SMA Hourai, Tsuruga, Fukui
Dari lubuk hati yang terdalam, aku ucapkan terima kasih kepada teman-teman semua. Aku tahu waktu
3 tahun terasa masih kurang untuk saling mengikat hati kita. Namun, aku sangat bersyukur kita mampu berjuang sejauh ini. Melewati masa-masa indah bersama, ada yang sempat putus asa dan ada juga yang kebingungan dalam menentukan masa depannya. Namun, kesulitan dan kebingungan yang kita rasakan pastilah merupakan salah satu langkah menuju dewasa. Aku harap, kita akan dipertemukan lagi dalam kesehatan yang baik, keadaan yang baik, dan masa depan yang cerah seperti cerahnya kelopak sakura. Sekali lagi, aku ucapkan selamat atas kelulusan kita semua.
Suara lembut itu berhenti terdengar, menyisakan riuh tepuk tangan yang menggema memenuhi ruangan. Yoshide Hiroto, sang perwakilan pun turun dari podium diiringi pandangan kagum dari setiap orang. Ahh.. keren, aku ingin berpacaran dengannya. Itulah yang terlintas dalam benak kebanyakan gadis yang hadir dalam upacara kelulusan kali ini. Sementara, di barisan belakang seorang gadis berambut pendek malah memikirkan hal yang berbeda. Ia harap, ia bisa mengungkapkan perasaannya. Itu saja.
Selama 3 tahun belakangan, gadis bernama Hasumi Aira itu diam-diam menyimpan perasaan yang dalam pada laki-laki populer tersebut. Bukan hanya karena paras dan sikap yang lemah lembut yang dimilikinya, melainkan juga karena auranya. Yoshide Hiroto semacam mempunyai aura magis yang bisa membuat setiap gadis takluk padanya. Bahkan aura itu makin bertambah saat ia menjabat sebagai ketua osis 2 tahun lalu. Karena itulah, sering sekali Hiroto mendapat pengakuan cinta dari gadis-gadis, mulai dari yang biasa saja sampai yang tercantik sekalipun. Tapi, ia menolak semuanya. Hiroto tak punya keinginan untuk berpacaran.
Setelah upacara selesai, Hasumi dan seorang gadis berambut panjang bernama Oikawa Yurika keluar dari gedung sembari membawa gulungan hitam pertanda mereka sudah resmi lulus dari SMA Hourai.
“Sayang sekali ya ibumu tidak bisa datang. Padahal ini hari yang penting.” Ujar Yurika dengan lesu. Ia
melirik Hasumi yang menampilkan raut sedih.
“Yahh.. mau bagaimana lagi. Aku tidak mungkin memaksanya datang, kan?”
“Oh ya, bagaimana keadaannya sekarang? apa dokter bilang sesuatu?” Yurika mengatakannya dengan hati-hati, takut menyinggung perasaan sahabatnya itu. Tapi ia juga penasaran dengan kondisi ibu Hasumi. Terakhir kali ia bertemu sekitar 2 minggu lalu, saat ibu Hasumi dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantungnya kumat.
“Mmm.. kata ibuku, dokter bilang kalau kondisinya masih stabil dan hanya perlu rutin minum obat.
Sangat sulit menemukan donor jantung untuk ibuku.”
“Begitu ya. Maaf ya, aku sangat menyesal harus meninggalkanmu sendirian di sini. Padahal aku sangat ingin menemanimu.”
“Hei apa-apaan ini hahaha.. kenapa kau jadi sedih begitu? Aku justru senang kau bisa kuliah di Osaka seperti yang ibumu inginkan. Aku akan baik-baik saja, asal kau pulang dan bawa oleh-oleh saat liburan hahaha.” Hasumi memaksakan tertawa, sementara Yurika makin merasa tak enak.
“K-kau sendiri bagaimana? Apa kau tak akan kuliah?”
