Sampai di kafe sebrang kampus, Anna dan Grace sontak memesan makanan yang biasa mereka pesan. Kafe itu memang sudah menjadi langganan mereka sehingga pelayan pun tahu apa yang akan mereka pesan tanpa memberikan buku menu.
"Kau bilang kau lapar! Tapi ketika makanan sudah ada di hadapanmu, kau malah sibuk memainkan ponsel!"
"Kau makan saja lebih dulu, Grace. Aku sedang bertukar pesan dengan Edgar."
Grace tampak kesal karena sikap Anna yang terlalu menunjukkan bahwa dia mencintai sang suami. Temannya itu memang sudah menjadi budak cinta!
"Anna, sejujurnya ada yang ingin aku beritahukan padamu."
Tidak biasanya Grace serius begitu, Anna sampai teralihkan dari ponselnya.
"Kenapa serius sekali? Memangnya apa yang ingin kau bicarakan?"
Grace menggigit bibir bawahnya. "Tante Lucia menyuruhku untuk mengawasimu dan Profesor Edgar," terangnya.
Sebelum melanjutkan ceritanya, Grace menatap mata Anna, takut jika temann
Sebenarnya Anna menemui Edgar karena ingin bertanya perihal wanita tua yang sempat dia temui dengan Grace. Mungkinkah Edgar mengenal wanita tua itu? Sampai di depan pintu ruangan Edgar, Anna tidak langsung masuk ke dalam, melainkan mengintip sedikit dari celah pintu gang sedikit dibukanya. Dilihatnya Edgar tengah sibuk berkutik dengan lembaran-lembaran kertas putih dan laptopnya. Pria itu mengenakan kacamata bulat yang biasa dipakai saat sedang bekerja. Setelah melihat situasi ruangan tersebut, Anna masuk dengan langkah pelan dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Karena Edgar terlalu sibuk, pria itu bahkan tidak menyadari kehadiran Anna yang sudah ada di belakang kursinya. Anna melingkarkan kedua tangannya pada tubuh Edgar dari belakang. "Kau sibuk sekali!" "Hn?!" Tampaknya Edgar benar-benar terkejut karena pelukan Anna yang tiba-tiba. Pria itu sedikit tersentak dan hampir membenturkan kepalanya dengan Anna. "Maaf, apa kau terkejut?" Edgar membuka kacamata dan menarik
"Hanya menebaknya karena kau menyebutnya wanita tua." "Kau benar!" Anna terkekeh kecil. "Ah! Bagaimana dengan pekerjaanmu? Apakah sudah selesai?" "Sedikit lagi. Kau pulanglah lebih dulu, jangan menungguku." Anna tidak berpikir untuk meninggalkan Edgar karena dia tidak ingin pulang sendiri. Dia juga tidak mungkin pulang bersama Grace karena temannya itu pasti sudah pulang sejak tadi setelah ditinggalkan olehnya di kafe. "Sepertinya aku akan menunggumu hingga selesai dengan pekerjaanmu. Aku ingin kita pulang bersama." "Jika itu keinginanmu, aku tidak akan memaksamu untuk pulang. Tapi, jangan salahkan aku jika kau merasa bosan di sini." Edgar bangkit dari sofa dan segera duduk di kursi kerjanya. Dia kembali berkutat dengan laptop dan kertas-kertas yang berserakan di atas meja. 'Suamiku memang tampan!' batin Anna. Meskipun menunggu adalah hal yang membosankan, namun jika menunggu suami dengan paras tampan dan rupawan, tentu saja Anna tidak akan merasa bosan. Sebab, dia bisa melih
"Hn?" "Aku lapar." Sudah pukul 02.10 siang! Tentu saja Edgar pasti lapar, pria itu bahkan belum mengisi perutnya dengan makanan apa pun karena melewatkan makan siangnya. Anna juga merasa bodoh karena dia tidak membawa makanan saat berkunjung ke ruangan Edgar. "Kalau begitu kita harus makan dulu sebelum pulang ke apartemen." Edgar menggelengkan kepalanya cepat. "Tidak! Aku ingin memakan masakan yang kau buat." Padahal Edgar tahu betul kalau Anna tidak pandai memasak seperti dirinya, namun pria itu selalu saja menyuruhnya memasak. "Jangan salahkan aku jika rasanya tidak enak, ya?!" Anna mengembungkan pipi dan membuatnya terlihat menggemaskan di mata Edgar. Sementara Edgar yang tak bisa mengontrol tangannya, sontak tersenyum seraya mencubit pipi Anna hingga meninggalkan bekas merah di sana. "Jika kau berekspresi seperti itu, mungkin saja aku akan memakanmu saat ini juga!" goda Edgar dengan menampilkan seringai khasnya. "Aku tidak keberatan, asalkan kau bisa memperlakukanku d
37 kali total Anna memberikan sebuah ciuman pada Edgar hingga dia bisa merasakan rasa mashed potato yang dia buat sendiri di bibir sang suami. Seperti yang Edgar katakan sebelumnya bahwa rasanya terlalu asin dan kentangnya belum matang sempurna. Padahal Anna hanya tak sengaja mencicipinya, namun rasanya benar-benar parah. Bagaimana bisa Edgar sanggup menghabiskannya sendiri? "Apa kau sudah puas sekarang? Aku mencium bibirmu hingga 37 kali karena kau sengaja memakan masakanku sedikit demi sedikit!" Edgar terkekeh kecil, dia berpikir kalau sikap merajuk Anna sangat lucu. "Kau menghitungnya? Wah! Aku tidak tahu kalau ciumannya akan sebanyak itu!" "Cih! Dasar pria licik!" "Kalau kau tidak ikhlas menciumku, akan kukembalikan semuanya padamu." Dikembalikan? Itu artinya Edgar akan mencium Anna sebanyak 37 kali juga! Melihat seringai jahil Edgar, tampaknya pria itu belum cukup puas setelah mempermainkan Anna sebanyak itu! *** Hari telah berganti, tibalah saatnya Anna dan Edgar untu
