Gemerlapnya lampu-lampu toko menghiasi jalanan di sepanjang sungai Dotonburi, dihiasi deretan papan iklan raksasa yang menjadi pemandangan khas kota Osaka. Dunia malam memang tak pernah ada habisnya, sama seperti distrik ini yang selalu dibanjiri ratusan manusia.
Seumur hidupnya, Hasumi belum pernah mengunjungi Osaka. Karena itulah ia begitu terpana tatkala menikmati indahnya gemerlap cahaya di sana. Dari kejauhan, Hasumi juga bisa melihat jembatan Ebisubashi yang selalu dipadati orang-orang untuk bisa berfoto dengan latar papan iklan produk cemilan terkenal.
“Waaa! indahnya!” kata Hasumi seraya terus berjalan menelusuri kawasan Dotonburi bersama Yurika. Beberapa meter dari belakang mereka, Arata dan Mori juga sedang berjalan sembari mengambil beberapa foto.
“Sudah berapa tahun ya Tanizaki-san tidak ke sini?” tanya Mori.
“Em.. mungkin 2 tahun. Tapi tak banyak yang berubah ya.”
“Ya begitulah. Tapi te
Hasumi baru saja selesai mengikatkan pita pada rambut pendeknya yang dikuncir sebagian dan membiarkan sebagiannya lagi diurai. Sembari menatap cermin, Hasumi pun tersenyum setelah menghela napas panjang. “Yosh!” katanya mantap. “Ibu, aku berangkat dulu.” ujarnya berpamitan pada foto Reiko yang dipajang di meja belajar. Tak lupa, ia pun menyimpan cincin pertunangannya dengan Arata di dalam kotak yang disimpan dalam laci. Ia lebih suka mengenakan cincin pemberian ibunya. Kemudian, Hasumi menuruni tangga dengan ceria. Hirotaka tampak sedang sibuk menata sarapan di meja makan. “Ohayou, ayah.” kata Hasumi penuh semangat. “Ah, ohayou.” Hirotaka duduk begitu selesai menata makanan. “Kau terlihat senang sekali hari ini.” “Ya begitulah.” Hasumi tersenyum lantas menelungkupkan tangan di depan dada. “Itadakimasu.” katanya sebelum menyantap sarapan dengan nikmat. Hirotaka sempat terdiam heran melihat sikap putrinya, kemudia
Sesuai kesepakatan, Hasumi akan mengantar Arata menemui ayahnya hari ini. Sejak jam 8 pagi, mobil Arata sudah terparkir rapi di depan rumah Hasumi. Tapi sayangnya, hari ini gadis itu bangun kesiangan dan Arata sudah menunggu selama hampir 30 menit di ruang tamu bersama Hirotaka.“Maaf ya, biasanya dia tidak selama ini kok.” ujar Hirotaka seraya menuangkan teh untuk Arata. Sudah 3 gelas ia minum teh, dan sebenarnya sudah agak mual. Tapi Arata tak kuasa menolak jamuan Hirotaka. Ia pun balas menuangkan teh untuk Hirotaka seraya tersenyum ramah.“Tidak apa-apa, kok. Aku bisa memaklumi karena dia masih sangat muda.”Hirotaka memasang raut wajah lega. Dalam hati, ia bersyukur karena keputusan Hasumi untuk menerima pertunangan itu tepat. Meski sebagian hati kecilnya merasa cemburu, karena harus rela membiarkan puterinya bersama laki-laki lain dan tak sempat menikmati kebersamaan yang telah hilang selama bertahun-tahun.&ldq
Sejak kembali dari Fukui, Hasumi jadi banyak memikirkan Arata. Ia masih tak mengerti dengan perasaan yang ia rasa akhir-akhir ini. Entah kenapa ia merasa kesal tiap melihat Arata, dan hal itu membuat Hasumi jadi agak menghindar setiap kali bertemu dengannya. Bahkan ketika ia mendapat pesan dari Arata tentang perayaan ulang tahun Gouto yang akan digelar hari Sabtunanti pun, Hasumi merasa enggan untuk membalasanya. Hingga membuat Chika yang sedang makan bersamanya di kantin heran lantaran HP Hasumi terus-terusan bergetar. “Wah ada apa ini? kenapa aura di sini suram sekali?” Shin tiba-tiba muncul dan duduk di depan Hasumi sambil meletakkan nampan makan siangnya. Ryuuga yang sedang bersama Shin terpaksa duduk di depan Chika, membuat wajah gadis itu cerah seketika. “Dan tiba-tiba jadi agak cerah.” Cibir Shin melihat Chika yang kegirangan sambil menatapi Ryuuga yang sedang makan. Ryuuga sendiri merasa risih, ia merubah posisinya jadi agak menyamping dan meletakkan tangan k
