Jam menunjuk ke angka 7 saat Hasumi turun dari kamarnya dan melangkah menuju dapur. Mata yang tadinya setengah terpejam seketika langsung membelalak saat melihat Hirotaka tengah berdiri di depan kompor seraya memasak telur dengan memakai pakaian kantornya.
Melihat kehadiran putrinya, Hirotaka pun tersenyum.
“Ohayou.” Sapanya pada Hasumi.
Hasumi sempat terdiam beberapa detik sebelum kembali menjawab sapaan ayahnya. Aneh, kenapa hatinya merasa begitu asing dengan suara ayahnya sendiri? padahal ini bukan pertama kalinya ia mendengar suara itu. Dan kenapa di sisi lain ia merasa senang sekaligus bingung? Bukankah ia sudah membuat keputusan tentang ajakan kemarin?
Manusia memang punya perasaan yang membingungkan.
“Tunggu sebentar lagi ya, sarapannya akan segera siap.”
Suara Hirotaka membuat Hasumi beralih memandanginya. Pria itu benar-benar tampak seperti seorang ayah sekarang. Meski waktunya sangat terbatas karena harus berangkat lagi ke Tokyo, tapi ia masih bisa menyempatkan diri membuat sarapan untuk putrinya. Mungkin inilah alasan kenapa hatinya merasa senang. Hasumi pun tersenyum simpul.
“Ayah.” Seru Hasumi saat Hirotaka menuangkan minyak ke dalam wajan.
“Hm?”
“Kenapa ayah tidak menikah lagi saja?” tanyanya iseng.
“Huh?” Hirotaka menoleh dengan kedua alis mengerut.
“Maksudku, bukankah selama ini ayah merasa kesepian karena jauh dari aku dan juga ibu?”
“Hm.. itu memang benar. Tapi aku sudah terlalu tua untuk itu, hahah.” Hirotaka tertawa ringan.
Sementara Hasumi mengerutkan alisnya.
Aku agak tidak percaya. Biasanya tipe duda berkacamata di manga selalu punya gebetan dan akhirnya menikah juga. Batin Hasumi mengingat manga yang pernah ia baca.
“Ah, itu minyaknya sudah panas.” Kata Hasumi menyadari ada sedikit asap yang mengepul dari wajan. “Oh ya aku lupa.” Tangan Hirotaka menyenggol botol minyak sampai ikut tumpah ke kompor.
Seketika, WUSHHH. Api menyambar beberapa senti dari atas kompor. Hirotaka dan Hasumi menjerit berbarengan, lalu reflek Hasumi pun menarik ayahnya untuk menjauh. Untung saja ada alat pemadam kebakaran yang segera mengucurkan air ke seluruh ruangan. Perlahan, api pun mulai mengecil dan akhirnya padam. Hasumi dan Hirotaka hanya bisa terdiam sembari memandangi seisi ruangan yang basah. Baju mereka juga ikut basah.
Dalam hati, keduanya masih bersyukur karena apinya sudah padam. Namun di sisi lain Hasumi juga merasa sangat sedih.
“Hampir saja. Hahahah.” Hirotaka tertawa kikuk, sementara Hasumi masih termenung. “Sekarang aku harus bagaimana?” katanya putus asa.
***
Hasumi memandang ke luar jendela. Kereta melaju dengan cepat, membuat sawah dan ladang yang ada di luar seakan ikut berlalu. Hasumi masih tak percaya ia akan pergi secepat ini. Menuju dunia baru, status baru, dan kehidupan yang baru. Ia benar-benar tak pernah membayangkannya.
Setelah lulus, dulu yang ia rencanakan hanyalah berada di samping ibunya. Menjalani kehidupan seperti biasa, hanya berdua di rumah peninggalan neneknya. Untuk membantu masalah keuangan, mungkin ia akan bekerja paruh waktu di kota. Entah sebagai pegawai toko, pengangkut barang, atau apapun itu sama sekali bukan masalah untuk Hasumi. Asalkan sang ibu tetap ada di sisinya, ia sudah cukup merasa bahagia.
Tapi, memang benar bahwa manusia hanya bisa berencana. Pada akhirnya, kita hanya bisa tunduk pada takdir yang seringkali berbeda dari apa yang kita harapkan. Lihat, ia kini sudah tak punya ibu, tapi setidaknya masih punya ayah. Ia tidak menjadi pegawai toko atau pengangkut barang, tapi akan menjadi mahasiswa. Ia tidak akan tinggal di rumah seperti yang ia rencanakan, melainkan akan tinggal di Tokyo. Semua hal itu benar-benar berbeda dari apa yang Hasumi pikirkan.
