"Mau meracuni aku ya? Apa kamu gak takut masuk penjara setelah ini?""O my to the God, Bella. Ya, gak mungkin, lah, aku ngeracuni kamu," ujarnya sembari meraih satu pastel lalu memakannya dengan lahap."Gak percaya, pasti kamu sengaja memisahkan satu pastel yang gak pakai racun.""Gini aja, kamu ambil satu pastel lalu kamu kasih ke Carlota."Aku setuju lalu dia memanggil Carlota, setelah itu aku meraih satu pastel dan memberikan padanya. Saat kulihat Carlota memakan pastel itu dengan lahapnya, tanpa ada efek apapun, aku langsung percaya dan meraih satu pastel lalu memakannya."Bagaimana, Bell, enak, gak?" tanyanya."Rasanya enak, kamu pinter masak," jawabku sembari menikmati pastel tersebut, sementara Villia hanya tersenyum sembari menatapku dengan tatapan aneh, entah apa yang ia pikirkan.Setelah beberapa menit kemudian, tiba-tiba aku merasa gatal di seluruh tubuhku. Rasanya sangat tidak nyaman, gatal dan panas hingga, kulitku memerah setelah digaruk."Bella, kamu kenapa?" tanya Gio
Setelah mendengar banyak penjelasan dari Mbok Minten, aku langsung mendatangi Villia ke kamarnya."Jika kamu ketahuan mencelakai Bella lagi, aku tak akan pernah memaafkan kamu." Langkahku terhenti saat terdengar suara Gio di dalam."Kenapa sekarang kamu berubah? Kenapa kamu begitu membelanya, apa jangan-jangan kamu mulai mencintainya?"Hening, tak ada jawaban, tampaknya Gio tak menjawab pertanyaan Villia. Karena penasaran, aku semakin merapatkan telinga di pintu, entah mengapa aku merasa penasaran dengan obrolan mereka."Iya, aku mulai mencintainya.""Tega kamu, Mas! Bukankah dulu kamu pernah berjanji untuk tidak berpaling? Dulu, kamu bilang, alasanmu menikahi Bella hanya agar Opa mewariskan semua hartanya padamu, bahkan kamu pernah mengatakan bahwa kamu terpaksa tidur bersama Bella hanya karena desakan dari Opa!""Maaf, tapi mulai sekarang, aku sangat mencintainya. Aku berjanji untuk menjaganya dengan nyawaku."Entah mengapa dadaku berdebar kencang saat mendengar ucapannya, lalu aku
"Kamu sudah pulang, kamu gak apa-apa, kan?" tanya Gio saat aku pulang, ia tampak mengucek kedua bola matanya, rupanya ia menungguku sampai tertidur di ruang tamu."Iya, aku gak apa-apa. Hanya sedikit syok aja dengan apa yang terjadi pada temanku."Aku terpaksa berbohong mengikuti cerita yang dikarang Bunda."Siapa nama temanmu yang dibunuh itu? Kita satu angkatan saat kuliah, jadi aku tahu semua teman-temanmu.""Namanya Nina, dia teman saat aku kecil."Aku menghela napas setelah mengatakannya, kalau dipikir-pikir, aku jadi banyak berbohong sejak berada di rumah ini."Ya sudah kalau begitu, ayo kita ke kamar!" Ia langsung meraih tanganku."T.. tapi.. kenapa setiap malam kamu harus tidur di kamarku? Mengapa kamu tidak tidur bersama Villia.""Jujur saja aku masih kecewa dengannya. Jadi tolong izinkan aku tidur bersamamu.""T..tapi...""Aku akan tidur di sofa seperti biasa."Aku menghela napas lega, lalu bergegas ke kamar dengannya. Setelah itu aku langsung membaringkan tubuh. Bayangan pe
Aku hanya terdiam saat mendengar ucapan Opa William, rupanya itulah alasannya mengapa Bella dijodohkan dengan Gio padahal saat itu dia sudah berpacaran dengan Villia."Sebelum kejadian nahas itu, saya dan kakekmu membawamu jalan-jalan ke sebuah taman, saat itu kamu masih berusia 5 tahun. Dia sangat menyayangimu, Bella, malah dia mengatakan akan menjagamu dengan nyawanya. Namun, ia malah menyelamatkan saya hingga mengorbankan nyawanya."Aku tertunduk pilu mendengar cerita Opa William, tanpa terasa air mataku mengalir begitu deras. Terbayang dalam ingatan, bagaimana kakek dan nenek memperlakukanku seperti cucu tiri. Entah apa sebabnya, tapi yang mereka sayangi hanya Rani, Ratna dan Ratih. Tak ada yang mau menyayangiku, seolah aku adalah benalu dalam keluargaku."Maafkan saya, Bella, maaf karena saya menceritakan semua ini padamu. Tapi sejak itu saya berjanji pada diri saya sendiri, untuk selalu membuatmu tersenyum dan tak pernah kehilangan sosok seorang kakek.""Semua yang terjadi sudah
