Share

Bab 8

“Kevin, Bibi bilang kamu belum makan malam. Kenapa?” Gideon mendorong pintu hingga terbuka, melirik lukisan itu, dan pura-pura tidak melihatnya.

“Ayo ke lantai bawah, makan,” ajak Gideon.

Kevin mengalihkan pandangan dari lukisan itu dan berkata dengan dingin, “Aku mau makan Pizza.”

“Makanan cepat saji itu tidak sehat,” ujar Gideon.

“Kalau begitu, aku tidak mau makan.” Kevin mengambil buku gambarnya dan mulai menggambar.

Bersikap semaunya.

Gideon dengan ekspresi mengeluh, berkata, “Biar Bibi yang mengurusnya.”

Tidak ada orang lain, kecuali Kevin, yang bisa membuat Gideon berkompromi.

“Terserah kamu!”

“Turunlah dalam dua puluh menit.” Gideon berbalik dan jalan keluar.

Dua puluh menit kemudian, Kevin turun dari lantai atas dan Gideon sudah meminta bibi untuk menyiapkan Pizza. Tidak seperti Pizza di restoran, rasa Pizza yang ini lebih melokal.

Gideon mengambil sumpit dan tidak berbicara sepatah kata pun.

“Mengapa kamu pergi duluan tanpa menungguku hari ini?” tanya Gideon.

“Aku tidak mau menunggu!” Kevin mengucapkan empat kata dengan dingin.

Dia sangat irit dengan kata-kata dan enggan berbicara lagi.

Gideon sudah terbiasa dengan sikap cuek putranya itu, tetapi masih merasa tidak suka dengan kebiasaannya yang irit bicara itu.

“Apakah kamu harus menghitung kata-kata saat berbicara denganku? Panggil aku “ayah” dan biarkan aku mendengarnya.”

Kevin masih cuek. “Tidak!”

Gideon pun diam.

Gideon benar-benar tidak tahu Kevin mirip siapa dengan sifat pemarahnya itu.

“Aku sudah kenyang.” Kevin meletakkan sumpitnya.

Melihat Pizza yang hanya dimakannya sedikit, Gideon mengerutkan kening dan berkata, “Kamu makan terlalu sedikit, makan yang banyak.”

“Makanan cepat saji itu tidak sehat. Kalau dimakan terlalu banyak, nanti malah tidak bisa dicerna.” Kevin bangkit dan pergi, tidak ingin lagi berbicara sepatah kata pun.

Gideon marah dan kesal. Jelas itu adalah makanan yang ingin Kevin makan, tetapi malah menyebutnya makanan tidak sehat.

“Tuan Gideon, ada berita buruk. Sistem perusahaan kita telah diretas.” Geri datang melapor dengan ekspresi serius.

Ekspresi Gideon langsung berubah. Dia berdiri, pergi ke ruang kerja, dan menyalakan komputer.

Jelas ada yang sudah meretas sistemnya, tetapi tidak ada tanda-tanda membahayakan. Informasi penting masih ada, kecuali uang dua ratus miliar sudah hilang dari rekeningnya.

Jari-jarinya yang ramping bergerak cepat di atas keyboard. Berbagai kode berkedip di layar komputer, melacak ID yang telah menyerang sistem perusahaannya.

Tepat saat Gideon mengira sudah melacaknya, ID-nya tiba-tiba menghilang, layarnya langsung menghitam, kode yang diketik juga menghilang, dan gambar seekor babi kecil yang sedang menggoyangkan bokongnya tiba-tiba muncul di layar komputer dengan beberapa teks di bawahnya.

Bertuliskan, “Ini hanya pelajaran kecil. Lain kali, aku tidak akan bersikap ramah.”

Gideon sangat marah hingga wajahnya memerah. Beraninya seseorang memprovokasi dirinya seperti itu. Dia sangat marah hingga hampir menghancurkan komputernya.

Huh!

Geri hampir tidak bisa menahan tawanya. Ini mungkin pertama kalinya dalam dua puluh tahun lebih hidupnya, dia melihat seorang CEO ditantang secara terang-terangan.

Dia hanya berkata dalam hatinya kalau orang itu sungguh pemberani dan cerdas.

“Geri, suruh beberapa orang untuk memantau orang ini. Kita harus mencari tahu lebih dalam untuk bisa menemukan orang ini.” Gideon memerintah dengan marah.

Gideon ingin tahu siapa yang cukup berani untuk meretas sistem perusahaannya.

“Baik!” Geri menjawab serius.

Padahal, ini masalah yang sangat serius. Kerugian dua ratus miliar itu kecil, tetapi jika rahasia perusahaan dicuri, akibatnya akan fatal.

Namun, bagaimana orang secerdas itu menjadi peretas sistem? Orang itu bahkan bisa meretas sistem keamanan komputer yang dipasang oleh Gideon.

Gideon menatap babi kecil di layar komputernya itu. Ekspresi matanya yang jahat dan dipenuhi dengan niat buruk itu sangat mengerikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status