Dan lagi, sebenarnya Hasumi akan menolak tawaran Hirotaka untuk ikut bersamanya ke Tokyo. Tapi kejadian tadi pagi membuat seisi rumahnya basah dan ia pun terpaksa pindah. Sekali lagi, akhirnya Hasumi hanya bisa tunduk pada takdir yang tak pernah ia duga bisa terjadi.
Setelah ini, takdir apa lagi yang akan ia hadapi?
Hasumi kembali mengingat kata-kata Hirotaka di malam saat ia ditawari untuk ikut ke Tokyo.
“Tokyo?”
“Ya. Kau tidak punya siapa-siapa lagi kan di sini? aku benar-benar khawatir jika kau tinggal sendirian dan tak punya uang untuk melanjutkan sekolah. Bagaimanapun juga, kau adalah putriku satu-satunya. Mana mungkin aku akan membiarkanmu menjalani kehidupan seperti itu.”
Hasumi menatap Hirotaka dengan serius. Sesekali menelan ludah.
“Aku akan sangat senang kalau kau ikut ke Tokyo. Kau tahu kan? Selama ini aku merasa sangat kesepian. Aku ingin melihatmu menyambutku setiap aku pulang. Aku juga akan membiayai kuliahmu dengan penghasilanku. Kurasa itu akan membuatku makin semangat bekerja heheheh.” Hirotaka tersenyum riang membayangkannya.
Sementara Hasumi tampak menggigit bibir bawahnya. Ia tak bisa berpikir.
“T-tapi..”
“Oh ya, aku juga punya seorang kenalan yang hebat. Dia adalah pemilik salah satu universitas swasta di Tokyo. Aku akan mendaftarkanmu ke sana. Bagaimana menurutmu?”
“A-aku.. aku akan berpikir dulu.” Jawabnya membuat Hirotaka terdiam sejenak.
“Baiklah.” Hirotaka tersenyum tipis.
Hasumi menghela napas. Lalu menatap secarik kertas yang sedari tadi ia pegang. Kertas itu bertuliskan
‘stasiun Kichijouji > kedai minum Tatsuya’ yang Hirotaka tulis sebagai pengingat agar Hasumi
menunggunya di depan stasiun itu. Hirotaka juga menggambarkan jalur yang harus Hasumi tempuh kalau-kalau ia terlambat menjemputnya karena urusan pekerjaan. Hasumi menggenggam kertas itu erat-erat, lantas mengusap cincin permata hitam yang ia pakai.
”Ibu, kumohon terus awasi aku.” Katanya pelan.
***
Matahari tampak mulai menguning saat kereta tiba di stasiun Kichijouji. Suara pengumuman yang memberitahu bahwa penumpang telah tiba di stasiun mulai terdengar, dan pintu pun terbuka. Beberapa orang berjalan keluar, sementara Hasumi masih terlelap karena ketiduran. Ia baru membuka mata saat kepalanya terbentur besi di samping kursi penumpang. Hasumi buru-buru mengumpulkan kesadarannya, lalu berjalan keluar. Ia sampai tak sadar kalau kertas dari Hirotaka terjatuh di dalam kereta.
Saat kakinya melangkah keluar, seketika itu pula Hasumi terpana dengan indahnya matahari senja. Rasanya sudah lama sejak terakhir kali ia melihat pemandangan ini. Indah. Sama sekali tak pernah berubah.
Hasumi pun berjalan menyusuri stasiun. Ia melihat ke kanan-kiri, seolah takut akan ada pencuri. Maklum saja, gadis desa sepertinya sangat asing dengan kota besar seperti Tokyo. Jangankan keluar kota, di kotanya sendiri saja Hasumi jarang sekali keluar kalau bukan untuk sekolah dan mengantar ibunya ke rumah sakit.
Berkat langkah kakinya yang cepat, Hasumi akhirnya bisa segera keluar dari stasiun. Namun saat ia mencari secarik kertas pemberian Hirotaka, ia tidak menemukannya. Seketika Hasumi pun membelalakkan matanya. Bagaimana bisa ia menghilangkannya? Bagaimana.. dan apa yang harus ia lakukan sekarang?
