“Tunggu!”
Ujar lelaki yang sejak tadi mengikuti Hasumi dengan panik, ia berusaha mengejar Hasumi meskipun tetap tak tersusul lantaran gadis itu berlari dengan cepat. Kelelahan, ia pun berhenti dan mengambil napas sejenak sampai tak sadar bahwa seorang gadis tengah bersiap memukulnya dari arah belakang.
“Dasar kau penguntit!” cerca gadis tadi sambil memukulnya dengan tas ransel.
“Aduh! hentikan!” pinta si lelaki sambil melindungi dirinya.
Sementara itu, Hasumi yang sadar kalau si penguntit sedang dipukuli malah memutuskan untuk kembali lagi. Tak ingin kehilangan kesempatan, ia pun ikut bergabung dengan si gadis untuk memukuli lelaki malang yang bernama Takeru.
“Kau mau berbuat mesum, ya? dasar kurang ajar!” Hasumi ikut memaki tanpa tahu apa-apa.
“Hentikan, aku tidak mau berbuat jahat! Aku hanya ingin mengenalmu, Hasumi Aira!”
Mendengar namanya disebut, Hasumi dan gadis yang ternyata adalah Hachiya Risa sontak berhenti memukuli T
“Takeru-kun.”Sosok yang dipanggil sontak menelan ludah saat Misaki memanggil namanya dengan ekspresi aneh. Ekspresi yang selama ini tak pernah ia lihat ada di wajah sang ibu. Gawat, apakah Misaki mendengar obrolan Hasumi dan Jurina di dalam kamar?Tiba-tiba, Misaki tertawa puas. Takeru yang melihat kelakuan sang ibu seketika mengerutkan keningnya.“I-ibu baik-baik saja?” tanyanya khawatir, takut ibunya ini kerasukan atau apa.“Mukamu lucu sekali. Kau pikir ibu marah ya?” kata Misaki sambil terus tertawa.“Ibu membuatku takut!”“Sudah lama ibu tidak menggodamu seperti ini. Oh ya, apa mereka sudah tidur?”“Sepertinya sudah.” Takeru melirik ke arah pintu sekilas, ternyata suara gadis itu kini sudah tak terdengar lagi.“Kau juga tidurlah. Biar ibu yang bawa.” Misaki mengambil nampan yang ada di tangan Takeru, lantas tersenyum lembut.“
Sejak pagi, hujan terus mengguyur kota Tokyo. Di tengah hujan yang sesekali diiringi hembusan angin ini, hal yang paling pas untuk dilakukan adalah tidur, menonton drama bersama keluarga atau memakan sesuatu yang hangat sambil membaca manga kesukaan. Namun kini, Hasumi malah terjebak di kantin bersama Chika, Shin, dan satu orang pria yang entah sejak kapan dan dari mana datangnya. “Hasumi, siapa sebenarnya pria ini?” Chika berbisik sambil memandang curiga ke arah pria yang ada di depannya. Sedangkan si pria malah senyum-senyum sendiri. Hasumi jadi bingung menjawabnya. “Aku pacarnya.” jawab Takeru dengan muka iseng. “Eh, s-sejak kapan?” tanya Chika dan Shin bersamaan. “Takeru-kun!” tegur Hasumi ke arah Takeru yang malah tertawa. Duh, pria ini benar-benar! Sebenarnya ia datang dari mana, sih? pikir Hasumi. “D-dia pacarmu, Aira?” suara Hiroto dari belakang membuat suasana makin keruh. Ia terpaku sambil membawa nampan berisi makan siang dan berdir
Malam ini, hujan kembali mengguyur kota Tokyo. Sambil teleponan dengan Yurika, Hasumi tampak duduk bersandar ke tembok yang ada di sisi ranjang. Sesekali ia tertawa, membahas banyak hal. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali ia bercengkrama dengan sahabatnya itu. “Ha? kau suka Mori-san?” Hasumi terperanjat kaget saat obrolan mereka beralih ke soal percintaan. "Ya, sebenarnya sudah agak lama, tapi aku baru bergerak sekarang. Ternyata dia sangat dingin kalau soal percintaan." curhat Yurika di seberang sana. “Hmm begitu. Aku tidak menyangka kau jatuh cinta pada tetanggamu sendiri.” “Hahaha, dengan tetangga masih mending, daripada dengan dosen sendiri.” sindir Yurika membuat Hasumi meringis. “Apa kau jatuh cinta karena sering bertemu dengannya?” “Hihihi, mungkin. Cinta memang begitu ‘kan? pertemuan yang awalnya biasa saja mulai jadi istimewa. Rasanya tak sabar menunggu esok hari supaya bisa bertem
Yoshide Hiroto, adalah laki-laki yang Hasumi taksir selama SMA. Pertemuan keduanya dengan lelaki itu baru beberapa bulan, tapi hari ini, tiba-tiba Hasumi mendapat ajakan kencan. Hal yang sama sekali tak pernah terlintas dalam benak gadis itu. Harusnya ia senang. Bagaimanapun juga, keajaiban semacam ini mungkin hanya akan terjadi sekali seumur hidupnya. Namun anehnya, ia malah bingung. Mungkin dirinya di masa SMA akan langsung mengangguk tanpa ragu. Tapi sekarang, Hasumi sudah terlebih dulu membuat janji untuk mengantar Takeru, calon adik iparnya ke bandara.“Kau punya acara ya?” tanya Hiroto setelah membaca raut keraguan di wajah Hasumi.“Maaf.” jawabnya setelah mengangguk lemas.“Oh, tidak apa-apa. Mungkin sebaiknya aku berikan saja pada Shin senpai. Dia pasti senang dapat tiket kencan gratis.” Hiroto mencoba tertawa, meski terdengar dipaksakan.Hasumi masih tertunduk. Hatinya merasa sangat tidak enak. Kalau saja dia t
