Dengan tangan gemetar hebat, Hasumi melangkah masuk ke ruangan yang ditunjukkan oleh Kinoshita. Nenek berusia 60 tahun itu merangkul bahu Hasumi, menuntun langkahnya memasuki ruangan serba putih di mana tampak seseorang tengah tertidur lelap. Wajahnya pucat, dari dada hingga bawah tubuhnya tertutup dengan kain yang juga berwarna putih.
Seketika, air mata membanjiri pipi Hasumi. Dadanya terasa sakit. Sangat sakit. Baru saja ia berbincang dengan perempuan itu tadi pagi. Namun kini, sosok itu sudah tak berdaya melawan takdirnya sendiri. Ia benar-benar pergi, meninggalkan putrinya sendiri di dunia yang keras ini.
“I-ibu..” suara Hasumi terpatah, menahan sesak yang kian menjalar hingga membuat tenggorokannya
perih.
“Hasumi chan.. ibumu sudah tidak sakit lagi.” Kinoshita mengelus-elus punggung Hasumi.
“Jangan tinggalkan aku sendiri..” “Kumohon.. jangan pergi.”
Hasumi terisak sembari memeluk jenazah Reiko. Ia benar-benar tak menyangka bahwa ibunya akan pergi secepat ini. Padahal tadi pagi ia masih bisa tersenyum sambil menyirami tanaman dengan ria. Padahal dokter bilang kesehatannya masih stabil. Ah.. bukan. Itu bukan kata dokter, tapi kata ibunya. Hasumi merasa sangat bodoh karena percaya begitu saja. Tidak mungkin ibunya akan mengatakan hal bisa membuat Hasumi khawatir, ‘kan? Pasti ibunya menyembunyikan fakta tentang kondisi tubuhnya. Kasihan sekali. Ia harus menanggung rasa sakitnya sendiri, demi membuat sang putri tenang melalui ujian masuk universitas.
Sayangnya, niat yang diutarakan Hasumi untuk menunda kuliah pagi itu membuat Reiko merasa bersalah. Diam-diam ia menangis setelah Hasumi pergi, sebelum rasa sakit yang menjalar hebat di jantungnya kambuh dan merenggut nyawanya.
Setelah sekian lama terisak, Hasumi pun beranjak mengecup kening sang ibu yang terasa amat dingin. Dengan berat hati, matanya perlahan mulai terbuka, menyadari kenyataan yang ada.
“Selamat tinggal, ibu. Aku mencintaimu.”
Setetes air mata pun jatuh mengaliri wajah Reiko.
Upacara pemakaman dilangsungkan keesokan harinya. Berbalut pakaian serba hitam, Hasumi duduk di sebuah ruangan yang dihadiri banyak orang. Tak jauh dari tempat duduknya, terpampang sebuah foto yang dihias dengan bunga. Dalam foto itu, Reiko sedang tersenyum lebar. Seolah ia bahagia karena tak perlu lagi merasakan sakit di dunia. Seolah berkata, “selamat atas kelulusanmu, Hasumi”. Namun Hasumi hanya bisa menatap foto itu dengan mata sembab karena menangis semalaman. Ia benar-benar tak bisa tidur. Ia masih saja tak menyangka kalau kini ia tak punya siapa-siapa.
Rumah yang biasanya ditinggali berdua, kini terasa sangat asing baginya. Rumah yang biasanya memberi kehangatan, kini malah berbalik membawa kenangan yang membuat Hasumi makin teringat ibunya. Lagi-lagi, dadanya terasa sakit. 2 detik kemudian kepalanya pun merasakan sakit yang sama, lantas semuanya menjadi gelap.
BRUK.
***
“Ibumu saat ini sedang kritis. Entah sampai kapan dia mampu bertahan. Dokter bilang kemungkinan untuk selamat sangat kecil. Datanglah ke rumah sakit. Aku tunggu sekarang juga.”
Hasumi.. Hasumi!
Hasumi membuka matanya perlahan. Entah mimpi atau bukan, mendadak ia melihat sosok Yurika tengah menatapnya penuh khawatir. Gadis itu bersyukur saat Hasumi membuka matanya.
“Ahh.. syukurlah kau sadar.”
Hasumi bangkit, lantas mencubit pipi Yurika. Gadis itu meringis kesakitan, lalu dalam sekejap kembali menampilkan raut khawatir melihat mata sembab sahabatnya. Sial, ia merasa sangat bersalah karena telah meninggalkannya kemarin. Yurika tak tahu jelas apa saja yang terjadi di hari kemarin. Namun begitu ia mendengar kabar dari bibi Kinoshita semalam, ia memutuskan untuk berangkat pagi-pagi sekali dari Osaka.