“Mmm entahlah.. mungkin tahun depan saat ibuku sudah menemukan donor jantung yanng cocok untuknya.” Hasumi berkata enteng, meskipun dia juga tak yakin.
Sejak ibunya sakit 2 tahun lalu, ia tak punya keinginan apa-apa lagi selain agar ibunya bisa sehat kembali. Ia tak bisa membayangkan kalau ibunya itu pergi. Apa yang akan ia lakukan? Dengan siapa ia akan tinggal? Dan bagaimana ia hidup? Pertanyaan-pertanyaan itu membludak tiap kali ia memikirkan masa depannya sendiri. Membuatnya pupus harapan untuk sekedar membayangkan indahnya ‘masa depan’ itu. Kalau bisa, ia ingin kembali saja ke masa lalu. Di mana ibunya masih sehat dan ceria, selalu cemberut tiap kali Hasumi menyisakan bekal makan siangnya, selalu pulang larut bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi Hasumi, ibunya adalah ibu sekaligus ayahnya. Ia tak ingin apa- apa lagi. Tapi yah.. cintanya pada Hiroto adalah pengecualian. Bagaimanapun juga, ia adalah gadis SMA yang ingin merasakan indahnya cinta masa muda.
Meski ia tahu bahwa laki-laki itu tak mungkin bisa ia genggam, tetap saja ada sebersit harapan dalam hati agar sang pujaan bisa ia miliki. Meski hanya ada 0,000009% kemungkinan.
“Kudengar Yoshide akan kuliah di Tokyo.” Ucapan Yurika membuat Hasumi menoleh, lantas berdecak kagum. Tidak hanya tampan, baik, rendah hati, dan beberapa nilai plus lainnya, ternyata Hiroto juga pintar. Namanya pernah terpampang di mading sebagai peringkat ke-3 satu sekolah, membuat laki- laki itu makin terlihat sempurna.
Ahh.. tiba-tiba Hasumi jadi ingin pergi ke Tokyo.
“Nah, itu dia.” Yurika melempar dagunya ke arah depan, di mana Hiroto sedang dikerubungi gadis- gadis yang minta berfoto dengannya.
“Waw, gila. Apa dia artis?” Yurika terheran-heran. Sementara Hasumi merenung sejenak, menguatkan hatinya.
Aku harus mengungkapkannya hari ini juga. Harus! Kalau tidak, aku akan menyesal.
Hasumi kembali mengulang tekad yang ia buat 3 hari lalu. Ada banyak pertimbangan sebelum ia memutuskannya. Pertama, ia yakin akan ditolak. Kedua, ia tahu akan ditolak. Ketiga, ia yakin Hiroto tidak akan menerimanya. Namun pada akhirnya, ia memutuskan untuk tetap mengungkapkan perasaannya setelah mengingat kata-kata sang ibu saat ia curhat perihal orang yang ia sukai: “Kalau kau merasa akan sulit menemukan kesempatan untuk bertemu lagi dengannya, ungkapkan saja sebelum kau menyesal dan berpikir ‘ah andai aku bilang saja waktu itu’. Tapi kalau kau yakin akan mudah untuk bertemu dengannya, maka tetap ungkapkan saja. Kau tidak bisa terus-terusan menyimpan perasaanmu. Tidak baik, kasihan hatimu. Pasti melelahkan, bukan?”.
Suara bening sang ibu kala itu membuat Hasumi mantap. Bagaimana pun juga, ia akan tetap mengakui perasaannya. Bahkan ia akan menunggu sampai Hiroto benar-benar sendirian.
***
Ah, sudah sore lagi. Kaki Hasumi terasa pegal sekali setelah jongkok selama berjam-jam di area parkiran sepeda yang terletak di samping gerbang depan. Sial, rupanya gadis-gadis itu tak membiarkan Hiroto pulang begitu saja. Mereka menahan laki-laki itu lebih lama dari yang Hasumi kira. Saking lamanya, Yurika pun izin pamit karena ibunya menelepon terus-terusan. Mereka harus menyiapkan kepindahan mereka ke Osaka.
