Musim panas telah berlalu menjadi musim gugur. Perlahan, hawa dingin mulai terasa, hingga membuat semua orang mulai memakai jaket dan baju panjang tiap kali keluar rumah. Begitu pula dengan yang Hasumi lihat hari ini.
Saat ia memasuki ruangan circle, semua orang tampak memakai pakaian hangat. Kecuali Chika yang nekat memakai rok jeans yang agak pendek. Akibatnya, ia kini terpaksa merayu Shin agar meminjamkan celana panjangnya.
“Ayolah, hari ini saja kok. Tadi aku kesiangan dan lupa pakai stocking. Lalu celana olahraga juga ketinggalan.”
“Bukan begitu, nanti bagaimana aku bisa pulang?”
“Kau ‘kan bawa celana olahraga. Selain itu kau juga laki-laki jadi tidak akan terlalu malu. Ya?” kali ini Chika memasang wajah memelas. Shin menghela napas dengan kasar. Ia memang selalu menyimpan celana olahraga di loker ruang circle, tapi celana kolor selutut yang biasa dipakai olahraga. Kalau ia memberi pinjam celana panjang yang saat ini ia pakai, masa dirin
10 menit telah berlalu, dan kini Hiroto dan Hasumi sudah sampai di depan rumah. Ini pertama kalinya Hiroto datang ke rumah Hasumi setelah kepindahannya ke Tokyo.“Mau masuk dulu?”“Mungkin lain kali saja.” jawab Hiroto sembari tersenyum simpul. Sebenarnya ia menolak bukan karena tidak mau masuk, tapi ia masih merasa malu lantaran telah mengatakan hal yang membuat Hasumi tadi langsung terdiam. Rasanya ia ingin cepat-cepat pulang.“Oh, baiklah. Terima kasih sudah mengantarku sampai rumah.”“Santai saja.”“Rumah saudaranya Yoshide-kun di mana? masih jauh?”“Ah.. ya lumayan. Mungkin beberapa meter lagi di depan.” Hiroto menjawab gugup.“Hati-hati di jalan.”Hiroto mengangguk, “Sampai ketemu di kampus.” jawabnya mulai berjalan.Hasumi ikut tersenyum sembari menatap punggung Hiroto yang mulai menjauh. Setelah beberapa lama, ia pun m
30 menit telah berlalu tanpa ada kabar dari Arata. Dengan perasaan yang masih campur aduk, Hasumi mencoba menghubungi Chika. Sesuai perjanjian, hari ini harusnya mereka kencan ganda. Namun kemarin Chika bilang ingin memberikan sedikit waktu untuk Hasumi dan Arata, makanya ia dan Shin berencana untuk datang 1 jam kemudian, yakni di jam 12. “Hallo? Ah kebetulan, aku baru saja ingin menghubungimu.” suara Chika di seberang menyambut. “C-Chika, kau di mana?” “Tunggu, ada apa dengan suaramu? kau terdengar seperti mau menangis.” “Tidak kok, aku baik-baik saja. Kau di mana?” Hasumi menghela napas, mencoba menyembunyikan rasa sedihnya. “Hasumi, maaf. Aku tadi baru saja berencana memberitahumu. Ternyata, Shin tidak bisa datang. Dia bilang ingin menonton pertandingan Ryuuga-senpai hari ini, jadi aku dan dia sedang di jalan menuju gymnasium. Aku benar-benar minta maaf, tapi bukankah ini kesempatan yang bagus? kau sedang bersama sensei ‘kan sekaran
“Pemilihan mahasiswa tercantik dan tertampan?” Hasumi dan Chika sama-sama mengerutkan kening sembari menatap poster yang tertempel di mading. Shin dan Ryuuga ada di belakang mereka, Ryuuga tampak sibuk meneguk minuman sambil celingak-celinguk ke kanan kiri. “Memangnya ada ya?” Chika menoleh ke arah Shin. “Ada, setiap tahun ada 2 mahasiswa yang dipilih dari seluruh Jepang untuk dijadikan mahasiswa tercantik dan tertampan. Nah setiap universitas akan mengirimkan perwakilan.” jelas Shin. “Heee aku baru tahu.” gumam Hasumi yang terpana. “Ah, apa aku juga ikut saja ya?” Shin menunjuk dirinya sendiri sembari menyeringai lebar. “Tidak boleh!” jawab Chika spontan. “Huuu, kau takut aku jadi terkenal dan digilai banyak perempuan ya?” tanyanya percaya diri. “Dih! aku takut kau depresi karena kalah, soalnya kau pasti memang kalah, sih.” Shin tertawa meringis mendengarnya. “Hasumi, kau ikut saja!” kata Ch
“Aku.. “ Setelah beberapa detik terdiam mendengar pengakuan Hiroto, Hasumi akhirnya membuka mulutnya. Dalam hati gadis itu terbesit sedikit rasa perih yang entah muncul karena apa. “Aku memang menyukaimu Yoshide-kun, tapi itu dulu. Sekarang, aku menyukai orang lain.” Hening. Hiroto mematung, ia sendiri tak tahu harus bagaimana menyikapinya. Rasa perih dan penasaran muncul sekaligus dalam benaknya. “Jadi, aku minta maaf.” Hasumi membungkukkan badannya beberapa saat. Ia sendiri pun tak menyangka kalau hari ini akan tiba. “Begitu ya. Tidak apa-apa kok.” Hiroto tertawa kikuk. “Kalau boleh tahu.. orang yang kau sukai itu, Ryuuga-senpai?” Hasumi langsung mengerutkan kening. “Kenapa kau berpikir Ryuuga-senpai?” Tiba-tiba Hiroto tersentak, terlihat agak kaget. “Oh, tidak apa-apa sih. Aku hanya mencoba berpikir kalau kau tidak mungkin benar-benar menyukai Tanizaki-sensei. Atau mung