Sementara itu, di sebuah kedai minuman.
Seorang laki-laki berusia 26 tahun tampak tertunduk lesu. Di hadapannya terdapat beberapa gelas besar yang sudah kosong. Beberapa kali ia meracau, menyebut-nyebut nama seorang gadis.
Hatsuki.. Hatsuki
Ucap pria bernama Arata itu beberapa kali. Sang pelayan kedai yang sedari tadi memperhatikannya tampak menggelengkan kepala, seolah mengerti apa yang baru dialami sang pria.
“Arata, pulanglah..” ucapnya.
Arata mengangkat kepalanya.
“Hei, Aki. Menurutmu kenapa Hatsuki menolakku? Padahal kami pacaran 3 tahun. 3 tahun!” katanya
dengan sisa kesadaran yang ada.
“Jawabannya sederhana saja, itu berarti dia tidak benar-benar mencintaimu.” “Benarkah? Tapi dia sangat baik dan perhatian.”
“Dengar, Arata. Kalau seseorang benar-benar mencintaimu, dia pasti tidak mau kehilanganmu. Dia pasti akan berusaha agar bisa selalu dekat denganmu. Tidak ada cara terbaik untuk dekat dengan seseorang yang kita cintai selain menikah dengannya. Menikah berarti bersama seumur hidup. Kalau Hatsuki menolak untuk menikah denganmu, itu berarti dia tidak ingin selalu dekat denganmu.”
“Begitu ya. Kata-katamu terdengar seperti paku yang dipukul di tembok. Menyakitkan.”
“Sudah, pulanglah. Tidur dengan baik, dan lupakan dia. Kau pasti akan menemukan gadis yang lebih
baik.”
“Memangnya ada yang lebih baik dari Hatsuki?”
“Ohh, tentu. Ada baaaaaannnnnyaaaaakkk gadis baik di dunia ini. Tapi tidak semua mau denganmu.” “Sialan!” jawab Arata sambil ikut tertawa sebelum beberapa detik kemudian kembali memasang muka
sedih.
“Sudah, pulang sana! Kali ini tidak usah bayar.”
Arata mulai bangkit berdiri, lalu pergi tanpa sepatah kata pun. Sang pelayan kedai bernama Aki tadi tampak sangat prihatin. Ia tahu jelas bagaimana perasaan Arata saat ini.
“Hati-hati di jalan!” ucap Aki tanpa dipedulikan oleh Arata.
Setelah keluar dari kedai, Arata berjalan dengan badan terhuyung. Ia tak peduli dengan ponsel di sakunya yang bergetar sedari tadi. Setelah berjalan beberapa meter dari kedai, Arata duduk di sebuah bangku taman. Dengan kesadaran yang mulai hilang, ia menyelinap ke bawah bangku, lantas menutup tubuhnya dengan jas hitam yang ia bawa.
Arata benar-benar mabuk. Ia mulai menangis saat teringat momen menyakitkan yang ia alami beberapa saat lalu. Hatsuki, gadis yang ia pacari selama 3 tahun tak disangka malah menolak lamarannya. Padahal, Arata sudah berjanji untuk mengenalkan gadis itu pada keluarganya hari ini juga. Lalu bagaimana mungkin ia bisa pulang dengan keadaan begini? Tidak, Arata tak bisa pulang. Arata lebih baik tidur di kolong bangku daripada melihat keluarganya kecewa. Apalagi ia tak bisa membayangkan ekspresi yang kakeknya tunjukkan nanti. Kakeknya pasti akan merasa sangat terhina dengan penolakan itu.
Frustasi, ia pun meringkuk sembari meratapi nasibnya.
***
Hasumi menghela napas panjang. Hari mulai gelap, tapi ayahnya belum juga datang. Hasumi jadi yakin kalau ayahnya memang sedang sibuk. Ia juga lelah mencari-cari kedai Tatsuya yang ayahnya maksud.
“Dari stasiun, carilah kedai Tatsuya. Letaknya tidak jauh dari sana. Aku akan mencarimu ke sana seandainya kau lelah menunggu di depan stasiun.” Hirotaka berpesan sebelum berangkat duluan ke Tokyo.
Peluh mengalir dari kening Hasumi. Gadis itu merasa sangat takut dan putus asa. Ia tak tahu harus ke mana, harus apa dan harus menghubungi siapa. Ia juga merasa sangat bodoh karena membiarkan baterai HP nya kosong. Akibatnya, kini ia tersesat di kota yang asing tanpa mampu menghubungi siapapun. Ia merasa sangat sial hari ini.