Langit mulai menunjukkan jingganya saat Hasumi dan Arata tiba di taman Odaiba. Jam baru menunjukkan pukul 3 sore, dan kala itu taman sangat ramai dengan orang-orang yang berjalan-jalan mencari udara segar. Suara obrolan dan canda tawa seringkali terdengar saat Hasumi dan Arata berpapasan dengan pengunjung taman. Rasanya, Hasumi jadi ikutan bahagia melihatnya. “Lalu, kita mau ke mana?” tanya Arata yang mulai lelah. Sedari tadi mereka hanya terus berjalan menelusuri area sekitar patung Mini Liberty, yakni patung Liberty versi mini yang dulu dihadiahkan presiden Prancis untuk Jepang. Mendengar pertanyaan Arata, Hasumi jadi bingung sendiri. Sebenarnya, ia hanya pernah melihat taman ini di salah satu adegan drama, ia tak tahu kalau ternyata kawasan Odaiba seluas ini. “Sensei, bukannya sensei yang seharusnya lebih paham? Sensei ‘kan lahir di Tokyo.” “Aku ke sini saat masih kecil, mana ingat kalau di umur segitu.” Hasumi menghela napas. Ia kemudian t
Angin sepoi-sepoi langsung terasa berhembus menyapu kulit saat Hasumi turun dari mobil. Seperti yang Misaki janjikan, hari ini adalah jadwal mereka liburan sementara ke pantai Kamakura. Yurika baru tiba kemarin dari Osaka, dan menginap semalam di rumah Hasumi. Begitu mendengar soal Yurika yang menginap di rumah sahabatnya, Chika juga tak ingin kalah. Jam 6 petang ia datang diantar Shin sambil membawa banyak barang. Memang, sejak Hasumi menceritakan soal Yurika, Chika jadi lebih bersemangat karena tak sabar ingin menambah teman baru.Benar saja, semalaman Chika dan Yurika bahkan terus mengobrol di atas kasur Hasumi, sementara yang punya kamar malah dengan sangat terpaksa menggelar futon atau kasur ala Jepang yang bisa dilipat di belakang pintu kamar. Sejak kedatangan dua sahabatnya, kamar Hasumi jadi sangat sempit karena barang-barang mereka. Mau tidak mau Hasumi tidur di belakang pintu yang sangat rawan terkena benturan. Apalagi, beberapa kali Chika khilaf hingga tak sengaja
Arata baru saja tiba di apartemen barunya. Apartemen itu bertingkat 2, dan Arata memilih tempat di bagian atas. Sebenarnya keinginannya untuk tinggal sendiri ini sempat ditentang oleh ibunya, namun berkat dukungan kakek dan ayah tirinya, kini Arata bisa mewujudkan mimpi kecil yang selalu ia pendam. Ia ingin hidup mandiri. Tanpa mendengar suara manja atau godaan ibunya, atau tanpa perlu bertemu dengan ayah tiri yang tak ia sukai. Ia ingin bisa mengurus dirinya sendiri, itulah keinginan yang sejak dulu ada dalam lubuk hatinya.Oleh karena itulah, hari ini saat ia pindahan pun tak ada yang mengantarnya. Bukan karena tak ada orang yang bisa mengantar, tapi Arata memang melarangnya. Ia khawatir ibunya akan banyak bertingkah kalau ia memberitahukan lokasi tempat tinggal barunya. Hanya Jurina saja yang ia beri tahu. Alasannya, karena Jurina adalah salah satu orang kepercayaan Arata di rumah.Beberapa dus nampak tertumpuk di sudut ruangan. Apartemen itu punya ruang yang cukup
“Aduh duh, sakit!”“Bisa pelan-pelan tidak?”“Berisik! diam sajalah!”Dua orang perempuan tetangga Arata tak sengaja mendengar suara itu. Kebetulan, mereka adalah sahabat dekat yang apartemennya berada tepat di samping apartemen Arata. Mendengar suara-suara mencurigakan itu, mereka pun hanya bisa tertawa cekikikan sambil membayangkan hal yang tidak-tidak.Padahal aslinya, Arata sedari tadi marah-marah karena sangat sulit melepaskan obi yang dipakai Hasumi. Saking kesalnya, ia sempat menyarankan agar Hasumi menggunting saja obinya. Namun karena yukata dan obi itu peninggalan sang ibu, Hasumi menolak dengan keras.Hasumi lagi-lagi mengeluh saat Arata menarik obinya ke kanan dan kiri, membuat ia jadi agak sesak. Akhirnya dengan peluh yang sudah mengalir, obi itu pun bisa terlepas juga. Hasumi bisa bernafas lega, begitu pula Arata. Tanpa sadar Arata malah sibuk menyeka peluhnya sambil berkacak pinggang di belakang Ha