Putri menatap bapaknya dengan mata berkaca-kaca. Meneliksik wajah semringah tersebut. Terlihat tanpa dosa. Gadis itu berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa ini bukan salah sang bapak, melainkan otaknya yang sedang dipermainkan oleh para iblis. Dengan badan lesu, Putri berbalik dan berniat untuk pergi. Ia merasa tidak ada nafsu untuk mencari ribut, mungkin efek dari demam. Saat Putri berbalik, tangannya dicekal oleh Pak Agung. "Bapak sedang bicara Neng, dengarkan dulu. Bapak yakin Tuan bisa membangunkan Via," ucapnya berapi-api. Awalnya Putri membiarkan bapaknya merayu, lama kelamaan, gadis itu merasa muak. Diempasnya tangan Pak Agung. Refleks pria itu ingin menampar, tetapi dengan cepat ia mengucap istigfar. "Kenapa berhenti, Pak? Tampar saja atuh. Paling Bapak gak akan bisa lihat Putri lagi besok. Tapi kayaknya itu bukan masalah buat Bapak." Hening. Pak Agung terdiam seraya mengatur napas yang naik turun. Dirinya pun bingung, mengapa bisa ada dorongan kuat untuk bersikap kasar
Putri berjalan terseok menuju rumah yang pernah ia datangi. Dari kejuahan, ia melihat rumah dari bilik itu berdiri kokoh tanpa penghuni. Di depannya sudah ada garis polisi, tandanya tidak bisa sembarangan orang masuk. Namun, bukan itu tujuan Putri, melainkan makam di samping rumah tersebut. Dengan mata sayu, ia menatap batu nisan bertuliskan 'Budi', hari lahir beserta hari wafatnya. Gadis itu terduduk sejenak, membuka ponsel. Ternyata, ia membuka Al-Quran digital dan membacarakan surah yasin dengan mata berkaca-kaca. Tak sampai berjam-jam, hanya hitungan menit Putri selesai membaca lantunan ayat suci. Air matanya menetes, mengusap batu nisan yang terlihat kusam karena mungkin terguyur hujan beberapa hari ini. "Kenapa Akang harus meninggal sebelum semuanya terjawab?" tanya Putri. Ia jadi teringat saat dirinya begitu membenci Kang Budi. Putri merasa, almarhum akan menyesatkan bapaknya. Ternyata ia salah, justru Kang Budi akan menyelamatkannya. Hanya saja, caranya salah. "Apa Bapak
Mataku mengerjap seketika saat meyadari aku tengah berdiri di ruang tamu sendirian. Seingatku, tadi aku dibawa oleh Lusi dan Rena. Ke mana mereka sekarang? Apa sudah pulang karena memang ini sudah malam.Perlahan kakiku mulai melangkah, menelusuri ruangan demi ruangan. Tampak begitu sepi. Aku mulai membuka kamar Via, tidak ada orang. Begitu juga dengan kamari Ibu. Ketika aku di dapur, terdengar suara pintu luar terbuka, lalu suara langkah dengan mengenakan sepatu. Cepat-cepat aku ke depan, takut ada orang jahat masuk. Namun, mataku menyipit seketika ketika gerombolan pria berbadan tegap dan besar membopong tubuh Megan dan membawanya masuk ke kamarku. Aku baru paham sekarang, ternyata ini mimpi seperti waktu itu. Gegas aku ikut masuk, gadis belasteran itu sudah dibaringkan di atas ranjang. "Kalian boleh pulang, ini uang tutup mulutnya," ucap wanita berkebaya merah yang di mimpi kemarin pun dia ada. Para pria berpenampilan casual itu pun mengangguk, lantas pergi dari rumah ini. Sema
Ali mengangguk. "Tadi gak tau kenapa ada dorongan kuat untuk ke sini Neng. Ternyata bener, Neng dalam keadaan bahaya." Ya Allah, aku jadi membayangkan jika tadi posisinya sendirian di rumah. Mungkin aku sudah mati. Aku langsung mengucapkan permintaan maaf dan terima kasih pada mereka semua. "Kayaknya karena kamu lagi kurang feet, Put. Jadi mereka gampang buat ganggu kamu. Oyah, tadi apa yang kamu rasain?" tanya Lusi. Aku merenung, mencoba berpikir dari mana harus menceritakan kejadian tadi. Akhirnya, aku memilih untuk mengatakan, "Cuma mimpi, Lus. Tapi ya agak aneh aja.""Banyak zikir, Neng. Insya Allah, di mana pun kita berada akan selalu dilindungi oleh Allah." Ali mulai bersuara. Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan anggukan. Setelah berbincang lama, Ali pun berpamitan pulang. Tidak lupa ia mempagari rumah ini sebelum pergi. Katanya, Ali sudah memberi air ruqiah di setiap sudut. Sementara itu, Rena dan Lusi memilih untuk menginap. Mereka memang terbaik. Malam kian larut,