Hasumi melihat sebuah taman, lantas memutuskan untuk duduk di sana. Perutnya terasa sangat lapar. Ia merogoh tas yang sedari tadi ia gendong, mengeluarkan sebuah onigiri lalu menyantapnya dengan lahap. Ini enak sekali! Batinnya kegirangan.
Tiba-tiba, ia teringat pada ibunya. Seandainya ia datang ke kota ini bersama ibunya, pasti akan terasa menyenangkan. Seandainya ia datang bersama ibunya, ia pasti tidak akan tersesat. Seandainya saja ibunya masih hidup, mungkin Hasumi tak perlu repot-repot datang ke Tokyo.
Tak terasa, air mata pun mengaliri pipinya. Hasumi mulai terisak sambil terus melahap onigiri isi daging buatannya. Setelah puas menangis, Hasumi segera menghapus air matanya. Lantas memutuskan untuk kembali mencari kedai Tatsuya yang ayahnya maksud.
Yosh! Hasumi bangkit dan menarik napas. Namun tiba-tiba, BRUK! Ia terjatuh karena ada yang memegangi kakinya. Gadis itu kaget dan mengaduh. Hasumi makin menjerit saat melihat seseorang yang ditutupi jas hitam tengah meringkuk di bawah bangku yang ia duduki.
“S-siapa kau?” tanya Hasumi ketakutan setelah merangkak beberapa senti.
Arata membuka jas penutup itu sekejap, menyipitkan matanya, lalu menutupnya lagi.
“Ternyata bukan Hatsuki.” Katanya dengan suara pelan.
“Apa maksudmu? Apa kau orang mesum? A-atau kau butuh makanan? Aku punya onigiri, apa kau mau?” dengan polos Hasumi merogoh kembali tasnya, hendak mengambil onigiri dan memberinya pada Arata.
“AKU BUKAN PENGEMIS!” Arata kesal dan hendak bangun, tapi tubuhnya terjedot dengan keras pada
bangku. Sial, ia lupa pada posisinya sendiri. Akhirnya ia pun meringkuk lagi.
“Kalau begitu kenapa kau di sini? Apa kau juga tersesat sepertiku?” Hasumi kembali bertanya dengan
polos.
“Bangunlah, jangan tidur di sana. Setidaknya tidur dengan dus lebih baik daripada di bawah sana.” Kata-kata Hasumi mulai membuat Arata kesal. Walaupun ia mabuk, setidaknya ia masih terlihat rapi dengan jas ini, kan? Apa gadis itu buta sampai mengira kalau ia adalah pengemis? Batinnya meradang.
“Argh.” Arata merangkak keluar dari kolong bangku dengan sedikit terhuyung. Hasumi hanya bisa mengerutkan alisnya.
“Kau ini benar-benar menjengkelkan.” Arata terduduk beberapa senti dari Hasumi. “Maafkan aku.” Hasumi tertunduk.
“Kau tahu, hari ini aku sangat sial. Perempuan yang aku cintai malah menolak lamaranku. Padahal
kami sudah bersama selama bertahun-tahun. Memangnya apa yang kurang dariku?”
Hasumi termenung, bingung dengan curhatan pria itu. Lagipula, kenapa ia tiba-tiba curhat?
“A-anu.. aku juga cukup sial hari ini. Aku tersesat dan tak tahu harus ke mana.” Hasumi jadi ikut curhat.
Ia benar-benar bingung menghadapi pria asing ini. Firasatnya mengatakan kalau ia harus segera pergi.
“Kalau begitu ikutlah denganku..” kata Arata tiba-tiba, makin menguatkan niat Hasumi untuk kabur.
“A-aku harus pergi. Mungkin ada yang mencariku. Sampai jumpa.. “ Hasumi mulai berdiri sambil melambaikan tangannya pelan-pelan, takut si pria asing itu tiba-tiba menyerang.
“T-tunggu!” Arata kembali memegang kaki Hasumi saat gadis itu berbalik. Reflek, Hasumi kaget dan
langsung menendang muka Arata dengan kakinya. Pria itu pun terhantam dan hampir pingsan.
Hasumi berteriak dan menghampiri Arata dengan heboh seakan-akan Arata hampir mati karena ia tendang.
“Aku benar-benar minta maaf! Apa kau baik-baik saja?”