Sebelum pamit, Yurika sempat menitikan air mata lantaran terpaksa meninggalkan sahabatnya. Padahal sejak SMP, mereka selalu bersama melewati suka-duka, asam-manis, dan haha-hihinya kehidupan. Namun karena sang ayah ditunjuk menjadi pewaris bisnis keluarga, Yurika sekeluarga pun terpaksa pindah meninggalkan kampung halaman ibunya. Ah, ironis. Padahal sahabat terdekatnya sedang berjuang demi kesembuhan ibunya, tapi ia malah meninggalkannya.
“Jadi anak yang baik, oke?” ujar Hasumi beberapa saat lalu sebelum Yurika pulang.
“Haha.. memangnya kau ibuku?” Yurika mencibir. Senyum tipis mengembang di wajahnya yang bulat. “Aku akan pulang saat libur. Kalau ada apa-apa hubungi aku. Kalau Yoshide menerimamu jangan lupa
hubungi aku juga. Aku pasti tidak akan percaya hahaha.”
“Lagipula itu memang tidak mungkin.” Hasumi membalas cibiran Yurika.
Beberapa detik saling terdiam, Yurika dan Hasumi pun berpelukan. Dengan berat hati, tak lama mereka pun saling melepaskan.
“Bye-bye.” Yurika melambaikan tangannya sembari berjalan pergi.
“Hati-hati!” Hasumi balas melambaikan tangan, lalu perlahan sosok Yurika mulai menghilang. “Lho? Aira-san? Sedang apa di sini?”
Hasumi menengadah, sontak melotot begitu melihat sosok Hiroto ada di hadapannya sambil menenteng sepeda. Laki-laki itu tampak heran melihat Hasumi jongkok sendirian di parkiran yang sepi.
“A-ah, Yoshide-kun.. aku..”
Eh, tunggu! Ia tak salah dengar, kan? Beberapa detik yang lalu, Hiroto memanggilnya ‘Aira-san’ kan? Apa itu berarti.. ia tahu namanya? Yoshide mengenalnya? Apa ini mimpi? Padahal selama ini, Hasumi pikir Hiroto sama sekali tak mengenalnya. Mereka bahkan belum pernah ngobrol sebelumnya. L-lalu dari mana? Seketika pipi Hasumi pun memerah. Hawa panas menjalar di sana.
“Y-Yoshide kun, kau tahu namaku?” tanya Hasumi gugup. Hiroto mengangguk.
“Dari mana?”
“Emm..” Hiroto berpikir sejenak.
“Aku pernah melihat namamu di papan mading, dan kebetulan saat itu kau ada di sana. Jadi aku tahu itu kau.”
“Papan mading?” Hasumi mengernyit. Seingatnya, ia tak pernah masuk peringkat 100 besar 1 sekolah. Yah memang tidak pernah sih, tidak perlu diingat.
“Ya, di poster yang tulisannya ‘HASUMI AIRA SEDANG CARI PACAR! MINAT, DATANG KE KELAS 3-2. Ya begitulah kira-kira isinya.”
Sial! Itu ulah Yurika! Argh.. Hasumi benar-benar malu. Bagaimana bisa Hiroto mengingat tulisan poster itu dengan jelas?
“Yah.. tapi kupikir kau cukup berani juga hahaha.” Hiroto berkata dengan tulus, tak terlihat mengejek atau merendahkan sama sekali meskipun ia populer dan jadi rebutan gadis-gadis. Ia tak memandang
Hasumi yang terus-terusan menjomblo sebagai gadis yang ‘tak laku’, karena Hiroto juga paham kalau tidak semua orang berpikir bahwa pacaran itu menyenangkan. Termasuk dirinya.
“A-anu.. Yoshide kun, aku.. s…” “Ng? Ssss apa?”