Benar saja, kondisi Hasumi jauh lebih menyedihkan dari yang ia kira. Sahabatnya itu hanya bisa menatap Yurika dengan mata berkaca-kaca, kemudian memeluk Yurika dengan erat. Yurika ikut menangis, paham betul rasa sakit yang dirasakan Hasumi. Ia juga pernah merasakan sakitnya ditinggal oleh orang terkasih. Tepatnya saat kakaknya meninggal karena kecelakaan saat Yurika masih SMP.
Ia tahu betul bagaimana kuatnya harapan untuk tak terbangun agar tak melihat kenyataan. Ia tahu jelas bagaimana perihnya hati untuk sekedar menghadapi hari esok. Semua itu.. tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Aku di sini.. menangislah.”
“Dan bangkit lagi esok hari.” Tambah Yurika di sela isak tangis Harumi yang makin menjadi.
***
Dua hari, tiga hari, empat hari terlampaui. Ini sudah hari kelima sejak ibunya meninggal. Hasumi menghabiskan hari-harinya dengan mengurung diri. Berbaring di atas hamparan tatami seraya menatap langit-langit rumah. Sesekali, ia bermimpi melihat Reiko tengah bersenandung ria di halaman seraya menyiram bunga atau menjemur baju. Sesekali juga ia berjalan mengelilingi rumah, membayangkan sosok sang ibu tengah memasak di dapur atau membersihkan tempat tidurnya.
Ahh.. nostalgianya.
Ia tak tahu hal yang biasa saja waktu itu akan terasa sangat berharga saat ini. Memang, segala sesuatu akan terasa berharga apabila telah hilang. Dan bodohnya Hasumi malah membiarkan hari-hari berharga itu berlalu begitu saja.
Hasumi berjalan memasuki kamar Reiko. Ia bisa melihat sosok Reiko tengah berbaring sambil membaca buku, salah satu kebiasaan buruk yang sering membuat Hasumi mengomel. Senyum getir tergores di bibir tipis gadis itu. Entah sudah berapa kali ia terus berkhayal seperti ini.
Hasumi melangkah masuk, lalu duduk di ranjang berbalut seprei putih yang sudah 5 hari ditinggal pemiliknya. Iseng, ia pun membuka laci meja yang berada tepat di samping ranjang. Anehnya, Hasumi menemukan sebuah kotak hitam berukuran kecil di sana. Ada sebuah surat di bawah kotak itu.
Tanpa ragu, Hasumi mengambil kotak itu, lantas membuka suratnya.
“Teruntuk putriku, selamat ulang tahun!
Aku masih tak menyangka tubuh mungil yang terlahir 19 tahun lalu sudah tumbuh menjadi gadis yang hobi mengomeli ibunya hahaha
Kau pasti bertanya-tanya, kenapa permata cincin ini berwarna hitam
Ya kan?
Itu karena.. cintaku padamu sama seperti permata hitam ini
Meskipun warnanya gelap, tapi ia takkan berubah warna ataupun kotor
Meski tak menarik seperti permata lain, namun ia juga menyimpan keindahan tersendiri
Meski kita sering berdebat tentang hal kecil, aku sangat menyayangimu lebih dari apapun di dunia ini
Kelahiranmu membuatku sadar bahwa kau adalah cinta terbaik dalam hidupku
Terima kasih, karena kau telah lahir dari perempuan lemah dan punya banyak keterbatasan ini
Terima kasih, karena kau telah bersedia menemani hari-hariku yang singkat ini Setelah aku pergi, kumohon teruslah hidup dan lanjutkan perjalanan panjangmu Masa depan yang cerah pasti sedang menunggumu
Dengan cinta seorang ibu, Reiko.”
Hasumi tak sanggup menahan air matanya. Lagi-lagi ia menangis sembari mendekap erat surat tersebut, lantas membuka kotak hitam kecil yang entah kapan dibeli Reiko tanpa sepengetahuannya. Seketika, ia takjub sekaligus terharu tatkala melihat sebuah cincin perak berhias permata hitam mungil di atasnya.
Sebuah senyuman pun tersungging indah, beberapa detik kemudian cincin itu sudah tersemat rapi di jari tengahnya. Pas sekali, dan.. sangat cantik.
“Terima kasih, ibu. Meskipun ini terlalu cepat.” ujarnya dengan senyum getir, mengingat hari ulang tahunnya yang ke-19 masih 3 bulan lagi.
