Anna menghela napas panjang, dia duduk di bangku taman belakang kampus seraya melihat hiruk pikuk para mahasiswa. Wajahnya yang kecil terlihat sangat pucat di mana lingkaran hitam mengelilingi mata. "Akhir-akhir ini ... kau terlihat sangat lelah. Ada apa?" tanya Grace yang duduk di samping Anna. "Aku hanya kurang tidur dan kedua pahaku terasa sakit."Meskipun Anna tidak memberitahukan masalahnya secara rinci, namun Grace paham dengan pernyataan yang baru saja dilontarkan temannya. "Memangnya kalian melakukannya berapa kali dalam seminggu?""Setiap hari," lirih Anna. Dia tidak ingin jika seseorang mendengar pembicaraan pribadinya. Namun ... "Apa?! Se-setiap hari?!" teriak Grace hingga refleks berdiri. Tampaknya dia sangat terkejut dengan pengakuan Anna. "Ssssttt!" Anna menutup mulut Grace dengan tangannya. "Edgar meminta jatahnya setiap hari dan aku tidak bisa menolaknya. Ini sudah genap dua minggu kami melakukannya tanpa henti."Ya. Sejak mengetahui dirinya sudah sembuh dari kela
"Idemu terdengar gila, tapi aku akan mencobanya!" Grace menyetujui ide gila dan tak masuk akal yang Anna ucapkan. Padahal Anna hanya bercanda, namun tampaknya Grace menganggapnya serius. "Grace, kau tidak akan benar-benar melakukannya, bukan?" "Kenapa tidak?" Grace bangkit dari kursi taman dan berlari kecil menuju Kevin, dia tak memedulikan Anna yang terus memanggilnya. "Professor Kevin!" Grace mengatur napasnya yang sedikit terengah-engah agar menjadi normal. "Ada yang mau saya tanyakan tentang pelajaran kemarin." Bohong! Sebenarnya Grace mengatakan itu agar para mahasiswi yang berkumpul di sekitar Kevin pergi menjauh. Hanya itu satu-satunya alasan yang bisa dia gunakan saat ini. "Maaf semuanya, mungkin kita bisa melanjutkan obrolannya lain kali." Kevin menyuruh para mahasiswi yang mengerumuninya agar membubarkan diri. Setelah semuanya pergi dan hanya ada dirinya dengan Grace, Kevin sontak bertanya tanpa melakukan basa-basi. "Apa yang akan kau tanyakan, Grace?" "Tidak ad
Grace berlari seraya melambaikan tangannya pada Kevin. Karena maksudnya sudah tersampaikan, dia hendak memberitahu Anna mengenai hal itu. "Aku berhasil!" ucap Grace setibanya di hadapan Anna. Selama beberapa detik, Anna tampak bingung dengan perkataan Grace, lalu dia tiba-tiba membelalakkan mata. "Maksudmu ... kau berhasil mengajaknya berkencan? Tapi, bagaimana bisa?!"Grace tersenyum mendengar respon Anna yang terlihat terkejut. Dia berpikir untuk tidak memberitahu Anna tentang bagaimana dia bisa mengajak Kevin berkencan. Lagi pula, kencan tersebut hanya sebuah percobaan dan ada kesepakatan di dalamnya. "I-itu terjadi begitu saja!" Grace berbicara sedikit terbata-bata. "Oh iya, kami akan berkencan sabtu ini. Apa kau mau ikut? Maksudku kita bisa kencan ganda. Aku dengan Profesor Kevin, sedangkan kau dengan Profesor Edgar!""Aku akan menanyakan pendapat Edgar mengenai hal ini."Sejujurnya Anna tidak keberatan dengan ajakan Grace, namun tetap saja dia harus menanyakan pendapat Edgar
Jika mendengar suara yang sejak tadi memprovokasinya, Anna yakin seratus persen bahwa orang yang menghinanya adalah satu orang! Dan itu adalah orang yang sama! Mengepalkan tangannya, Anna membalikkan badan dan mencari sosok wanita yang terus mengatainya. Wanita itu menyeringai seraya menatap remeh Anna, seolah-olah mengatakan 'Memangnya kau berani?' dengan tatapannya. Dengan napas memburu dan tangan mengepal, Anna berjalan menghampiri wanita itu untuk menuntaskan rasa marahnya. Plak! Tamparan keras mendarat di wajah wanita itu hingga meninggalkan bekas merah dan erangan darinya. "Dasar mulut sampah! Jaga ucapanmu itu! Berani-beraninya kau menghina teman baikku yang sangat aku sayangi! Sekali lagi aku mendengarmu mengatai temanku, akan kupastikan mulutmu robek hingga tak bisa berbicara lagi!" murka Grace.Tampaknya Anna kalah cepat dengan Grace. Tamparan yang tadinya ingin Anna layangkan pada wanita itu sudah diwakilkan oleh Grace yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Anna mengh