“Sss..”
Ah, gawat. Jantung Hasumi terasa mau copot. Ia yakin pipinya merah saat ini. Tapi lebih dari itu, ia cemas kalau Hiroto bisa mendengar detak jantungnya yang berdegup kencang. Pikirannya pun mendadak kosong.
“S-SHASHIN TORITAI!!” akhirnya, malah kata-kata itu yang keluar. Padahal harusnya ‘S-suki’.
***
Aneh, ada apa dengan gadis ini? apa dia terlalu gugup?
Hal itulah yang terlintas dalam benak Hiroto saat Hasumi malah memintanya berfoto. Bukannya tidak sadar, justru ia sangat paham dengan gelagat Hasumi yang nampak gugup dengan pipi merah dan tangan gemetaran itu. Selama ini, Hiroto sudah banyak menghadapi situasi semacam ini. Ia tahu bahwa Hasumi menyimpan rasa padanya. Tapi sepertinya kegugupan gadis itu terlalu besar sampai- sampai ia salah ucap. Hiroto pun tersenyum tipis, mengingat kegugupan Hasumi.
“Tentu. Ayo.” Jawabnya singkat.
Sembari tersenyum kikuk, Hasumi mengeluarkan ponselnya. Ahh.. dia sangat bodoh. Tapi lumayan juga, bagaimanapun akhirnya ia punya kesempatan untuk foto bersama pujaan hatinya. Kalau begitu pengakuan cintanya setelah ini saja, deh. Hihihi. Pekiknya dalam hati.
Hiroto menggeser posisinya, kini bahunya hanya berjarak 2 cm dari bahu Hasumi. Ia mulai tersenyum saat Hasumi membuka kamera. Namun belum sempat foto diambil, tiba-tiba ada panggilan masuk. Hasumi langsung manyun lantas menggerutu dalam hati.
Dari Kinoshita-san.
“Maaf ya.”
“Tidak apa-apa, angkat saja dulu.”
Hasumi menjauh beberapa langkah, lalu mengangkat telepon dari tetangganya itu. Entah kenapa nenek tua tersebut tiba-tiba menelponnya. Di saat yang penting, lagi. Ganggu saja.
“Moshi-moshi?”
“H-Hasumi chan.. kau di mana?” suara Kinoshita terdengar gemetar dari seberang. Ia terdengar panik.
“Aku masih di sekolah. Ada apa, Kinoshita san?”
“Aku akan memberitahumu sesuatu, tapi kuharap kau tetap tenang. Jadi. Ibumu saat ini… entah sampai kapan… dokter bilang… datanglah ke rumah sakit… sekarang juga.”Kinoshita menjelaskan dengan hati-hati. Tapi.. Hasumi tak mengerti.
Kenapa suaranya terdengar putus-putus? Kenapa ia tiba-tiba lemas? Bukan, bukan karena suara
Kinoshita putus-putus. Suara nenek tua itu sangat jelas, sampai Hasumi pun benar-benar memahami
apa yang terjadi. Tapi ia terlalu shock mendengar ucapan Kinoshita barusan. Kakinya benar-benar terasa lemas, pandangannya mendadak kosong.
Kenapa? Kenapa harus sekarang?
“Kau baik-baik saja?” tanya Hiroto melihat Hasumi hanya terdiam.
Hasumi membalikkan badan, hingga Hiroto setengah melotot melihat gadis tersebut linglung. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Aira-san..”
“M-maaf, aku harus segera pergi.” Hasumi menyenggol beberapa sepeda yang terparkir di sana, hampir limbung saking kagetnya. Lalu beberapa detik kemudian gadis itu berlari, meninggalkan Hiroto yang terpaku penuh tanda tanya.
“Dia tidak baik-baik saja. Apa yang barusan terjadi?” Hiroto bingung sendiri.
