Langit mulai menunjukkan jingganya saat Hasumi dan Arata tiba di taman Odaiba. Jam baru menunjukkan pukul 3 sore, dan kala itu taman sangat ramai dengan orang-orang yang berjalan-jalan mencari udara segar. Suara obrolan dan canda tawa seringkali terdengar saat Hasumi dan Arata berpapasan dengan pengunjung taman. Rasanya, Hasumi jadi ikutan bahagia melihatnya.
“Lalu, kita mau ke mana?” tanya Arata yang mulai lelah.
Sedari tadi mereka hanya terus berjalan menelusuri area sekitar patung Mini Liberty, yakni patung Liberty versi mini yang dulu dihadiahkan presiden Prancis untuk Jepang. Mendengar pertanyaan Arata, Hasumi jadi bingung sendiri. Sebenarnya, ia hanya pernah melihat taman ini di salah satu adegan drama, ia tak tahu kalau ternyata kawasan Odaiba seluas ini.
“Sensei, bukannya sensei yang seharusnya lebih paham? Sensei ‘kan lahir di Tokyo.”
“Aku ke sini saat masih kecil, mana ingat kalau di umur segitu.”
Hasumi menghela napas. Ia kemudian t
Angin sepoi-sepoi langsung terasa berhembus menyapu kulit saat Hasumi turun dari mobil. Seperti yang Misaki janjikan, hari ini adalah jadwal mereka liburan sementara ke pantai Kamakura. Yurika baru tiba kemarin dari Osaka, dan menginap semalam di rumah Hasumi. Begitu mendengar soal Yurika yang menginap di rumah sahabatnya, Chika juga tak ingin kalah. Jam 6 petang ia datang diantar Shin sambil membawa banyak barang. Memang, sejak Hasumi menceritakan soal Yurika, Chika jadi lebih bersemangat karena tak sabar ingin menambah teman baru.Benar saja, semalaman Chika dan Yurika bahkan terus mengobrol di atas kasur Hasumi, sementara yang punya kamar malah dengan sangat terpaksa menggelar futon atau kasur ala Jepang yang bisa dilipat di belakang pintu kamar. Sejak kedatangan dua sahabatnya, kamar Hasumi jadi sangat sempit karena barang-barang mereka. Mau tidak mau Hasumi tidur di belakang pintu yang sangat rawan terkena benturan. Apalagi, beberapa kali Chika khilaf hingga tak sengaja
Arata baru saja tiba di apartemen barunya. Apartemen itu bertingkat 2, dan Arata memilih tempat di bagian atas. Sebenarnya keinginannya untuk tinggal sendiri ini sempat ditentang oleh ibunya, namun berkat dukungan kakek dan ayah tirinya, kini Arata bisa mewujudkan mimpi kecil yang selalu ia pendam. Ia ingin hidup mandiri. Tanpa mendengar suara manja atau godaan ibunya, atau tanpa perlu bertemu dengan ayah tiri yang tak ia sukai. Ia ingin bisa mengurus dirinya sendiri, itulah keinginan yang sejak dulu ada dalam lubuk hatinya.Oleh karena itulah, hari ini saat ia pindahan pun tak ada yang mengantarnya. Bukan karena tak ada orang yang bisa mengantar, tapi Arata memang melarangnya. Ia khawatir ibunya akan banyak bertingkah kalau ia memberitahukan lokasi tempat tinggal barunya. Hanya Jurina saja yang ia beri tahu. Alasannya, karena Jurina adalah salah satu orang kepercayaan Arata di rumah.Beberapa dus nampak tertumpuk di sudut ruangan. Apartemen itu punya ruang yang cukup
“Aduh duh, sakit!”“Bisa pelan-pelan tidak?”“Berisik! diam sajalah!”Dua orang perempuan tetangga Arata tak sengaja mendengar suara itu. Kebetulan, mereka adalah sahabat dekat yang apartemennya berada tepat di samping apartemen Arata. Mendengar suara-suara mencurigakan itu, mereka pun hanya bisa tertawa cekikikan sambil membayangkan hal yang tidak-tidak.Padahal aslinya, Arata sedari tadi marah-marah karena sangat sulit melepaskan obi yang dipakai Hasumi. Saking kesalnya, ia sempat menyarankan agar Hasumi menggunting saja obinya. Namun karena yukata dan obi itu peninggalan sang ibu, Hasumi menolak dengan keras.Hasumi lagi-lagi mengeluh saat Arata menarik obinya ke kanan dan kiri, membuat ia jadi agak sesak. Akhirnya dengan peluh yang sudah mengalir, obi itu pun bisa terlepas juga. Hasumi bisa bernafas lega, begitu pula Arata. Tanpa sadar Arata malah sibuk menyeka peluhnya sambil berkacak pinggang di belakang Ha
