Aku menatap Via yang sudah tertidur kembali. Tetiba, pintu ruangan terbuka. Ternyata Ibu dan Bapak yang masuk. Mereka menceramahiku karena sudah berbohong. Apa bedanya dengan mereka? Selama Ibu dan Bapak berbicara, aku menoleh pada jam dinding. Sudah 30 menit, pasti Suster Ana sudah menunggu. Tanpa melawan atau memberi jawaban, aku langsung ke luar dari kamar. Terdengar Ibu memanggil dari belakang, tetapi aku hiraukan. Dari kejauhan, terlihat beberapa orang tengah makan. Hanya terlihat sebagian karena memang ditutup oleh spanduk besar yang menutup sebagian warung. Saat aku membuka kain penutup, terlihat Suster Ana tengah mengaduk tehnya. "Sus, maaf telat," kataku seraya duduk di hadapannya. Jarak kami kini tersekat meja. "Tidak apa-apa. Oh, nama saya Ana. Namu kamu siapa?" tanyanya menyodorkan tangan. Aku langsung memperkenalkan diri. "Saya Putri, Sus. Bagaimana, apa ada yang Suster tahu?" Suster Ana menceritakan awal mula kecurigaan pada orang yang menjenguk Via. Katanya, semua
Bapak dan Ibu tidak salah, Put. Mereka tetaplah orang tua yang baik, yang rela melakukan apa saja untuk kebahagiaan putrinya. Mungkin saat ini, Allah tengah menguji keimanannya. Doakan saja, semoga Allah segera membuka pintu kebenaran," ucap Ali menenagkanku yang masih terisak. "Cuci otak itu membuat orang tidak sadar dengan apa yang dia lakukan. Om yakin, setelah mereka kembali, mereka tidak mengingat apa pun yang sudah terjadi." Kini Om Tio menimpali. "Aku cuma ingin Bapak dan Ibu lepas dari jerat mereka, dan kami pindah dari rumah ini. Jujur, Putri merasa sangat capek, Om, A," keluhku dengan suara yang nyaris hilang. "Insya Allah, atas izin Allah semua akan baik-baik saja." Ali mencoba memberi semangat. "Oh, iya, tidak ada anak kecil di rumah ini, kan? Bahaya." "Tidak ada Om, Ita dititip di rumah Nenek."Akhirnya, Om Tio dan Ali sepakat untuk meruqiah dan bermediasi di rumah ini sekarang juga. Siapa tahu, dengan begitu pengaruh cuci otak para iblis itu bisa sekalian lenyap. A
Tak ada yang bisa menebak jalan hidup manusia. Apalagi, segala sesuatu yang sudah terkubur dalam tanah. Namun, jika sudah ada kalimat Kun Fayakun dari Maha Pencipta, maka segala yang tidak mungkin akan menjadi mungkin. Begitu juga dengan hari ini, Allah menunjukan kuasanya agar aku bisa melihat sebuah kebenaran yang terjadi. A Ali memberiku air, membuatku bisa sedikit lebih tenang. Terlihat Lusi masih sesegukan di depan sana.Setelah memberi air untukku, ia pun meminta Lusi untuk minum. Dengan dibantu oleh Rena, akhirnya Lusi bisa menghabiskan air doa tersebut.Lantunan ayat suci dari Aldy dan Bagas masing terdengar. Om Tio pun terlihat tengah berzikir di bawah dengan beralaskan sajadah. Tak berselang lama, kegiatannya pun usai. Om Tio mulai bangkit dan duduk di sebelah Lusi, beliau membacakan doa lalu mengusap wajah gadis itu beberapa kali. "Tetap zikir dan jangan lepas beristigfar, ya," ucapnya. Lusi hanya mengangguk. Lantas, pria itu berpindah tempat duduk menjadi di sampingku.
