijemput sama bapaknya. Gimana dong?] Membaca pesan itu, tidak membuat Rey kaget sama sekali. Sebab, ia tahu jika malam ini akan diadakan upacara suci di rumahnya Pak Agung. [Kita ketemu bisa? Ajak semua teman Putri. Aku punya rencana] Pesan sudah dibaca, tetapi Rena belum bisa memastikan apa-apa karena dia bertanya pada semua orang yang berhubungan dengan peristiwa ini. Akhirnya, jawaban dari mereka pun setuju untuk bertemu di tempat yang lebih private. Dengan cepat Rena membalas, [Oke. Di rumah aku aja Kak, biar lebih aman. Aku share alam

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Penggerebegan

    Setelah mengantar ibunya pulang ke rumah neneknya, gegas Putri pergi menuju tempat yang sudah dijanjikan oleh Rey. Yaitu, sebuah rumah dikawasan perumahan elite kota Bandung. Tak sulit bagi Putri untuk menemukan lokasi, sebab Rey sudah mengirim detail lokasi menggunakan WA—gadis itu hanya tinggal mengikuti arahan dari Google Map."Pak, Cempaka 2 kavling 2 di sebelah mana, ya," tanya Putri pada security saat sudah sampai di gerbang menuju perumahan. "Lurus, nanti belok kanan. Di sana ada keterangan nomornya, Neng," jawab pria itu sopan. "Makasih, Pak." Motor Putri kembali melaju, menapaki jalan yang ditunjukan oleh security tadi. Dari kejauhan, Putri melihat orang yang dicarinya tengah duduk di motornya. Ia langsung menghampiri Rey dan menekan klakson untuk mengagetkan karena pria berkemeja kotak biru itu sibuk dengan ponselnya.Rey menyambut kedatang Putri dengan tersenyum. Lantas, ia mengajak Putri untuk memasuki rumah yang beberapa bulan ini sering ia kunjungi. Di depan pintu r

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Kehidupan Baru

    Sedih, bahagia, mati, dan hidup memang rahasia Tuhan. Lantas, apakah kesesatan ini bagian dari skenario Tuhan? Beribu kali aku berpikir, tetapi belum menemukan jawaban. Hanya bisa menangis di ranjang milik Ibu dan Bapak. Di luar tidak terdengar pembicaraan apa pun, hanya terdengar suara aktivitas memasak. Sepertinya Ibu. Tak lama, pintu dibuka. Aku menoleh sesaat. Ibu membawa nampan yang diisi nasi dan beberapa lauk. Pintu terbuka dengan lebar, entah kenapa bukannya ingin kabur, aku malah ingin bicara pada Ibu dari hati ke hati. Beliau meletakkan nampan di atas meja rias samping ranjang, lalu menarik kursinya dan duduk di sana. "Makan dulu, Neng. Kalo udah banyak tamu, Ibu bakalan sibuk."Pasti tamu yang Ibu maksud adalah orang-orang yang akan menghadiri upacara laknat nanti malam. Aku menghela napas kemudian menjawab, "Padahal Ibu ga usah bawa makanan, bukannya Putri bakalan jadi tumbal kalian? Akhirnya, kan, mati juga." "Kamu bukan menikah secara fisik, Put. Tapi hanya secara si

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Aku Tidak Gila 2

    "Kamu ini kenapa, Gung? Emak perasaan kenal kamu sebagai orang yang kuat iman dan bertanggungjawab. Kenapa jadi gini?" tanya Nenek, Bapak hanya menunduk. Sengaja aku ikut duduk di samping Nenek, agar mudah menahan Bapak saat ingin bertemu Via. Ita aku suruh menemani kakaknya supaya ada teman mengobrol."Mak, saya melakukan ini supaya kehidupan saya dan anak-anak mendapat kedamaian." Nenek tampak menggeleng sembari mengucap istigfar. "Salat, Gung. Salat dan sedekah, dua hal eta yang bikin hidup damai. Kalo sekiranya kamu melakukan hal baik untuk anak-anak, mereka gak akan ketakutan gini pas ketemu kamu." "Mereka masih kecil, Mak. Belum paham dengan asam garam kehidupan," elak Bapak. Nenek tampak geram. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama cucu Emak, demi Allah ... Emak gak akan maafin kalian." Karena takut darah tinggi Nenek kambuh, aku meminta beliau menemani Via dan Ita saja di kamar. Urusan bicara pada Bapak, biar aku yang hadapi, meski di hati ada rasa takut. Nenek pun beranjak