Hasumi berbaring di kasur Reiko sambil menatap langit-langit kamar. Biasanya, ia hanya bisa menemukan kehampaan di atas sana. Namun kali ini, ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, melempar tatapan serius pada cincin barunya. Kini, kehampaan yang biasa ia temukan telah terganti dengan keindahan yang terpancar dari cincin permata hitam. Ada-ada saja. Padahal biasanya, orang- orang membeli cincin dengan permata putih atau merah, pikirnya. Namun ia tetap bahagia. Sangat bahagia.
Hasumi pun terlelap dalam mimpi yang cukup panjang. Ketika ia membuka mata, hari sudah gelap. Jam menunjukkan pukul setengah 8 malam. Mimpi panjang yang ia lihat seketika hilang, tak menyisakan ingatan sedikit pun.
“Tadi aku mimpi apa ya?” gumamnya bangkit, lalu menyalakan lampu.
Hasumi sedang menuruni tangga saat terdengar suara orang memanggilnya dari luar.
“Hasumi! Hasumi! Ini aku! apa kau ada di dalam?” suara laki-laki yang sepertinya agak tua. Hah? Siapa itu? Hasumi tak kenal suara itu.
Suara itu terdengar beberapa kali. Sontak, gadis itu pun mulai waspada. Sial, bisa-bisanya ada orang yang mau merampok gadis piatu sepertiku. Ia memekik dalam hati seraya mengambil alat pel untuk dijadikan pemukul. Untung saja, lampu di bagian depan rumahnya belum sempat dinyalakan sehingga Hasumi bisa bergerak menuju ke pintu tanpa ketahuan. Begitu pintu dibuka, ia akan langsung plak plak plak dug dug memukul si perampok itu.
Awas saja kau, berani-beraninya menipuku. Aku bahkan tidak kenal suaramu, dasar perampok!
Tangan kirinya perlahan membuka pintu dengan alat pel, sedangkan tangan kanannya memegang saklar lampu. Hasumi membuka pintu, lantas memukul si pria dengan alat pel yang ia bawa.
Pria setengah baya itu mengaduh kesakitan. Tentu saja ia kaget lantaran langsung diserang. Terlebih, apa gadis itu memang tidak mengenalnya sampai ia dipukul seperti ini? Hirotaka memekik dalam hati.
“Brengsek! Siapa kau?” kata Hasumi sambil terus memukul.
“Aduh! Hentikan. Apa kau benar-benar tidak kenal ayahmu sendiri?”
“Berani-beraninya kau- “ suara Hasumi terputus, raut wajahnya berganti jadi bingung.
Ayah?
Hirotaka membetulkan posisi kacamatanya, lantas tersenyum kikuk dengan muka kotor terkena debu. Hasumi terpana, setelah beberapa detik sebelumnya terdiam. Kini ia ingat wajah ini. Wajah yang selama 7 tahun terakhir ia rindukan. Sekaligus wajah yang entah kenapa kini membuat amarah dalam hatinya muncul.
“Ayah?”
“Ya, maaf karena baru menemuimu. Aku pulang.”
Seketika, amarah yang entah kenapa dirasakan Hasumi pun berkurang setelah melihat senyuman Hirotaka. Ia masih tak menyangka kini sosok itu berada tepat di hadapannya. Hatinya mulai berdesir, bingung harus merasa bahagia atau marah. Seraya menundukkan wajahnya, Hasumi hanya mengucap satu kata.
“Okaeri.. nasai.”
***
Malam makin larut. Di tengah ramainya suara jangkrik malam, Hasumi dan Hirotaka duduk berhadapan seraya meneguk teh yang baru saja disajikan. Suasana amat terasa canggung, meski tak seharusnya ayah dan anak saling terdiam seolah tak saling kenal. Namun, Hasumi terlalu bingung. Apakah harusnya ia senang karena bertemu kembali dengan sang ayah setelah 7 tahun lamanya? Ataukah sedih karena ketidakhadiran Reiko di antara mereka? Entahlah.. tapi, kedua rasa itu kini bergumul hebat dalam dadanya.
“Yah.. sudah lama sekali ya. Kau sudah tumbuh dewasa sekarang. Terakhir kali kita bertemu kau masih kecil dan nakal. Hahahah.” Hirotaka membuka pembicaraan, sementara Hasumi masih tertunduk.
“Oh ya, aku sudah dengar soal ibumu. Maafkan aku karena tidak bisa datang di hari itu.” Seketika,
Hirotaka turut menundukkan kepalanya, menyesali keterlambatannya.
“Ayah.. “ “Ya?”
“Apa kau tak pernah memikirkan soal aku dan ibu?”