Watanabe sedang sibuk membereskan bekas gelas dan piring kecil di meja tuannya. Ia melirik ke arah Gouto yang sejak tadi sibuk berpikir. Melihat tuannya tersebut membuat Watanabe jadi merasa khawatir. Padahal tadi baru saja tuannya itu akan beristirahat, namun email misterius yang entah dari siapa dan apa maksudnya membuat tuannya itu seketika langsung terbangun lagi. “Tuan, mungkin itu email iseng dari rekan bisnis kita. Bisa saja ada yang tak suka dengan Anda dan berusaha menghancurkan bisnis dengan membuat Anda lelah.” Gouto terdiam sesaat, kemudian manggut-manggut. “Kau benar juga. Harusnya aku tidak terlalu memikirkannya.” Gouto pun bangkit dari posisinya. “Anda mau ke mana, tuan?” “Aku mau tidur di kamarku. Kau sudah boleh pulang.” katanya tanpa menoleh, kemudian berjalan keluar ruangan. “Baik, tuan.” Watanabe melanjutkan kegiatannya. Namun jujur, sebagai pelayan setia yang telah menjadi asisten Gouto selama kurang lebih 20 tahun
Hamamatsu, prefektur Shizuoka.Seorang gadis berambut panjang bernama Hachiya Hatsuki berjalan masuk ke sebuah rumah mewah yang letaknya jauh dari perkotaan. Rumah tersebut dikelilingi pagar tinggi dan pohon-pohon besar di bagian sampingnya. Dengan muka lelah, gadis itu pun disambut oleh seorang perempuan tua yang merupakan pelayan di rumah keluarga tersebut.“Okaerinasai, Hatsuki-san.” kata si perempuan dengan ramah.“Tadaima.” Hatsuki membalas dengan senyuman lebar. Ia pun melangkah masuk, dan mendapati seorang lelaki tua berusia 65 tahunan tengah asyik menonton TV. Lelaki itu adalah Hachiya Takaya, lelaki yang pernah bermain golf bersama Arata. Menyadari kehadiran Hatsuki, lelaki itu pun langsung tersenyum.“Ah, kau sudah pulang ya?”“Yah meskipun agak lelah. Ayah, bukannya ini saatnya aku tinggal saja di Tokyo? jarak Tokyo ke Shizuoka cukup membuatku lelah kalau pulang-pergi seperti ini.” pinta Ha
“Hasumi.. “Chika mendekatkan bahunya sambil berbisik ke arah Hasumi yang sedari tadi sibuk menatap sosok pria di depan sambil menopang dagu dengan kedua tangannya.“Aku tahu ketampanannya menandingi anggota boy band, tapi kalau kau melihatnya begitu terus nanti sensei risih, lho.” bisik Chika.Hasumi yang mendengar itu langsung jadi sadar. Kini mereka sedang ada di kelas, mendengarkan materi yang Arata bacakan melalui sebuah buku. Sejak beberapa waktu lalu, Hasumi terus saja memandangi Arata. Bukan dengan tatapan kagum atau terpesona, tapi dengan tatapan heran. Sejak hari kencan mereka waktu itu, Hasumi merasa kalau Arata jadi agak berbeda.Bisa dibilang, jadi agak murung.Setelah kelas usai, Hasumi meminta Chika pergi duluan. Tanpa pikir panjang gadis itu langsung mengikuti Arata ke ruangannya. Saat melihat Hasumi datang, Arata hanya melirik sekilas ke pintu masuk tanpa berkata apa-apa.“Sensei, apa sensei sed
Di antara butiran salju tipis yang menghujani, dua orang manusia masih saling bertatapan. “Bagi sensei, aku ini apa?” Kata-kata itu terdengar seperti suara angin lembut yang berhembus tepat di telinga. Arata bisa mendengarnya dengan jelas, tapi ia sendiri tak tahu jawabannya. Kalau ditanya status, mungkin ia akan menjawab ‘dosen dan mahasiswa’ atau bahkan ‘tunanganku’. Tapi masalahnya, Hasumi malah menanyakan hal yang belum bisa Arata jawab dengan pasti. Ia menganggap Hasumi apa? adik? tunangan? atau mahasiswa didik? Hasumi berusaha mencari jawaban itu dalam mata Arata, tapi yang ia lihat hanyalah kebingungan. Mungkin benar kata Risa, Hasumi yang tak tahu apa-apa ini mungkin akan kecewa, dan tak sepantasnya ia berharap apa pun. “Kalau aku menganggapmu adik, kau marah tidak?” Hasumi terpaku. Dadanya terasa seperti ditusuk jarum, agak perih. Meskipun begitu, gadis itu berusaha tersenyum lebar. “Aku bercanda, kok. Kenapa muka sens