Share

Bab 5

Keduanya saling menatap dengan kaget, seolah-olah sedang melihat ke cermin.

Namun, yang satu berekspresi dingin, sedangkan yang satu berekspresi ramah.

“Apakah kamu Kevin?” Bintang tersadar dan berbicara lebih dulu.

“Apakah dia adik laki-lakinya yang dibicarakan Ibu?” kata Bintang di dalam hatinya.

Kevin menatapnya dengan dingin, nadanya tidak ramah. “Siapa kamu?”

Bintang memeluk Kevin dengan penuh semangat, tetapi Kevin mendorongnya dengan ekspresi jijik. Tanpa diduga, Bintang tidak mau melepaskannya dan malah mencium wajahnya.

Ekspresi Kevin menjadi masam dan dia terdiam.

Bintang mengangkat alisnya dan melepaskannya. Adiknya ini tampaknya tidak terlalu pintar, tetapi Bintang tidak akan membencinya.

Bintang menjelaskan, berkata, “Kita terlihat sangat mirip, tidakkah kamu pikir kita saudara kembar?”

“Saudara kembar?” Kevin menatap Bintang.

Bintang bertanya, “Di mana Ibu?”

Ibu?

Pikiran Kevin mengingat sosok Agnes. Dia tidak menyangka yang tadi dilihatnya adalah ibunya yang sudah menelantarkannya.

Kevin merasakan sedikit sakit hati yang membuatnya mengernyit dan tangannya tanpa sadar memegang dadanya.

Bintang menyipitkan matanya sedikit, mengamati Kevin, dan bertanya dengan cemas, “Ada apa denganmu? Apa kamu merasa tidak enak badan?”

Ibunya bilang kalau adiknya ini punya penyakit jantung bawaan yang dahulu membuat ibunya harus mengirim adiknya ini pergi.

“Apa penyakitmu kumat?” tanya Bintang.

“Tidak apa-apa.” Kevin mendorongnya menjauh sambil menahan rasa sakit, tetapi memasang wajah datar, memberi jarak di antara mereka.

Tangan Bintang yang terulur itu terdiam sejenak, lalu perlahan menariknya kembali. “Apa kamu baru saja keluar dari kantor? Apa kamu melihat ada Ibu?”

Kevin mengabaikannya dan berkata dingin, “Kamu salah orang.”

Kevin merasa tidak punya saudara laki-laki ataupun ibu. Bahkan ayahnya hanya peduli dengan pekerjaan. Dia merasa hanya punya dirinya sendiri.

Bintang tercengang dengan ketidakpeduliannya.

Kevin berjalan melewatinya dan pergi sambil memegang dan mencengkeram pakaian di dadanya lebih erat lagi.

Bintang melihatnya dari belakang, merasa kecewa, lalu berjalan lurus ke arah yang baru saja dia mau datangi.

Dia melihat dua orang pengawal berdiri di dekat pintu kantor.

Dia mengira ibunya ada di sana.

Bintang melangkah maju dengan tenang.

“Tuan Muda!” Kedua pengawal itu menyapanya dengan hormat, tetapi mereka bingung. Bukankah tuan muda mereka baru saja pergi? Mengapa kembali lagi?

Tuan muda?

Bintang berpikir mungkin mereka mengira dia adalah Kevin.

Bintang menjawab dengan nada tenang, berpura-pura bersikap cuek seperti Kevin, dan berkata dengan suara dingin, “Aku ingin masuk.”

Pengawal itu dengan sigap membuka pintu.

Sangat penurut?

Bintang menegakkan postur tubuhnya dan melangkah masuk dengan percaya diri.

Pengawal itu menutup pintu dengan hormat.

“Ibu!” Melihat Agnes yang diikat di kaki meja, Bintang bergegas mendekat dan dipenuhi rasa sakit hati.

“Ibu, siapa yang mengikatmu di sini?” tanya Bintang.

Agnes tersenyum. “Tidak apa-apa.”

Apakah itu ulah ayahnya?

Bintang lumayan yakin kalau itu ulah ayahnya karena ibunya hanya menghindari topik pembicaraan jika itu berbicara tentang ayahnya.

Bagaimana bisa ayahnya menindas ibunya seperti itu?

Melihat bekas luka di tangan Agnes, Bintang merasa marah.

“Bintang, apa kamu sudah menyuruh orang-orang di luar itu pergi?” tanya Agnes. Yang diinginkan Agnes sekarang hanyalah segera pergi dari tempat itu.

Bintang akhirnya tahu kalau Kevin baru saja bertemu ibunya.

Ibunya masih mengira kalau Kevin adalah Bintang.

Hanya dengan beberapa kata singkat, Bintang sudah mengerti.

Bintang berpikir, haruskah dia memberi tahu ibunya kalau orang tadi adalah Kevin?

Memikirkan sikap dingin Kevin, dia menahan kata-kata yang hendak keluar dari mulutnya.

“Tidak perlu menyuruh mereka pergi, aku masih bisa membawa Ibu keluar dari sini,” kata Bintang dengan percaya diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status