Hirotaka menelan ludah. Tenggorokannya terasa sakit. Ia sudah menduga kaalu putrinya akan bertanya seperti itu. Lagipula, ia memang berhak menanyakan hal itu.
“Itu tidak mungkin. Aku sangat merindukan kalian.”
“Kalau begitu kenapa kau tak pernah menemui kami selama 7 tahun ini?” Hasumi melempar tatapan sinis. Kedatangan Hirotaka benar-benar telah membuat amarah dan kesedihan dalam hatinya makin meluap, membuat Hirotaka sedikit tersentak kala menangkap sorot mata putrinya.
“Maafkan aku. Aku tahu kau sangat kesepian tanpa seorang ayah. Tapi jujur saja, kupikir Reiko sudah menikah lagi.. “
“Karena itu.. “ suaranya terputus.
“Kenapa ayah tidak pernah datang? Aku.. sangat merindukan ayah.” Hasumi meneteskan air mata.
Dalam hati ia berjanji pada dirinya sendiri kalau setelah ini ia tak akan menangis lagi. Janji.
“Hasumi.. aku benar-benar minta maaf. Selama ini aku sibuk bekerja, tapi aku sangat merindukanmu.
Aku berjanji tak akan meninggalkanmu lagi.”
“Bagaimana bisa? Keluarga baru ayah pasti.. “ suara Hasumi terputus. “Huh? Keluarga baru?” raut Hirotaka berganti jadi bingung.
“Lho? Bukannya ayah menikah lagi?” Hasumi jadi ikut bingung. “Siapa bilang?”
“Bibi penjual sayur yang bilang. Eh tunggu.. “ Hasumi mengerutkan kening, Hirotaka juga. Ia mencoba mengingat-ingat lagi kata bibi penjual sayur waktu itu.
Kudengar Hirotaka sudah menikah lagi. Selamat ya, Hirose-kun.
Ujar bibi penjual sayur saat Hasumi belanja di sana beberapa minggu lalu.
Ya ampun, Hasumi terlalu fokus pada nama Hirotaka tanpa sadar kalau yang dimaksud si bibi itu bukan ayahnya. Ternyata ayahnya Hirose Kouta, si anak gembul yang terkenal karena pernah kentut saat pelajaran biologi. Gara-gara itu, seisi kelas harus tutup hidung dan Hirose sendiri harus menanggung malu yang berkepanjangan.
“J-jadi ayah tidak menikah lagi?”
“Hahahah tentu saja tidak. Kau tidak lihat kalau aku sudah tua begini?” Hirotaka menunjuk dirinya sendiri. Seketika, mata Hasumi berbinar mendengarnya. Ternyata selama ini, ibunya tidak meninggalkannya sendiri. Benar, ia masih punya keluarga!
“K-kalau begitu, apa aku boleh tinggal bersama ayah?” katanya semangat. Reaksi Hirotaka juga jauh
lebih semangat.
“Tentu! Kalau begitu besok kita berangkat ke Tokyo!!”
“Kita berangkat! Ke.. eh? Ke Tokyo? Tokyooooo?” Hasumi baru menyadari kalimat akhirnya.
Tinggal di Tokyo? TOKYO?
***
Hasumi terburu-buru menaiki tangga menuju kamarnya. Dengan sigap ia mengambil HP nya yang belakangan ini selalu ia abaikan. Gemetar ia mencari kontak Yurika, lantas segera memencet tombol telpon. Hasumi menunggu beberapa detik dengan gelisah.
Tak lama, terdengar suara Yurika dari seberang.
“Hallo- “
“Yurika! Aku ingin bicara denganmu. Ini penting!”