“Mana mungkin aku baik-baik saja. Aku benar-benar sial.” Arata menutup wajah dengan tangan
kanannya. Hasumi makin merasa tidak enak. Apa yang harus ia lakukan?
Seketika, perhatian Hasumi teralihkan dengan ponsel di saku jas Arata yang bergetar.
“Ponselku.. tolong angkat.” Pinta Arata pelan.
Hasumi melihat kanan-kiri dengan gelisah, lalu menuruti permintaan pria itu. Wow, Hasumi sempat terpana melihat HP Arata yang jauh lebih canggih dari HP lipat miliknya. Dalam HP berwarna hitam itu tertera sebuah panggilan dari ‘ibu’. Hasumi menelan ludah lantas mengangkatnya.
“Arata, kau di mana? Apa rencananya baik-baik saja? kau sudah bisa membawa gadis itu pulang? Kami
sedang menunggumu di rumah, cepat pulanglah.” Serbu ibunya Arata dengan antusias.
“Em.. ini.. dengan Hasumi.” Jawab Hasumi terbata-bata.
Menyadari bahwa yang mengangkat telepon adalah seorang gadis, si ibu pun sempat terdiam.
“Ara.. kenapa kau tidak bilang dari tadi? Hihihih. Jangan lama-lama ya berduaannya, cepatlah pulang.”
Seketika suara si ibu terdengar beda. Kini ia tampak seolah menggoda.
Hasumi melotot dan langsung mematikan teleponnya. Sementara si ibu berambut pendek dari ujung telepon tampak tersenyum riang, kemudian melangkah masuk ke rumahnya yang besar nan mewah. Ia pun memasuki ruang keluarga di mana semua orang tampak sedang duduk menunggu kepulangan Arata.
Ada ayah, sepupu perempuan, paman, dan tentu saja si ibu di dalam ruangan itu.
“Dengar, semuanya. Arata akan segera pulang dengan calon istrinya. Jangan lupa beri selamat dan sambut dengan meriah saat dia pulang, okeee?” Misaki mengingatkan dengan heboh. Sementara suaminya yaitu Yuichi, adik iparnya bernama Yosuke dan sepupu perempuan Arata yang bernama Jurina hanya menanggapi dengan datar.
“Jangan harap dia akan diterima di sini dengan mudah!”
Misaki, Yuichi, Yosuke dan Jurina menoleh ke arah pintu masuk. Sang kepala keluarga yakni Tanizaki Gouto muncul dengan memasang wajah garang. Seketika keempat orang tadi hanya bisa menelan ludah. Gouto memasuki ruangan dengan masih memakai baju kerja. Kemeja putih berlapis jas biru tua dengan dasi dan celana warna serupa.
Ia merupakan orang yang paling ditakuti di rumah karena sifatnya yang tegas dan keras dalam setiap aturan. Usianya sudah 75 tahun, tapi ia masih sehat dan bugar karena selalu menerapkan pola hidup sehat. Ia merupakan pendiri sekaligus pemilik universitas Ryosei, salah satu universitas swasta di Tokyo yang terkenal dengan parasnya yang cantik dan tampan. Perwakilan universitas Ryosei telah memenangkan penghargaan sebagai mahasiwa dan mahasiswi tercantik selama 4 tahun berturut- turut, menjadikannya sebagai salah satu universitas yang banyak dituju oleh kaum muda.
“Jangan lupa bahwa perjanjian turunan ke 8 masih berlaku dalam keluarga ini. Selama pemilik cincin itu masih hidup di dunia ini maka hanya gadis itulah yang pantas untuk menikah dengan cucuku. Jangan harap kalian bisa menerima calon istri Arata dengan seenaknya!”
“B-baik, ayah. Aku mengerti.” Jawab Misaki sambil tertunduk.
***
“Ibuku bilang apa?” Arata masih menutup wajahnya.
“Ia menyuruhmu pulang. Hanya itu.” Hasumi menggaruk-garuk kepalanya, bingung melihat Arata yang tiba-tiba terus menunduk. Apa ia harus membawa pria itu ke rumah sakit? Ah tapi ayahnya mungkin sedang menunggunya. Ia tidak bisa pergi lebih jauh lagi.
“Aku tidak mungkin pulang dengan keadaan begini.”
“Maafkan aku.” Hasumi merasa bersalah karena sudah menendang wajah pria itu. “Bukan, bukan itu.”