[Pliss, anter aku ke rumah sakit] Pesan yang tadinya akan aku kirim pada Rey, akhirnya dihapus kembali. Aku lupa, Rey itu sedang ada misi masuk ke lingkungan mereka. Bisa-bisa dia gagal jadi mata-mata di sana.Aku bingung harus meminta tolong pada siapa. Karena tidak ada cara lain, ojek online lah yang menjadi sasaran utama. Saat sudah mendapat driver, aku mengirim sebuah note agar menunggu di jalan besar saja. Agar tidak dicurigai Ibu dan Bapak, aku tidak membawa tas. Berpenampilan biasa dengan memakai jaket dan celana levis. Untuk alas kaki, mungkin hanya sendal yang ada di luar. Sebelum pergi, rambut kurapikan. Dari pantulan cermin, terlihat wajahku yang memucat apalagi di bagian bibir. Ah, sudahlah. Tidak ada waktu untuk bersolek, keselamatan Via jauh lebih penting. Cepat-cepat aku keluar dari kamar sambil memperhatikan laju driver dari Map. Sebentar lagi sampai. Namun, ketika menuju pintu, suara Ibu memanggil dari belakang. Aku terdiam sejenak, mengatur napas, mempersiapkan j
Kata terakhir membuatku muak. Aku semakin yakin, Bapak akan menumbalkanku seperti yang Megan alami.Orang-orang bodoh. Bahkan aku tidak paham maksudnya apa. Aku langsung duduk di samping Via. Kebetulan, ada satu bangku yang disediakan untuk penjenguk. Sementara di sudut lainnya ada sofa yang berjajar rapi. Via berada di ruangan kelas elite. Sepertinya, biaya di ruangan ini tidak main-main. Tentu Bapak dan Ibu akan mudah silau, jika yang ditawarkan mereka adalah kemudahan dalam mencari dunia. Nauzubillaminzalik.Tanganku mengusap sayang rambut gadis itu. Dia sudah tidak memakai banyak alat lagi, hanya inpusan di tangan saja. Apa dia benar-benar sudah membaik?Teringat ponsel dalam saku celana. Aku langsung melihat beberapa notif yang masuk. Ternyata Ibu dan Bapak yang beberapa kali menelepon. Biarkan saja, aku lebih memilih membuka chat Rena. [Udah diminum obatnya belum, Put?] Melihat perhatian sahabatku itu, tentunnya aku merasa senang. Segera aku balas, [Aku di rumah sakit, jenguk
Aku menatap Via yang sudah tertidur kembali. Tetiba, pintu ruangan terbuka. Ternyata Ibu dan Bapak yang masuk. Mereka menceramahiku karena sudah berbohong. Apa bedanya dengan mereka? Selama Ibu dan Bapak berbicara, aku menoleh pada jam dinding. Sudah 30 menit, pasti Suster Ana sudah menunggu. Tanpa melawan atau memberi jawaban, aku langsung ke luar dari kamar. Terdengar Ibu memanggil dari belakang, tetapi aku hiraukan. Dari kejauhan, terlihat beberapa orang tengah makan. Hanya terlihat sebagian karena memang ditutup oleh spanduk besar yang menutup sebagian warung. Saat aku membuka kain penutup, terlihat Suster Ana tengah mengaduk tehnya. "Sus, maaf telat," kataku seraya duduk di hadapannya. Jarak kami kini tersekat meja. "Tidak apa-apa. Oh, nama saya Ana. Namu kamu siapa?" tanyanya menyodorkan tangan. Aku langsung memperkenalkan diri. "Saya Putri, Sus. Bagaimana, apa ada yang Suster tahu?" Suster Ana menceritakan awal mula kecurigaan pada orang yang menjenguk Via. Katanya, semua
Bapak dan Ibu tidak salah, Put. Mereka tetaplah orang tua yang baik, yang rela melakukan apa saja untuk kebahagiaan putrinya. Mungkin saat ini, Allah tengah menguji keimanannya. Doakan saja, semoga Allah segera membuka pintu kebenaran," ucap Ali menenagkanku yang masih terisak. "Cuci otak itu membuat orang tidak sadar dengan apa yang dia lakukan. Om yakin, setelah mereka kembali, mereka tidak mengingat apa pun yang sudah terjadi." Kini Om Tio menimpali. "Aku cuma ingin Bapak dan Ibu lepas dari jerat mereka, dan kami pindah dari rumah ini. Jujur, Putri merasa sangat capek, Om, A," keluhku dengan suara yang nyaris hilang. "Insya Allah, atas izin Allah semua akan baik-baik saja." Ali mencoba memberi semangat. "Oh, iya, tidak ada anak kecil di rumah ini, kan? Bahaya." "Tidak ada Om, Ita dititip di rumah Nenek."Akhirnya, Om Tio dan Ali sepakat untuk meruqiah dan bermediasi di rumah ini sekarang juga. Siapa tahu, dengan begitu pengaruh cuci otak para iblis itu bisa sekalian lenyap. A