Jam menunjuk ke angka 7 saat Hasumi turun dari kamarnya dan melangkah menuju dapur. Mata yang tadinya setengah terpejam seketika langsung membelalak saat melihat Hirotaka tengah berdiri di depan kompor seraya memasak telur dengan memakai pakaian kantornya. Melihat kehadiran putrinya, Hirotaka pun tersenyum. “Ohayou.” Sapanya pada Hasumi. Hasumi sempat terdiam beberapa detik sebelum kembali menjawab sapaan ayahnya. Aneh, kenapa hatinya merasa begitu asing dengan suara ayahnya sendiri? padahal ini bukan pertama kalinya ia mendengar suara itu. Dan kenapa di sisi lain ia merasa senang sekaligus bingung? Bukankah ia sudah membuat keputusan tentang ajakan kemarin? Manusia memang punya perasaan yang membingungkan. “Tunggu sebentar lagi ya, sarapannya akan segera siap.” Suara Hirotaka membuat Hasumi beralih memandanginya. Pria
Hasumi berdiri dengan mulut ternganga. Sementara Arata tampak mulai merapikan rambutnya yang agak berantakan. Jas hitam yang sedari tadi dijinjing pun sudah ia kenakan. Ia menoleh pada Hasumi yang masih menganga sejak sampai di depan rumahnya. “Kenapa? Mulutmu terbuka lebar tuh, seperti orang bodoh saja.” sindir Arata. Hasumi tersadar dan langsung menutup mulutnya. “I-ini benar rumahmu? Kita tidak nyasar, kan?” tanya Hasumi sembari menoleh ke kanan kiri. Rumah pagar hitam dengan panjang 10 meter itu masih membuat Hasumi tak percaya. Apa benar orang yang ia pikir pengemis ini orang kaya? A-atau dia mau menjual Hasumi pada orang kaya ini? seketika Hasumi jadi deg-degan. Gawat, harusnya ia tak ikut ke sini. Tiba-tiba, pandangan Hasumi terpaku pada kanji yang tertulis di pagar. “谷崎”. “Tanizaki.” Katanya reflek membaca. “Itu nama keluargaku.” Sahut Arata. “Oh b
Terkadang, takdir bisa dibilang nakal dan tak masuk akal. Padahal setiap manusia melakukan upaya seperti apa yang mereka harapkan. Ingin lulus ujian dengan belajar, ingin kaya dengan menabung, dan ingin menikah dengan menjalin cinta. Tetapi, mengapa takdir membawanya pada hasil yang berbeda? Tak masuk akal.Memangnya apa yang kurang? Memangnya apa yang salah? Mengapa hasilnya jadi berbeda dan tak sebanding dengan usaha kita? Mengapa takdir bisa senakal itu?Dan.. mengapa ini terjadi padaku?Hasumi menenggelamkan wajahnya di atas bantal. Kini ia sedang berbaring di kamar serba pink yang Hirotaka siapkan untuknya. Setelah malam itu, Hasumi yang masih shock dengan kata-kata Misaki tentang wanita yang ditakdirkan atau apalah itu langsung meminta Arata untuk mengantarnya pulang. Tapi mereka sama sekali tak bicara saat di dalam mobil. Arata pun langsung pulang setelah mengantar Hasumi sampai stasiun. Tak menyapa Hirotaka atau
Tinggal beberapa minggu lagi sebelum musim perkuliahan dimulai. Setelah kedatangannya ke Tokyo, Hasumi masih sulit mencerna semua yang terjadi. Segala yang terjadi kemarin bagai mimpi yang tak pernah Hasumi lihat sebelumnya. Sama seperti pagi ini, ia juga memimpikan sesuatu yang tak pernah ia lihat selama masih di Fukui.Di jalan penuh bunga sakura yang selalu ia lewati setiap menuju ke sekolah, Hasumi dan Yoshide tengah berhadapan. Yoshide menatap Hasumi penuh tanda tanya.“Jadi, apa yang mau kau bicarakan?” “Aku.. aku menyukaimu, Yoshide-kun!”Yoshide terdiam sesaat. Pandangan matanya benar-benar berbeda dari biasanya. Mata lembut yang selalu menatap setiap orang dengan rendah hati itu bagai kehilangan kilaunya, berganti dengan kedua mata yang menatap rendah siapapun, termasuk pada Hasumi kali ini yang ditatapnya dengan sinis.“Ha? Kau mempermainkanku ya? kau pikir aku
Gemerlapnya lampu-lampu toko menghiasi jalanan di sepanjang sungai Dotonburi, dihiasi deretan papan iklan raksasa yang menjadi pemandangan khas kota Osaka. Dunia malam memang tak pernah ada habisnya, sama seperti distrik ini yang selalu dibanjiri ratusan manusia. Seumur hidupnya, Hasumi belum pernah mengunjungi Osaka. Karena itulah ia begitu terpana tatkala menikmati indahnya gemerlap cahaya di sana. Dari kejauhan, Hasumi juga bisa melihat jembatan Ebisubashi yang selalu dipadati orang-orang untuk bisa berfoto dengan latar papan iklan produk cemilan terkenal. “Waaa! indahnya!” kata Hasumi seraya terus berjalan menelusuri kawasan Dotonburi bersama Yurika. Beberapa meter dari belakang mereka, Arata dan Mori juga sedang berjalan sembari mengambil beberapa foto. “Sudah berapa tahun ya Tanizaki-san tidak ke sini?” tanya Mori. “Em.. mungkin 2 tahun. Tapi tak banyak yang berubah ya.” “Ya begitulah. Tapi te