Memang benar apa yang dikatakan Edgar, mereka bahkan baru melakukan hubungan intim dua minggu yang lalu, tidak mungkin jika langsung mengandung. Namun, tentu saja pendapat orang lain berbeda! Sebab, yang mereka tahu adalah fakta bahwa Anna dan Edgar telah menikah lebih dari dua bulan! Menghela napas, Anna menyenderkan kepalanya di jendela mobil dan tiba-tiba teringat sesuatu. "Ah benar!" Anna menoleh pada Edgar. "Ed, aku tadi melihat wanita tua yang waktu itu aku bicarakan padamu. Dia berdiri di jendela dengan tatapan aneh, tapi dia langsung lari ketika aku datang." Wanita tua? Ketika Anna menceritakan itu, Edgar mulai berpikir bahwa bayangan hitam yang sempat dia lihat mungkin saja adalah wanita tua itu. Namun, siapa sebenarnya wanita tua itu? Ckiiiit! Sreett! Larut dalam pikirannya, Edgar hingga tak fokus mengemudi dan nyaris menabrak seseorang yang lewat. Untungnya, dia sempat menginjak rem dan membanting stirnya ke arah lain. "Akh!" pekik Anna ketika badannya condong ke
Olivia tertegun ketika mendapat pertanyaan dari Anna mengenai Andy. Dia menggigit bibir bawahnya, ragu untuk menjawab. "Adikmu ...." "Aku di-skors karena memukul seseorang di sekolah," potong Andy yang tiba-tiba datang. "Apa? Kau di-skors karena memukul seseorang?!" Anna berbicara dengan meninggikan suaranya, dia tak habis pikir dengan jawaban menohok yang dikatakan sang adik. Bagaimana bisa adiknya di-skors karena melakukan kekerasan? Andy bukan tipe orang yang suka mencari masalah, namun dia berkata bahwa dirinya memukul seseorang di sekolah dan membuatnya di-skors?! Menggertakkan giginya, Anna menahan diri untuk tidak menarik kerah kemeja Andy dan memarahinya habis-habisan. "Kenapa kau memukulnya?! Tidak ada seorang pun di keluarga ini yang mengajarkanmu menjadi berandalan yang suka mencari masalah di sekolah! Kau hanya membuat Ayah dan Ibu malu! Kau tahu itu?!" Andy mendecih mendengar omelan Anna. "Kau!" geram Anna, "siapa yang kau pukul?! Lebih baik kau segera minta m
"Jangan khawatir ... adikmu sudah dewasa, dia pasti hanya berjalan-jalan sebentar untuk menenangkan diri. Dia pasti akan pulang." "Kuharap juga begitu," lirih Anna dengan wajah murung. Berhubung hari masih siang di mana jam sekolah belum berakhir, Anna dan Edgar bergegas menuju sekolah Andy dengan mobil. Mereka tak ingin membuang-buang waktu dan ingin segera mengetahui permasalahan yang menimpa Andy. Tidak sampai lima belas menit, mereka tiba di sekolah dan Edgar langsung memarkirkan mobilnya di tempat parkir. "Langsung saja ke ruangan kepala sekolah, kita akan menanyakan langsung padanya," ucap Edgar setelah dia dan Anna keluar dari mobil. 'Sepertinya kenalan yang dimaksud Edgar adalah Kepala Sekolah!' pikir Anna. Tidak seperti guru lain dan wali kelas, seorang kepala sekolah biasanya selalu ada di ruangan, sangat jarang di antara mereka yang berada di kelas karena tidak memiliki tugas mengajar. Tepat sekali! Tiba di ruang kepala sekolah, mereka melihat seorang pria paruh b
"Apakah Andy mengatakan alasan mengapa dia memukul temannya?" Anna masih belum puas dengan jawaban dari Sean, Kepala Sekolah. Dia belum mengetahui alasan Andy memukul temannya. "Andy tidak mengatakan apa-apa tentang itu. Dia tidak ingin membicarakannya." "Bolehkah saya tahu siapa anak yang dipukul Andy dan di mana kelasnya?" Anna berniat untuk menanyakan langsung pada yang bersangkutan. Sebab, jawaban dari Kepala Sekolah tidak membuatnya puas. "Farrell, kelas 3-1." "Terima kasih. Kalau begitu ... kami permisi, Pak." Anna menarik tangan Edgar agar berdiri dan memaksanya untuk pergi meninggalkan ruangan tersebut. Berjalan melewati setiap koridor, Anna melihat setiap papan kelas, mencari letak kelas 3-1. "Bukan ke arah sana, tapi ke arah sebaliknya!" Edgar menghentikan langkahnya karena dia lelah dibawa Anna berkeliling sekolah. Anna bergeming sejenak, lalu memutar balik arahnya seraya menarik kembali tangan Edgar. "Ayo!" ajak Anna, "seharusnya kau memberitahuku dari tadi, Say