Sementara Hasumi berlari menyusuri jalanan dengan pikiran kacau. Dalam langkahnya mencari taksi, tiba-tiba ingatannya berputar kembali pada kejadian tadi pagi. Setelah memakai seragam dengan rapi, Hasumi melangkah keluar kamar. DI halaman depan, sang ibu yang bernama Reiko tampak tengah menyirami tanaman sambil bersenandung ria.
“Bu, aku berangkat dulu.” Ujarnya sambil memakai sepatu. “Kau yakin ibu tidak usah datang?”
“Aku yakin. Lebih baik ibu tetap di rumah saja. Aku akan segera kembali kok.” “Maaf ya, padahal ini hari yang penting..”
“Aku lebih ingin ibu hadir di upacara pernikahanku daripada upacara kelulusan.” Kata Hasumi setengah tertawa. Reiko hanya bisa manggut-manggut menanggapi ucapan anaknya.
“Oh ya, kau sudah memutuskan universitas pilihanmu?” pertanyaan Reiko membuat tawa Hasumi hilang dalam sekejap. Gadis itu tampak pura-pura berpikir walau dalam hatinya sudah ada keputusan mantap.
“Eumm.. ah! Aku hampir terlambat. Ibu sih ngajak ngobrol terus.” Hasumi mengalihkan pandangannya pada jam tangan coklat berbentuk kecil bulat.
“Aku sudah memutuskan untuk menunda kuliahku. Tapi tenang saja, aku pasti akan kuliah.” Hasumi
tersenyum lalu mulai melangkah. Reiko menatapnya sampai keluar gerbang.
“Aku berangkat, dadah ibu!” Hasumi melambaikan tangannya seraya tersenyum lebar. Lalu sosoknya pun hilang. Entah ekspresi apa yang ditampilkan ibunya setelah Hasumi pergi. Tapi Hasumi yakin, dalam hati ibunya pasti terbesit sebuah kesedihan atas keputusannya menunda kuliah.
Untungnya, Hasumi langsung menemukan taksi. Ia pun meminta sang supir mengemudi lebih cepat. Tak butuh waktu lama untuk bisa sampai ke rumah sakit. Setelah membayar, Hasumi bergegas masuk. Jantungnya berdetak sangat cepat, dan.. terasa sakit. Ia sudah tak peduli pada Hiroto yang ia tinggalkan sendiri di parkiran sepeda. Ia tidak peduli lagi jika ia menyesal nantinya. Ia tak peduli jika ia tak punya kesempatan untuk mengungkap perasaannya. Saat ini, ia hanya ingin melihat ibunya.
Kumohon, bertahanlah.
Dengan tangan gemetar hebat, Hasumi melangkah masuk ke ruangan yang ditunjukkan oleh Kinoshita. Nenek berusia 60 tahun itu merangkul bahu Hasumi, menuntun langkahnya memasuki ruangan serba putih di mana tampak seseorang tengah tertidur lelap. Wajahnya pucat, dari dada hingga bawah tubuhnya tertutup dengan kain yang juga berwarna putih. Seketika, air mata membanjiri pipi Hasumi. Dadanya terasa sakit. Sangat sakit. Baru saja ia berbincang dengan perempuan itu tadi pagi. Namun kini, sosok itu sudah tak berdaya melawan takdirnya sendiri. Ia benar-benar pergi, meninggalkan putrinya sendiri di dunia yang keras ini. “I-ibu..” suara Hasumi terpatah, menahan sesak yang kian menjalar hingga membuat tenggorokannya perih. “Hasumi chan.. ibumu sudah tidak sakit lagi.” Kinoshita mengelus-elus punggung Hasumi. “Jangan tinggalkan aku sendiri..” “Kumohon.. jangan pergi.” &