Hasumi baru saja selesai mengikatkan pita pada rambut pendeknya yang dikuncir sebagian dan membiarkan sebagiannya lagi diurai. Sembari menatap cermin, Hasumi pun tersenyum setelah menghela napas panjang. “Yosh!” katanya mantap. “Ibu, aku berangkat dulu.” ujarnya berpamitan pada foto Reiko yang dipajang di meja belajar. Tak lupa, ia pun menyimpan cincin pertunangannya dengan Arata di dalam kotak yang disimpan dalam laci. Ia lebih suka mengenakan cincin pemberian ibunya. Kemudian, Hasumi menuruni tangga dengan ceria. Hirotaka tampak sedang sibuk menata sarapan di meja makan. “Ohayou, ayah.” kata Hasumi penuh semangat. “Ah, ohayou.” Hirotaka duduk begitu selesai menata makanan. “Kau terlihat senang sekali hari ini.” “Ya begitulah.” Hasumi tersenyum lantas menelungkupkan tangan di depan dada. “Itadakimasu.” katanya sebelum menyantap sarapan dengan nikmat. Hirotaka sempat terdiam heran melihat sikap putrinya, kemudia
Sesuai kesepakatan, Hasumi akan mengantar Arata menemui ayahnya hari ini. Sejak jam 8 pagi, mobil Arata sudah terparkir rapi di depan rumah Hasumi. Tapi sayangnya, hari ini gadis itu bangun kesiangan dan Arata sudah menunggu selama hampir 30 menit di ruang tamu bersama Hirotaka.“Maaf ya, biasanya dia tidak selama ini kok.” ujar Hirotaka seraya menuangkan teh untuk Arata. Sudah 3 gelas ia minum teh, dan sebenarnya sudah agak mual. Tapi Arata tak kuasa menolak jamuan Hirotaka. Ia pun balas menuangkan teh untuk Hirotaka seraya tersenyum ramah.“Tidak apa-apa, kok. Aku bisa memaklumi karena dia masih sangat muda.”Hirotaka memasang raut wajah lega. Dalam hati, ia bersyukur karena keputusan Hasumi untuk menerima pertunangan itu tepat. Meski sebagian hati kecilnya merasa cemburu, karena harus rela membiarkan puterinya bersama laki-laki lain dan tak sempat menikmati kebersamaan yang telah hilang selama bertahun-tahun.&ldq
Sejak kembali dari Fukui, Hasumi jadi banyak memikirkan Arata. Ia masih tak mengerti dengan perasaan yang ia rasa akhir-akhir ini. Entah kenapa ia merasa kesal tiap melihat Arata, dan hal itu membuat Hasumi jadi agak menghindar setiap kali bertemu dengannya. Bahkan ketika ia mendapat pesan dari Arata tentang perayaan ulang tahun Gouto yang akan digelar hari Sabtunanti pun, Hasumi merasa enggan untuk membalasanya. Hingga membuat Chika yang sedang makan bersamanya di kantin heran lantaran HP Hasumi terus-terusan bergetar. “Wah ada apa ini? kenapa aura di sini suram sekali?” Shin tiba-tiba muncul dan duduk di depan Hasumi sambil meletakkan nampan makan siangnya. Ryuuga yang sedang bersama Shin terpaksa duduk di depan Chika, membuat wajah gadis itu cerah seketika. “Dan tiba-tiba jadi agak cerah.” Cibir Shin melihat Chika yang kegirangan sambil menatapi Ryuuga yang sedang makan. Ryuuga sendiri merasa risih, ia merubah posisinya jadi agak menyamping dan meletakkan tangan k
51. Aktor Nakagawa Taishi adalah referensi Shin di dunia nyata, sementara referensi tokoh Chika adalah Imada Mio52. Shin dan Mitsuki memiliki selisih umur 5 tahun53. Meski kadang Shin menganggap Mitsuki agak gila, nyatanya Shin mengakui kalau Mitsuki adalah orang yang pintar 54. Ayah Shin dan Mitsuki yakni Tatsuya Aki adalah tipe bapak yang suka bercanda55. Mitsuki belum menikah dan tidak punya pacar karena masih belum move on setelah ditinggal nikah mantannya56. Alasan Ryuuga pernah kerja paruh waktu di kedai ayahnya Shin adalah karena ia ingin membeli sepatu voli baru dengan uangnya sendiri57. Alasan Yoshide Hiroto selalu ramah pada orang lain dan tak pernah terlihat banyak masalah adalah karena ia memang lahir di keluarga yang berkecukupan dan tak memiliki masalah keluarga. Satu-satunya masalah yang ia rasakan hanyalah sering disukai oleh perempuan hingga membuatnya agak risih58. Hiroto membutuhkan waktu yang agak lama sampai a
Hari ini terasa begitu panjang. Selepas mengikuti acara pernikahan Yurika dari awal hingga nijikai yang menjadi acara terakhir, Hasumi yang mulai merasa lelah dan ingin pulang malah dipaksa Chika untuk mengantarnya ke Odaiba. Katanya sih, Chika ada janji dengan Shin di sana. Namun karena ia sempat minum alkohol di nijikai tadi, jadilah Chika beralasan kalau ia takut terjadi hal yang tidak-tidak saat Shin belum sampai di lokasi.Meski sempat menolak beberapa kali dengan cara halus, akhirnya Hasumi menurut setelah Chika menceritakan kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi kalau ia dibiarkan sendiri dengan kondisi setengah mabuk. Mulai dari tertabrak sepeda, menampar orang sembarangan, pipis sembarangan, dan kemungkinan lain yang menurut Hasumi agak mustahil terjadi pada seorang Chika. Tapi ya sudahlah, Hasumi tetap ikut Chika ke Odaiba meski badannya sudah sangat ingin istirahat.Agak berbeda dari malam-malam biasanya, malam ini Odaiba tampak agak sepi.