"Ayo, kamu sudah siap?" Seketika aku terhenyak saat mendengar suara Gio.Aku menatapnya penuh tanya, rupanya aku masih di meja rias. Lalu, apakah tadi hanyalah halusinasiku saja?"Kamu kenapa? Kok kayak bingung gitu?" tanyanya."E..enggak apa-apa."Meskipun bingung, aku segera menyelesaikan riasanku, lalu beranjak dari tempat duduk. Aku mengikuti Gio menuju mobilnya sembari terus memikirkan halusinasiku tadi. Mengapa bisa tiba-tiba aku memikirkan hal buruk terjadi pada Ayah, padahal tadi aku bukan sedang terlelap."Kamu kenapa, sih, kok diem aja?""Emm..itu..""Maaf karena tadi pagi aku sempat mengabaikanmu.""Tidak, aku sama sekali tidak memikirkan itu.""Lalu?" Ia menatapku penuh tanya."Entah mengapa perasaanku tak enak, aku terus kepikiran Ayah.""Coba kamu telpon saja."Aku mengangguk, lalu segera menelpon Bunda. Untunglah telponku langsung diangkat. Namun, tiba-tiba terdengar suara Bunda yang terdengar tengah terisak."Bunda kenapa?" Entah mengapa tiba-tiba aku merasa cemas saat
"Bianca sayang, bunda masih tak percaya dengan semua ini, rasanya seperti mimpi saat bayi bunda yang 25 tahun lalu hilang kini sudah kembali lagi."Bunda terus memelukku dengan erat, sembari menitikkan air mata, sementara aku terus mencubit lengan memastikan bahwa semua ini bukanlah mimpi atau halusinasi."Aaaw!" Aku meringis saat merasa sakit akibat cubitanku sendiri, berarti semua ini nyata."Kenapa, Sayang, apa pelukan bunda terlalu erat, sehingga membuatmu merasa sakit?" Ia tampak cemas dan menatap nanar ke arahku.Mataku seketika berkaca-kaca saat melihat tatapan penuh kasih sayang itu, akhirnya aku bisa melihat seseorang yang menatapku dengan raut cemas dan tatapan peduli."Tanganku terasa sakit setelah kucubit, berarti semua ini bukanlah mimpi.""Iya, Sayang, semua ini bukanlah mimpi." Ia kembali memelukku dengan erat."Ngomong-ngomong, apa kamu punya foto orang yang telah merawatmu selama ini? Soalnya bunda ingin memastikan, apakah dia Ijah dan Sopian atau bukan?" Ia melepaska
"Kenapa, Sayang?" tanya Gio saat aku menghentikan langkah dan terus menatap ke arah Fitri dan Bu Linda."Bisa, gak kalau kita duduk di sekitaran sini?" "Loh, tapi aku sudah pesan ruang VIP.""Aku maunya disini.""Ya sudah," ujarnya lalu kembali menemui resepsionis, sementara aku masih memantau Fitri.Tidak lama kemudian Gio kembali, lalu kami segera duduk di sebuah meja kosong, sedikit jauh dari tempat Fitri dan Bu Linda, tapi aku masih bisa memantaunya. Saat gio tengah memesan makanan, aku tetap fokus menatap seorang lelaki tua berpenampilan seperti bos besar yang datang bersama dua pengawalnya, ia tampak menghampiri Fitri dan Bu Linda, lalu duduk bersama mereka. Beberapa menit setelah itu, Bu Linda langsung pergi, tinggalah Fitri bersama lelaki tua itu. "Sayang, kamu gak pesan makanan?" tanya Gio."Enggak, kamu aja, aku gak lapar.""Oh, oke," ujarnya.Aku kembali memantau Fitri, kulihat lelaki tua itu mencium punggung tangan Fitri, lalu tidak lama setelah itu ia memberikan sebuah
"O..Opa..." Aku langsung terhenyak saat melihat kedatangan Opa William, begitu pula dengan Bunda juga Ayah yang tampak tercekat."Sejak kapan Om ada disana?" tanya Bunda.Opa William berjalan ke arah kami, lalu menatap tajam ke arahku."Apakah dia bukan Bella?" Ia menatapku lekat-lekat dari mata kaki hingga kepala, lalu setelah itu ia melirik tajam ke arah Ayah dan Bunda yang tampak tengah kebingungan memikirkan jawaban dari pertanyaannya."Itu...anu..." Bunda tampak gelagapan, begitu pula denganku yang seketika membeku dan tak bisa berpikir apapun."Ranti, sejak lama saya menganggapmu seperti putri kandung saya sendiri, lalu kamu Hermawan, saya menganggapmu sebagai menantu saya. Tapi mengapa kalian tega membohongi saya?""Aku akan menjelaskan semuanya, tapi aku harap Om bisa tenang," ujar Bunda.Opa William tampak menghela napas, lalu duduk di sebuah kursi."Dia adalah Bianca, kembaran Bella yang telah lama diculik oleh pembantu juga sopir saya saat masih bayi, dia ke Jakarta karena