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Aku Tidak Gila 1

    Langkahku tergesa untuk melihat kejadian di dalam sana. Saat berada di depan pintu kamar, mataku terbelalak melihat Via dalam keadaan kayang. Ia tertawa nyaring, kadang menangis."Kita ruqiah saja sekarang Om, saya wudu dulu." Ali melirik ke arahku. Karena paham apa maksudnya, aku menunjuk pintu sebelah kiri dari kamar ini. Pemuda itu mengangguk, lalu berlari.Om Tio masih terlihat melafalkan sesuatu. Tak lama Ali datang, bergantian dengan Om Tio yang mengambil wudu. "kalo Via sudah dalam keadaan normal, tolong pakaikan dia mukena, ya," ucapnya seraya menggulung lengan kemejanya lalu berjalan masuk ke kamar. Di awali dengan basmallah, Ali berdiri di depan ranjang lalu mulai melantunkan ayat dengan suara merdunya. Sementara nenek datang dari kamarnya membawa mukena. "Kalian bisa bantu membaca surah Al-Jin. Mau di ponsel atau Al-Quran gak masalah," ucap Om Tio, membuat kami semua yang berdiri di pintu mengangguk paham. Nenek menuntunku yang masih terisak, tangannya memelukku dari bel

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Kabur dari Rumah

    Sesudah Isya, aku masih merasa cemas karena Aldy dan Bagas belum juga memberi kabar tentang obat bius yang aku minta. Chatnya centang dua, tetapi masih belum dibaca. Sementara di luar hujan begitu lebat. Aku juga menghubungi Ali dan Om Tio di grup, meminta arahannya saat melakukan biusan pada Via nanti. Mereka menyarankan untuk hati-hati karena tubuh Via dikuasai oleh jin. [Jadi aku harus gimana?] [Nanti kalo obat biasnya datang, kamu telepon Om ya. Letakan HP dekat obat itu, Om coba bacakan dulu ayat ruqiah supaya jinnya sedikit melemah] balas Om Tio. [Kabari saya juga, Put. Saya menunggu di luar rumah kamu nanti ya. Hati-hati pokoknya.] Kali ini Ali yang menyahut. Alhamdulillah, aku dikelilingi orang baik dan pemberani dan itu membuat aku menjadi orang yang nekat. Insya Allah, ini semua demi kesembuhan Via. Masalah Ibu dan Bapak, itu urusan belakangan. [Renacananya Via mau dibawa ke mana Put?] Chat dari Om Tio masuk kembali. [Ke rumah nenek aja Om, di sana tolong ruqiah Via y

  • Tragedi Rumah 30 Juta Rupiah   Misi Rahasia 2

    Putri melihat masih ada harapan menyadarkan sang ibu. Lantas, ia mengajak ibunya ke kamar Via dan memancing adiknya dengan makanan agar Bu Aini percaya ada keanehan dalam diri Via. "Ibu bisa lihat sendiri apa yang terjadi." Putri langsung menarik tangan ibunya menuju kamar Via. Kebutulan, Pak Agung sibuk mengurus tanaman di halaman depan dan belakang. Pintu dibuka, terlihat Via tengah berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Gegas Putri membawa piring berisi makanan dan menyodorkannya pada Via. "Makan ini. Kamu pasti lapar, 'kan?" ucap Putri dengan nada ketus. "Via pasti kenyang, Neng. Dia kan udah makan nasi padang tadi." "Ibu sabar dulu atuh. Via, cepetan ini makan." Hening. Tidak ada jawaban dari Via, gadis itu tetap sibuk menatap atap kamar dengan pandangan lurus. Merasa kesal, Putri membentak adiknya. "Via! Cepetan makan!" Bukannya menuruti perintah Putri, Via justru mengibaskan tangannya, membuat piring yang Putri bawa tadi terempas dan pecah. Makananya ber

DMCA.com Protection Status