Arata sedang menyantap mie somen dingin dengan nikmat saat tiba-tiba mendengar ucapan Hasumi yang membuatnya langsung tersedak. Apa ia tidak salah dengar? Hasumi memintanya memeluknya? Arata masih memandang Hasumi dengan kaget. Sementara Hasumi langsung salah tingkah. Ah, bodoh! kenapa juga ia harus minta hal itu?“E-eh, tidak kok. Aku bercanda.” Hasumi tertawa kikuk sambil menggaruk kepalanya. Duh, rasanya ia ingin jadi mie somen saja saking malunya.Hasumi baru saja mengambil sumpit saat tiba-tiba Arata menarik lengannya. Dalam hitungan detik, Hasumi sudah ada dalam pelukan Arata.“Ini sekalian ucapan terima kasih.” kata Arata singkat, masih tak melepaskan pelukannya.Hasumi masih kaget dengan apa yang dilakukan Arata. Tangan gadis itu tak sedikit pun bergerak untuk membalas pelukannya. Namun, posisi mereka yang hampir tak berjarak membuat wangi mint dari rambut Arata tercium dengan kuat, hingga membuat Hasumi merasa sediki
Musim panas telah berlalu menjadi musim gugur. Perlahan, hawa dingin mulai terasa, hingga membuat semua orang mulai memakai jaket dan baju panjang tiap kali keluar rumah. Begitu pula dengan yang Hasumi lihat hari ini. Saat ia memasuki ruangan circle, semua orang tampak memakai pakaian hangat. Kecuali Chika yang nekat memakai rok jeans yang agak pendek. Akibatnya, ia kini terpaksa merayu Shin agar meminjamkan celana panjangnya. “Ayolah, hari ini saja kok. Tadi aku kesiangan dan lupa pakai stocking. Lalu celana olahraga juga ketinggalan.” “Bukan begitu, nanti bagaimana aku bisa pulang?” “Kau ‘kan bawa celana olahraga. Selain itu kau juga laki-laki jadi tidak akan terlalu malu. Ya?” kali ini Chika memasang wajah memelas. Shin menghela napas dengan kasar. Ia memang selalu menyimpan celana olahraga di loker ruang circle, tapi celana kolor selutut yang biasa dipakai olahraga. Kalau ia memberi pinjam celana panjang yang saat ini ia pakai, masa dirin
10 menit telah berlalu, dan kini Hiroto dan Hasumi sudah sampai di depan rumah. Ini pertama kalinya Hiroto datang ke rumah Hasumi setelah kepindahannya ke Tokyo.“Mau masuk dulu?”“Mungkin lain kali saja.” jawab Hiroto sembari tersenyum simpul. Sebenarnya ia menolak bukan karena tidak mau masuk, tapi ia masih merasa malu lantaran telah mengatakan hal yang membuat Hasumi tadi langsung terdiam. Rasanya ia ingin cepat-cepat pulang.“Oh, baiklah. Terima kasih sudah mengantarku sampai rumah.”“Santai saja.”“Rumah saudaranya Yoshide-kun di mana? masih jauh?”“Ah.. ya lumayan. Mungkin beberapa meter lagi di depan.” Hiroto menjawab gugup.“Hati-hati di jalan.”Hiroto mengangguk, “Sampai ketemu di kampus.” jawabnya mulai berjalan.Hasumi ikut tersenyum sembari menatap punggung Hiroto yang mulai menjauh. Setelah beberapa lama, ia pun m
30 menit telah berlalu tanpa ada kabar dari Arata. Dengan perasaan yang masih campur aduk, Hasumi mencoba menghubungi Chika. Sesuai perjanjian, hari ini harusnya mereka kencan ganda. Namun kemarin Chika bilang ingin memberikan sedikit waktu untuk Hasumi dan Arata, makanya ia dan Shin berencana untuk datang 1 jam kemudian, yakni di jam 12. “Hallo? Ah kebetulan, aku baru saja ingin menghubungimu.” suara Chika di seberang menyambut. “C-Chika, kau di mana?” “Tunggu, ada apa dengan suaramu? kau terdengar seperti mau menangis.” “Tidak kok, aku baik-baik saja. Kau di mana?” Hasumi menghela napas, mencoba menyembunyikan rasa sedihnya. “Hasumi, maaf. Aku tadi baru saja berencana memberitahumu. Ternyata, Shin tidak bisa datang. Dia bilang ingin menonton pertandingan Ryuuga-senpai hari ini, jadi aku dan dia sedang di jalan menuju gymnasium. Aku benar-benar minta maaf, tapi bukankah ini kesempatan yang bagus? kau sedang bersama sensei ‘kan sekaran
“Pemilihan mahasiswa tercantik dan tertampan?” Hasumi dan Chika sama-sama mengerutkan kening sembari menatap poster yang tertempel di mading. Shin dan Ryuuga ada di belakang mereka, Ryuuga tampak sibuk meneguk minuman sambil celingak-celinguk ke kanan kiri. “Memangnya ada ya?” Chika menoleh ke arah Shin. “Ada, setiap tahun ada 2 mahasiswa yang dipilih dari seluruh Jepang untuk dijadikan mahasiswa tercantik dan tertampan. Nah setiap universitas akan mengirimkan perwakilan.” jelas Shin. “Heee aku baru tahu.” gumam Hasumi yang terpana. “Ah, apa aku juga ikut saja ya?” Shin menunjuk dirinya sendiri sembari menyeringai lebar. “Tidak boleh!” jawab Chika spontan. “Huuu, kau takut aku jadi terkenal dan digilai banyak perempuan ya?” tanyanya percaya diri. “Dih! aku takut kau depresi karena kalah, soalnya kau pasti memang kalah, sih.” Shin tertawa meringis mendengarnya. “Hasumi, kau ikut saja!” kata Ch