“Kekkon.. omedetou!!!” * Ucap Hasumi dan Chika sembari masuk secara bersamaan ke sebuah ruangan di mana sang pengantin wanita berada. Melihat kedua sahabatnya, Yurika langsung tersenyum lebar. “Ya ampun, kau cantik sekali!” pekik Hasumi. “Sepertinya hari ini kau jadi wanita paling cantik di dunia.” Chika turut memuji, membuat Yurika langsung tertawa sambil menutup mulutnya. “Kalian ini.. kukira kalian tidak akan datang. Tapi terima kasih, aku sangat senang!” “Mana mungkin kami tidak datang, dasar kau ini.” balas Chika. “Sudah, sudah. Mending kita foto bersama sebelum pengantin wanita yang cantik ini dibawa, bagaimana?” Hasumi memberi saran, yang langsung disetujui oleh Yurika dan Chika. Mereka pun meminta salah seorang staff wanita yang bertugas membantu pengantin untuk mengambilkan beberapa foto. Yurika ada di posisi tengah, sementara Hasumi dan Chika berdiri di bagian samping kanan-kiri sembari bergaya dengan b
Sudah berlalu 5 bulan lebih semenjak Hasumi mulai mengajar paruh waktu di EC. Setiap kali perkuliahan usai, gadis itu selalu datang ke EC lebih awal meski jadwal mengajarnya selalu di sore hari. Alasannya, karena di sana ia merasa bisa lebih fokus belajar. Chika juga akhir-akhir ini mulai kerja paruh waktu dengan menjadi asisten di salon kecantikan, jadilah mereka berdua mulai jarang bermain bersama.Hari ini tanggal 14 April, Ryuuga sudah resmi lulus dari universitas sejak bulan Maret lalu. Akhirnya hari ini lelaki itu akan berangkat ke Italia. Kemarin di telepon ia bilang kalau jadwal penerbangannya jam 7:50 malam. Meski hatinya merasa sedikit berat, mau tak mau Hasumi harus merelakan kepergian Ryuuga selama 3 tahun lamanya. Hubungan mereka yang tanpa status juga terkadang membuat Hasumi takut kalau hati lelaki itu akan berpaling selama di sana.Namun Hasumi tetap mencoba untuk percaya, bahwa Ryuuga pasti akan menjaga kata-katanya. Kalau pun semuanya tak berjalan lan
Kilau jingga menghiasi indahnya langit Tokyo di sore itu. Sesekali angin berhembus, membuat rambut Hasumi yang sudah mulai memanjang ikut tertiup. Dengan langkah mantap, Hasumi mendatangi gedung olahraga tempat anak-anak klub voli biasa latihan. Rasa penasaran yang lebih besar dari rasa malunya membuat Hasumi berani mengintip ke dalam, mencari keberadaan Ryuuga.Namun ternyata, Ryuuga tak ada di sana. Justru yang ada hanyalah Iwamoto bersama beberapa anggota lain yang sedang berbincang sembari tertawa, tampaknya mereka baru saja selesai latihan. Menyadari ada seorang gadis mengintip, Iwamoto pun langsung menghampiri Hasumi sembari mengulur senyum.“Cari Ryuuga ya?”Hasumi menganggukkan kepala, agak malu karena kepergok Iwamoto.“Dia baru saja pulang. Mungkin masih ada di sekitaran halaman.”“Oh, begitu ya. Terima kasih.”Iwamoto mengangguk, lantas menatap punggung Hasumi yang menjauh dengan senyum yang men