Jam menunjuk ke angka 7 saat Hasumi turun dari kamarnya dan melangkah menuju dapur. Mata yang tadinya setengah terpejam seketika langsung membelalak saat melihat Hirotaka tengah berdiri di depan kompor seraya memasak telur dengan memakai pakaian kantornya. Melihat kehadiran putrinya, Hirotaka pun tersenyum. “Ohayou.” Sapanya pada Hasumi. Hasumi sempat terdiam beberapa detik sebelum kembali menjawab sapaan ayahnya. Aneh, kenapa hatinya merasa begitu asing dengan suara ayahnya sendiri? padahal ini bukan pertama kalinya ia mendengar suara itu. Dan kenapa di sisi lain ia merasa senang sekaligus bingung? Bukankah ia sudah membuat keputusan tentang ajakan kemarin? Manusia memang punya perasaan yang membingungkan. “Tunggu sebentar lagi ya, sarapannya akan segera siap.” Suara Hirotaka membuat Hasumi beralih memandanginya. Pria
Hasumi berdiri dengan mulut ternganga. Sementara Arata tampak mulai merapikan rambutnya yang agak berantakan. Jas hitam yang sedari tadi dijinjing pun sudah ia kenakan. Ia menoleh pada Hasumi yang masih menganga sejak sampai di depan rumahnya. “Kenapa? Mulutmu terbuka lebar tuh, seperti orang bodoh saja.” sindir Arata. Hasumi tersadar dan langsung menutup mulutnya. “I-ini benar rumahmu? Kita tidak nyasar, kan?” tanya Hasumi sembari menoleh ke kanan kiri. Rumah pagar hitam dengan panjang 10 meter itu masih membuat Hasumi tak percaya. Apa benar orang yang ia pikir pengemis ini orang kaya? A-atau dia mau menjual Hasumi pada orang kaya ini? seketika Hasumi jadi deg-degan. Gawat, harusnya ia tak ikut ke sini. Tiba-tiba, pandangan Hasumi terpaku pada kanji yang tertulis di pagar. “谷崎”. “Tanizaki.” Katanya reflek membaca. “Itu nama keluargaku.” Sahut Arata. “Oh b
Terkadang, takdir bisa dibilang nakal dan tak masuk akal. Padahal setiap manusia melakukan upaya seperti apa yang mereka harapkan. Ingin lulus ujian dengan belajar, ingin kaya dengan menabung, dan ingin menikah dengan menjalin cinta. Tetapi, mengapa takdir membawanya pada hasil yang berbeda? Tak masuk akal.Memangnya apa yang kurang? Memangnya apa yang salah? Mengapa hasilnya jadi berbeda dan tak sebanding dengan usaha kita? Mengapa takdir bisa senakal itu?Dan.. mengapa ini terjadi padaku?Hasumi menenggelamkan wajahnya di atas bantal. Kini ia sedang berbaring di kamar serba pink yang Hirotaka siapkan untuknya. Setelah malam itu, Hasumi yang masih shock dengan kata-kata Misaki tentang wanita yang ditakdirkan atau apalah itu langsung meminta Arata untuk mengantarnya pulang. Tapi mereka sama sekali tak bicara saat di dalam mobil. Arata pun langsung pulang setelah mengantar Hasumi sampai stasiun. Tak menyapa Hirotaka atau
Tinggal beberapa minggu lagi sebelum musim perkuliahan dimulai. Setelah kedatangannya ke Tokyo, Hasumi masih sulit mencerna semua yang terjadi. Segala yang terjadi kemarin bagai mimpi yang tak pernah Hasumi lihat sebelumnya. Sama seperti pagi ini, ia juga memimpikan sesuatu yang tak pernah ia lihat selama masih di Fukui.Di jalan penuh bunga sakura yang selalu ia lewati setiap menuju ke sekolah, Hasumi dan Yoshide tengah berhadapan. Yoshide menatap Hasumi penuh tanda tanya.“Jadi, apa yang mau kau bicarakan?” “Aku.. aku menyukaimu, Yoshide-kun!”Yoshide terdiam sesaat. Pandangan matanya benar-benar berbeda dari biasanya. Mata lembut yang selalu menatap setiap orang dengan rendah hati itu bagai kehilangan kilaunya, berganti dengan kedua mata yang menatap rendah siapapun, termasuk pada Hasumi kali ini yang ditatapnya dengan sinis.“Ha? Kau mempermainkanku ya? kau pikir aku