Anna dan Edgar mengikuti langkah Dokter Bryan dari belakang hingga tiba di sebuah ruangan dengan pintu berwarna coklat. Ruangan tersebut sangat rapi dan terdapat satu ranjang pasien di dalamnya. Biasanya, orang yang pertama kali datang menemui psikiater akan diminta untuk bercerita mengenai gangguan yang mereka alami. Namun, karena Dokter Bryan sudah mengetahui semuanya tentang Edgar, jadi dia tidak perlu meminta pemuda itu untuk bercerita. "Duduklah!" ucap Dokter Bryan. Anna dan Edgar duduk di kursi yang berhadapan dengan meja kerja Dokter Bryan. Meskipun mereka sudah mengenal sang dokter, konsultasi tetaplah konsultasi. Ada aturan untuk itu! Tidak ada yang namanya konsultasi seperti duduk-duduk di sofa empuk dan memakan cemilan. Dokter Bryan memakai kacamata dan jas putih miliknya, layaknya seorang dokter pada umumnya. "Sadisme seksual tidak bisa disembuhkan!" Membelalakkan mata, Anna dengan cepat menjawab, "Tapi, Dokter, bukankah Anda bilang jika Edgar bisa sembuh?!" "Pern
"Ehem ... aku akan menjelaskan cara yang bisa digunakan untuk menyembuhkan kelainan Edgar," ucap Dokter Bryan setelah berdeham kecil. Anna menggenggam tangan Edgar lebih erat dan kembali fokus pada pembicaraan mereka bertiga. "Ada dua cara yang bisa digunakan, yaitu dengan pemberian obat atau hipnotis. Obat yang diberikan berupa obat yang menekan hormon testosteron dan ada efek samping jika digunakan dalam jangka panjang." Setiap obat memang selalu memiliki efek samping, namun untuk obat yang dimaksud Dokter Bryan, Anna penasaran dengan efek sampingnya terhadap Edgar. "Efek samping seperti apa yang Anda maksud?" ucap Anna memastikan. "Impoten." "Impoten?!" kaget Anna dan Edgar secara serempak. Tujuan mereka datang berkonsultasi adalah untuk menyembuhkan kelainan Edgar agar mereka bisa berhubungan intim tanpa khawatir saling menyakiti. Namun, jika Edgar sembuh dengan pemberian obat yang membuatnya impoten, maka itu akan menjadi masalah besar. Kelainan seksualnya sembuh, namu
Meskipun Edgar berhasil memanipulasi ingatannya sendiri, namun dia belum tahu hasilnya jika belum berhubungan intim dengan Anna. Dia berharap jika terapi hipnotis itu berhasil dan dirinya tidak lagi akan menyakiti wanita yang dicintainya saat berhubungan. Dokter Bryan tersenyum seraya menepuk bahu lebar Edgar. "Tidak ada usaha yang sia-sia, Ed." Glup! Anna meneguk ludahnya dengan susah payah, saat ini dia tengah bersama Edgar di kamar apartemen mereka. Ya, mereka berencana melakukan praktik untuk mengetahui hasil dari terapi hipnotis Edgar siang tadi. Beberapa hari lalu, sebelum kejadian Edgar mabuk yang berujung malam panas, Anna menggebu-gebu karena ingin melakukan hubungan suami-istri dengan Edgar dan melakukan segala cara demi keinginannya itu. Namun, ketika mereka hendak melakukannya untuk kedua kali, entah mengapa baik Anna maupun Edgar merasa gugup dan kikuk secara bersamaan. Seperti yang orang-orang katakan bahwa sesuatu yang direncanakan selalu tidak berhasil. Oleh se
Anna menghela napas panjang, dia duduk di bangku taman belakang kampus seraya melihat hiruk pikuk para mahasiswa. Wajahnya yang kecil terlihat sangat pucat di mana lingkaran hitam mengelilingi mata. "Akhir-akhir ini ... kau terlihat sangat lelah. Ada apa?" tanya Grace yang duduk di samping Anna. "Aku hanya kurang tidur dan kedua pahaku terasa sakit."Meskipun Anna tidak memberitahukan masalahnya secara rinci, namun Grace paham dengan pernyataan yang baru saja dilontarkan temannya. "Memangnya kalian melakukannya berapa kali dalam seminggu?""Setiap hari," lirih Anna. Dia tidak ingin jika seseorang mendengar pembicaraan pribadinya. Namun ... "Apa?! Se-setiap hari?!" teriak Grace hingga refleks berdiri. Tampaknya dia sangat terkejut dengan pengakuan Anna. "Ssssttt!" Anna menutup mulut Grace dengan tangannya. "Edgar meminta jatahnya setiap hari dan aku tidak bisa menolaknya. Ini sudah genap dua minggu kami melakukannya tanpa henti."Ya. Sejak mengetahui dirinya sudah sembuh dari kela