Tak!
Arata menyentil dahi Hasumi sampai gadis itu kesakitan. Arata tahu jelas bagaimana lancarnya imajinasi liar Hasumi berjalan dari gerak gadis itu yang baru saja memejamkan mata.
“Imajinasimu benar-benar menakutkan.” katanya seketika membuat Hasumi malu.
Perjalanan menuju Tokyo kali ini hanya memakan waktu sekejap saja, lantaran Arata tak sekalipun bicara selama di jalan, dan hal itu membuat Hasumi banyak melamun sampai tersadar kalau mereka sudah sampai di depan rumah. Gadis itu langsung membuka pintu, tapi tak menemukan Hirotaka di sana.
“Ayahmu sudah ada di sana.” Kata Arata seakan mengerti pikiran Hasumi.
Tanpa menjawab, Hasumi buru-buru masuk ke kamarnya, dan membuka satu-satu isi paperbag pemberian Misaki. Tiba-tiba, Arata ikut masuk hingga reflek membuatnya menjerit kaget.
“K-kenapa sensei ikut masuk?”
“Biar aku yang pilihkan.” Arata mulai memilih salah satu dari 3 gaun yang di
Dinginnya malam, senyapnya suara dan gelapnya hutan membuat Chika agak merinding saat menyadari bahwa Ryuuga sudah tak ada di depan matanya. Saat ia berbalik setelah memanggil seniornya itu beberapa kali, muncullah sosok pria bermuka terang tepat di depan wajahnya. Sontak, Chika langsung menjerit ketakutan.“Ahahahaha.” Shin tertawa puas, lantas menurunkan senter yang ia pakai untuk menakut-nakuti Chika. Sadar akan kelakuan Shin, Chika pun reflek memukul pria itu sebisa mungkin sambil hampir menangis.“Menyebalkan! kau hampir saja membuat jantungku melompat!” gerutunya sambil terus memukuli Shin yang berusaha melindungi dirinya dengan tangan.“Aduh, hentikan. Aku Cuma bercanda, kok.”“Sama sekali tidak lucu!” Chika memasang muka masam, membuat Shin jadi agak gemas.“Habisnya kau sendirian, sih. Awalnya aku pikir kau hantu. Ke mana Hiroto dan Risa-chan?”“Risa-chan? maksudmu ga
Arata membuka matanya tepat saat jam menunjuk ke angka 8. Perjalanan semalam membuatnya sangat lelah sampai-sampai tidurnya kali ini terasa sangat nikmat. Ia pun bangkit dari ranjang hotel yang empuk, lantas beranjak membuka tirai jendela. Matahari tampak mulai bersinar, membuat gunung Fuji yang terlihat dari area hotel semakin menawan. Saat ini, Arata menginap di Hakone Prince Hotel, salah satu hotel terkenal yang ada di Kanagawa.Untungnya ini hari Minggu, jadi Arata memutuskan untuk bersantai sejenak sebelum kembali ke Tokyo dan mengurus pekerjaan. Sebelum beranjak dari posisinya, Arata baru sadar kalau ia belum melepas cincin pertunangan yang sedari tadi malam melekat di jari manisnya. Merasa tak perlu lagi memakai cincin itu, Arata pun melepasnya, lantas menyimpan benda tersebut di atas meja sebelum akhirnya ia berjalan menuju kamar mandi.Musim semi akan segera usai, berganti dengan musim panas yang membuat sebagian besar orang malas keluar rumah. Jadi selagi uda
“Tunggu!” Ujar lelaki yang sejak tadi mengikuti Hasumi dengan panik, ia berusaha mengejar Hasumi meskipun tetap tak tersusul lantaran gadis itu berlari dengan cepat. Kelelahan, ia pun berhenti dan mengambil napas sejenak sampai tak sadar bahwa seorang gadis tengah bersiap memukulnya dari arah belakang. “Dasar kau penguntit!” cerca gadis tadi sambil memukulnya dengan tas ransel. “Aduh! hentikan!” pinta si lelaki sambil melindungi dirinya. Sementara itu, Hasumi yang sadar kalau si penguntit sedang dipukuli malah memutuskan untuk kembali lagi. Tak ingin kehilangan kesempatan, ia pun ikut bergabung dengan si gadis untuk memukuli lelaki malang yang bernama Takeru. “Kau mau berbuat mesum, ya? dasar kurang ajar!” Hasumi ikut memaki tanpa tahu apa-apa. “Hentikan, aku tidak mau berbuat jahat! Aku hanya ingin mengenalmu, Hasumi Aira!” Mendengar namanya disebut, Hasumi dan gadis yang ternyata adalah Hachiya Risa sontak berhenti memukuli T
“Takeru-kun.”Sosok yang dipanggil sontak menelan ludah saat Misaki memanggil namanya dengan ekspresi aneh. Ekspresi yang selama ini tak pernah ia lihat ada di wajah sang ibu. Gawat, apakah Misaki mendengar obrolan Hasumi dan Jurina di dalam kamar?Tiba-tiba, Misaki tertawa puas. Takeru yang melihat kelakuan sang ibu seketika mengerutkan keningnya.“I-ibu baik-baik saja?” tanyanya khawatir, takut ibunya ini kerasukan atau apa.“Mukamu lucu sekali. Kau pikir ibu marah ya?” kata Misaki sambil terus tertawa.“Ibu membuatku takut!”“Sudah lama ibu tidak menggodamu seperti ini. Oh ya, apa mereka sudah tidur?”“Sepertinya sudah.” Takeru melirik ke arah pintu sekilas, ternyata suara gadis itu kini sudah tak terdengar lagi.“Kau juga tidurlah. Biar ibu yang bawa.” Misaki mengambil nampan yang ada di tangan Takeru, lantas tersenyum lembut.“