Gemerlapnya lampu-lampu toko menghiasi jalanan di sepanjang sungai Dotonburi, dihiasi deretan papan iklan raksasa yang menjadi pemandangan khas kota Osaka. Dunia malam memang tak pernah ada habisnya, sama seperti distrik ini yang selalu dibanjiri ratusan manusia. Seumur hidupnya, Hasumi belum pernah mengunjungi Osaka. Karena itulah ia begitu terpana tatkala menikmati indahnya gemerlap cahaya di sana. Dari kejauhan, Hasumi juga bisa melihat jembatan Ebisubashi yang selalu dipadati orang-orang untuk bisa berfoto dengan latar papan iklan produk cemilan terkenal. “Waaa! indahnya!” kata Hasumi seraya terus berjalan menelusuri kawasan Dotonburi bersama Yurika. Beberapa meter dari belakang mereka, Arata dan Mori juga sedang berjalan sembari mengambil beberapa foto. “Sudah berapa tahun ya Tanizaki-san tidak ke sini?” tanya Mori. “Em.. mungkin 2 tahun. Tapi tak banyak yang berubah ya.” “Ya begitulah. Tapi te
Hasumi baru saja selesai mengikatkan pita pada rambut pendeknya yang dikuncir sebagian dan membiarkan sebagiannya lagi diurai. Sembari menatap cermin, Hasumi pun tersenyum setelah menghela napas panjang. “Yosh!” katanya mantap. “Ibu, aku berangkat dulu.” ujarnya berpamitan pada foto Reiko yang dipajang di meja belajar. Tak lupa, ia pun menyimpan cincin pertunangannya dengan Arata di dalam kotak yang disimpan dalam laci. Ia lebih suka mengenakan cincin pemberian ibunya. Kemudian, Hasumi menuruni tangga dengan ceria. Hirotaka tampak sedang sibuk menata sarapan di meja makan. “Ohayou, ayah.” kata Hasumi penuh semangat. “Ah, ohayou.” Hirotaka duduk begitu selesai menata makanan. “Kau terlihat senang sekali hari ini.” “Ya begitulah.” Hasumi tersenyum lantas menelungkupkan tangan di depan dada. “Itadakimasu.” katanya sebelum menyantap sarapan dengan nikmat. Hirotaka sempat terdiam heran melihat sikap putrinya, kemudia
Sesuai kesepakatan, Hasumi akan mengantar Arata menemui ayahnya hari ini. Sejak jam 8 pagi, mobil Arata sudah terparkir rapi di depan rumah Hasumi. Tapi sayangnya, hari ini gadis itu bangun kesiangan dan Arata sudah menunggu selama hampir 30 menit di ruang tamu bersama Hirotaka.“Maaf ya, biasanya dia tidak selama ini kok.” ujar Hirotaka seraya menuangkan teh untuk Arata. Sudah 3 gelas ia minum teh, dan sebenarnya sudah agak mual. Tapi Arata tak kuasa menolak jamuan Hirotaka. Ia pun balas menuangkan teh untuk Hirotaka seraya tersenyum ramah.“Tidak apa-apa, kok. Aku bisa memaklumi karena dia masih sangat muda.”Hirotaka memasang raut wajah lega. Dalam hati, ia bersyukur karena keputusan Hasumi untuk menerima pertunangan itu tepat. Meski sebagian hati kecilnya merasa cemburu, karena harus rela membiarkan puterinya bersama laki-laki lain dan tak sempat menikmati kebersamaan yang telah hilang selama bertahun-tahun.&ldq