Hasumi menatap ponsel Arata yang masih dalam genggamannya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Bodoh, kenapa tidak dari tadi?
“A-anu.. apa aku boleh meminjam ponselmu? Aku harus menghubungi ayahku. Ia mungkin sedang
mencariku.”
Arata mengangguk, membuat Hasumi sedikit lega. Untungnya Hasumi sudah berjaga-jaga dengan mengingat nomor HP ayahnya di kereta sampai ketiduran. Setelah menekan nomor, telepon pun tersambung.
“Halo, Ayah!” Hasumi senang mendengar suara ayahnya. “Ah, Hasumi! Nomor siapa ini?”
“Ini n-nomor temanku. Oh ya, ayah sedang di mana sekarang? Apa masih sibuk bekerja?”
“Ya ampun, maafkan aku. Aku lupa memberitahumu. Mungkin sedikit lama lagi aku baru akan pulang.
Di mana kau sekarang?”
“Aku.. aku di taman dekat stasiun, ayah. Aku akan menunggumu di sini ya.” “Aku benar-benar minta maaf.”
“Tidak apa-apa, aku akan menjaga diriku baik-baik.”
“Baiklah, aku akan membelikanmu sesuatu saat pulang nanti. Sampai jumpa.” “Sampai jumpa.”
Hasumi tersenyum tipis, merasa sedikit lega. Walau harus menunggu lagi, setidaknya kini ia tahu apa yang akan ia lakukan. Ia juga tidak perlu pergi ke mana-mana lagi.
“Aku akan pulang.” Kata Arata membuat Hasumi tersadar.
“Apa baik-baik saja?” Hasumi jadi sedikit khawatir. “Ya. Tapi tolong temani aku sampai aku naik taksi.”
“Em.. baiklah.” Kata Hasumi tanpa ragu. Semua kecurigaan dan ketakutan yang sempat ia rasakan tentang Arata kini telah menghilang sejak mendengar suara ibunya di telepon. Hasumi yakin bahwa pria yang bersamanya itu bukanlah orang jahat, melainkan orang baik.
Hasumi pun menuntun langkah Arata dengan sabar karena pria itu masih setengah mabuk. Hasumi bahkan membantu Arata untuk naik ke taksi. Setelah memastikan bahwa pria itu masih ingat alamat rumahnya, Hasumi pun pamit. Ia sudah merasa cukup banyak menyebabkan masalah bagi laki-laki yang baru ditemuinya itu. Padahal ia adalah orang pertama yang Hasumi temui di Tokyo.
“Baiklah, kalau begitu aku permisi. Selamat tinggal.” Hasumi hendak menutup pintu taksi sebelum Arata tiba-tiba menarik tangannya untuk ikut masuk. Arata menariknya cukup kuat kali ini sampai Hasumi tak punya waktu untuk mengelak. Ia pun terduduk dengan pandangan heran.
“Apa yang kau lakukan?” protes Hasumi kesal.
Siapa sih pria ini sebenarnya? Sedari tadi ia terus-terusan menarik Hasumi sampai ia terjatuh beberapa kali. Batin Hasumi menggeram.
Pintu taksi otomatis pun tertutup dan mobil mulai melaju. Hasumi makin kesal menatap Arata. Di sisi lain ia juga takut kalau-kalau ia akan dibawa ke suatu tempat dan dijual atau diperlakukan yang tidak- tidak.
“Tenang, aku tidak akan berbuat macam-macam. Aku hanya meminjammu sebentar.” “Ha? meminjam?” Hasumi makin geram melihat jawaban santai Arata. Ia meminta supir untuk berhenti berkali-kali, namun Arata selalu menyela. Merasa tak bisa berbuat apa-apa, Hasumi pun akhirnya hanya bisa cemberut sembari memalingkan pandangannya ke luar jendela.
Sebenarnya, ia akan dibawa ke mana?