Saat masuk ke dapur, suasana masih terasa sama. Gelap dan mencekam. Lampu aku nyalakan untuk membuat rumah ini sedikit terang. Aku mulai masuk kamar mandi dan tidak ada gangguan apa-apa. Namun, ketika baru sampai ambang pintu. Terdengar suara teriakan dari kamar, seperti suara Lusi. Gegas aku berlari menghampiri, gadis itu tengah mencekik dirinya sendiri. Terlihat pula Rena yang berusaha menenangkan."Lusi, istigfar Lu! Ya Allah," ucap Rena menarik tangan Lusi. Aku langsung berlari, ikut menariknya karena wajah Lusi sudah membiru. "Lā haula wa lā quwwata illā billāhil 'aliyyil azhīmi. Allahu Akbar!" teriakku dengan penuh keyakinan, sampai akhirnya tangan Lusi terlepas dan ia pun terbatuk-batuk. Kami semua mengatur napas secara bersamaan, merasa lega, tetapi tetap waspada. Aku langsung menghubung A Ali dan menceritakan kejadian barusan. Dia mengirimkan rekaman lantunan ayat rukiah dan itu suaranya sendiri. Setidaknya, membuat kami bisa tidur kembali. ***"Assalamualaikum." Suara sa
"Ponselku mati, kayaknya semalem lupa cash deh," ucap Rena saat berada di mobil ketika hendak pulang. "Oh, iya, lupa. Aku juga belum aktifin ponsel. Pasti Putri nyariin kita." Dengan cepat Lusi merogoh ponselnya di tas dan mengaktifkan benda pipih itu. Seketika puluhan pesan masuk, juga laporan telepon. Gadis itu langsung memperlihatkan hal tersebut pada Rena. Tak lama, ponsel kembali berbunyi sebab di rumah, Putri sudah menyadari ponsel salah satu sahabatnya sudah aktif. "Putri telepon," kata Lusi, ia pun langsung menggeser tombol hijau. Seketika suara tangisan Putri menjadi pembuka percakapan. Dengan cepat Lusi meloadspeker ponselnya. "Kamu kenapa, Put?" "Aku khawatir sama kalian ya Allah, kalian ke mana, sih? Aku takut kalian kenapa-kenapa?" Suara Putri bergetar, kedua gadis itu bisa merasakan kekhawatiran Putri karena mereka pergi tanpa pamitan. Lusi yang bingung harus menjawab apa, melirik ke arah Rena dan hanya dibalas dengan mengangkat kedua tangannya. Karena merasa tidak
Putri melihat masih ada harapan menyadarkan sang ibu. Lantas, ia mengajak ibunya ke kamar Via dan memancing adiknya dengan makanan agar Bu Aini percaya ada keanehan dalam diri Via. "Ibu bisa lihat sendiri apa yang terjadi." Putri langsung menarik tangan ibunya menuju kamar Via. Kebutulan, Pak Agung sibuk mengurus tanaman di halaman depan dan belakang. Pintu dibuka, terlihat Via tengah berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Gegas Putri membawa piring berisi makanan dan menyodorkannya pada Via. "Makan ini. Kamu pasti lapar, 'kan?" ucap Putri dengan nada ketus. "Via pasti kenyang, Neng. Dia kan udah makan nasi padang tadi." "Ibu sabar dulu atuh. Via, cepetan ini makan." Hening. Tidak ada jawaban dari Via, gadis itu tetap sibuk menatap atap kamar dengan pandangan lurus. Merasa kesal, Putri membentak adiknya. "Via! Cepetan makan!" Bukannya menuruti perintah Putri, Via justru mengibaskan tangannya, membuat piring yang Putri bawa tadi terempas dan pecah. Makananya ber
Sesudah Isya, aku masih merasa cemas karena Aldy dan Bagas belum juga memberi kabar tentang obat bius yang aku minta. Chatnya centang dua, tetapi masih belum dibaca. Sementara di luar hujan begitu lebat. Aku juga menghubungi Ali dan Om Tio di grup, meminta arahannya saat melakukan biusan pada Via nanti. Mereka menyarankan untuk hati-hati karena tubuh Via dikuasai oleh jin. [Jadi aku harus gimana?] [Nanti kalo obat biasnya datang, kamu telepon Om ya. Letakan HP dekat obat itu, Om coba bacakan dulu ayat ruqiah supaya jinnya sedikit melemah] balas Om Tio. [Kabari saya juga, Put. Saya menunggu di luar rumah kamu nanti ya. Hati-hati pokoknya.] Kali ini Ali yang menyahut. Alhamdulillah, aku dikelilingi orang baik dan pemberani dan itu membuat aku menjadi orang yang nekat. Insya Allah, ini semua demi kesembuhan Via. Masalah Ibu dan Bapak, itu urusan belakangan. [Renacananya Via mau dibawa ke mana Put?] Chat dari Om Tio masuk kembali. [Ke rumah nenek aja Om, di sana tolong ruqiah Via y
Langkahku tergesa untuk melihat kejadian di dalam sana. Saat berada di depan pintu kamar, mataku terbelalak melihat Via dalam keadaan kayang. Ia tertawa nyaring, kadang menangis."Kita ruqiah saja sekarang Om, saya wudu dulu." Ali melirik ke arahku. Karena paham apa maksudnya, aku menunjuk pintu sebelah kiri dari kamar ini. Pemuda itu mengangguk, lalu berlari.Om Tio masih terlihat melafalkan sesuatu. Tak lama Ali datang, bergantian dengan Om Tio yang mengambil wudu. "kalo Via sudah dalam keadaan normal, tolong pakaikan dia mukena, ya," ucapnya seraya menggulung lengan kemejanya lalu berjalan masuk ke kamar. Di awali dengan basmallah, Ali berdiri di depan ranjang lalu mulai melantunkan ayat dengan suara merdunya. Sementara nenek datang dari kamarnya membawa mukena. "Kalian bisa bantu membaca surah Al-Jin. Mau di ponsel atau Al-Quran gak masalah," ucap Om Tio, membuat kami semua yang berdiri di pintu mengangguk paham. Nenek menuntunku yang masih terisak, tangannya memelukku dari bel