“Hasumi-chan?”Hasumi menoleh dan tersadar dari lamunannya. Ia segera menghampiri Mitsuki yang sudah melangkah terlebih dulu ke dalam sebuah ruangan. Hasumi mengikutinya, lalu segera terpana saat melihat isi ruangan tersebut. Ada banyak orang berlalu lalang, mulai dari yang memakai seragam SMP, SMA, dan beberapa pengajar di sana.Saat ini, Hasumi sedang berkunjung ke lembaga bernama EC atau English Course, sebuah lembaga les yang nantinya akan jadi tempat Hasumi mengajar. EC terletak di lantai 3 sebuah gedung tengah-tengah kota Tokyo, tak heran kalau banyak anak-anak sekolahan yang mendaftar ke sana. Masalahnya, saat ini mereka sedang kekurangan tenaga pengajar hingga Mitsuki mengajak Hasumi untuk bergabung meski hanya paruh waktu.“Hello, Miss!” sapa seorang gadis berseragam SMA ke arah Mitsuki.“Hello. Have you done your homework?” tanya Mitsuki dengan ramah.“Yeah, of course.”Hasumi melirik
Putus.Satu kata itu terdengar aneh bagi Ryuuga. Hubungannya dengan Hasumi yang menjadi pacar pertamanya itu baru berjalan selama beberapa bulan, bahkan baru saja mengalami sedikit perkembangan. Ryuuga sendiri sama sekali tak pernah kepikiran untuk mengakhiri hubungannya dengan Hasumi. Atau lebih tepatnya, memang tak ingin. Tapi, kenapa ia harus mendengar kata itu?“Kenapa?”Suara Ryuuga terdengar agak rendah.“Aku belum selesai bicara sih, senpai. Maksudku, ayo kita putus setelah senpai lulus nanti.”Ryuuga merasa sedikit lega, walaupun pikirannya masih dihinggapi rasa penasaran.“Boleh kudengar alasannya?”Hasumi tersenyum simpul, kepalanya agak tertunduk.“Setelah kupikir baik-baik, kurasa lebih baik kita putus selama senpai di Italia. Aku tak ingin menghalangi jalan senpai.”“Maksudmu?” kening Ryuuga seketika berkerut.“Senpai, menurutku mimpi i
“Aku memang sudah sejak lama bermimpi untuk bisa pergi ke Italia, tapi malam itu setelah kau pulang dari rumahku, ayahku tiba-tiba menelpon. Nampaknya pelatih kenalannya di Italia ingin mencoba mengontrakku untuk beberapa tahun. Maaf, aku baru sempat memberitahumu sekarang.”“B-berapa tahun?”“3 tahun.”Jawaban Ryuuga makin membuat Hasumi terdiam. Perlahan, gadis itu berpindah posisi ke kursi yang ada di depan Ryuuga. Keduanya kini duduk berhadapan, masih di atas rope way yang melaju pelan di atas orang-orang yang sedang asyik menikmati sore di musim panas.“Aira?” Ryuuga jadi merasa tak enak karena Hasumi jadi banyak diam setelah ia bilang akan ke Italia.“Eh? ya tidak apa-apa kok, tapi karir senpai di divisi 2 bagaimana?”“Aku akan melanjutkannya setelah aku pulang kembali ke Jepang. Tapi untuk ikut klasemen, sepertinya aku masih bisa.”
Sejak 10 menit yang lalu, kedua mata Hasumi tak lepas dari meja nomor 9. Di sana, Hirotaka dan seorang perempuan yang Hasumi ketahui sebagai calon ibu tirinya sedang berbincang sembari menikmati makan siang. Tak ada adegan suap-suapan di antara mereka, yang ada hanya perbincangan yang diselingi tawa sembari makan dengan lahap.Hasumi yang melihatnya jadi sedikit paham. Selama ia sibuk sendiri, ternyata ayahnya menginginkan makan malam yang hangat seperti itu. Bodohnya, Hasumi tak menyadari kalau selama ini ayahnya merasa kesepian. Ia pun jadi merasa kalau sepertinya tak ada alasan untuk melarang ayahnya menikah lagi.“Aira, kau bisa kembali ke tempatmu.” kata senior yang tadi, entah sejak kapan ia ada di samping Hasumi. Gadis itu mengangguk paham dan kembali ke dapur, menunggu datangnya pesanan lagi.“Senpai, ada pesan dari bapak itu.” Marin menghampiri Hasumi. Ia menunjuk ke arah meja Hirotaka.“Pesan apa?”&ldq