Hasumi berdiri dengan mulut ternganga. Sementara Arata tampak mulai merapikan rambutnya yang agak berantakan. Jas hitam yang sedari tadi dijinjing pun sudah ia kenakan. Ia menoleh pada Hasumi yang masih menganga sejak sampai di depan rumahnya. “Kenapa? Mulutmu terbuka lebar tuh, seperti orang bodoh saja.” sindir Arata. Hasumi tersadar dan langsung menutup mulutnya. “I-ini benar rumahmu? Kita tidak nyasar, kan?” tanya Hasumi sembari menoleh ke kanan kiri. Rumah pagar hitam dengan panjang 10 meter itu masih membuat Hasumi tak percaya. Apa benar orang yang ia pikir pengemis ini orang kaya? A-atau dia mau menjual Hasumi pada orang kaya ini? seketika Hasumi jadi deg-degan. Gawat, harusnya ia tak ikut ke sini. Tiba-tiba, pandangan Hasumi terpaku pada kanji yang tertulis di pagar. “谷崎”. “Tanizaki.” Katanya reflek membaca. “Itu nama keluargaku.” Sahut Arata. “Oh b
Terkadang, takdir bisa dibilang nakal dan tak masuk akal. Padahal setiap manusia melakukan upaya seperti apa yang mereka harapkan. Ingin lulus ujian dengan belajar, ingin kaya dengan menabung, dan ingin menikah dengan menjalin cinta. Tetapi, mengapa takdir membawanya pada hasil yang berbeda? Tak masuk akal.Memangnya apa yang kurang? Memangnya apa yang salah? Mengapa hasilnya jadi berbeda dan tak sebanding dengan usaha kita? Mengapa takdir bisa senakal itu?Dan.. mengapa ini terjadi padaku?Hasumi menenggelamkan wajahnya di atas bantal. Kini ia sedang berbaring di kamar serba pink yang Hirotaka siapkan untuknya. Setelah malam itu, Hasumi yang masih shock dengan kata-kata Misaki tentang wanita yang ditakdirkan atau apalah itu langsung meminta Arata untuk mengantarnya pulang. Tapi mereka sama sekali tak bicara saat di dalam mobil. Arata pun langsung pulang setelah mengantar Hasumi sampai stasiun. Tak menyapa Hirotaka atau
Tinggal beberapa minggu lagi sebelum musim perkuliahan dimulai. Setelah kedatangannya ke Tokyo, Hasumi masih sulit mencerna semua yang terjadi. Segala yang terjadi kemarin bagai mimpi yang tak pernah Hasumi lihat sebelumnya. Sama seperti pagi ini, ia juga memimpikan sesuatu yang tak pernah ia lihat selama masih di Fukui.Di jalan penuh bunga sakura yang selalu ia lewati setiap menuju ke sekolah, Hasumi dan Yoshide tengah berhadapan. Yoshide menatap Hasumi penuh tanda tanya.“Jadi, apa yang mau kau bicarakan?” “Aku.. aku menyukaimu, Yoshide-kun!”Yoshide terdiam sesaat. Pandangan matanya benar-benar berbeda dari biasanya. Mata lembut yang selalu menatap setiap orang dengan rendah hati itu bagai kehilangan kilaunya, berganti dengan kedua mata yang menatap rendah siapapun, termasuk pada Hasumi kali ini yang ditatapnya dengan sinis.“Ha? Kau mempermainkanku ya? kau pikir aku
Gemerlapnya lampu-lampu toko menghiasi jalanan di sepanjang sungai Dotonburi, dihiasi deretan papan iklan raksasa yang menjadi pemandangan khas kota Osaka. Dunia malam memang tak pernah ada habisnya, sama seperti distrik ini yang selalu dibanjiri ratusan manusia. Seumur hidupnya, Hasumi belum pernah mengunjungi Osaka. Karena itulah ia begitu terpana tatkala menikmati indahnya gemerlap cahaya di sana. Dari kejauhan, Hasumi juga bisa melihat jembatan Ebisubashi yang selalu dipadati orang-orang untuk bisa berfoto dengan latar papan iklan produk cemilan terkenal. “Waaa! indahnya!” kata Hasumi seraya terus berjalan menelusuri kawasan Dotonburi bersama Yurika. Beberapa meter dari belakang mereka, Arata dan Mori juga sedang berjalan sembari mengambil beberapa foto. “Sudah berapa tahun ya Tanizaki-san tidak ke sini?” tanya Mori. “Em.. mungkin 2 tahun. Tapi tak banyak yang berubah ya.” “Ya begitulah. Tapi te
