Share

Bab 9

Agnes menyiapkan sarapan. Leo dan Bintang kompak dan bangun tepat waktu.

Untuk sarapan, Agnes membeli roti panggang dari toko roti dan menggoreng dua butir telur.

“Ibu, pertunjukanku sudah selesai. Kapan kita pulang?” tanya Leo.

Ayahnya tidak menyukai mereka, jadi mereka tidak perlu lagi berlama-lama di situ.

Tangan Agnes yang sedang menuangkan susu terhenti sejenak, lalu dia berkata perlahan, “Tunggu dua hari lagi.”

Leo mengangguk patuh. “Kalau begitu, aku akan menelepon Om Wawan nanti dan memintanya untuk menunda perjalanan selama beberapa hari.”

“Oke!” kata Agnes setuju.

Agnes sudah berencana, ketika menemani Leo ke kota ini, dia juga ingin bertemu dengan orang yang sangat penting.

Adik perempuan Gideon, Rola, adalah sahabat Agnes. Agnes selalu meluangkan waktu agar dia dan Rola bisa bertemu, termasuk pada malam itu. Namun, setahun kemudian, Rola mengalami kecelakaan mobil dan Agnes juga lagi dicari oleh Gideon, jadi Agnes tidak bisa berhubungan lagi dengannya.

Meskipun Agnes sudah bertahun-tahun berada di luar negeri, dia terus berusaha mencari tahu kabar tentang Rola, tetapi Rola seakan menghilang ditelan bumi tanpa ada kabar sedikit pun.

Setelah makan malam, Leo kembali ke kamar untuk menelepon Wawan, sementara Bintang dengan rajinnya membuang sampah.

“Tok tok tok …”

Terdengar bunyi ketukan pintu.

“Bintang, apa kamu lupa bawa kunci lagi?” Agnes keluar dari dapur dan pergi untuk membuka pintu.

Saat pintu terbuka, Agnes tertegun.

Gideon berwajah dingin dan tatapan mata tajam, berdiri di depan pintu bagaikan gunung es.

“Gi … Gi … Gideon?”

Gideon mendorong Agnes dan masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Agnes tahu bahwa cepat atau lambat, Gideon akan menemuinya, tetapi dia tidak menyangka akan secepat ini.

Agnes sudah berpikir bahwa dia harus bertemu dengan Rola sesegera mungkin sebelum Gideon pergi mencarinya. Saat itu, mungkin Gideon tidak akan bisa lagi bertemu dengannya karena Agnes dan anak-anaknya pasti sudah pergi.

Saat itu, jantung Agnes berdetak kencang dan tangannya mengepal erat karena panik.

Gideon melihat sekeliling apartemen dan langsung melihat foto di depan lemari.

Melihat seorang ibu dengan kedua anaknya di foto, Gideon marah. “Agnes, kenapa kamu begitu munafik?”

Gideon berpikir, Agnes sudah memberikan putranya pada Gideon, tetapi diam-diam sudah pernah berfoto bersama anaknya, Kevin, yang sebenarnya di foto itu adalah Bintang, dan menaruhnya di bingkai.

“Gideon, bagaimana bisa kamu menyentuh barang milik orang lain seenaknya?” Agnes mengambil foto itu dan memeluknya.

Gideon mendekat dan berteriak marah. “Agnes, kamu wanita kejam dan tidak berperikemanusiaan. Apa hakmu untuk menaruh foto anakku bersama dengan fotomu? Apa kamu merasa pantas melakukan itu?”

Apa Gideon tahu tentang keberadaan Leo dan Bintang?

Agnes menatapnya tercengang, merasa bingung dan takut.

“Gideon, bagaimana mungkin anak yang aku kandung selama sembilan bulan ini tidak berarti bagiku?” Agnes menjawab dengan marah.

Jelas, Gideonlah yang memaksanya untuk melarikan diri, jadi kenapa Gideon malah menyalahkannya?

Ketika menyinggung sembilan bulan kehamilan, Gideon menjadi semakin marah. Tatapan matanya yang dingin bagaikan pisau tajam, seolah ingin memotong Agnes menjadi beberapa bagian.

“Kamu masih berani menyebut-nyebut kehamilan sembilan bulan itu kepadaku?” Gideon mencengkeram leher Agnes. Kecelakaan yang dialami Rola yang di mana Rola sekarat di kawasan itu tiba-tiba terlintas di benak Gideon. Dia sedikit mengeraskan cengkeramannya.

Agnes merasa seperti mau mati. Melihat mata Gideon yang penuh kebencian, hati Agnes terasa seperti dihantam batu.

Mengapa Gideon sangat membencinya? Padahal, sudah lewat tujuh tahun.

Sudah tujuh tahun, bukankah rasa cinta Agnes seharusnya sudah hilang?

Melihat sorot matanya yang kecewa, Gideon merasakan sakit di hatinya dan tangannya tanpa sadar mengendur.

Agnes duduk di atas lantai tak berdaya dengan sisa bekas luka yang jelas di lehernya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status