Tak!Arata menyentil dahi Hasumi sampai gadis itu kesakitan. Arata tahu jelas bagaimana lancarnya imajinasi liar Hasumi berjalan dari gerak gadis itu yang baru saja memejamkan mata.“Imajinasimu benar-benar menakutkan.” katanya seketika membuat Hasumi malu.Perjalanan menuju Tokyo kali ini hanya memakan waktu sekejap saja, lantaran Arata tak sekalipun bicara selama di jalan, dan hal itu membuat Hasumi banyak melamun sampai tersadar kalau mereka sudah sampai di depan rumah. Gadis itu langsung membuka pintu, tapi tak menemukan Hirotaka di sana.“Ayahmu sudah ada di sana.” Kata Arata seakan mengerti pikiran Hasumi.Tanpa menjawab, Hasumi buru-buru masuk ke kamarnya, dan membuka satu-satu isi paperbag pemberian Misaki. Tiba-tiba, Arata ikut masuk hingga reflek membuatnya menjerit kaget.“K-kenapa sensei ikut masuk?”“Biar aku yang pilihkan.” Arata mulai memilih salah satu dari 3 gaun yang di
Dinginnya malam, senyapnya suara dan gelapnya hutan membuat Chika agak merinding saat menyadari bahwa Ryuuga sudah tak ada di depan matanya. Saat ia berbalik setelah memanggil seniornya itu beberapa kali, muncullah sosok pria bermuka terang tepat di depan wajahnya. Sontak, Chika langsung menjerit ketakutan.“Ahahahaha.” Shin tertawa puas, lantas menurunkan senter yang ia pakai untuk menakut-nakuti Chika. Sadar akan kelakuan Shin, Chika pun reflek memukul pria itu sebisa mungkin sambil hampir menangis.“Menyebalkan! kau hampir saja membuat jantungku melompat!” gerutunya sambil terus memukuli Shin yang berusaha melindungi dirinya dengan tangan.“Aduh, hentikan. Aku Cuma bercanda, kok.”“Sama sekali tidak lucu!” Chika memasang muka masam, membuat Shin jadi agak gemas.“Habisnya kau sendirian, sih. Awalnya aku pikir kau hantu. Ke mana Hiroto dan Risa-chan?”“Risa-chan? maksudmu ga
Arata membuka matanya tepat saat jam menunjuk ke angka 8. Perjalanan semalam membuatnya sangat lelah sampai-sampai tidurnya kali ini terasa sangat nikmat. Ia pun bangkit dari ranjang hotel yang empuk, lantas beranjak membuka tirai jendela. Matahari tampak mulai bersinar, membuat gunung Fuji yang terlihat dari area hotel semakin menawan. Saat ini, Arata menginap di Hakone Prince Hotel, salah satu hotel terkenal yang ada di Kanagawa.Untungnya ini hari Minggu, jadi Arata memutuskan untuk bersantai sejenak sebelum kembali ke Tokyo dan mengurus pekerjaan. Sebelum beranjak dari posisinya, Arata baru sadar kalau ia belum melepas cincin pertunangan yang sedari tadi malam melekat di jari manisnya. Merasa tak perlu lagi memakai cincin itu, Arata pun melepasnya, lantas menyimpan benda tersebut di atas meja sebelum akhirnya ia berjalan menuju kamar mandi.Musim semi akan segera usai, berganti dengan musim panas yang membuat sebagian besar orang malas keluar rumah. Jadi selagi uda
“Tunggu!” Ujar lelaki yang sejak tadi mengikuti Hasumi dengan panik, ia berusaha mengejar Hasumi meskipun tetap tak tersusul lantaran gadis itu berlari dengan cepat. Kelelahan, ia pun berhenti dan mengambil napas sejenak sampai tak sadar bahwa seorang gadis tengah bersiap memukulnya dari arah belakang. “Dasar kau penguntit!” cerca gadis tadi sambil memukulnya dengan tas ransel. “Aduh! hentikan!” pinta si lelaki sambil melindungi dirinya. Sementara itu, Hasumi yang sadar kalau si penguntit sedang dipukuli malah memutuskan untuk kembali lagi. Tak ingin kehilangan kesempatan, ia pun ikut bergabung dengan si gadis untuk memukuli lelaki malang yang bernama Takeru. “Kau mau berbuat mesum, ya? dasar kurang ajar!” Hasumi ikut memaki tanpa tahu apa-apa. “Hentikan, aku tidak mau berbuat jahat! Aku hanya ingin mengenalmu, Hasumi Aira!” Mendengar namanya disebut, Hasumi dan gadis yang ternyata adalah Hachiya Risa sontak berhenti memukuli T
“Takeru-kun.”Sosok yang dipanggil sontak menelan ludah saat Misaki memanggil namanya dengan ekspresi aneh. Ekspresi yang selama ini tak pernah ia lihat ada di wajah sang ibu. Gawat, apakah Misaki mendengar obrolan Hasumi dan Jurina di dalam kamar?Tiba-tiba, Misaki tertawa puas. Takeru yang melihat kelakuan sang ibu seketika mengerutkan keningnya.“I-ibu baik-baik saja?” tanyanya khawatir, takut ibunya ini kerasukan atau apa.“Mukamu lucu sekali. Kau pikir ibu marah ya?” kata Misaki sambil terus tertawa.“Ibu membuatku takut!”“Sudah lama ibu tidak menggodamu seperti ini. Oh ya, apa mereka sudah tidur?”“Sepertinya sudah.” Takeru melirik ke arah pintu sekilas, ternyata suara gadis itu kini sudah tak terdengar lagi.“Kau juga tidurlah. Biar ibu yang bawa.” Misaki mengambil nampan yang ada di tangan Takeru, lantas tersenyum lembut.“