Hasumi baru saja selesai mengikatkan pita pada rambut pendeknya yang dikuncir sebagian dan membiarkan sebagiannya lagi diurai. Sembari menatap cermin, Hasumi pun tersenyum setelah menghela napas panjang. “Yosh!” katanya mantap. “Ibu, aku berangkat dulu.” ujarnya berpamitan pada foto Reiko yang dipajang di meja belajar. Tak lupa, ia pun menyimpan cincin pertunangannya dengan Arata di dalam kotak yang disimpan dalam laci. Ia lebih suka mengenakan cincin pemberian ibunya. Kemudian, Hasumi menuruni tangga dengan ceria. Hirotaka tampak sedang sibuk menata sarapan di meja makan. “Ohayou, ayah.” kata Hasumi penuh semangat. “Ah, ohayou.” Hirotaka duduk begitu selesai menata makanan. “Kau terlihat senang sekali hari ini.” “Ya begitulah.” Hasumi tersenyum lantas menelungkupkan tangan di depan dada. “Itadakimasu.” katanya sebelum menyantap sarapan dengan nikmat. Hirotaka sempat terdiam heran melihat sikap putrinya, kemudia
Sesuai kesepakatan, Hasumi akan mengantar Arata menemui ayahnya hari ini. Sejak jam 8 pagi, mobil Arata sudah terparkir rapi di depan rumah Hasumi. Tapi sayangnya, hari ini gadis itu bangun kesiangan dan Arata sudah menunggu selama hampir 30 menit di ruang tamu bersama Hirotaka.“Maaf ya, biasanya dia tidak selama ini kok.” ujar Hirotaka seraya menuangkan teh untuk Arata. Sudah 3 gelas ia minum teh, dan sebenarnya sudah agak mual. Tapi Arata tak kuasa menolak jamuan Hirotaka. Ia pun balas menuangkan teh untuk Hirotaka seraya tersenyum ramah.“Tidak apa-apa, kok. Aku bisa memaklumi karena dia masih sangat muda.”Hirotaka memasang raut wajah lega. Dalam hati, ia bersyukur karena keputusan Hasumi untuk menerima pertunangan itu tepat. Meski sebagian hati kecilnya merasa cemburu, karena harus rela membiarkan puterinya bersama laki-laki lain dan tak sempat menikmati kebersamaan yang telah hilang selama bertahun-tahun.&ldq
Sejak kembali dari Fukui, Hasumi jadi banyak memikirkan Arata. Ia masih tak mengerti dengan perasaan yang ia rasa akhir-akhir ini. Entah kenapa ia merasa kesal tiap melihat Arata, dan hal itu membuat Hasumi jadi agak menghindar setiap kali bertemu dengannya. Bahkan ketika ia mendapat pesan dari Arata tentang perayaan ulang tahun Gouto yang akan digelar hari Sabtunanti pun, Hasumi merasa enggan untuk membalasanya. Hingga membuat Chika yang sedang makan bersamanya di kantin heran lantaran HP Hasumi terus-terusan bergetar. “Wah ada apa ini? kenapa aura di sini suram sekali?” Shin tiba-tiba muncul dan duduk di depan Hasumi sambil meletakkan nampan makan siangnya. Ryuuga yang sedang bersama Shin terpaksa duduk di depan Chika, membuat wajah gadis itu cerah seketika. “Dan tiba-tiba jadi agak cerah.” Cibir Shin melihat Chika yang kegirangan sambil menatapi Ryuuga yang sedang makan. Ryuuga sendiri merasa risih, ia merubah posisinya jadi agak menyamping dan meletakkan tangan k
Tak!Arata menyentil dahi Hasumi sampai gadis itu kesakitan. Arata tahu jelas bagaimana lancarnya imajinasi liar Hasumi berjalan dari gerak gadis itu yang baru saja memejamkan mata.“Imajinasimu benar-benar menakutkan.” katanya seketika membuat Hasumi malu.Perjalanan menuju Tokyo kali ini hanya memakan waktu sekejap saja, lantaran Arata tak sekalipun bicara selama di jalan, dan hal itu membuat Hasumi banyak melamun sampai tersadar kalau mereka sudah sampai di depan rumah. Gadis itu langsung membuka pintu, tapi tak menemukan Hirotaka di sana.“Ayahmu sudah ada di sana.” Kata Arata seakan mengerti pikiran Hasumi.Tanpa menjawab, Hasumi buru-buru masuk ke kamarnya, dan membuka satu-satu isi paperbag pemberian Misaki. Tiba-tiba, Arata ikut masuk hingga reflek membuatnya menjerit kaget.“K-kenapa sensei ikut masuk?”“Biar aku yang pilihkan.” Arata mulai memilih salah satu dari 3 gaun yang di