Sejak pagi, hujan terus mengguyur kota Tokyo. Di tengah hujan yang sesekali diiringi hembusan angin ini, hal yang paling pas untuk dilakukan adalah tidur, menonton drama bersama keluarga atau memakan sesuatu yang hangat sambil membaca manga kesukaan. Namun kini, Hasumi malah terjebak di kantin bersama Chika, Shin, dan satu orang pria yang entah sejak kapan dan dari mana datangnya. “Hasumi, siapa sebenarnya pria ini?” Chika berbisik sambil memandang curiga ke arah pria yang ada di depannya. Sedangkan si pria malah senyum-senyum sendiri. Hasumi jadi bingung menjawabnya. “Aku pacarnya.” jawab Takeru dengan muka iseng. “Eh, s-sejak kapan?” tanya Chika dan Shin bersamaan. “Takeru-kun!” tegur Hasumi ke arah Takeru yang malah tertawa. Duh, pria ini benar-benar! Sebenarnya ia datang dari mana, sih? pikir Hasumi. “D-dia pacarmu, Aira?” suara Hiroto dari belakang membuat suasana makin keruh. Ia terpaku sambil membawa nampan berisi makan siang dan berdir
Malam ini, hujan kembali mengguyur kota Tokyo. Sambil teleponan dengan Yurika, Hasumi tampak duduk bersandar ke tembok yang ada di sisi ranjang. Sesekali ia tertawa, membahas banyak hal. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali ia bercengkrama dengan sahabatnya itu. “Ha? kau suka Mori-san?” Hasumi terperanjat kaget saat obrolan mereka beralih ke soal percintaan. "Ya, sebenarnya sudah agak lama, tapi aku baru bergerak sekarang. Ternyata dia sangat dingin kalau soal percintaan." curhat Yurika di seberang sana. “Hmm begitu. Aku tidak menyangka kau jatuh cinta pada tetanggamu sendiri.” “Hahaha, dengan tetangga masih mending, daripada dengan dosen sendiri.” sindir Yurika membuat Hasumi meringis. “Apa kau jatuh cinta karena sering bertemu dengannya?” “Hihihi, mungkin. Cinta memang begitu ‘kan? pertemuan yang awalnya biasa saja mulai jadi istimewa. Rasanya tak sabar menunggu esok hari supaya bisa bertem
Yoshide Hiroto, adalah laki-laki yang Hasumi taksir selama SMA. Pertemuan keduanya dengan lelaki itu baru beberapa bulan, tapi hari ini, tiba-tiba Hasumi mendapat ajakan kencan. Hal yang sama sekali tak pernah terlintas dalam benak gadis itu. Harusnya ia senang. Bagaimanapun juga, keajaiban semacam ini mungkin hanya akan terjadi sekali seumur hidupnya. Namun anehnya, ia malah bingung. Mungkin dirinya di masa SMA akan langsung mengangguk tanpa ragu. Tapi sekarang, Hasumi sudah terlebih dulu membuat janji untuk mengantar Takeru, calon adik iparnya ke bandara.“Kau punya acara ya?” tanya Hiroto setelah membaca raut keraguan di wajah Hasumi.“Maaf.” jawabnya setelah mengangguk lemas.“Oh, tidak apa-apa. Mungkin sebaiknya aku berikan saja pada Shin senpai. Dia pasti senang dapat tiket kencan gratis.” Hiroto mencoba tertawa, meski terdengar dipaksakan.Hasumi masih tertunduk. Hatinya merasa sangat tidak enak. Kalau saja dia t
Langit mulai menunjukkan jingganya saat Hasumi dan Arata tiba di taman Odaiba. Jam baru menunjukkan pukul 3 sore, dan kala itu taman sangat ramai dengan orang-orang yang berjalan-jalan mencari udara segar. Suara obrolan dan canda tawa seringkali terdengar saat Hasumi dan Arata berpapasan dengan pengunjung taman. Rasanya, Hasumi jadi ikutan bahagia melihatnya. “Lalu, kita mau ke mana?” tanya Arata yang mulai lelah. Sedari tadi mereka hanya terus berjalan menelusuri area sekitar patung Mini Liberty, yakni patung Liberty versi mini yang dulu dihadiahkan presiden Prancis untuk Jepang. Mendengar pertanyaan Arata, Hasumi jadi bingung sendiri. Sebenarnya, ia hanya pernah melihat taman ini di salah satu adegan drama, ia tak tahu kalau ternyata kawasan Odaiba seluas ini. “Sensei, bukannya sensei yang seharusnya lebih paham? Sensei ‘kan lahir di Tokyo.” “Aku ke sini saat masih kecil, mana ingat kalau di umur segitu.” Hasumi menghela napas. Ia kemudian t